Irfan Abu Naveed, M.Pd.I
[Penulis Buku-Buku Tafsir & Balaghah Al-Qur’an dan Hadits Nabawiyyah]
Ramadhan al-Mubarak, bulan yang dirindukan namun seringkali diabaikan.
Dirindukan kehadirannya, namun diabaikan bagaimana sikap seharusnya
menghidupkan Ramadhan. Ramadhan al-Mubarak dikenal dengan berbagai keistimewaan,
sejalan dengan keragaman julukannya, ia yang dikenal sebagai syahr
al-Qur’an, syahr al-jihad, al-syahr al-mubarak, syahr al-shiyam dan beragam
julukan yang menggambarkan keutamaannya, sebagaimana ungkapan arab
كثرة الأسماء تدل على شأن المسمى
Banyaknya
nama menunjukkan kedudukan dari objek yang dinamai.
Menariknya, bulan Ramadhan tak hanya dikenal sebagai syahr al-shiyam (bulan
ditegakkannya kefardhuan shaum ramadhan), tapi juga syahr al-Qur’an, yang
ditegaskan para ulama sebagai bulan diturunkannya al-Qur’an, berdasarkan dalil
QS. Al-Qadr [94]: 1 dan QS. Al-Baqarah [2]: 185, firman-Nya:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ
فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ {١}
“Sesungguhnya
Kami menurunkan ia (al-Qur’an) pada malam al-Qadr.” (QS. Al-Qadr [94]: 1)
Dalam ayat yang agung ini, Allah Ta’ala menginformasikan
turunnya al-Qur’an pada malam Lailatul Qadr, yakni suatu malam istimewa yang
hanya datang pada bulan Ramadhan, turun secara langsung keseluruhannya dari al-lauh
al-mahfuzh ke langit dunia, ditandai ungkapan kata kerja anzala (turun
jumlat[an] wahidat[an]). Diawali penegasan huruf inna, yang
faidahnya diperkenalkan dalam ilmu balaghah (al-ma’ani), untuk menegaskan
kebenaran informasi dalam ayat, sekaligus menafikan adanya keraguan dan
pengingkaran atasnya. Luar biasanya, Allah Ta’ala pun menggunakan diksi “hu”
yang merupakan kata ganti ketiga (dhamir), yang mengandung faidah ta’zhim
wa takrim (pengagungan dan pemuliaan) atas kedudukan al-Qur’an al-‘Azhim. Diperjelas
firman-Nya:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ
فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ {١٨٥}
“Bulan
Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang batil).” (QS. Al-Baqarah [2]: 185)
Syaikhuna Atha’ bin
Khalil Abu al-Rasytah di dalam Al-Taysîr fî Ushûl al-Tafsîr menjelaskan:
“Hudâ li an-nâs” bermakna: menunjuki mereka pada kebenaran dan jalan yang
lurus. “Wa bayyinâti min al-hudâ” bermakna: sebagai bukti-bukti yang qath’i dan
mukjizat bahwa al-Quran merupakan petunjuk yang telah diturunkan oleh Allah
SWT. Adapun “wa al-furqân” bermakna: yang membedakan antara
kebenaran dan kebatilan, antara yang baik dan yang buruk dan antara amal-amal
salih dan amal amal buruk.
Dua ayat agung di atas, menunjukkan secara jelas kedudukan Ramadhan sebagai
syahr al-Qur’an, dimana esensinya tak boleh dimaknai sempit
sebagai ritual taubat tahunan, yang cukup dibaca namun ajarannya diabaikan
dalam kehidupan. Mengingat Allah Ta’ala menurunkan al-Qur’an, sekaligus
memerintahkan kaum Muslim untuk menerapkan ajarannya dalam kehidupan:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا
لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ {٨٩}
”Dan
Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) sebagai penjelasan atas segala
sesuatu, petunjuk dan rahmat serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah
diri.” (QS. Al-Nahl [16]: 89)
Relevan dengan petuah agung baginda Rasulullah Saw:
«يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ فَلَنْ تَضِلُّوا أَبَدًا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ»
“Wahai umat manusia, sesungguhnya aku telah meninggalkan
bagi kalian apa-apa yang jika kalian berpegang teguh pada keduanya, maka tidak
akan tersesat selama-lamanya yaitu Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.” (HR. Al-Hakim, Al-Baihaqi)
Hadits ini diungkapkan dalam bentuk syarat (al-jumlah al-syarthiyyah),
ditandai kata in syarthiyyah dan fa sebagai jawabannya (jawâb
al-syarth) dalam kalimat "إِنِ
اعْتَصَمْتُمْ بِهِ فَلَنْ تَضِلُّوا أَبَدًا", hal ini
menunjukkan kaidah agung dari Rasulullah Saw, syarat agar tidak tersesat
selama-lamanya, adalah dengan berpegang teguh terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah.
Itu semua menunjukkan bahwa Ramadhan, sudah seharusnya dijadikan sebagai momentum
membumikan ajaran-ajaran al-Qur’an dalam kehidupan dengan landasan keimanan,
mengatur segala aspek kehidupan manusia, IPOLEKSOSBUDHANKAM. Dari mulai asas
membangun kehidupan, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan.
Bukan akidah sekularistik, bukan politik demokrasi, bukan ekonomi kapitalistik,
bukan sosial budaya liberalistik, tapi wajib kembali kepada ajaran Islam:
akidah dan syari’ah.
Ialah al-Qur’an yang menjadi cahaya bagi kehidupan:
كالبدر من حيث
التَفَتَّ رأيتَه * يُهْدى إلى عينَيك نورًا ثاقبًا
كالشمس في
كَبِدِ السماء وضوؤُها * يَغْشَى البلادَ مَشَارِقًا ومغاربًا
”Bagaikan rembulan menarik perhatianmu memerhatikannya * memancarkan kepada
kedua matamu cahaya yang kuat.”
”Bagaikan matahari di langit dan sinarnya * yang menaungi negeri-negeri di
Timur dan Barat.”
WalLâh a’lam bi
ash-shawâb.
[]
Comments
Post a Comment