Oleh: Irfan Abu Naveed,
M.Pd.I
(Peneliti Raudhah
Tsaqafiyyah Jawa Barat, Penulis Kajian Tafsir &
Balaghah “Menggugah Nafsiyyah Dakwah Berjama’ah)
D
|
i antara ajaran Islam yang
menjadi objek penyesatan kaum liberal adalah Khilafah dan politik Islam.
Berbagai syubhat pun sumbang digaungkan demi menjauhkan umat dari syari’at
Islam, Khilafah dan pejuangnya, yakni Hizbut Tahrir (HT) yang gigih berdakwah melanjutkan
kembali kehidupan Islam, dari mulai penyesatan dalam penggunaan kaidah daf’
al-mafasid, isu konsensus nasional (Pancasila & UUD 1945), hingga tuduhan
khilafah yang diperjuangkan HT berbeda dengan apa yang dijelaskan para ulama
dalam turats mereka. Bagaimana menjawab seluruh syubhat tersebut?
A.
Bantahan Atas Fatwa Haram Khilafah Berdasarkan Kaidah Daf’
al-Mafasid
Salah satu syubhat dalam
isu khilafah, adalah adanya fatwa haram menegakkan khilafah berdasarkan kaidah:
دَفْعُ المَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ على جَلْبِ
المَصَالِحِ
“Menolak berbagai kerusakan
(kemadharatan) didahulukan daripada mewujudkan berbagai kemaslahatan”
Kaidah ini memang kaidah
syar’iyyah, namun penggunaannya wajib terikat pada kaidah-kaidah dan
batasan-batasan yang telah dirumuskan oleh para ulama ushul, tidak ada kaidah
‘sapu jagad’ yang bisa diterapkan secara serampangan, batasannya mencakup
penetapan mafasid dan mashalih itu sendiri. Jika berkumpul dalam
suatu persoalan adanya berbagai kemaslahatan, namun kemaslahatan tersebut
disusul pula dengan kerusakan, maka kerusakan ini menjadi penghalang, dengan
kata lain sebagaimana ditegaskan para ulama:
إذا اجتمعت مصلحة ومفسدة
غلب جانب المفسدة
Jika berkumpul (dalam suatu persoalan) antara
kemaslahatan dan kerusakan, maka dikuatkan sisi (menjauhi) kerusakannya.
Namun hal ini dibatasi jika kerusakan dan
kemaslahatan berkumpul, dan kerusakannya lebih besar daripada kemaslahatan,
karena jika kemaslahatannya lebih besar daripada kerusakan, maka mewujudkan
kemaslahatan harus diutamakan, contoh untuk kondisi ini; kebolehan mengucapkan
kata-kata kufur karena dipaksa musuh dan diancam akan dibunuh dengan kalbu yang
tetap dalam keimanan, maka mewujudkan kemaslahatan menjaga nyawa didahulukan
daripada kerusakan di balik kata-kata kufur lisan tersebut, ini seperti kasus
Amar bin Yasir r.a di bawah tekanan kaum Kafir Quraysyi.
Sebaliknya jika kerusakannya lebih besar
daripada kemaslahatan, maka menjauhi kerusakan didahulukan, hal ini sebagaimana
petunjuk yang digambarkan dalam QS. Al-Baqarah [2]: 219, dimana dalam ayat ini
digambarkan khamr dan judi memiliki manfaat, namun kerusakan dan
kemadharatannya lebih besar, Allah Swt pun mengharamkan keduanya, sebagaimana
diutarakan oleh Sulthanul Ulama, Imam al-‘Izz bin Abdissalam (Qawâ’id al-Ahkâm, I/98):
حرمهما لأن مفسدتهما
أكبر من منفعتهما
Allah mengharamkan keduanya, mengingat
kerusakan keduanya lebih besar daripada manfaatnya.
Imam al-Subki menjelaskan:
درء
المفاسد أولى من جلب المصالح . ويستثنى مسائل ، يرجع حاصل مجموعها إلى أن المصلحة إذا
عظم وقوعها ، وكان وقع المفسدة [أخف] : كانت المصلحة أولى بالاعتبار
Menolak berbagai kerusakan lebih diutamakan
daripada mewujudkan berbagai kemaslahatan, dikecualikan dalam beberapa
permasalahan, hasil akhirnya kembali kepada kondisi bahwa kemaslahatan memiliki
kedudukan yang agung, sedangkan kerusakannya lebih ringan, maka kemaslahatan
tersebut didahulukan. (Al-Asybah wa al-Nazha’ir, I/105)
Di sisi lain, ukuran kemaslahatan dan
kerusakan tersebut ditentukan berdasarkan tolak ukur syara’ bukan hawa nafsu. Jika tolak ukurnya hawa
nafsu, niscaya akan ada banyak ajaran Islam yang harus diabaikan, karena wahyu
dan hawa nafsu selamanya bertolak belakang, sesuatu yang tak bisa dibenarkan syar’[an]
wa ‘aql[an]. Kerusakan yang dikhawatirkan pun adalah sesuatu yang diduga
kuat akan terjadi, jelas terukur bukan asumsi semata, pada saat yang sama ada potensi
kemaslahatan, sehingga dihadapkan pada dua pilihan dan saling bersebrangan
antara menolak kerusakan yang lebih besar atau mewujudkan kemaslahatan, maka menolak
kerusakan ini didahulukan daripada mewujudkan kemaslahatan.
