Editor: Irfan Abu
Naveed, M.Pd.I
Dipresentasikan Oleh: Rizki
Ummu Naveed, S.ST[1]
A. Pemetaan Fakta Permasalahan Utang Indonesia
1. Paradigma Sistem Ekonomi Kapitalisme

Permasalahan
paradigmatik begitu kentara, ketika utang ribawi dari luar negeri diklaim
sebagai bentuk hubungan kerjasama antara negara debitur dengan negara kreditur,
dan merupakan cara yang efektif dalam menutupi defisit anggaran pemerintah, dengan
asumsi dimana risiko kebangkrutan ekonomi yang ditimbulkan dari utang luar
negeri relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan pencetakan uang (seignorage)
yang dapat menimbulkan inflasi (Mulyani, 1994). Begitu pula klaim amannya utang
luar negeri Indonesia, karena rasio utang dengan PDB (Produk Domestik Bruto)
masih di bawah batas maksimum 60 %. Kebijakan yang diterapkan Indonesia menurut
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara membatasi rasio utang
terhadap PDB sebesar 60% (angka ini mengacu pada batasan maksimum yang
ditetapkan oleh negara-negara Uni Eropa).
Penggunaan PDB sebagai
penentu rasio utang karena PDB menyatakan pendapatan total dan pengeluaran
total nasional atas output barang dan jasa. Rasio utang terhadap PDB mencerminkan
seberapa besar negara mempunyai kemampuan untuk melunasi utangnya tersebut.
Semakin rendah rasio utang negara terhadap PDB maka dianggap akan semakin baik
suatu negara dalam kemampuan melunasi utang. Poin-poin di atas merupakan
syubhat yang jelas menafikan bahaya ideologis di balik utang ribawi, jauhnya
keberkahan, dan yang ada adalah kebinasaan.
2. Sekilas Fakta Utang Indonesia
Salah satu alasan
pragmatis untuk menambah utang ribawi adalah defisit anggaran (budget
deficit), yang didefinisikan sebagai “the gap between the public
revenues and expenditures”, atau selisih minus pendapatan dengan belanja
publik. (Monzer Kahf, 1994). Dengan kata lain, defisit anggaran adalah defisit
dalam APBN karena pengeluaran negara lebih besar daripada penerimaan negara. Contohnya
APBN Indonesia untuk tahun 2014; belanja negara besarnya Rp 1.842,5 triliun,
sedangkan pendapatannya Rp 1.667,1 triliun. Jadi terdapat defisit sebesar Rp
175,4 triliun. (finance.detik.com, 28/10/2013).
Menurut Umer Chapra
dalam bukunya, Islam and the Economic Challenge (1992), di negara-negara
kapitalis (termasuk di Dunia Islam) terdapat 4 (empat) faktor umum yang
menyebabkan defisit anggaran yaitu: belanja pertahanan yang tinggi; subsidi
yang besar; belanja sektor publik (seperti belanja birokrat) yang besar dan tak
efisien; korupsi dan pengeluaran yang boros (Monzer Kahf, 1994).
Untuk mengatasi problem
defisit anggaran ini, solusi universalnya ada 3 (tiga), yaitu: menambah
pendapatan; mengurangi belanja; dan berutang baik utang luar negeri maupun
utang dalam negeri. Di negara-negara kapitalis, cara menambah pendapatan pada
umumnya adalah meningkatkan pajak, dan kadang dengan mencetak mata uang. Untuk
Indonesia, cara yang ditempuh untuk mengatasi defisit anggaran adalah
meningkatkan pajak dan berutang. (Subiyantoro & Riphat, 2004; Kartikasari,
2010).[4]
Maka tidak mengherankan jika
utang luar negeri Indonesia terus menumpuk setiap tahunnya, meningkat cukup
tajam semenjak era Jokowi-JK, dimana angka pertumbuhan utang naik drastis,
tercatat hingga akhir Mei 2017 lalu, jumlah total utang luar negeri Indonesia
sudah mencapai Rp 3.672,33 triliun. Dengan kata lain jumlah utang luar negeri
RI meningkat Rp 1.067,4 triliun, sejak awal masa pemerintahan Jokowi pada 2014
hingga Mei 2017 (sumber: bisniskeuangan.kompas.com, 4/7/2017).
