Oleh:
Irfan Abu Naveed, M.Pd.I
[Penulis
Kajian Tafsir & Balaghah "Menggugah Nafsiyyah Dakwah
Berjama'ah"]

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ
وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ {١٠٤}
“Dan hendaklah ada di antara kalian golongan
yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang dari
yang mungkar, dan mereka adalah orang-orang yang beruntung.” (QS.
Âli Imrân [3]: 104)
فجاءت الآية بهذا الأمر على هذا
الأسلوب البليغ الموجز
“Ayat ini turun dengan kandungan
perintahnya, menggunakan uslub yang mendalam dan singkat padat.”[1]
Para
ulama menjelaskan bahwa ayat yang agung ini, menjadi dalil wajibnya mengadakan
kelompok dakwah terorganisir (jamâ’ah dâ’iyyah mutakattilah), dengan
perincian sebagai berikut:
A.
Wajh al-Istidlal Ayat:
Perintah Mengadakan Kelompok Dakwah
Al-’Allamah
Abdul Qadim Zallum menjelaskan bahwa inti pendalilan (wajh al-istidlâl) ayat
ini, menunjukkan perintah mengadakan kelompok dakwah, tak hanya menyoal dakwah
dan amar ma’ruf nahi mungkar, dimana dakwah dalam ayat ini berkedudukan sebagai
penjelasan dari aktivitas kelompok yang dituntut dalam ayat. Jadi tak bisa
diklaim yang wajib ”amar ma’ruf nahi mungkarnya, bukan mendirikan
organisasinya”, padahal ayat ini menunjukkan kefardhuan mengadakan kelompok
dakwah.
Perintah mengadakan kelompok dakwah dalam ayat yang agung
ini, ditandai dengan adanya frasa (ولتَكُنْ), dalam tinjauan ilmu
bahasa arab termasuk kalimat perintah (shiyag al-amr)[2],
karena huruf lâm pada permulaan frasa tersebut, adalah huruf lâm yang
berfungsi sebagai kata perintah (lâm al-amr), sebagaimana ditegaskan
oleh Abu Ja’far al-Nahhas al-Nahwi (w. 338 H)[3]
dan Imam al-Tsa’labi (w. 427 H)[4],
serta para ulama lainnya.[5] Diperjelas ulasan ilmu ushul fikih
berkaitan dengan bentuk perintah (shiyagh al-amr). Para ulama pakar
ushul fikih, di antaranya Prof. Dr. ‘Iyadh bin Sami al-Salmi dan Syaikhul Ushul
‘Atha bin Khalil Abu al-Rasytah[6]
menjelaskan bahwa di antara bentuk perintah adalah:
الفعل المضارع المقترن
بلام الأمر (ليفعل)
Frasa waltakun
dalam QS.
Âli Imrân [3]: 104, jelas termasuk di antaranya,
sehingga menunjukkan bahwa ayat ini mengandung perintah. Lalu apakah tuntutan
perintah tersebut fardhu atau sunnah? Hal itu terjawab dengan menelusuri
keberadaan petunjuk-petunjuk lain (qarâ’in) yang berfaidah menentukan
status tuntutannya, fardhu atau sunnah. Seorang
ulama ushul, Fadhilatusy Syaikh ‘Atha bin Khalil, ketika menjelaskan
berbagai petunjuk (qarâ’in) yang menunjukkan tuntutan pasti (qarînah
jâzimah) suatu kefardhuan, menjelaskan diantara bentuknya:
مَا كَانَ فِيْهَا بَيَانُ
لِأَمْرِ حُكْمِهِ الوُجُوْبَ أَو مَوْضُوْعه فَرْض أَوْ مَدْلُوله حِرَاسَة
لِلإِسْلاَمِ
“Jika didalamnya
terkandung penjelasan atas suatu perintah bahwa hukumnya wajib, topiknya fardhu
atau konteksnya menunjukkan penjagaan terhadap Islam.”[8]
Ia pun menjadikan QS. Âli Imrân [3]: 104 sebagai salah satu
contohnya, yakni dengan adanya frasa (وأولئك هم المفلحون) “dan mereka sebenar-benarnya golongan
yang beruntung”, yang merupakan qarinah pujian kuat dari sudut
pandang ilmu balaghah. Hal senada dipaparkan oleh para ulama lainnya.[9]
Para ulama pun jika kita perdalam,
satu suara atas kefardhuan dakwah ketika menafsirkan ayat ini, mereka hanya
merinci pembahasan, apakah ayat ini menegaskan kefardhuan bagi sebagian kaum
Muslim (fardhu ’alâ al-kifâyah),
yakni dengan membangun kelompok dakwah,
atau fardhu bagi setiap individu muslim (fardhu ‘ain), yakni dorongan untuk
menjadi umat (satu golongan) yang berdakwah,
keragaman pandangan ini berpijak pada perbedaan memahami kedudukan kata min dalam
ayat.
