Irfan
Abu Naveed, M.Pd.I
[Penulis Buku-Buku Kajian Tafsir &
Balaghah Al-Qur’an dan Hadits Nabawiyyah]
Ramadhan
syahr al-tadhhiyyat (bulan pengorbanan), hal itu ditandai dengan
besarnya pengorbanan Rasûlullâh ﷺ dan para sahabat memperjuangkan tegaknya
DinuLlah dalam kehidupan, setidaknya dibuktikan dengan besarnya pengorbanan Rasûlullâh
ﷺ dan para sahabat dalam dua peristiwa
monumental yang bersejarah bagi kehidupan umat manusia, yang terjadi di bulan
suci Ramadhan: jihad badar al-kubra dan penaklukkan Kota Makkah.
Jihad
Badar al-Kubra misalnya, terjadi pada 17 Ramadhan al-Mubarak menandai
peristiwa politik: momentum eksisnya kekuatan politik Islam, yang dikomandoi langsung
oleh Rasûlullâh ﷺ berpusat
di Yastrib (Madinah al-Munawwarah) pasca hijrah dari Mekkah, setelah meraih
dukungan riil dari ahl al-quwwah (suku Aus dan khajraz) yang
diproklamirkan dalam Bai’at Aqabah II.
Dalam peperangan ini,
digambarkan besarnya pengorbanan kaum Muslim dimana mereka hanya berjumlah
sekitar 300 orang harus menghadapi 1000-an pasukan kaum Kafir Quraysyi, sebagaimana
digambarkan dalam banyak catatan sirah nabawiyyah. Menariknya ada momen agung yang
dikisahkan catatan-catatan sirah, ketika para sahabat yang mulia ini
meyakinkan Rasûlullâh ﷺ akan kesiapan mereka menjadi pembela DinuLlah,
membersamai Rasûlullâh ﷺ dalam perjuangan, hingga kaum Muslim pun
meraih kemenangan gemilang dalam Jihad Badar al-Kubra’, sebagaimana disebutkan
Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji (w. 1435 H) dalam buku sirah-nya, Ru’yatun
Siyâsiyyatun Li al-Sîrah al-Nabawiyyah.
Peristiwa agung ini
terjadi di bulan suci Ramadhan, cukup menunjukkan bahwa bulan suci ini bukan
waktu untuk bermalas-malasan berpangku tangan, melainkan momentum pengokoh basis
perjuangan Islam, momentum untuk mengasah keikhlasan dan kesungguhan berkorban
dalam perjuangan menegakkan DinuLlah dalam kehidupan, serta membela para
pejuangnya dari segala kezhaliman. Relevan dengan pujian Rasûlullâh ﷺ bahwa shaum adalah junnah
(perisai) dari kemungkaran dan mengandung hikmah membentuk insan yang
bertakwa (QS. Al-Baqarah [2]: 183), dimana ketakwaan adalah kunci kemenangan
kaum Muslim.
Mari kita tilik catatan
sirah, apa yang dilakukan Rasûlullâh ﷺ ketika perang Badar al-Kubra? Beliau mempersiapkan para sahabat dengan baik, dan memastikan
kesiapan para sahabatnya berjuang dengan landasan motivasi ruhiyah (al-quwwah
al-rûhiyyah), Rasûlullâh ﷺ dan para mujahid badar pun
memenuhi hukum sebab-akibat untuk meraih kemenangan disamping menjaga ketakwaan
mereka. Mereka bermusyawarah merumuskan strategi yang tepat, mempersiapkan
senjata dan mengenakan baju perang (semisal baju besi), tak cukup sampai di
sini, Rasûlullâh ﷺ pun melengkapi ikhtiarnya dengan
memperbanyak do’a kepada Allâh, disamping tawakal pada-Nya. Nabi ﷺ bersabda ketika
berada di Qubbah:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَنْشُدُكَ عَهْدَكَ وَوَعْدَكَ اللَّهُمَّ إِنْ شِئْتَ
لَمْ تُعْبَدْ بَعْدَ الْيَوْمِ
"Ya Allâh, sungguh aku benar-benar memohon kepada-Mu akan perjanjian
dan janji-Mu. Ya Allâh, jika Engkau menghendaki (kehancuran pasukan Islam ini)
maka Engkau tidak akan disembah lagi setelah hari ini".