Pertanyaan mendasarnya,
pada sisi mana tegaknya syari’at Islam kaffah dalam kehidupan dengan
metode mewujudkan kepemimpinan Islam (al-Khilafah) akan menimbulkan kerusakan? Apa
tolak ukurnya? Jika tolak ukurnya “membahayakan” kepentingan kaum kapitalis dan
ideologi Kapitalisme-Neo Liberalisme, maka penggunaan kaidah ini sudah salah
dari asasnya (takalluf), sebagaimana sesatnya fatwa haram tersebut. Penyimpangan
penggunaan kaidah ini pun semakin jelas berdasarkan argumentasi:
a.
Secara yuridis, pengangkatan Khalifah
dan penegakkan Khilafah termasuk bagian dari ajaran Islam yang hukumnya fardhu,
ia menjadi metode syar’i menegakkan syari’at Islam kaffah dalam
kehidupan. Khilafah pun merupakan institusi politik yang berdiri tegak di atas
asas Islam, dan menyatukan kaum Muslim dalam satu kepemimpinan Islam, itu semua jelas
digambarkan para ulama dalam turats mereka. Esensi penerapan Islam
di dalamnya jelas mengundang keberkahan, mewujudkan kemaslahatan hakiki
sekaligus menolak berbagai kerusakan, sebagaimana
ditunjukkan oleh nas al-Qur’an dan al-Sunnah, di antaranya:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ
آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ
وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ {٩٦}
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan
bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan
bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka
disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’râf [7]: 96)
Diperjelas
dalil QS.
Al-Baqarah [2]: 216 dan QS. Al-Anbiyâ’ [21]: 107 yang juga menjadi dalil kaidah syar’iyyah:
حيثما يكن الشرع تكن المصلحة
Dalam tataran
praktis untuk menerapkan dan menjaga Islam, maka relevan dengan salah satu
fungsi Imam (Khalifah) dengan kewenangan di tangannya, yang digambarkan Rasulullah Saw, dari Abu
Hurairah r.a., bahwa Nabi Saw bersabda:
«إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ
وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ»
“Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai, dimana
(orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan
(kekuasaan) nya.” (HR.
Al-Bukhari, Muslim, Ahmad)[2]
Hadits ini mengandung pujian
yang sangat kuat terhadap sosok Khalifah, karena maksud dari al-Imâm dalam hadits ini adalah al-Khalîfah, ditegaskan para ulama salah satunya al-Mulla al-Qari (w. 1041 H),[3] dimana pujian tersebut -dalam ilmu balaghah- ditunjukkan oleh dua hal: ungkapan qashr (pengkhususan)
dan tasybîh mu’akkad (penyerupaan tegas) yang menyerupakan Khalifah
sebagai perisai kaum Muslim. Dalam ilmu ushul al-fiqh, jika adanya “hal
yang dipuji” tersebut menjadi sebab tegaknya hukum Islam, sebaliknya jika hal
tersebut tidak ada kn menyebabkan terbengkalainya hukum Islam, maka pujian
tersebut merupakan qarînah jazîmah (indikasi tegas) bahwa “hal yang
dipuji” itu hukumnya wajib. Yakni adanya Khalifah dalam sistem Khilafah.
Di sisi lain para ulama menjelaskan bahwa penegakkan
Islam dalam kehidupan, takkan sempurna terealisasi kecuali dengan adanya
Khalifah dan tegaknya sistem Khilafah, maka menegakkan keduanya fardhu, sesuai
kaidah syar’iyyah yang lalu dinukil oleh para ulama:
مَا لاَ
يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Para ulama pun
menjadikan kaidah ini: sebagai penguat hujjah kefardhuan adanya
Khalifah dan tegaknya sistem Khilafah, sebagaimana diutarakan oleh Imam al-Naisaburi (w. 850 H):
أجمعت الأمة على أن المخاطب بقوله فَاجْلِدُوا هو الإمام حتى احتجوا به على
وجوب نصب الإمام فإن ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب
Umat ini (ulama) bersepakat bahwa yang diseru dari
firman-Nya: ”Jilidlah” adalah Imam hingga mereka pun berhujjah dengannya atas
kewajiban mengangkat Imam (Khalifah), karena sesungguhnya hal dimana kewajiban
takkan sempurna kecuali dengannya maka hal tersebut menjadi wajib adanya.[5]
Imam Fakhruddin
al-Razi (w. 606 H) pun menggunakan kaidah syar’iyyah ini ketika menegaskan
kefardhuan adanya seorang khalifah, ia menjelaskan bahwa yang diseru dalam kata
(فَاجْلِدُوا) dalam QS.