B. Kewajiban Mengadakan
Kelompok Dakwah Terorganisir (Jamâ’ah Dâ’iyyah Mutakattilah)
1. Makna Kata Ummah
Pada
dasarnya, kata (أُمَّةٌ) dalam bahasa
arab termasuk satu kata yang berserikat di dalamnya lebih dari satu makna (lafzh
musytarak), disebutkan Abdul Halim Qunabis dalam Mu’jam al-Alfâzh al-Musytarakah
fî al-Lughah al-‘Arabiyyah (hlm. 18), Dr. Mutawalli al-Sya’rawi dalam tafsirnya
(III/1663) pun menuturkan: “Kata (ummah) bermakna jama’ah, millah atau din,
jangka waktu tertentu, atau seseorang yang terkumpul padanya sifat-sifat
kebaikan.” Hal senada dirinci Ibn Haim dalam Al-Tibyân fî Tafsîr Gharîb
al-Qur’ân (hlm. 93, 96, 188), Al-Alusi dalam Rûh al-Ma’âni (II/237)
dan Syaikh ‘Atha bin Khalil dalam Al-Taysîr.
Adapun kata umat dalam QS. Âli Imrân [3]: 104, para
ulama menegaskan bahwa ia bermakna jama’ah (kelompok), sebagaimana
penjelasan al-Hafizh al-Thabari (w. 310 H), Ibn Mundzir (w. 318 H), Al-Anbari
(w. 328 H), Abu al-Mundzir al-’Autabi (w. 511 H), Al-Raghib al-Ashfahani (w. 511 H), al-Khathib
al-Syarbini (w. 977 H), Al-Alusi (w. 1270 H), dan ditegaskan Syaikh ‘Atha bin Khalil dalam Al-Taysîr
fî Ushûl al-Tafsîr (hlm. 165-166).
2. Kefardhuan Mengadakan Kelompok Dakwah
Ayat
yang agung ini mengandung perintah agung Allah Swt untuk mengadakan kelompok
dakwah, dengan hukum asal fardhu ’ala al-kifâyah, dimana seruan ini
ditujukan kepada orang-orang beriman yang disifati pada ayat sebelumnya, QS.
Ali Imran [3]: 103; yakni orang-orang beriman yang berusaha berpegang teguh
kepada tali agama Allah, berdasarkan lafal min sebagian (min li
al-tab’îdh) dalam ayat ini, yang menunjukkan konotasi “sebagian dari
kalian”, ditegaskan para ulama di antaranya Ibn ‘Athiyyah, Al-Dhahhak, Abu Bakr
al-Jashshash (w. 370 H), Fakhruddin al-Razi (w. 606 H), Al-Hafizh al-Qurthubi
(w. 671 H), al-Qadhi Taqiyuddin al-Nabhani (w. 1397 H), Syaikh Abdul Qadim
Zallum (w. 1424 H), Syaikh ’Atha bin Khalil, serta para ulama lainnya.
