[Menyingkap
Sebagian Pesan Agung Ayat-Ayat Qur’aniyyah Menyoal Berinfak fi SabiliLlah
dengan Ilmu Balaghah]
Irfan
Abu Naveed, M.Pd.I
(Pengajar Bahasa Arab, Peneliti Raudhah Tsaqafiyyah Jawa Barat)
Ramadhan dikenal sebagai syahr al-tadhhiyyat, ditandai
oleh besarnya pengorbanan Rasulullah ﷺ dan para sahabat di masa lalu
ketika mengawali era tegaknya kekuasaan Islam di Madinah al-Munawwarah, dengan
adanya peristiwa monumental, yakni perjuangan al-badr al-kubra, berlanjut
kepada berbagai bentuk perjuangan lainnya di bulan suci Ramadhan, salah satunya
perjuangan merealisasikan fath Mekkah, itu semua diupayakan dengan pengorbanan
jiwa dan harta di jalan Allah. Hal itu merupakan realisasi dari perintah agung
Allah dan Rasul-Nya, Allah ’Azza wa Jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَىٰ
تِجَارَةٍ تُنْجِيكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ {١٠} تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي
سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ ۚ
ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ {١١}
“Hai
orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang
dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? (Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan
berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu,
jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Shaff [61]: 10)
Rasulullah ﷺ bersabda:
«جَاهِدُوا الْمُشْرِكِينَ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ
وَأَلْسِنَتِكُمْ»
“Berjihadlah
menghadapi kaum Musyrik dengan harta benda, jiwa dan lisan kalian.” (HR.
Abu Dawud, al-Nasa’i dan al-Darimi)
Salah satu pesan penting hadits yang mulia ini, yang bisa
ditafsirkan kepada masa kini adalah kesiapan mengorbankan harta benda, jiwa dan
lisan dalam perjuangan menegakkan dakwah Islam. Dimana pengorbanan ini
merupakan salah satu asbab turunnya keberkahan dari Allah, dan upaya
menjemput pertolongan dari-Nya. Dimana Allah SWT pun menggambarkannya dengan
sangat indah dalam firman-Nya:
مَثَلُ
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ
أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ ۗ
وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ
وَاسِعٌ عَلِيمٌ {٢٦١}
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh)
orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan
sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan
(ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi
Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 261)
Allah SWT sangat indah mengumpamakan mereka yang menginfakkan
hartanya di jalan Allah dengan ganjaran berlipat ganda (ganjaran) dari-Nya bagi
siapa saja yang dikehendaki-Nya, bagaikan
sebutir
benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir tumbuh seratus biji,
menggambarkan sebagai sesuatu yang menyemaikan kebaikan, berlipat-lipat
kebaikan.
Kalimat kamatsali habbat[in] dalam persepektif
ilmu balaghah, merupakan bentuk tasybîh mu’akkad (penyerupaan yang
dikuatkan)[1],
yang sudah seharusnya semakin mendorong orang-orang beriman mengamalkan
kandungan ayat yang agung ini. Bentuk tasybih (perumpamaan) seperti ini,
memudahkan akal manusia memahami pesan agung dari Allah Swt, dari sesuatu yang
bersifat maknawi diajak menerawang kepada bentuk inderawi, sehingga tergambar
dalam benak pikiran manusia, memahamkan dan menguatkan rasa.
Luar biasanya, Allah SWT pun dalam ayat-ayat-Nya yang
agung menyebutkan infak di jalan Allah sebagai bagian dari perniagaan (tijarah)
yang menguntungkan, perniagaan yang tak pernah merugi. Istilah tijarah (perniagaan)
yang digunakan untuk menggambarkan interaksi dengan Allah dalam persepektif
ilmu balaghah merupakan bentuk kiasan (majazi), yakni bentuk isti’arah
(peminjaman istilah), untuk menggambarkan upaya manusia 'menukar' amal
shalihnya dengan ganjaran yang sangat menguntungkan dari Allah, diksi ini menggambarkan
istilah yang umumnya dicintai manusia; perniagaan dan meraih keuntungan, sesuai
dengan kondisi manusia, dimana hal ini menggambarkan esensi perkataan agung
yang kuat unsur balaghahnya (kalâm[an] balîgh[an]):
لكل مقام مقال
Untuk setiap keadaan itu ada tutur
kata yang sesuai untuknya.