Al-Nûr [24]: 2, ulama umat ini bersepakat bahwa yang diseru atas kefardhuan
menegakkan sanksi tersebut adalah al-Imam (al-Khalifah-pen.), kemudian mereka berhujjah dengan hal ini atas wajibnya
mengangkat seorang al-Imam (al-Khalifah), mereka mengatakan karena Allah SWT
memerintahkan menegakkan sanksi had, dan mereka bersepakat bahwa Dia tidak
menguasakan penegakkan kefardhuan tersebut kecuali kepada seorang al-Imam
(al-Khalifah).[6]
Al-Qadhi Abu Ya’la
al-Farra (w. 458 H) ketika menjelaskan kaidah ini menuturkan, bahwa jika Allah
sudah memerintahkan hamba-Nya untuk menunaikan suatu perbuatan dan Allah
mewajibkannya, di sisi lain apa yang diperintahkan tersebut takkan tercapai
sempurna kecuali dengan hal lainnya; maka hal tersebut menjadi wajib adanya.[7] Hal
ini sebagaimana diungkapkan Imam al-Qarafi (w. 684 H) yang berkata:
وُجُوْبُ الوَسَائِل تبِع
لِوُجُوْبِ المَقَاصِد
Wajibnya
sarana-sarana mengikuti wajibnya tujuan-tujuan.[8]
Penegakkan
hudud jelas merupakan kewenangan al-Imam (Khalifah), padahal tegaknya hudud
dalam kehidupan merupakan kebaikan, al-Hafizh Ibn Katsir (w. 774 H) menyebutkan
hadits yang diriwayatkan Imam Abu Dawud, Rasulullah Saw bersabda:
«لَحَدٌّ يُقَامُ فِي الْأَرْضِ
أَحَبّ إِلَى أَهْلِهَا مِنْ أَنْ يُمْطَرُوا أَرْبَعِينَ صَبَاحًا»
“Sungguh satu sanksi had yang ditegakkan di bumi lebih
disukai (lebih baik) bagi penduduk bumi daripada diturunkannya hujan kepada
mereka selama 40 hari.”
Karena jika hudud ditegakkan, maka menjadikan seseorang
atau kebanyakan manusia berhenti dari melakukan keharaman, dan jika kemaksiatan
dilakukan maka itu menjadi sebab hilangnya keberkahan dari langit dan bumi.[9] Maka
tidak mengherankan jika seorang ulama besar ahli fikih dan tafsir, al-Hafizh
al-Qurthubi (w. 671 H) dalam tafsirnya menegaskan:
وأنها ركن من أركان الدين الذي به
قوام المسلمين، والحمد لله رب العالمين
Dan bahwa ia (al-Imamah) merupakan fondasi dari fondasi-fondasi
agama ini dimana dengannya tegak fondasi kaum Muslim, dan segala puji bagi
Allah.[10]
Lalu bagaimana mungkin upaya penegakkan syari’at Islam
dan sistem Khilafah difatwakan haram? Lebih jauh lagi, apa relevansi dengan
kaidah daf’u al-mafasid?
b.