Menurut Menteri
Keuangan, Sri Mulyani, meningkatnya utang Indonesia diakibatkan oleh pelebaran
defisit anggaran negara yang terjadi sejak tahun 2011. Bahkan pada 2016,
defisit anggaran mencapai 2,46 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau
mencapai Rp 307 triliun. Defisit Anggaran berarti penerimaan negara lebih kecil
dibandingkan anggaran yang harus dibelanjakan (kompas.com, 26/05/2017). Sedangkan
potensi sumber daya alam (SDA) yang cukup melimpah ruah selama ini justru
diserahkan pengelolaannya kepada swasta, hingga 70-75 % SDA negeri ini pun
dikuasai oleh swasta asing, ini merupakan dampak buruk tegaknya sistem
demokrasi, dengan paradigma kebebasan kepemilikan yang dianutnya, dan
memposisikan negara hanya sebagai regulator saja.
3. Negara yang Bangkrut Akibat Utang
Krisis ekonomi
global yang terjadi pada tahun lalu membuat perekonomian sejumlah negara di
dunia kolaps. Beberapa negara yang selama ini memiliki perekonomian baik tetapi
utang mereka melonjak tinggi berpotensi mengalami kebangkrutan jika tidak
segera mencari solusi untuk mengatasinya. Disebutkan laman berita Liputan6.com
(7/1/2013), negara tersebut seperti Jepang, Yunani, Jamaika, Libanon, Italia,
Barbados, Portugal, Irlandia, Amerika Serikat dan Singapura.
Bahkan terbukti,
peneliti di Institute dor Fevelopment of Economics and Finance (INDEF) Rizal
Taufikurahman mengungkapkan, ada beberapa negara yang telah menggunakan skema
utang dalam membiayai pembangunan infrastruktur, mulai dari Jepang, China,
Korea Selatan, Angola, Zimbabwe, Nigeria, Sri Lanka. Di antaranya ada sejumlah negara
yang gagal membayar utang dari utang luar negeri: misalya Zimbabwe yang
memiliki utang sebesar 40 juta dollar AS kepada China, dan tak melunasi
utangnya tersebut, hingga akhirnya harus mengganti mata uangnya menjadi Yuan
sebagai imbalan penghapusan utang. Penggantian mata uang itu berlaku sejak 1
Januari 2016, setelah Zimbabwe tidak mampu membayar utang jatuh tempo pada
akhir Desember 2015.
Contoh pahit
selanjutnya dialami oleh Nigeria yang disebabkan oleh model pembiayaan melalui
utang yang disertai perjanjian merugikan negara penerima pinjaman dalam jangka
panjang. Dalam hal ini China mensyaratkan penggunaan bahan baku dan buruh kasar
asal China untuk pembangunan infrastruktur di Negeria. Kemudian, ada Sri Lanka
yang juga tidak mampu membayarkan utang luar negerinya untuk pembangunan
infrastruktur, Sri Lanka sampai harus melepas Pelabuhan Hambatota sebesar Rp
1,1 triliun atau sebesar 70 persen sahamnya dijual kepada Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) China. "Mereka membangun proyek infrastrukturnya lewat
utang, akhirnya mereka tidak bisa bayar utang. Banyak beberapa negara, di
antaranya Angola mengganti nilai mata uangnya. Zimbabwe juga," ungkapnya (ekonomi.kompas.com,
21/03/2018).
B. Bahaya Utang Luar Negeri
Utang luar
negeri jelas mengandung bahaya yang sangat besar, baik secara ideologis maupun
politis, mengingat utang jenis ini pasti ribawi, dan mengandung konsekuensi
politis yang mengancam kedaulatan suatu negeri:
1. Bahaya Ideologis Utang Luar Negeri
Allah Swt dan Rasul-Nya Saw memperingatkan riba secara
prinsipil dalam al-Qur’an & al-Sunnah:
الَّذِينَ
يَأْكُلُونَ الرِّبا لا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ
الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ
الرِّبا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا {٢٧٥}
“Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat):
“Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,” padahal Allah telah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba.” (QS.