Yakni sesuai untuk keadaan orang yang diajak bicara (munasabat
li iqtidha’ ahwal al-mukhathabin). Diksi menarik kata tijarah ini
Allah ungkapkan dalam ayat-ayat berikut ini:
Pertama, Tijarah yang Tidak Pernah Merugi:
Allah 'Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا
الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ
تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ
{٢٩}
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca
kitab Allah, dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian dari rizki yang
Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu
mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi.” (QS. Fâthir [29]: 35)
Dalam ayat yang agung ini, Allah memilih diksi kata tijârah (perniagaan),
ia merupakan bentuk isti’ârah. Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili (w. 1436 H)
dalam kitab tafsirnya, Al-Munîr, menjelaskan:
يَرْجُونَ تِجارَةً لَنْ تَبُورَ استعارة،
استعار التجارة للمعاملة مع الله لنيل ثوابه، وشبهها بالتجارة الدنيوية، وأيدها
بقوله: لَنْ تَبُورَ
Kalimat (يَرْجُونَ تِجارَةً لَنْ تَبُورَ)
merupakan bentuk isti’ârah, yakni meminjam istilah al-tijârah (perniagaan)
untuk menggambarkan bentuk mu’amalah (interaksi) dengan Allah untuk meraih
pahala dari-Nya, Allah menyerupakan mu’amalah ini dengan istilah al-tijârah
al-dunyawiyyah (perniagaan duniawi), dan menguatkannya dengan kalimat
firman-Nya: lan tabûr[a] (لَنْ تَبُورَ).[2]
Kalimat lan tabûr[a] (لَنْ تَبُورَ), menurut
Prof. Wahbah al-Zuhaili pun merupakan sifat (karakter) dari kata tijârah yang
disebutkan dalam ayat ini (يَرْجُونَ
تِجارَةً خبر إن. ولَنْ تَبُورَ صفة للتجارة), yakni
perniagaan yang tidak akan pernah merugi. Hal ini
sesuai dengan kaidah arabiyyah:
الجمل بعد النكرات صفات
“Kalimat-kalimat setelah kata-kata benda nakirah itu
sifat-sifatnya.”
Kalimat {تِجَارَةً
لَنْ تَبُورَ} diungkapkan dengan
menyertakan huruf lan yang menunjukkan penafian untuk selama-lamanya (li
al-ta’bîd), yang kuat maknanya, lebih kuat (aukad) daripada huruf lâm
nafi pada umumnya[3], untuk menekankan betapa besarnya pahala dari berinfak
di jalan Allah, sehingga diganjar sebagai perniagaan yang tidak akan pernah
merugi, dimana janji Allah adalah benar (lihat: QS. Yûnus [10]: 55).
Kedua, Tijarah yang Menyelamatkan
Dari Siksa Jahannam
Keutamaan berinfak di jalan Allah pun, Allah gambarkan
sebagai perniagaan yang menyelamatkan dari siksa yang sangat pedih di akhirat
kelak dalam firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَىٰ
تِجَارَةٍ تُنْجِيكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ {١٠} تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي
سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ ۚ
ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ {١١}
“Hai
orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang
dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? (Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan
berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu,
jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Shaff [61]: 10)
Dalam ayat yang agung ini, Allah SWT mengumpamakan mereka
yang berkorban di jalan Allah dengan harta dan jiwanya, sebagai perniagaan yang
menyelamatkan dari azab yang amat pedih {تِجَارَةٍ تُنْجِيكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ}. Harta benda dunia akan
binasa sebagaimana kehidupan dunia yang fana, sedangkan akhirat adalah
kehidupan hakiki selama-lamanya, maka berbekal dengan berinfak di jalan Allah
termasuk pengorbanan di jalan Allah yang sudah seharusnya ditunaikan oleh para
da’i, sebagai bagian dari mensyukuri nikmat-Nya, meneladani Rasul-Nya, dan
kelak disemai di akhirat yang abadi nan hakiki, dari Anas bin Malik
r.a., bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
«لاَ عَيْشَ إِلاَّ عَيْش الآخِرَةِ»
“Tiada kehidupan kecuali kehidupan akhirat.” (HR. Al-Bukhari, Muslim dan Ahmad)
Dalam ayat yang mulia ini, Allah SWT menyeru orang-orang beriman, seruan
mulia dari Rabb Yang Maha Mulia, seruan
mengandung pelajaran yang diungkapkan dalam bentuk pertanyaan untuk menarik
perhatian dan dorongan untuk berpikir, Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili (w. 1436 H)
menjelaskan bahwa bentuk pertanyaan ini dalam ilmu balaghah merupakan bentuk istifhâm
li al-targhîb wa al-tasywîq {استفهام
للترغيب والتشويق} mengandung targhîb
(dorongan motivasi), dan tasywîq (penarik perhatian).