Menariknya,
dalam persepektif ilmu balaghah, kata ummat[un] dalam
ayat ini berkonotasi ummat[un] dâ’iyyat[un] (jama’ah yang berdakwah), ditegaskan Imam Abu al-Su’ud (w. 982
H) dalam Irsyâd al-‘Aql al-Salîm (II/67) dan Fakhruddin al-Razi (w. 606
H) dalam Mafâtîh al-Ghaib (VIII/314), sebagai
bentuk al-îjâz bi al-hadzf (bentuk peringkasan kalimat), yang berfaidah menguatkan makna yang
dikehendaki daripada penyebutannya secara lengkap, dengan petunjuk adanya karakter aktivitas kelompok yang dirinci
dalam ayat.
Konsekuensinya,
mereka menafsirkan ayat ini bermakna waltakun minkum thâ’ifat[un] (ولتكم منكم طائفة) yakni “harus
ada di antara kalian kelompok”, yakni perintah untuk mengadakan kelompok
dakwah. Hal ini memperjelas kesimpulan bahwa berdirinya kelompok dakwah, adalah
hal yang disyari’atkan dalam Islam (masyrû’), diperintahkan oleh Allah Rabb
al-’Âlamîn, dicontohkan oleh sebaik-baiknya generasi umat ini, Rasulullah ﷺ dan para
sahabatnya. Al-Hafizh Ibn
Jarir al-Thabari (w. 310 H) menjelaskan dalam Jâmi’ al-Bayân (VII/90-91):
“Kalimat (وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ)
wahai orang-orang beriman, (أُمَّةٌ) yakni jama’ah yang menyeru manusia (إِلَى الْخَيْرِ)
yakni kepada al-Islam dan aturan-aturan syari’at yang telah disyari’atkan Allah
pada hamba-hamba-Nya. Makna (ويأمرون
بالمعروف)
yakni memerintahkan manusia untuk mengikuti Muhammad ﷺ dan agamanya
yang datang dari Allah. (وينهون عن
المنكر)
yakni melarang mereka mengkufuri Allah dan mendustakan Muhammad dan apa yang
datang darinya (risalahnya) dari Allah.”
C.
Karakteristik Kelompok Dakwah yang Ditunjukkan Al-Qur’an
& Al-Sunnah
Kelompok dakwah yang dituntut ayat ini bukan
sembarang kelompok, melainkan kelompok dakwah terorganisir dengan karakteristik
yang diperjelas banyak petunjuk:
1.
Diikat Oleh Ikatan Akidah Islam
Kelompok dakwah bisa dikatakan berkelompok ketika
ia diikat oleh suatu ikatan sehingga menyatukan anggotanya. Al-Raghib al-Ashfahani (w. 502 H) dalam
Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân (I/86) menjelaskan: “Ummat[un]:
setiap golongan yang disatukan oleh suatu hal apakah dîn, waktu atau tempat
yang sama.” Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili (w. 1436 H) pun menjelaskan:
جماعة تربطهم رابطة معينة تجمعهم
“Kelompok yang terikat suatu ikatan yang menyatukan
mereka.”
Dan
ketika Islam menjadi identitas dari kelompok dakwah, maka tiada ikatan yang
paling shahih kecuali ikatan akidah Islam. Syaikh Abdul Qadim Zallum (w. 1424
H) dalam Afkâr Siyâsiyyah, hlm. 56 menjelaskan bahwa para kader kelompok dakwah
wajib diikat oleh suatu ikatan, sehingga mampu bersinergi bagaikan satu tubuh.