Al-Baqarah [2]: 275)
Menafsirkan
ayat ini, Al-‘Alim
al-Syaikh Atha’ bin Khalil menjelaskan dalam tafsirnya:
Allah SWT menyebutkan dalam ayat-ayat tentang riba,
dan Allah SWT pun menjelaskan besarnya kejahatan dan betapa buruknya perbuatan
pelakunya, disamping (menjelaskan) hukuman yang sangat keras dan adzab yang
sangat pedih atas kejahatan dan kemungkaran yang besar ini, setelah Allah SWT
menjelaskan balasan pahala bagi orang-orang yang mengeluarkan harta yang halal
dan baik di jalan Allah.”[5]
Lihat
pula: QS. Al-Baqarah [2]: 276, QS.
Al-Baqarah [2]: 279, QS. Âli
Imrân [3]: 130. Kecaman
keras dalam ayat-ayat ini pun diperjelas dalam banyak hadits, Rasulullah Saw bersabda:
«إِذَا ظَهَرَ
الزِّنَا والرِّبَا فِي قَرْيَةٍ فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ»
“Jika
perzinaan dan riba sudah merajalela di suatu negeri maka sungguh penduduk
negeri tersebut telah menghalalkan adzab Allah atas mereka.” (HR.
Al-Thabrani & al-Hakim)[6]
Dalam hadits yang
diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim pun disebutkan tujuh dosa yang membinasakan
(al-sab’u al-mûbiqât), salah satunya dosa memakan harta riba (akl
al-ribâ). Kecaman bagi pemakan harta riba, mengandung kecaman pula bagi
mereka yang memberikan riba, dan mereka yang terlibat dalam menyokong transaksi
ribawi:
«لَعَنَ
اللهُ آكِلَ الرِّبَا، وَمُوكِلَهُ وَشَاهِدَهُ، وَكَاتِبَهُ»
“Allah melaknat para pemakan riba, orang yang
memberi riba, pencatat transaksi riba dan orang yang menjadi saksinya.” (HR. Ahmad)
Dalam redaksi hadits senada, disebutkan Rasulullah Saw
sebagai pihak yang melaknat. Kata laknat, sebagaimana
dijelaskan Imam al-Raghib al-Ashfahani bahwa orang yang terlaknat itu terhempas
dan terjauhkan masuk ke dalam jalan kemurkaan, dan laknat dari Allah berupa
siksa di akhirat, dan di dunia terputus dari rahmat dan taufik-Nya.[7]
Al-Qadhi ’Iyadh (w. 544 H) menjelaskan: Dan sungguh para
ulama telah berdalil bahwa hal-hal dimana kata laknat menyertainya maka ia
termasuk dosa besar.[8]
Dalam ushul fikih, dalil-dalil di atas jelas mengandung
indikasi keharaman, sekaligus menegaskan bahaya prinsipil di balik transaksi
utang ribawi, tiada kebaikan di balik utang ribawi, meskipun dijustifikasi
dengan alasan klise nan pragmatis ”kebutuhan ekonomi”, mengingat tak ada
keberkahan di balik keharaman yang justru mengundang malapetaka dan krisis
penghidupan, lihat QS. Thâhâ [20]: 124, QS. Al-Rûm [30]: 41.
2. Bahaya Politis Utang Luar Negeri
Bahaya
ideologis utang luar negeri terbukti secara politis ketika utang ribawi ini mengandung
kompensasi yang tidak ringan. Tak ada yang gratis dalam paradigma kapitalis,
utang ribawi jelas memiliki potensi bahaya politis atas nasib negeri ini. Hal
itu karena utang luar negeri, terutama utang program, menjadi alat campur
tangan dan kontrol pihak asing terhadap kebijakan pemerintah. Utang semacam ini
jelas hukumnya haram, karena diperoleh
dengan syarat yang melanggar hukum syara’, dicontohkan KH. Hafidz Abdurrahman misalnya
dengan konsesi penguasaan hak milik umum tertentu untuk diserahkan kepada
pemberi utang.[9] Hingga
terbukti, konsekuensi politis utang luar negeri ini pun kentara dalam banyak kebijakan
dan produk perundang-undangan.