Dalam ilmu balaghah, faidah dari al-tasywiq
ini adalah mengarahkan pihak yang diseru untuk tertarik pada suatu hal (وإنما يريد أن يوجه المخاطب ويشوقه إلى أمر من الأمور).[4]
Dalam buku Al-Balâghah
untuk Universitas Islam Madinah diuraikan dengan menukil ayat di atas salah
satu contohnya, bahwa ayat ini termasuk ayat-ayat mulia yang mengandung
dorongan bagi pihak yang diseru dan tertarik untuk mengetahui jawaban dari
pertanyaan tersebut, sehingga ia berpikir, tersibukkan dengannya, menantikannya
dengan berbagai pendekatan dan penela’ahan, lalu tiba jawaban tersebut
menimbulkan penerimaan yang baik dalam diri pihak yang diseru.[5] Di sisi
lain, faidah dari bentuk pertanyaan ini adalah pengagungan terhadap persoalan (al-ta’zhim).[6]
Luar biasanya, jawabannya pun Allah jelaskan kemudian pada ayat selanjutnya:
تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي
سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ {١١}
“(yaitu)
kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta
dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Shaff [61]: 11)
Dalam ilmu balaghah, bentuk pertanyaan lalu jawaban ini
termasuk bentuk penambahan kalimat yang memiliki faidah tertentu (al-ithnâb),
bentuk al-îdhâh ba’da al-ibhâm, yakni kejelasan setelah
sebelumnya samar, sebagai metode pengajaran luar biasa yang menuntun hamba-Nya
untuk memperhatikan dan berpikir.[7] Kalimat tunjîkum min ’adzab[in] ’alîm[in], merupakan
sifat dari kata tijârah yang dimaksud dalam ayat, sesuai kaidah bahasa
arab yang telah dinukil pada bagian pertama.
Kata ’alîm adalah sifat dari adzab tersebut,
ia merupakan bentuk mubâlaghah (superlatif/penyengatan) untuk menunjukkan
adzab yang sangat pedih, mengandung penguatan atas kecaman yang luar biasa
berat, Allâh al-Musta’ân. Dimana perniagaan yang menyelamatkan dari
adzab yang sangat pedih ini, bisa diraih dengan dua hal (QS. Al-Shaff [61]:
11):
Pertama, Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya
Kedua, Berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan jiwanya.
Luar biasanya, pada akhir ayat Allah Azza wa Jalla memuji
perniagaan tersebut sebagai pilihan yang lebih baik bagi mereka yang mengetahui
(ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ
لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ), berniaga
dengan Allah ’Azza wa Jalla dengan iman dan amal shalih, termasuk pula
aktivitas dakwah, menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar,
yang dilakukan semata-mata mengharapkan keridhaan-Nya, meniti jalan Rasul-Nya ﷺ.