Tanpa adanya ikatan tersebut, takkan terwujud suatu kelompok yang solid, dan
mampu menjalankan fungsinya sebagai kelompok dakwah. Yakni ikatan akidah Islam yang kokoh nan mengakar dalam
dada-dada setiap orang beriman, sebagaimana petunjuk pada ayat:
وَاعْتَصِمُوا
بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا {١٠٣}
“Dan berpegangteguhlah kamu semuanya kepada tali (agama)
Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (QS. Âli Imrân [4]: 103)
Bahwa salah satu bentuk sikap berpegang teguh terhadap
tali agama Allah, yakni dengan mendakwahkan Islam, menyuruh kepada yang ma’ruf
dan melarang dari yang mungkar (lihat: Wahbah al-Zuhaili, Al-Tafsîr al-Munîr
(IV/35))
2.
Terbina dengan Islam
Kelompok dakwah ini pun merupakan
kelompok yang diistimewakan dengan ilmu dan amal, sehingga sebagian ulama menyifatinya sebagai jama’ah
yang berilmu, hal ini meniscayakan adanya proses pembinaan bagi para
kader dakwah secara mapan dan sistematis. Ibn Faris (w. 395 H) pun menjelaskan
maknanya adalah kelompok ahli ilmu.[10] Imam al-Raghib
al-Ashfahani mengungkapkan: “Dan firman-Nya (Dan hendaklah ada di antara
kalian ummat yang menyeru kepada al-khair) -kata ummat dalam ayat ini- yakni
sebuah jama’ah yang memiliki keutamaan ilmu dan amal shalih, dan mereka menjadi
teladan bagi orang lainnya.”[11]
Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili pun dalam
tafsirnya (IV/33) menguraikan: Allah SWT memerintahkan
umat Islam, agar ada di antara umat ini kelompok khusus (jamâ’ah
mutakhashshishah) yang menegakkan dakwah kepada al-khair, menyuruh kepada yang
ma’ruf, dan melarang dari yang mungkar. Mereka adalah golongan yang beruntung di
dunia dan akhirat.
3. Keistimewaan
Aktivitas Kolektif (’Amal Jama’i) Kelompok Dakwah
Aktivitas kelompok dakwah yang dituntut dalam ayat
ini pun jelas aktivitas kolektif. Al-Akhfasy al-Awsath (w. 210 H) dalam Ma’ânî
al-Qur’ân (I/228) menuturkan bahwa kata ummat dalam ayat ini; lafal
tunggal yang berkonotasi jamak, oleh karena itu Allah berfirman (يدعون
إلى الخير) “mereka
yang menyeru kepada al-khair”. Dimana subjek dari kata yad’ûna adalah
“mereka” (hum) menunjukkan subjek jamak, berjumlah lebih dari dua. Hal
tersebut mengisyaratkan bahwa aktivitas kelompok dakwah tersebut merupakan ‘amal
jamâ’i (kerja kolektif), berkesinambungan dan bergerak mendakwah penerapan
syari’at Islam dalam kehidupan (dakwah politik), melanjutkan kembali kehidupan
Islam dengan menyerukan penegakkan al-Khilafah ’ala minhaj al-nubuwwah sebagai
metode syar’i menegakkan Islam.
Syaikh
Abdul Qadim Zallum menjelaskan kelompok yang dimaksud
memiliki sifat-sifat sebagai suatu kelompok dengan aktivitas utama, yakni menyeru
kepada Islam, serta menyuruh berbuat baik dan mencegah perbuatan yang mungkar,
yakni dakwah kepada penegakkan Islam dalam kehidupan, Al-Hafizh al-Thabari menegaskan
(VII/91):
يعني
إلى الإسلام وشرائعه التي شرعها الله لعباده
“Yakni kepada al-Islam
dan aturan-aturan syari’at-Nya yang Allah syari’atkan bagi hamba-hamba-Nya.”