Dampaknya pun
nyata dirasakan masyarakat luas, semisal UU Minerba, UU Migas, dan lain
sebagainya. Selain itu, terus menerus menumpuk utang dengan beban bunga yang
tinggi, akan menjerumuskan negeri ini dalam jebakan utang ribawi (debt trap).
Ketika utang semakin menumpuk, rezim pun tercatat memilih mengurangi anggaran subsidi
untuk rakyat dalam RAPBN, sebagai jalan menutup pembayaran cicilan utang plus
bunga ribawinya yang mencekik. KH. Muhammad Shiddiq al-Jawi pun mengkritisi,
bahwa utang luar negeri itu disamping ribawi, pasti mengandung syarat-syarat
yang menghilangkan kedaulatan negeri yang berutang. Hal ini jelas diharamkan
karena Islam mengharamkan segala jalan yang mengakibatkan kaum kafir
mendominasi kaum Muslim (QS. Al-Nisâ‘ [4]: 141) (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwâl
fî Daulah al-Khilâfah, hlm. 76; Abdurrahman Al-Maliki, Al-Siyâsah
Al-Iqtishâdiyyah Al-Mutslâ, hlm. 200-207).[10]
C. Pemetaan Akar Permasalahan
Permasalahan di
balik jeratan utang ribawi ini kembali kepada rusaknya paradigma kapitalistik
yang diadopsi rezim negeri ini, sumber potensi pendapatan yang halal diserahkan
pengelolaannya kepada asing dengan kebijakan privatisasi, sebaliknya sumber
potensi yang haram semisal utang ribawi justru dijadikan solusi pragmatis
penutup defisit anggaran. Jika
dievaluasi secara mendalam (’amîq) dan cemerlang (mustanîr), persoalan paradigmatik ini kembali
kepada akar masalah tegaknya Peradaban Barat di tengah-tengah umat yang menggantikan kehidupan Islam, yang terbukti menimbulkan bencana bagi umat
manusia, yang dinilai oleh Dr. Mushthafa bin Husni al-Siba’i (w. 1384 H), lebih
berbahaya daripada Perang Dunia dan pendudukan kolonialis.[11]
Mengapa? Karena bencana ini menimpa spiritualitas umat manusia, serta
memperdaya bangsa-bangsa di dunia,[12] terlena dalam kenikmatan semu
Peradaban Barat di balik slogan kebebasan (freedom) dan tsaqafah kufur
yang dihujamkannya terhadap umat manusia.[13]
Tegaknya
Peradaban Barat bukan tanpa sebab, bagaikan virus dan bakteri yang tumbuh cepat
pada tempat yang tepat, tsaqafah dan pemikiran kufur Barat pun tumbuh subur bak
cendawan di musim penghujan dalam sistem jahiliyyah Demokrasi[14],
bagaimana tidak? Pertama,
Sistem jahiliyyah
Demokrasi yang tegak di atas asas sekularisme. Kedua, Sistem jahiliyyah
Demokrasi, tegak dengan pilar-pilar kebebasan: kebebasan beragama (freedom
of Religion), kebebasan berpikir dan berpendapat (freedom of speech),
kebebasan kepemilikan (freedom of ownerships), kebebasan berekspresi/
berprilaku (freedom of personality). Kenyataannya, rakyat harus
mewakilkan suaranya kepada orang-orang yang duduk di Dewan Perwakilan. Risikonya
sebagaimana klaim Prof. Mahfudh MD ketika menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi
(MK), adanya praktik “jual beli undang-undang” sebagai implementasi
kesepakatan-kesepakatan politis (viva.co.id, 26/12/2012), yang kemudian diaminkan
pengamat politik Universitas Indonesia (UI), Iberamsjah (sp.beritasatu.com,
16/11/2011), dan advokad senior Adnan Buyung Nasution (nasional.kompas.com,
16/11/2011). Maka umat yang besar ini harus terus disadarkan dari tidurnya yang
panjang, untuk mencampakkan sistem jahiliyyah, kembali kepada Islam, al-Khilafah.