Maka Abu Bakar memegangi
tangan beliau ﷺ dan
berkata, “Cukup wahai Rasûlullâh. Sungguh Tuan telah bersungguh-sungguh
meminta dengan terus-menerus kepada Rabb Tuan.” Saat itu beliau ﷺ mengenakan baju besi
lalu tampil sambil bersabda membacakan firman Allâh Swt:
سَيُهْزَمُ الْجَمْعُ وَيُوَلُّونَ الدُّبُرَ {٤٥} بَلِ
السَّاعَةُ مَوْعِدُهُمْ وَالسَّاعَةُ أَدْهَىٰ وَأَمَرُّم {٤٦}
"Kesatuan musuh itu pasti akan diceriberaikan dan mereka akan lari
tunggang langgang. Akan tetapi sebenarnya hari qiyamat itulah hari yang
dijanjikan kepada mereka (siksaan) dan hari qiyamat itu lebih dahsyat dan lebih
pahit (QS. Al-Qamar [54]: 45-46)". (HR. Al-Bukhârî,
Ahmad)
Bi
nashriLâh, para mujahid badar yang berjumlah 300 jiwa lebih
beberapa puluh orang, bisa menceraiberaikan, menggempur dan mengalahkan sekitar
1.000 orang pasukan kafir Quraisy. Satu hal yang perlu dipahami bahwa,
kemenangan adalah pertolongan Allâh (nashruLlâh), kaum Muslim harus
mempersiapkan dan melayakkan dirinya menerima pertolongan dari-Nya, hal itu
dibuktikan kemudian dengan kemenangan besar yang diraih kaum Muslim di bulan
suci Ramadhan, yakni penaklukkan Kota Makkah (Fath Makkah) dari tangan
kaum Kafir Quraysyi, menandai momentum meluasnya kekuasaan politik
negara Rasûlullâh ﷺ, dari Madinah berekspansi hingga ke
Makkah, hingga kaum Musyrik Quraysyi tunduk kepada kekuasaan Islam dan secara
sukarela berbondong-bondong masuk Islam menyaksikan keluhuran akhlak Islam,
dimana peristiwa agung ini diabadikan dalam QS. Al-Nashr
[110]: 1-3, dan menariknya hal itu disifati sebagai buah pertolongan-Nya (bi
nashriLlâh).
Kedua kemenangan
besar tersebut terjadi ketika umat Islam menegakkan ibadah shaum Ramadhan, maka
sangat relevan jika bulan Ramadhan pun harus dijadikan sebagai momentum
menolong agama-Nya dan para pejuangnya, serta mendukung gerakan dakwah Islam
yang didirikan untuk merealisasikan perintah agung-Nya dalam QS.
Âli Imrân [3]: 104, suatu kelompok dakwah yang berdiri di atas landasan akidah
Islam, kumpulan dari para kader dakwah yang berupaya berpegang teguh kepada
tali agama Allah (QS. Âli Imrân [3]: 103), mendakwahkan penegakkan hukum-hukum
syari’ah, menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar (QS. Âli
Imrân [3]: 104).
Dakwah ilaLlâh jelas merupakan salah satu amal
shalih yang menjadi sebab turunnya pertolongan Allâh. Allâh
’Azza wa Jalla berjanji meneguhkan kedudukan mereka yang menolong Din-Nya dan
ini menjadi syarat bagi datangnya pertolongan dari-Nya, sebagaimana firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ {٧}
“Wahai orang-orang yang beriman jika kalian menolong (Din) Allâh, maka Dia
akan menolong kalian dan meneguhkan kedudukan kalian.” (QS. Muhammad [47]: 7)
Pesan agung dalam ayat
ini, diawali dengan seruan (khithâb) kepada orang-orang yang beriman, al-mu’minûn
wa al-mu’minât. Allâh SWT
menggunakan bentuk ungkapan syarat dan jawabnya (al-jumlah al-syarthiyyah),
dengan perangkat (adat al-syarth) yakni in (إِنْ):
jika kalian menolong Allâh (إن تنصروا الله), menunjukkan bahwa turunnya pertolongan Allâh,
terikat dengan syarat keimanan yang dibuktikan dengan menolong Din-Nya. Istimewanya,
dalam ayat ini Allâh menisbatkan pertolongan hamba-hamba-Nya kepada-Nya,
padahal Allâh SWT Maha Kuasa atas segala perkara, tidak membutuhkan pertolongan
makhluk-Nya.