Hal
itu dipahami berdasarkan pemahaman bahwa kata (أمة) berbentuk nakirah,
maka kalimat setelahnya yakni
kalimat (يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ) merupakan sifat dari
kata (أمة) tersebut[12], sesuai kaidah:
الجُمَلُ
بَعْدَ النَّكِرَاتِ صِفَاتٌ
“Kalimat-kalimat setelah
kata-kata benda nakirah itu sifat-sifatnya.”[13]
Ditambah
dengan karakter pada kalimat-kalimat setelahnya (وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ) yang menjadi
lanjutan bersambung (ma’thûf) dari kalimat (يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ). Antara kalimat-kalimat yang menjadi sifat
dari ummat[un] dalam ayat ini pun, disatukan waw al-‘athf yang
berfungsi menunjukkan konsep penyatuan (li muthlaq al-jam’i), tidak
terpisah satu sama lain, menjadi karakter yang menyatu bagi jama’ah dakwah.
Maka
sifat aktivitas dari kelompok dakwah ini yakni: (1). Jama’ah atau kelompok dari orang-orang yang
beriman, berpegang teguh kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, (2) Menyeru kepada penegakkan
Islam, (3) Menyuruh kepada yang ma’ruf, (4) Melarang dari yang mungkar.
Seluruhnya diungkapkan dalam bentuk kata kerja al-mudhâri’ (kata kerja
sekarang atau yang akan datang), yang berfaidah al-istimrâr (berkesinambungan)
(lihat: Ahmad Syauqi Dhaif, Al-Madâris al-Nahwiyyah, hlm. 197),
menunjukkan harus senantiasa ada dari masa ke masa, dari generasi ke generasi
yang aktif berdakwah.
4. Dipimpin Oleh Pemimpin Dakwah
Setiap
kelompok akan tertata ketika diatur oleh seorang pemimpin yang wajib dita’ati
dalam kebenaran, sehingga semakin solid terikat pada ikatan Islam, terbina
dengan Islam dan terarah di bawah komando pemimpin, hal ini pun ditunjukkan
secara praktis oleh Rasulullah ﷺ yang berkedudukan sebagai pemimpin kutlah dakwah di masa hidupnya.
Sejalan dengan mafhum dari dalil hadits yang mewajibkan setiap kelompok,
yang terdiri dari tiga orang atau lebih untuk mengangkat salah seorang amir
(pemimpin). Rasulullah ﷺ bersabda:
«وَلاَ يَحِلُّ
لِثَلاَثَةِ نَفَرٍ يَكُونُونَ بِأَرْضِ فَلاَةٍ إِلاَّ أَمَّرُوا عَلَيْهِمْ
أَحَدَهُمْ»
“Tidak halal bagi tiga orang yang berjalan di muka Bumi, kecuali mengangkat
salah seorang dari mereka sebagai pemimpinnya.” (HR.
Ahmad, al-Thabrani)
Hadits
ini, banyak dinukil para ulama dalam sejumlah topik hukum, misalnya Al-Syaukani
dalam Nail al-Authar (VIII/294) yang menukilnya dalam bab kewajiban
mengangkat hakim dan penguasa, hal itu
karena keumuman makna khabar dan lafal dalam hadits ini, sebagaimana
diisyaratkan Ibn al-Arabi. Hadits ini pun dijadikan Syaikh
Abdul Qadim Zallum, sebagai dalil kewajiban adanya pemimpin dakwah. Kalimat lâ
yahillu, menunjukkan larangan keras (qarînah jâzimah), menunjukkan
keharaman atas ketiadaan amîr (pemimpin). Jika dalam persoalan safar
saja wajib ditunjuk salah seorang pemimpin (amîr al-safar), maka perkara
dakwah yang lebih kompleks persoalannya, lebih utama (awlâ) membutuhkan
adanya kepemimpinan (muwâfaqah). Diperkuat kaidah syar’iyyah:
مَا لاَ
يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
“Apa-apa yang suatu kewajiban tidak sempurna
kecuali dengannya, maka hukumnya pun wajib.”
D.