D. Solusi Praktis Khilafah Mengatasi Utang Luar Negeri[15]
KH. Hafidz Abdurrahman menjelaskan bahwa utang luar
negeri meskipun ribawi, tetap wajib dibayar, mengingat statusnya adalah utang,
dan pelunasan utang ini
merupakan pengembalian hak oleh penerima utang kepada pemberi hutang. Dengan
catatan, jika ada riba atau syarat lain yang bertentangan, maka riba atau
syarat lain tersebut
wajib dibatalkan. Dengan begitu, yang wajib
dikembalikan hanya uang pokoknya saja.
Allah
SWT. telah mewajibkan kita, baik sebagai individu maupun penguasa di dalam
Khilafah, untuk selalu terikat dengan berbagai transaksi (akad), baik antar
sesama Muslim maupun dengan orang-orang atau negara Kafir. Dengan catatan, selama transaksi atau akad tersebut tidak
bertentangan dengan hukum Islam. Allah SWT. berfirman: “Hai orang-orang yang
beriman, penuhilah akad-akad itu.” [QS. Al-Mâ’idah [5]: 1]. Ayat ini merupakan
perintah dari Allah kepada kaum Muslim untuk selalu menepati
transaksi-transaksi yang telah mereka lakukan. Utang luar negeri, baik yang
dilakukan oleh perorangan, instansi, perusahaan, maupun negara, adalah salah
satu jenis transaksi [akad]. Jika individu, perusahaan ataupun negara,
melakukan utang-piutang dengan pihak lain—baik dengan perorangan, instansi,
perusahaan, maupun negara lain— maka mereka harus menunaikan transaksi itu
hingga transaksi tersebut selesai [berakhir].
Di samping itu, Negara Khilafah, tatkala baru berdiri,
harus memperhatikan konstelasi politik internasional. Dalam hal ini, Khilafah
harus menciptakan imej di tengah-tengah masyarakat internasional, sebagai
negara yang adil, bertanggung jawab dan berusaha meraih dukungan masyarakat
internasional untuk menghadapi negara-negara besar yang memusuhi dan
memeranginya. Salah satu manuver yang dilakukannya untuk menarik simpati
masyarakat internasional adalah dengan tetap membayar utang pokok sebelumnya. Lalu,
bagaimana caranya Khilafah membayar sisa cicilan utang pokoknya, dari mana uang
yang diperoleh untuk membayar utang-utang sebelumnya? Untuk menyelesaikan
masalah ini, ada beberapa langkah yang harus ditempuh, antara lain:
1.
Harus dipisahkan antara utang luar negeri yang dilakukan
oleh pemerintah sebelumnya dengan utang yang dilakukan oleh pihak swasta (baik
perorangan maupun perusahaan). Ini menyangkut siapa yang memiliki kewajiban
membayar utang tersebut. Jika utang itu utang swasta, merekalah yang harus
membayar. Sebaliknya, jika utang itu melibatkan penguasa sebelum munculnya
Khilafah, maka Khilafah —sebagai penguasa baru— harus mengambilalih sisa cicilan
pembayarannya, sebagai akibat bahwa transaksi utang itu dilakukan antara
government to government.
2.
Sisa pembayaran utang luar negeri hanya mencakup sisa
cicilan utang pokok saja, tidak meliputi bunga, karena syariat Islam
jelas-jelas mengharamkan bunga. Firman Allah SWT, “Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum
dipungut) jika kalian orang-orang yang beriman.” [QS. Al-Baqarah [2]: 278].