وَمَنْ
جَاهَدَ فَإِنَّمَا يُجَاهِدُ لِنَفْسِهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَغَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ {٦}
“Dan
barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya
sendiri. Sesungguhnya Allâh benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu)
dari alam semesta.” (QS. Al-’Ankabût [29]: 6)
Menurut Imam Abu Ja’far
al-Nahhas al-Nahwi (w. 338 H) dan al-Qadhi Badruddin Ibn Jama’ah al-Syafi’i (w.
733 H), bentuk ungkapan tersebut merupakan bentuk kiasan (majâz).[1] Yang
disebutkan Allâh, namun maksudnya adalah dînuLlâh (agama Allâh).
Perinciannya, yakni dengan menghilangkan bentuk idhâfah dari kata Allâh[2]: yakni
menghilangkan kata dîn di depan lafal jalâlah (Allâh), karena
makna sebenarnya adalah menolong Rasul-Nya, Dîn-Nya[3],
syari’at-Nya, dan kelompok pembela Dîn-Nya (hizbuLlâh)[4], dalam
ilmu al-ma’âni, ini yang diistilahkan al-îjâz bi al-hadzf
(bentuk meringkas perkataan dengan menghilangkan bagian), yang berfaidah lebih menguatkan makna
yang dikehendaki daripada penyebutannya secara lengkap,[5]
menunjukkan betapa agungnya kedudukan aktivitas menolong DinuLlah. Secara
praktis, hal itu pun ditunjukkan oleh Rasûlullâh ﷺ dan para sahabatnya, termasuk di bulan suci Ramadhan ini.
Ada pelajaran agung yang menggambarkan kunci-kunci meraih nashruLlah yang bisa dipetik dalam
ulasan di atas, untuk diaplikasikan dalam dakwah
memperjuangkan Islam:
Pertama,
Pentingnya landasan keimanan dan ketakwaan
yang menjadi sebab turunnya pertolongan Allâh.
Kedua,
Menegakkan hukum kausalitas yang relevan untuk meraih
kemenangan, ditunjukkan dengan istiqamah menetapi metode dakwah yang dicontohkan Rasûlullâh ﷺ.
Ketiga,
Memanjatkan do’a-do’a memohon kemenangan dakwah, disertai ketawakalan dan kesiapan senantiasa
bersabar dalam keta’atan menghadapi berbagai ujian yang akan menghadang.
وفقنا الله وإياكم فيما يرضاه ربنا ويحبه
[1] Yakni dalam tinjauan ilmu balaghah: ‘ilm al-bayân.
Lihat: Abu Ja’far al-Nahhas al-Nahwi, I’râb al-Qur’ân, juz IV, hlm. 119;
Badruddin Ibn Jama’ah, Îdhâh al-Dalîl fî Qath’i Hujjaj Ahl
al-Ta’thîl, Mesir: Dâr al-Salâm, cet. I, 1410 H, hlm. 117.
[2] Abu al-Fath ‘Utsman bin Jinni al-Maushuli, Al-Muhtasib
fî Tabyîn Wujûh Sawâdz al-Qirâ’ât wa al-Îdhâh ‘anhâ, Wizârat al-Awqâf, 1420
H/1999, juz I, hlm. 188.
[5] Dr. Abdul Aziz bin Ali al-Harbi, Al-Balâghah
al-Muyassarah, hlm. 51.
No comments :
Post a comment