Secara historis,
ketiadaan Khilafah menurut ahli sejarah Islam Dr. Taj Al-Sirr Ahmad Harran justru menimbulkan berbagai keburukan, ia menjelaskan akibat buruk ketiadaan
Khilafah dalam satu subbab khusus Atsar Ghaybat al-Khilâfah
(Dampak Buruk Akibat Ketiadaan Khilafah). Menurutnya, ketiadaan Khilafah
menimbulkan pengaruh besar terhadap realitas umat ini secara politis, diringkas
dalam poin-poin sebagai berikut:
Pertama, Tidak adanya Negara
Islam yang besar (superpower);
Kedua, Tidak adanya negara yang
menaungi kaum Muslim, menyatukan dan melinduni mereka, serta mengemban dakwah Din
ini ke seluruh negeri-negeri baru yang belum disentuh dakwah (futûhât);
Ketiga, Tidak adanya negara yang
mampu menghadapi musuh Allah dan musuh kaum Muslim, karena dahulu kekuatan
dunia internasional berada ditampuk Khilafah, hingga melemah dan mengalami
kehancuran;
Keempat, Tidak adanya negara yang
diketahui Yahudi, menegaskan kepada mereka bahwa tidak ada jalan bagi mereka
menguasai Palestina kecuali dengan kehancuran negara ini.[11]
Jika mereka konsisten
seharusnya bukan dakwah penegakkan Islam yang ditolak,
melainkan sistem politik Demokrasi dan sistem ekonomi Kapitalisme-Neo
liberalisme yang jelas menimbulkan berbagai mafsadat bagi umat, dari persoalan
politik hingga ekonomi. Sistem Demokrasi dengan prinsip kebebasannya
menyuburkan pergaulan bebas yang mengakibatkan maraknya perzinaan, sedangkan
sistem ekonomi Kapitalisme-Neo Liberalisme menyuburkan ekonomi ribawi
mengakibatkan hilangnya keberkahan, seluruhnya menjadi penyokong tegaknya
kebatilan berwujud syubhat dan syahwat. Keburukannya, sebagaimana diperingatkan
Allah Swt:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي
فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ {١٢٤}
“Dan siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku, maka
baginya penghidupan yang sempit dan Kami akan kumpulkan ia pada hari kiamat
dalam keadaan buta.” (QS. Thâhâ [20]: 124)
Para
ulama menafsirkan al-dzikr dalam ayat di atas bermakna al-Qur’an dan
al-Sunnah. Ibn ’Abbas r.a., menjelaskan makna (وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي) yakni berpaling dari mentauhidkan-Ku, dan
dikatakan pula yakni mengingkari Kitab Suci-Ku dan (sunnah) Rasul-Ku.[12]
Sedangkan al-Hafizh Ibn Katsir (w. 774 H) menegaskan yakni menyelisihi perintah-Ku,
dan apa yang Aku turunkan kepada Rasul-Ku (wahyu), berpaling darinya,
melupakannya dan mengambil selain petunjuknya.
Makna (فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا) yakni di
dunia tiada ketentraman baginya, tidak ada kelapangan dalam dadanya, bahkan dadanya
terasa sempit, sesak dengan kesesatannya, dan jika zhahir-nya seseorang
merasa cukup, mengenakan pakaian, memakan makanan, dan tinggal dimanapun ia
mau, sesungguhnya kalbunya tidak mencapai keyakinan dan petunjuk, dan ia berada
dalam kekhawatiran, kehampaan dan keraguan.[13] Ibn
Abbas r.a berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda:
«إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا والرِّبَا
فِي قَرْيَةٍ فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ»
“Jika perzinaan dan riba sudah merajalela di suatu negeri
maka sungguh penduduk negeri tersebut telah menghalalkan adzab Allah atas
mereka.” (HR.
Al-Thabrani & al-Hakim)[14]
B.
Keniscayaan Perubahan Ke Arah yang Lebih Baik
Perubahan menuju kehidupan yang
lebih baik, merupakan pesan positif yang bisa kita temukan dalam pesan-pesan
agung al-Qur’an dan al-Sunnah. Visi perubahan yang diemban Rasulullah Saw
merupakan pemisalan terbaik, ketika beliau Saw mampu membangkitkan suatu kaum
yang tadinya terbelakang dalam kubangan sistem jahiliyyah, menjadi kaum penegak
peradaban agung yang memikul tanggung jawab mendakwahkan DinuLlah.
Sehingga sikap antipati terhadap
perubahan positif dengan alasan yang diada-adakan
bukan sikap negarawan. Terlebih jika perubahan tersebut adalah perubahan yang
dituntut Islam, yakni perubahan dari kehidupan jahiliyyah menuju kehidupan
Islam, meniti sunnah agung yang digariskan sebaik-baiknya teladan dan generasi,
Rasulullah Saw dan para sahabatnya, dimana mereka menjadikan akidah Islam sebagai fondasi
peradaban dan membangunnya dengan menegakkan syari’at Islam dalam seluruh aspek
kehidupan. Bangunan agung ini pun kelak akan tegak kembali sebagaimana busyra
Rasulullah Saw dalam haditsnya, dari Hudzaifah bin al-Yaman r.a., Rasulullah SAW bersabda:
«ثُمَّ تَكُوْنُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ
النُّبُوَّةِ»
Hadits ini mengisyaratkan bahwa perubahan adalah
keniscayaan yang tak bisa dipungkiri, dan kita wajib mempersiapkan diri untuk
berjuang, sebagaimana sya’ir yang dinukil al-Hafizh
al-Suyuthi (w. 911 H):
نَبْنِي كَمَا كَانَتْ أَوَائِلُنَا * تَبْنِي، وَنَفْعَلُ مِثْلَ مَا
فَعَلُوْا
“Kami membangun sebagaimana generasi pendahulu kami
membangun * Dan kami berbuat sebagaimana mereka telah berbuat.”[16]
Hal ini lah yang menjadi esensi dari
perjuangan HT selama ini, visi dakwah perubahan melanjutkan kembali
kehidupan Islam. Maka ironis jika visi dakwah agung yang diemban HT dibenturkan
secara zhalim oleh orang yang tak bertanggungjawab
dengan isu ”konsensus nasional”,
Pancasila dan UUD 1945, bagaimana mendudukkannya?