Motivasi Agung Untuk
Istiqamah Berdakwah Secara Berjama’ah
Menariknya,
ganjaran sebagai golongan yang beruntung (ulâ’ika hum al-muflihûn)
bagi kelompok ini diungkapkan dengan banyak pujian sangat kuat dalam
persepektif kebahasaan. Dimana kata al-muflihûn bermakna orang-orang yang
mengambil transaksi perniagaan yang menguntungkan (Mutawalli al-Sya’rawi dalam
tafsirnya (III/1665)), yakni keberuntungan duniawi dan ukhrawi, menurut Al-Raghib
al-Ashfahani dalam al-Mufradât (hlm. 644): (1) Duniawi: kesuksesan
meraih berbagai kebahagiaan yang menghiasi kehidupan, termasuk kemuliaan. (2) Ukhrawi:
mencakup empat hal: Pertama, Keabadian tanpa dibatasi kefanaan. Kedua,
Kecukupan tanpa dilanda kefakiran. Ketiga, Kemuliaan tanpa diliputi
kehinaan. Keempat, Kecerdasan tanpa dijangkiti kejahilan.
Bahkan
pujian tersebut terungkap dalam persepektif ilmu balaghah, dari mulai
pengagungan di balik kata tunjuk jauh ulâ’ika, penegasan kembali dengan
adanya kata ganti hum (dhamir al-fashl), dan juga
pengkhususan predikat keberuntungan (qashr al-falâh) bagi kelompok
dakwah ini, relevan dengan hadits Rasulullah ﷺ:
«خَيْرُ
النَّاسِ أَقْرَؤُهُمْ وَأَتْقَاهُمْ وَآمَرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَأَنْهَاهُمْ
عَنِ الْمُنْكَرِ وَأَوْصَلُهُمْ لِلرَّحِمِ»
“Sebaik-baik
manusia adalah orang yang paling patuh, paling bertakwa di antara mereka,
menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar serta menyambung
tali silaturahim.” (HR. Ahmad dan al-Thabrani)
E.
Kelompok Dakwah: Menolong DinuLlah & Berniaga dengan
Allah dalam Perniagaan yang Menguntungkan
Aktivitas dakwah merupakan bagian dari aktivitas
menolong DinuLlah, dan merupakan realisasi dari perintah agung Allah dan Rasul-Nya, Allah ’Azza
wa Jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ {٧}
“Wahai orang-orang yang beriman jika kalian menolong (Din) Allâh, maka Dia
akan menolong kalian dan meneguhkan kedudukan kalian.” (QS. Muhammad [47]: 7)
Pesan
agung dalam ayat ini, diawali dengan seruan (khithâb) kepada orang-orang
yang beriman, al-mu’minûn wa al-mu’minât. Allâh SWT menggunakan bentuk ungkapan syarat
dan jawabnya (al-jumlah al-syarthiyyah), dengan perangkat (adat
al-syarth) yakni in (إِنْ): jika kalian menolong Allâh (إن تنصروا
الله),
menunjukkan bahwa turunnya pertolongan Allâh, terikat dengan syarat keimanan
yang dibuktikan dengan menolong Din-Nya. Istimewanya dalam ayat ini Allâh
menisbatkan pertolongan hamba-hamba-Nya kepada-Nya, padahal Allâh
SWT Maha Kuasa atas segala perkara, tidak membutuhkan pertolongan makhluk-Nya.
وَمَنْ
جَاهَدَ فَإِنَّمَا يُجَاهِدُ لِنَفْسِهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَغَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ {٦}
“Dan
barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya
sendiri. Sesungguhnya Allâh benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu)
dari alam semesta.” (QS. Al-’Ankabût [29]: 6)
Menurut
Abu Ja’far al-Nahhas al-Nahwi (w. 338 H) dan al-Qadhi Badruddin Ibn Jama’ah
al-Syafi’i (w. 733 H), bentuk ungkapan tersebut merupakan bentuk kiasan (majâz).[14] Yang
disebutkan Allâh, namun maksudnya adalah dînuLlâh (agama Allâh).
