Irfan Abu Naveed, M.Pd.I
(Peneliti Kajian Balaghah al-Qur'an dan Hadits Nabawi)
Dari
Jabir bin Abdillah r.a., ia berkata: Aku telah mendengar Rasulullah Saw bersabda:
«إِنَّ عَرْشَ إِبْلِيسَ عَلَى الْبَحْرِ، فَيَبْعَثُ سَرَايَاهُ
فَيَفْتِنُونَ النَّاسَ، فَأَعْظَمُهُمْ عِنْدَهُ أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً»
”Sesungguhnya singgasana Iblis berada di lautan,
ia mengutus bala tentaranya untuk menimbulkan fitnah kepada manusia, yang
paling tinggi kedudukannya di antara mereka bagi Iblis adalah yang paling besar
fitnahnya.” (HR.
Muslim, Ahmad. Lafal Imam Muslim)
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya
pada bab ’Arsy Iblis wa Ba’ts Saraayaahu (Singgasana Iblis &
Pengutusan Bala Tentaranya), dan Imam Ahmad dalam Musnad-nya (hadits no.
15119) dengan sanad kuat sesuai syarat Imam Muslim.
A.
Iblis & Eksistensi Bala Tentaranya
Hadits ini mengandung informasi penting berkaitan dengan
musuh abadi Allah dan Rasul-Nya, yakni Iblis dan bala tentaranya syaithan. Dimana
hadits ini menggambarkan keberadaan Iblis dan bala tentara yang siap sedia
menebar fitnah ke tengah-tengah umat manusia, menegaskan adanya
permusuhan mereka, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya yang agung:
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَا
لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَىٰ
بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا
{١١٢}
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi
tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaithan-syaithan (dari jenis) manusia dan (dan
jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain
perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).” (QS. Al-An’âm [6]:
112)
Dimana dalam ayat
yang agung ini, Allah menegaskan keberadaan musuh para nabi, syaithan dari
golongan jin dan manusia. Jika para ulama adalah pewaris para nabi, maka musuh
para nabi adalah musuh para pewarisnya, para ulama, serta musuh umat yang
meniti jalan mereka. Permusuhan tersebut, didukung informasi-informasi dalam
al-Qur’an dan al-Sunnah, di antaranya: QS. Al-Baqarah [2]: 168 & 208, QS.
Al-An’âm [6]: 142, QS. Al-Kahfi [18]: 50, QS. Fâthir [35]: 6, QS. Yâsîn [36]:
60, QS. Al-Zukhruf [43]: 62.
Perlu dipahami bahwa Iblis adalah golongan jin yang durhaka kepada
Allah Swt (lihat: QS. Al-Kahfi [18]: 50), berasal dari kata ablasa yang
artinya berputus asa dari kebaikan (rahmat Allâh), sebagaimana ditegaskan al-Khalil bin Ahmad dalam Al-’Ain (hlm.
262), yang berkedudukan sebagai ra’s al-syayâthîn yakni pemimpin para syaithân (lihat: Al-Mu’jam Al-Wasîth (hlm. 12)) Kepemimpinan
jahat ini diperjelas frasa sarayahu (bala tentaranya) dalam teks hadits.
Lafal saraya yang merupakan kata benda jamak
(plural) dari kata sariyyah yang berkonotasi tentara/pasukan, yang
diperjelas dalam nas-nas al-Qur’an dan al-Sunnah lainnya dalam hal ini yakni
syaithan golongan jin dan manusia (lihat: QS. Al-An’âm [6]:
112, QS. Al-Nâs [114]: 4-6).
Iblis dan bala tentaranya jelas bergerak menyesatkan umat
dengan cara berjama’ah, setahap demi setahap (khuthuwât), sehingga ia menjadi tantangan tersendiri bagi para pejuang Islam, dan
menjadi salah satu bukti pentingnya soliditas para pejuang Islam, berjama’ah
tolong menolong memperjuangkan kebenaran, mengentaskan kebatilan:
وَقُلْ جَاءَ الْحَقُّ
وَزَهَقَ الْبَاطِلُ ۚ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا {٨١}
“Dan katakanlah: "Yang benar telah
datang dan yang batil telah lenyap." Sesungguhnya yang batil itu adalah
sesuatu yang pasti lenyap.” (QS. Al-Isrâ [17]: 81)
B.