Pertama, Dalam catatan sejarah, rumusan
Pancasila dan UUD 1945 itu sendiri mengalami berbagai amandemen, hal itu
menunjukkan kenyataan adanya persepsi umum bahwa perubahan bukan lah hal yang tabu,
dan menjadi keniscayaan. Pancasila adalah sebuah gagasan,
konsep dan visi negara yang dirumuskan kala itu yang baru saja merdeka dari
penjajahaan fisik.
Dalam perumusannya,
Pancasila mengalami pasang surut dan perdebatan yang cukup alot, dan pada tataran
implementasi dari masa ke masa kepemimpinan rezim negeri ini, Pancasila ditafsirkan beragam sesuai kehendak
penguasa, dari semenjak masa kemerdekaan, orde lama, orde baru hingga orde
reformasi, dari corak nasakom, kapitalistik,
hingga neo liberalistik.
Jika kemerdekaan atas kolonialisme diraih
sebagai berkah perjuangan para ulama dan kaum Muslim, maka
ironi jika kemerdekaan tersebut dikhianati dengan menjadikan Pancasila
sebagai alat gebuk bagi gerakan-gerakan Islam yang hendak melanjutkan estafeta
perjuangan para ulama pahlawan, membebaskan negeri ini dari
imperialisme politik dan ekonomi neo liberalistik. Realitasnya, negeri ini dirusak bukan oleh para aktivis
dakwah Islam, melainkan oleh Kapitalis dengan ekonomi neo
liberalistik yang menjerumuskan umat ke dalam kubangan sistemik kemiskinan dan
kemungkaran.
Kedua, Dalam paradigma mendasar
Islam, al-Qur’an dan al-Sunnah jelas merupakan pedoman hidup yang wajib diposisikan sebagai konstitusi tertinggi. Ia
merupakan pedoman utama kaum Muslim di samping ijma’ sahabat dan qiyas
syar’iyyah. Keagungannya relevan karena bersumber dari
Al-Khaliq Al-Mudabbir, Allah Swt:
وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ {٦١}
”Dialah (Allah) yang mempunyai kekuasaan tertinggi diatas semua
hamba-Nya (QS. Al-An’âm [6]: 61)
إِنِ الْحُكْمُ
إِلَّا لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ { ٥٧}
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan
yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan
yang paling baik.” (QS.
Al-An’âm [6]: 57)
Imam al-Syaukani (w. 1250 H) menjelaskan:
{إِنِ الحكم
إِلاَّ الله} أي ما الحكم في كل شيء إلا لله سبحانه - والمراد : الحكم الفاصل بين الحق والباطل
[Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah] yakni
tidak ada hukum dalam hal apapun kecuali hak Allah SWT, dan maksudnya: Hukum yang memisahkan antara kebenaran
dan kebatilan.[17]
Lafal in dalam
ayat tersebut merupakan in nafi (yang menafikan), maka makna dari in
al-hukm yakni tiada hak menentukan hukum, diikuti dengan perangkat qashr
(pengecualian/pembatasan) huruf illa (kecuali), dan huruf lam
al-ta’lil yang menunjukkan peruntukkan[18], sehingga kalimat in
al-hukm illa liLlah, bermakna tiada (yang berhak menentukan) hukum
kecuali milik Allah.
Ayat-ayat agung tersebut merupakan dalil qath’i
yang menjadikan kedaulatan adalah milik Al-Syari’ (Allah Swt), bukan manusia, hatta
meskipun seluruh manusia bersepakat untuk menjadikan kesepakatan mereka
sebagai konstitusi tertinggi. Hal
ini pun mengingatkan kita pada wasiat agung yang mulia Rasulullah SAW:
«يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ
فِيكُمْ مَا إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ فَلَنْ تَضِلُّوا أَبَدًا كِتَابَ اللَّهِ
وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ»
“Wahai
umat manusia, sesungguhnya aku telah meninggalkan bagi kalian apa-apa yang jika
kalian berpegang teguh pada keduanya, maka tidak akan tersesat selama-lamanya
yaitu Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.” (HR. Al-Hakim,
al-Baihaqi dan lainnya)
Imam al-Munawi (w. 1031 H) menjelaskan bahwa al-Qur’an
dan al-Sunnah merupakan perkara prinsipil, dimana tidak ada seseorang pun yang
boleh berpaling dari keduanya, dan tidak ada yang bisa meraih petunjuk kecuali
dari petunjuk keduanya, dan terpeliharanya seseorang dari kemaksiatan serta
diraihnya keberhasilan adalah dengan berpegang teguh terhadap keduanya, maka
kewajiban kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, merupakan hal yang diketahui
bagian dari agama ini secara pasti.[19]
Al-Hafizh Ibn Hajar al-’Asqalani (w. 852 H) pun mengisyaratkan hal yang sama
yakni berpegang teguh padanya dan mengamalkan tuntutan-tuntutan di dalamnya.[20] Maka
dengan demikian kita membutuhkan petunjuk, pedoman dan standar nilai dari
al-Qur’an dan al-Sunnah secara pasti.