Perinciannya, yakni dengan menghilangkan bentuk idhâfah dari kata Allâh[15]: yakni
menghilangkan kata dîn di depan lafal jalâlah (Allâh), karena
makna sebenarnya adalah menolong Rasul-Nya, Dîn-Nya[16],
syari’at-Nya, dan kelompok pembela Dîn-Nya (hizbuLlâh)[17], dalam
ilmu al-ma’âni diistilahkan al-îjâz bi al-hadzf (bentuk
meringkas perkataan dengan menghilangkan bagian), berfaidah lebih menguatkan makna
yang dikehendaki daripada penyebutannya secara lengkap,[18]
menunjukkan agungnya kedudukan aktivitas menolong DinuLlah.
Imam Ibn Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H) ketika
menguraikan bentuk jihad, menggolongkan dakwah dengan hujjah bagian dari
seutama-utamanya jihad:
”Sesungguhnya Rasulullah ﷺ menuntut ilmu
bagian dari amal perbuatan di jalan Allah, karena dengan ilmu tegak fondasi-fondasi
Islam, sebagaimana Islam pun tegak dengan jihad, maka Din ini tegak dengan ilmu
dan jihad, dan oleh karena itu jihad ada dua macam:
Pertama, Jihad dengan tangan dan tombak (senjata) (al-jihâd bi
al-yadd wa al-sanân), ini yang diikuti oleh banyak orang (yakni pada
umumnya manusia, mencakup orang awam dan ahli ilmu).
Kedua, Jihad dengan hujjah (argumentasi syar'i) dan
penjelasan (al-jihâd bi al-hujjah wa al-bayân), ini merupakan jihad
orang pilihan yang meniti jalan Rasulullah ﷺ, ini adalah
jihadnya para pemimpin umat (al-Imam), dan seutama-utamanya jihad, karena besar
manfaatnya, banyak persiapan bekalnya dan banyak musuhnya.” (Miftâh Dâr
al-Sa'âdah, I/70)
Diperjelas motivasi perniagaan
dengan Allah yang akan menyelamatkan dari siksa jahannam dan takkan pernah
merugi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَىٰ
تِجَارَةٍ تُنْجِيكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ {١٠} تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي
سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ ۚ
ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ {١١}
“Hai
orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang
dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? (Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan
berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu,
jika kamu mengetahui.” (QS.
Al-Shaff [61]: 10)
Dalam ayat yang agung ini, Allah SWT mengumpamakan (tasybîh)
perbuatan mereka yang berkorban di jalan Allah, sebagai perniagaan yang
menyelamatkan dari azab yang amat pedih {تِجَارَةٍ
تُنْجِيكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ}. Harta
benda dunia akan binasa sebagaimana kehidupan dunia yang fana, sedangkan
akhirat adalah kehidupan hakiki selama-lamanya, maka berbekal dengan berjuang di
jalan Allah sudah seharusnya ditunaikan oleh para da’i, yang kelak disemai di
akhirat yang abadi nan hakiki, dari Anas bin Malik r.a., bahwa
Rasulullah ﷺ bersabda:
«لاَ عَيْشَ إِلاَّ عَيْش الآخِرَةِ»
“Tiada kehidupan kecuali kehidupan akhirat.” (HR. Al-Bukhari, Muslim dan Ahmad)
[1] Muhammad al-Thahir bin
‘Asyur, Tafsîr al-Tanwîr wa al-Tahrîr, juz IV, hlm. 38.
[2] ‘Abdurrahman bin Hasan
al-Dimasyqi, Al-Balâghah al-‘Arabiyyah, Damaskus: Dâr al-Qalam, cet. I,
1416 H/1996, juz I, hlm. 229.
[3] Abu Ja’far al-Nahhas
Ahmad bin Muhammad al-Nahwi, I’râb al-Qur’ân, Ed: ‘Abdul Mun’im Khalil,
Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1421 H, juz I, hlm. 174.
[4] Ahmad bin Muhammad
al-Tsa’labi, Al-Kasyf wa al-Bayân ‘an Tafsîr al-Qur’ân, juz III, hlm.