Iblis & Visi Penyesatan yang Wajib Diwaspadai
Hadits
ini, jelas mengandung informasi sekaligus peringatan atas fitnah yang diemban
oleh Iblis dan bala tentaranya. Secara bahasa, kata al-fitnah (jamaknya al-fitan)
bermakna memasukkan sesuatu ke dalam api, sebagaimana diungkapkan oleh Imam
al-Raghib al-Ashfahani (w. 502 H) dalam al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân (I/623):
أصل الفَتْنِ: إدخال الذّهب النار لتظهر جودته من رداءته
“Asal-usul
kata al-fitan: memasukkan emas ke dalam api untuk menampakkan
keindahannya dari bagian yang cacat (rusak).”
Dimana penjelasan ini dinukil oleh para ulama
semisal, Imam Abu al-‘Ala al-Mubarakfuri
(w. 1353 H)
dalam Tuhfat al-Ahwadzi bi Syarh Jâmi’ al-Tirmidzi (VI/310) dan disebutkan
pula oleh Syaikhul Ushul ‘Atha bin Khalil dalam Al-Taysîr fî Ushûl al-Tafsîr
(hlm. 237). Namun
jika ditelusuri lebih jauh, kata “fitnah” (الفتنة) dalam bahasa
arab termasuk suatu lafal yang mengandung lebih dari satu makna (lafzh
musytarak), dalam Mu’jam Lughat al-Fuqâhâ’ dijelaskan bahwa al-musytarak
itu adalah isim maf’ul berasal dari ungkapan isytaraka fil amr
(berserikat dalam suatu hal): yakni menjadi bagian darinya, yakni berserikat di dalamnya lebih dari
satu makna. Lafal musytarak, sebagaimana diungkapkan Prof. Dr. Muhammad
Rawwas Qal’ah Ji (w. 1436 H) yakni:
ما وضع لأكثر من معنى ولا يتعين
المراد منه إلا بقرينه
Lafazh yang mengandung lebih dari satu makna dan
maksudnya tidak bisa ditentukan kecuali berdasarkan suatu petunjuk. (Mu’jam
Lughatil Fuqâhâ’, hlm. 430)
Imam Ibrahim al-Harbi (w. 285 H) pun merinci makna al-fitnah
lengkap berikut contoh-contohnya dalam al-Qur’an dalam kitab Gharîb
al-Hadîts (hlm. 930-939), yakni dengan konotasi-konotasi sebagai berikut:
Pertama, Bermakna
الشرك (Kesyirikan),
misalnya dalam QS. Al-Baqarah [2]: 193 (وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى
لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ).
Kedua, Bermakna
الضلالة (Kesesatan). misalnya dalam QS. Âli Imrân [3]: 7: (ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ).
Ketiga, Bermakna
النفاق (Kemunafikan), misalnya dalam QS. Al-Hadîd [57]: 14: (فَتَنْتُمْ أَنْفُسَكُمْ).
Keempat, Bermakna
البلاء (Ujian), misalnya dalam QS. Al-’Ankabût [29]: 2: (وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ).
Kelima, Bermakna
عذاب الناس (Siksaan Manusia), misalnya dalam QS. Al-’Ankabût [29]:
10: (جَعَلَ فِتْنَةَ النَّاسِ).
Keenam, Bermakna
الحرق بالنار (Siksaan
dengan Api), misalnya dalam QS. Al-Burûj [85]: 10; {إِنَّ الَّذِينَ فَتَنُوا
الْمُؤْمِنِينَ},
Ketujuh, Bermakna
الصَّدُّ، وَالِاسْتِنْزَالُ (Menghalang-halangi), misalnya dalam QS. Al-Isrâ’ [17]: 73: {إِنْ كَادُوا
لَيَفْتِنُونَكَ.
Kedelapan, Bermakna الْفِتْنَةُ الضَّلَالَةُ (Fitnah Kesesatan), misalnya dalam QS.
Al-Shaffât [37]: 162; {مَا أَنْتُمْ عَلَيْهِ بِفَاتِنِينَ}.
Kesembilan, Bermakna الْمَعْذِرَةُ (Argumentasi), misalnya dalam QS. Al-An’âm
[6]: 23; {ثُمَّ لَمْ تَكُنْ فِتْنَتُهُمْ}.