Diperjelas kemudian
firman Allah SWT dalam QS. Al-Mâ’idah [5]: 49:
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ
اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ
مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ {٤٩}
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara
mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak
memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (QS. Al-Mâ’idah [5]: 49)
Ayat ini mengharuskan
kaum Muslim tunduk dan ridha terhadap syariah Allah SWT, dan dakwah Islam dalam
hal ini, merupakan salah satu upaya untuk memperjuangkan penerapan Islam dalam
kehidupan mencakup tataran konstitusional. Adapun langkah menuju
upaya menjadikan ayat suci sebagai konstitusi tertinggi bisa disimpulkan
sebagai berikut:
a.
Harus ada dakwah Islam
kepada publik yang terus menerus untuk menjelaskan keunggulan dan keutamaan
syariah Islam, termasuk dakwah untuk menjelaskan kebatilan demokrasi yang
menjadi sumber penolakan keunggulan syariah islam.
b.
Harus ada formulasi
syariah Islam yang komprehensif dalam segala bidang kehidupan, yang terwujud
dalam sebuah rancangan konstitusi syariah islam.
c.
Harus ada negara yang
berkomitmen kuat untuk menerima rancangan konstitusi syariah islam tersebut.
Dan tak ada negara yang paling layak untuk menerapkan rancangan konstitusi
syariah Islam itu, kecuali negara khilafah.
Ketiga, Penegakkan syari’at
Islam dalam naungan khilafah merupakan konsensus sahabat.
Jika
konsep perjuangan
penegakkan syari’at Islam dan Khilafah dipertentangkan dengan konsep lain yang mengatasnamakan konsensus, maka harus kembali kepada prinsip bahwa ijma’ sahabat, menurut ahl
al-’ilm, menjadi hujjah syar’i berdasarkan dalil QS. Al-Taubah [9]: 100,
diunggulkan atas kesepakatan manusia manapun. Dimana sahabat berijma’ atas
wajibnya menegakkan khilafah, mengangkat khalifah. Al-Qadhi Abu Ya’la al-Farra
(w. 458 H) ketika mengomentari peristiwa bersejarah diskusi alot antara
tokoh-tokoh Kaum Anshar dan Kaum Muhajirin menegaskan: “Jika seandainya al-Imamah (Khilafah) itu tidak wajib,
maka takkan berlangsung diskusi alot tersebut dan dialog tentangnya.”[21]
Sebelumnya, Al-Qadhi Abu Ya’la al-Farra menegaskan bahwa
Khilafah hukumnya wajib berdasarkan dalil al-sam’u (yakni dalil-dalil
naqli).[22] Penjelasan
senada ditegaskan oleh al-Hafizh al-Qurthubi (w. 671 H) dalam kitab tafsirnya.[23] Di sisi
lain, para sahabat pun lebih mendahulukan pengangkatan Khalifah daripada
pemakaman jenazah Rasulullah SAW, sebagaimana ditegaskan oleh Imam al-Khaththabi (w. 388 H). Setelah menjelaskan ijma’ sahabat
ini, al-Khaththabi (w. 388 H) lalu menegaskan:
وذلك من
أدل الدليل على وجوب الخلافة وأنه لا بد للناس من إمام يقوم بأمر الناس ويمضي فيهم
أحكام الله ويردعهم عن الشر ويمنعهم من التظالم والتفاسد
Dan dalil tersebut (ijma’ sahabat) merupakan
sejelas-jelasnya dalil atas wajibnya menegakkan al-Khilafah dan bahwa harus ada
seorang Imam (Khalifah) bagi masyarakat yang berdiri memerintah dan mengatur
mereka dengan hukum-hukum Allah, menjauhkan mereka dari keburukan, menghalangi
mereka saling menzhalimi dan merusak.[24]
Maka tak mengherankan jika
para ulama pun menegaskan kesepakatan mereka atas wajibnya menegakkan Khilafah.