Menariknya, dalam ayat yang agung ini, berinfak di jalan
Allah disandingkan dengan landasan akidah: keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya
(QS. Al-Shaff [61]: 11), serta
syari’at; membaca al-Qur’an dan menegakkan shalat (QS. Fâthir [29]: 35), dimana seluruhnya
dihubungkan dengan huruf waw al-‘athf yang berfungsi menunjukkan adanya
kesatuan (li muthlaq al-jam’i). Diperjelas firman-Nya yang menjadikan
berinfak di jalan Allah bagian dari karakteristik orang yang bertakwa:
ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ
فِيهِ ۛ
هُدًى لِلْمُتَّقِينَ {٢} الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ
وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ {٣}
“Kitab
(Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa,
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan
menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (QS. Al-Baqarah [2]: 2-3)
Sebaliknya,
keengganan berkorban di jalan dakwah oleh sebab cinta dunia dan takut mati (wahn)
merupakan salah satu sebab kelemahan kaum Muslim:
عَنْ ثَوْبَانَ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- «يُوشِكُ الأُمَمُ أَنْ
تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا». فَقَالَ
قَائِلٌ وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ قَالَ «بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ
كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزِعَنَّ اللَّهُ مِنْ
صُدُورِ عَدُوِّكُمُ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِى
قُلُوبِكُمُ الْوَهَنَ». فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْوَهَنُ
قَالَ «حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ»
“Dari Tsauban r.a, ia berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Hampir saja para umat (yang kafir dan
sesat, pen) mengerumuni kalian dari berbagai penjuru, sebagaimana mereka
berkumpul menghadap makanan dalam piring”. Kemudian seseorang bertanya, ”Katakanlah
wahai Rasulullah, apakah kami pada saat itu sedikit?” Rasulullah berkata, ”Bahkan
kalian pada saat itu banyak. Akan tetapi kalian bagaikan buih seperti buih
dalam gelombang lautan. Dan sungguh Allah akan menghilangkan rasa takut pada
hati musuh kalian dan Dia sungguh akan menimpakan dalam hati kalian ’Wahn’.”
Kemudian seseorang bertanya,”Apa itu ’wahn’?” Rasulullah ﷺ bersabda, ”Cinta dunia dan
takut mati.” (HR. Abu Dawud, Abu Nu’aim)[8]
Wahn inilah yang diisyaratkan oleh al-’Allamah Taqiyuddin al-Nabhani (w. 1397 H) sebagai penghadang laju dakwah untuk kebangkitan umat dalam ungkapannya: “Kesulitan lain yang menghadang laju dakwah adalah
sulitnya mengorbankan kehidupan dunia –berupa harta, perdagangan, dan
sejenisnya- di jalan Islam dan dakwah Islam.”[9] Tentu kita berlindung kepada Allah darinya, wal
’iyâdzu biLlâh.
وفقنا الله وإياكم فيما يرضاه ربنا يحبه
والله أعلم بالصواب
[1] Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili dalam tafsirnya (III/41) menyebutnya tasybîh
mursal dengan adanya huruf kâf (adat al-tasybîh/perangkat
penyerupaan) namun tidak disebutkan apa yang menjadi irisan kesamaannya
(wajh al-syabah).
[2] Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, Al-Tafsîr
al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj, Damaskus: Dâr al-Fikr al-Mu’âshir,
cet. II, 1418 H, juz ke-22, hlm. 258.
[3] Al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi, Kitâb Al-’Ain, Dâr al-Hilâl, t.t.,
juz VIII, hlm. 350.
[4] Abdul Aziz Atiq, ‘Ilm
al-Ma’ani, Beirut: Dar al-Nahdhah al-Arabiyyah, cet. I, 1430 H, hlm. 106.
[5] Tim Pakar Universitas
Islam Madinah, Al-Balaghah II: Al-Ma’ani, Madinah: Universitas Islam Madinah,
t.t., hlm. 391.
[6] Ibid.
ففي الإبهام إثارة
للمخاطب وتحريك لفكره، فيتطلع إلى إيضاح ما أبهم، وعندئذ يأتي الإيضاح، فيتقرر
المعنى في ذهن المخاطب ويقع موقعه، وفي هذا تفخيم وتهويل للعذاب الذي حل بهم؛ لأنه
ذُكر مرتين؛ مرة على طريق الإجمال والإبهام ومرة على طريق التفصيل والإيضاح،
والشيء إذا ذُكر مرتين كان آكد في النفس وأشد تعلقًا والتصاقًا بالنفس
[8] HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (no. 4299); HR. Abu Nu’aim dalam Hilyat
al-Auliyâ’ wa Thabaqât al-Ashfiyâ’.
Comments
Post a Comment