Kesepuluh, Bermakna الِافْتِتَانُ، وَالْإِعْجَابُ (Berbangga), misalnya dalam QS. Yûnus
[10]: 85; {لَا تَجْعَلْنَا فِتْنَةً لِلْقَوْمِ الظَّالِمِينَ}.
Kesebelas, Bermakna الْقَتْلُ (Pembunuhan), misalnya dalam QS. Al-Nisâ’
[3]: 101; {إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا}.
Adapun makna kata al-fitnah dalam hadits ini lebih
tepat dimaknai sebagai al-dhalalah (kesesatan), berdasarkan banyak
indikasi, ia menegaskan apa yang menjadi bagian dari visi misi Iblis yang
berjanji menghiasi keburukan dengan wajah kebaikan dan menyesatkan manusia dari
jalan kebenaran, sebagaimana diinformasikan dalam ayat:
قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي
لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ {٣٩}
“Iblis
berkata: "Ya Rabb-ku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat,
pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma'siat) di muka
bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya.”
(QS. Al-Hijr [15]: 39)
Allah
menginformasikan dalam ayat ini, bahwa Iblis mengungkapkan berbagai pernyataan
visi misi jahatnya dengan kata-kata yang diperkuat, yakni diawali dengan qasam
(sumpah), lâm dan nûn al-tawkîd al-tsaqîlah, dalam
kata lauzayyinanna dan laughwiyanna. Fungsi penegasan-penegasan
ini memberi arti sangat serius dan menuntut keseriusan, dalam ilmu balaghah dua
bentuk penegasan ini menafikan adanya keraguan dan pengingkaran atas kebenaran
informasi di dalamnya (ia
dinamakan al-khabar al-inkâri sebagaimana diuraikan dalam banyak
buku-buku balaghah, atau
meminjam istilah Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, yakni al-ta’kîd al-inkâri.
Frase
lauzayyinanna yang diawali dengan dua penegasan-penegasan tersebut, bermakna
menampakkan keburukan dengan wajah kebaikan, karena kata kerja (زَيَّنَ),
sebagaimana dijelaskan oleh Imam al-Raghib al-Ashfahani (w. 502 H) dalam bermakna
jika menampakkan kebaikannya, baik dalam bentuk perbuatan maupun perkataan (Al-Mufradat
fi Gharib al-Qur’an (hlm. 389)), jika keburukan maka kebaikan yang
ditampakkan tersebut merupakan kedustaan yang bisa mengelabui mereka yang
lalai. Dan ketika kedustaan tersebut diyakini, maka jadilah ia khurafat yang
berbahaya yang bisa menjerumuskan seseorang kepada kekufuran, kesyirikan,
padahal tidak ada kezhaliman yang lebih besar daripada kesyirikan (lihat: QS. Luqmân [31]: 13).
Diperkuat informasi dalam QS. Al-A’râf [7]: 16-17, artinya jelas
merupakan ancaman yang nyata. Al-Hafizh Ibn al-Jawzi (w. 597 H) menegaskan: “Maka
wajib bagi orang yang berakal untuk mawas diri terhadap musuh yang satu ini
(Iblis, syaithan-pen.) yang telah menyatakan permusuhannya semenjak masa Adam
a.s. dan ia bersungguh-sungguh mengerahkan segenap waktunya, jiwanya untuk
merusak Bani Adam dan Allah telah memperingatkan kita darinya.” (Talbîs
Iblîs (hlm. 203-204))
Maka jelas bahwa
sepak terjang musuh-musuh Islam ini, Iblis dan sekutunya –syaithan golongan jin
dan manusia-, merupakan perkara yang wajib diwaspadai dan dihadapi dengan
menegakkan dakwah, sebagaimana
dikatakan sya’ir yang dinukil Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H) dalam Ihyâ’
’Ulûm al-Dîn (I/77):
عرفتُ الشرّ
لا للشرّ * لكن لتوقيه
ومن لا يعرف
الشرّ * من الناس
يقع فيه
“Aku mengetahui
keburukan bukan untuk keburukan # Melainkan untuk menghindarkan diri darinya.”
“Dan barangsiapa
tidak mengetahui keburukan # Di antara manusia maka akan terjerumus ke
dalamnya.”
Video terkait kultum tafsir dan balaghah:
No comments :
Post a comment