Syaikh Abdurrahman al-Jaziri (w. 1360 H) dalam Al-Fiqh ’ala al-Madzahib
al-Arba’ah yang menegaskan bahwa para imam madzhab sepakat bahwa imamah (Khilafah)
hukumnya fardhu[25],
hal senada ditegaskan Imam Ibn Hazm al-Andalusi (w. 456 H) yang mendokumentasikan: “Mereka (para ulama) sepakat bahwa
imamah itu fardhu dan adanya Imam itu merupakan
suatu keharusan.”[26]
Keempat, Islam adalah harga mati
Islam, itulah harga mati, kesimpulan itu yang didapat
dari salah satu kitabnya yang masyhur di dunia pesantren, "kitab
kuning", Syarh Sullam al-Tawfiq. Syaikh Nawawi al-Bantani al-Syafi'i (w.
1314 H), merupakan ulama nusantara yang mendunia, dimana kitab-kitabnya
merupakan salah satu rujukan di dunia pesantren menegaskan wajibnya menegakan
dinul Islam, akidah syari'ah, dan berpegang teguh padanya hingga maut
menjemput, dan konsisten menegakkan hukum-hukum syari'ah Islam:
(يجب) وجوبًا محتمًا (على كافة المكلفين) أي جميعهم (الدخول في دين
الإسلام) (يجب) وجوبًا محتمًا (على كافة المكلفين) أي جميعهم (الدخول في دين
الإسلام) وهو شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدًا رسول الله، والإقرار بما جاء به
من عند الله. (والثبوت) أي الملازمة (فيه على الدوام) أي بلا انقطاع إلى الموت على
الإسلام. عن علي رضي الله عنه أنه قال: تمام النعمة الموت على الإسلام.
(Wajib) dengan kewajiban yang pasti (atas seluruh orang
yang mukallaf (dikenal taklif kewajiban) yakni seluruhnya (masuk ke dalam Dinul
Islam) yakni ikrar bahwa tiada sesembahan kecuali hanya Allah dan bahwa
Muhammad adalah utusan Allah, dan membenarkan segala hal yang datang dari sisi
Allah (al-tsubut) yakni konsisten (di dalam hal tersebut secara konsisten)
yakni tidak pernah melepaskan Islam hingga maut menjemput. Dari Ali bin Abi
Thalib r.a.: Sesempurnanya kenikmatan adalah mati dalam keadaan Islam.[27]
Syaikh Nawawi pun merinci:
(والتزم) أي قبول (ما) أي شيء (لزم) أي ثبت (عليه) أي كافة
المكلفين (من الأحكام) وهي ما بينه الله تعالى لنا على لسان نبيه مما يتعلق بأفعال
المكلفين، وهو الواجب والسنة والمباح والمكروه والحرام
...Dan (berpegang teguh) yakni menerima (apa-apa) yakni
hal (lazim) yakni yang ditetapkan (atasnya) yakni atas seluruh orang yang
mukallaf (berupa hukum-hukum) yakni apa-apa yang Allah jelaskan kepada kita
melalui lisan Nabi-Nya berupa hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan
orang yang telah ditaklif, berupa hukum wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram.[28]
Penjelasan ulama di atas, sejalan dengan pesan agung
al-Qur’an:
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ
رَبِّ الْعَالَمِينَ
{١٦٢}
“Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan
matiku hanyalah untuk Allah, Rabb alam semesta.” (QS. Al-An’âm [6]: 162)
Lafal qul merupakan lafal perintah (fi’l
al-’amr) untuk menegaskan apa yang Allah perintahkan, yakni perintah untuk
memproklamirkan keikhlasan dalam visi hidup dan mati, dimana Allah Swt bahkan
mengajari manusia, mengawali proklamasinya dengan lafal inna yang
menjadi penegasan (taukid) atasnya. Pada asalnya, perintah tersebut
ditujukan kepada Rasulullah Saw, namun jelas berlaku bagi umatnya, sebagaimana
kaidah syar’iyyah:
خِطَابُ الرَّسُوْلِ خِطَابٌ ِلأُمَّتِهِ مَا لَمْ
يَرِدْ دَلِيْلٌ يُخَصِّصُ بِهِ
“Seruan kepada Rasul merupakan seruan kepada
umatnya selama tidak ada dalil yang mengkhususkan kepada Rasul.”[29]
C.
Khilafah yang Didakwahkan Hizbut Tahrir adalah Ajaran
Khilafah Ulama Mu’tabar
Di antara tuduhan keji lainnya,
bahwa Khilafah yang diperjuangkan HT berbeda dengan khilafah yang dijelaskan
para ulama dalam turats mereka. Pada saat yang sama, mereka tak mampu
membuktikan tuduhannya, karena tak bisa menjelaskan dengan benar bagaimana
konsepsi khilafah menurut HT, khilafah menurut ulama mu’tabar dan bukti
mendasar perbedaan di antara keduanya. Padahal siapapun yang mengkaji konsepsi
khilafah menurut HT, maka ia akan mendapati bahwa HT telah berhasil merumuskan
konsepsi praktis dari poin-poin prinsip yang ditegaskan para ulama, yang
seluruhnya menunjukkan keistimewaan karakteristik sistem pemerintahan dalam
Islam (al-Khilafah).