Ayat ini mengharuskan Khilafah, individu maupun perusahaan yang memiliki utang
luar negeri, membayar sisa cicilan pokoknya saja. Diharamkan untuk menghitung
serta membayar sisa bunga utang.
3.
Meskipun diwajibkan untuk melunasi sisa cicilan pokok
utang luar negeri, Khilafah harus menempuh berbagai cara untuk meringankan bebannya
dalam pembayaran; bisa dilakukan lobi agar pihak pemberi utang bersedia
memberikan cut off (pemutihan). Jika langkah ini berhasil, berarti tidak lagi
menjadi beban negara. Namun, bila cara ini gagal, untuk mengurangi tekanan
beban pembayaran dalam interval waktu yang amat pendek, bisa diminta
rescheduling (penjadwalan pembayaran utang yang lebih leluasa waktunya).
4.
Utang sebelumnya, akan dibayar negara dengan mengambil
seluruh harta kekayaan yang dimiliki secara tidak sah oleh ‘rezim’ sebelumnya
beserta kroni-kroninya. Deposito mereka yang diparkir di berbagai bank luar
negeri, baik di Swiss, Kepulauan Cayman, Singapura dan lain-lain, akan
dijadikan jaminan oleh negara bagi pembayaran sisa utang luar negeri. Jumlah
deposito harta kekayaan para penguasa Muslim yang zalim, yang ada di luar
negeri saat ini, ‘lebih dari cukup’ guna memenuhi warisan utang luar negeri
‘rezim’ sebelumnya. Seandainya akumulasi deposito harta kekayaan mereka masih
kurang untuk menomboki sisa utang, Khilafah harus mengambil-alih utang tersebut
dan menalanginya dari pendapatan negara. Misalnya, bisa menggunakan harta yang
berasal dari pos Jizyah, cukai perbatasan, atau badan usaha milik negara.
Khilafah, sejauh mungkin menghindarkan penggunaan harta yang berasal dari
pemilikan umat (seperti hasil hutan, barang-barang tambang, dan sebagainya)
untuk pembayaran utang. Sebab, yang berutang adalah penguasa ‘rezim’
sebelumnya, bukan rakyatnya.
5.
Sementara itu, utang luar negeri yang dipikul swasta
(baik perorangan maupun perusahaan) dikembalikan kepada mereka untuk
membayarnya. Misalnya, bisa dengan menyita dan menjual aset perusahaan yang
mereka miliki. Jika jumlahnya masih kurang untuk menomboki utang luar
negerinya, Khilafah bisa mengambil paksa harta kekayaan maupun deposito para
pemilik perusahaan sebagai garansi pembayaran utang luar negeri mereka.
Kenyataannya, amat banyak para konglomerat yang memiliki simpanan harta kekayan
pribadi yang luar biasa besarnya dan diparkir di luar negeri. Terhadap simpanan
mereka di luar negeri, negara bisa menjadikannya sebagai jaminan pelunasan
utang-utang mereka. Namun, bila jumlah harta kekayaan mereka belum mencukupi
juga, negara harus mengambil-alih dan menalangi utang-utang mereka, karena
negara adalah penjaga dan pemelihara (Râ’in) atas seluruh rakyatnya, tanpa
kecuali.
Demikianlah, beberapa langkah praktis yang bisa dilakukan
oleh Khilafah untuk mengatasi beban utang luar negeri ‘rezim’ sebelumnya.
Penyelesaian ini tanpa mengganggu gugat harta kekayan yang dimiliki oleh
masyarakat, yang dikelola oleh negara untuk kemaslahatan dan kemakmuran seluruh
masyarakat. Penyelesaian ini, secara bersamaan, akan menjatuhkan cengkeraman
negara-negara Barat Kapitalis atas negeri-negeri Islam, memutus ketergantungan
laten yang membahayakan eksistensi negeri-negeri Islam, dan memberikan
kepercayaan diri yang amat besar bagi kaum Muslim—bahwa mereka memiliki
kemampuan dan kekayaan yang amat besar.