122.
[5] Huruf wâw pada kata takûnu dihapus (majzûm)
karena diawali oleh kata depan lâm al-amr; Bahjat Abdul Wahid al-Syaikhali,
Balâghat al-Qur’ân al-Karîm fî al-I’jâz: I’râban wa Tafsîran Bi I’jâz,
Amman: Maktabah Dandis, cet. I, 1422 H, jilid II, hlm. 139. Lihat pula: Mahmud
Shafi, Al-Jadwal fî I’râb al-Qur’ân wa Sharfuhu wa Bayânuhu Ma’a Fawâ’id Nahwiyyah
Hâmmah, Damaskus: Dâr al-Rasyîd, cet. III,
1416 H, juz. IV, hlm. 265, dengan I’rab:
الإعراب: (الواو) عاطفة -أو استئنافية- (اللام)
لام الأمر (تكن) مضارع ناقص مجزوم -أو تام-
[6] Amir Hizbut Tahrir,
Ulama ahli ushul fikih.
[7] ‘Atha bin Khalil Abu al-Rasythah, Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl:
Dirâsât fî Ushûl al-Fiqh, Beirut: Dâr al-Ummah, cet. III, 1421 H,
hlm. 182; Prof. Dr. ‘Iyadh bin Sami al-Salmi, Ushûl al-Fiqh Alladzî
Lâ Yasa’u al-Faqîh Jahluhu, Riyadh: Dâr al-Tadmuriyyah, cet. VI,
1433 H, hlm. 220.
[8] ‘Atha bin Khalil Abu Al-Rasythah, Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl:
Dirâsât fî Ushûl al-Fiqh, hlm. 22-23.
[9] Dr. Muhammad bin Sa’ad al-Dabl, Dalîl al-Balâghah al-Qur’âniyyah,
Sabkat al-Alûkah, cet. I, 1431 H/2010, juz I, hlm. 505.
[10] Ahmad bin Faris
al-Qazwaini al-Razi, Mu’jam Maqâyîs al-Lughah, Ed: ‘Abdussalam Muhammad
Harun, Beirut: Dâr al-Fikr, 1399 H/1979, juz I, hlm. 28.
[11] Al-Râghib
al-Ashfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, juz. I, hlm. 86.
[12] Syihabuddin al-Alusi, Rûh
al-Ma’âni fî Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, juz II, hlm. 237; Abu Ja’far
al-Nahhas Ahmad bin Muhammad al-Nahwi, I’râb al-Qur’ân, juz I, hlm. 174.
[13] Sebagaimana disebutkan
doktor balaghah dari Al-Azhar Kairo, Dr. Hesham el-Shanshouri al-Mishri dalam
diskusi empat mata selepas shalat isya’ pada bulan September 2015. Lihat pula:
Abu Muhammad Jamaluddin bin Hisyam, Mughnî al-Labîb ‘an Kutub al-A’ârîb, Damaskus:
Dâr al-Fikr, cet. VI, 1985, hlm. 560.
[14] Yakni dalam tinjauan ilmu balaghah: ‘ilm al-bayân. Lihat: Abu
Ja’far al-Nahhas al-Nahwi, I’râb al-Qur’ân, juz IV, hlm. 119; Badruddin
Ibn Jama’ah, Îdhâh al-Dalîl fî Qath’i Hujjaj Ahl al-Ta’thîl,
Mesir: Dâr al-Salâm, cet. I, 1410 H, hlm. 117.
[15] Abu al-Fath ‘Utsman bin Jinni al-Maushuli, Al-Muhtasib fî Tabyîn
Wujûh Sawâdz al-Qirâ’ât wa al-Îdhâh ‘anhâ, Wizârat al-Awqâf, 1420 H/1999,
juz I, hlm. 188.
[18] Dr. Abdul Aziz bin Ali al-Harbi, Al-Balâghah al-Muyassarah, hlm.
51.
Comments
Post a Comment