Namun demikian perlu diingat, bahwa hal ini hanya bisa
dilakukan tatkala Khilafah sudah berdiri. Sebab, saat ini tidak ada satu negeri
Islam pun atau seorang penguasa pun dari sekian banyak penguasa Muslim, yang
berani dan tegas untuk memutus rantai utang luar negeri, karena hal itu sama
dengan menghadapi IMF dan Bank Dunia yang di-backing AS dan sekutunya.
Bahkan, para penguasa Muslim saat ini tidak mempunyai pemikiran produktif,
sehingga tidak mempunyai alternatif pendapatan negara maupun alternatif
pembayaran utang luar negeri, kecuali dengan mengemis dari luar negeri lagi.
E. Khatimah
Seluruh penjelasan di atas menunjukkan secara
terang benderang bahaya ideologis dan politis di balik utang luar negeri
ribawi, yang ditumbuhsuburkan Ideologi Kapitalisme dengan sistem politik
Demokrasinya, sekaligus menguatkan bukti betapa buruknya ideologi kufur
Kapitalisme yang wajib segera dicampakkan dari kehidupan umat, digantikan
dengan ideologi Islam, yang tegak dengan institusi politik Islam, al-Khilâfah
’alâ minhâj al-nubuwwah, menyongsong kembali tegaknya kehidupan Islam demi
meraih keridhaan Allah Swt, Penguasa Seluruh Alam. Wa biLlâhi al-Taufîq. []
[1] Disampaikan dalam pengajian bulanan, 6 Mei 2018.
[2] Taqiyuddin al-Nabhani, Al-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, Beirut: Dâr al-Ummah, cet. VI, 1425 H.
[3] Fathi Muhammad Salim, Nazhrat fi Usus al-Iqtishad al-Ra’sumali,
_____, 1998, hlm. 4.
[4] Muhammad Shiddiq al-Jawi, “Bagaimana Khilafah Mengatasi Defisit Anggaran?”
_____.
[5] ‘Atha’ bin Khalil Abu Al-Rasytah, Al-Taysîr fî Ushûl Al-Tafsîr (Sûrah
Al-Baqarah), Beirut: Dar al-Ummah, cet. II, 1427 H, hlm. 405.
[6] HR. Al-Thabrani dalam Al-Mu’jam al-Kabir (no. 462); Al-Hakim
dalam Al-Mustadrak (no. 2261), ia berkata: “Hadits ini shahih
meskipun al-Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya” disetujui oleh
al-Hafizh al-Dzahabi.
[7] Abu al-Qâsim al-Husain bin Muhammad
al-Râghib al-Ashfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, Maktabah Nazâr
Mushthafâ al-Bâz, suku kata (لعن), jilid II,
hlm. 581.
[8] ‘Iyadh bin Musa Abu al-Fadhl
al-Sabati, Syarh Shahîh Muslim (Ikmâl al-Mu’lim bi Fawâ’id Muslim),
Mesir: Dâr al-Wafâ’, cet. I, 1419 H, juz IV, hlm. 486.
[9] Hafidz Abdurrahman, “Bagaimana Negara Khilafah Menyelesaikan
Hutang?”, _______.
[10] Muhammad Shiddiq al-Jawi, “Bagaimana Khilafah Mengatasi Defisit Anggaran?”,
_______.
[11] Dr. Mushthafa al-Siba’i, Min
Rawâi’i Hadhâratinâ, Beirut: Dâr al-Warrâq, cet. I, 1420 H, hlm. 6.
[12] Ibid.
[13] Irfan Abu Naveed, Menggugah Nafsiyyah Dakwah Berjama’ah, Bogor:
Al-Azhar Press, cet. I, 2017.
[14] Istilah jahiliyyah layak disematkan kepada sistem Demokrasi,
karena istilah jahiliyyah menurut al-Qur’an dan al-Sunnah mencakup keyakinan
dan perbuatan yang menyalahi al-Qur’an dan al-Sunnah, dan Demokrasi berdiri di
atas asas akidah kufur dan empat prinsip kebebasan yang bertentangan dengan
Islam.
Comments
Post a Comment