Kesamaannya mencakup
hal-hal prinsipil sehingga tak menyisakan celah sedikit pun tuduhan “Khilafah
HT berbeda dengan Khilafah Ulama Mu’tabar”, hal itu didukung oleh kenyataan
bahwa ulama pendiri HT sendiri adalah
ulama rabbani yang besar di bawah bimbingan para ulama mu’tabar di masanya,
kelurusan manhajnya pun diakui oleh para ulama sejawat dan setelahnya, beliau pun dimasukkan dalam jajaran tokoh
ulama dari al-Azhar dalam situs resmi Dzâkirat al-Azhar al-Syarîf (alazharmemory.eg.),
dipuji pula sebagai ulama mujtahid oleh para ulama, salah satunya al-Syaikh
al-Muhaddits Dr. Mahmud Sa’id Mamduh. Sehingga kesamaan konsepsi tersebut
mencakup persoalan-persoalan prinsipil:
Pertama, HT sama seperti para
ulama mu’tabar yang menegaskan Khilafah sebagai institusi politik Islam,
berdiri di atas asas akidah Islam, dan menjadi institusi penegak syari’at Islam
kâffah dalam seluruh aspek kehidupan. Imam al-Mawardi al-Syafi’i menegaskan:
الْإِمَامَةُ: مَوْضُوعَةٌ لِخِلَافَةِ النُّبُوَّةِ فِي
حِرَاسَةِ الدِّينِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا
Al-Imâmah: pembahasan terkait khilâfat al-nubuwwah (pengganti
kenabian) dalam memelihara urusan Din ini dan mengatur urusan dunia
(dengannya).[30]
Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H) –begitu pula para
ulama lainnya- misalnya, menganalogikan Islam dan kekuasaan (kepemimpinan)
sebagai saudara kembar[31], lalu Al-Ghazali pun menegaskan:
الدّين أس وَالسُّلْطَان حارس فَمَا
لا أس لَهُ فمهدوم وَمَا لا حارس لَهُ فضائع
Al-Dîn itu asas dan penguasa itu penjaganya, maka apa-apa yang tidak ada asasnya
maka ia akan roboh dan apa-apa yang tidak ada penjaganya maka ia akan hilang.[32]
Dalam konteks yang
paling mendasar menyoal esensi makna khilafah misalnya: Imam al-Qalqasyandi (w. 821 H) menegaskan bahwa khilafah
secara ’urf disebut untuk kepemimpinan agung[33],
memperkuat makna syar’inya yang menggambarkan kepemimpinan umum atas umat,
menegakkan berbagai urusan dan kebutuhannya dengan standar Islam, sekaligus menutup
celah pencatutan maqalah ulama menyoal Imam (Khalifah) untuk dinisbatkan kepada
kepemimpinan yang bertentangan dengan Islam (sekularistik).
Mengingat persoalan imamah dalam Islam bukan
sembarang kepemimpinan, melainkan kepemimpinan yang menjadi pengganti kenabian
dalam memelihara urusan Din ini, dan mengatur urusan dunia dengannya,
ditegaskan oleh para ulama HT, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama mu’tabar:
Imam al-Mawardi (w. 450 H)[34], Imam
al-Haramain al-Juwaini (w. 478 H)[35] dan
para ulama lainnya, sebagaimana petunjuk al-Qur’an dan al-Sunnah. Salah satunya
hadits, dari Abu Hurairah r.a., Nabi SAW bersabda:
«كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ
الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ
بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ»
“Adalah bani Israil, urusan mereka diatur oleh para nabi.
Setiap seorang nabi wafat, digantikan oleh nabi yang lain, sesungguhnya tidak
ada nabi setelahku, dan akan ada para Khalîfah yang banyak.” (HR. Muttafaqun ’alayh)
Dengan kata lain kepemimpinan dengan ruh Islam ini
menjadi menjadi ciri khas mulia, membedakannya dengan sistem sekular yang
mengundang malapetaka. Esensi syar’i inilah yang juga ditegaskan para ulama HT,
semisal Al-’Allamah Taqiyuddin al-Nabhani bahwa Khilafah adalah “kepemimpinan
umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia, untuk menegakkan hukum-hukum syari’at
Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.”
Dakwah Islam yang dimaksud, sejalan pula dengan apa yang
ditegaskan Imam al-Haramain Abu
al-Ma’ali al-Juwaini (w. 478 H), bahwa penguasa wajib mengemban dakwah dengan
hujjah dan jihad.[36] Dimana keduanya menjadi bagian
dari visi dakwah Khilafah menebarkan rahmat bagi ke seluruh penjuru dunia.
Kedua, HT mengadopsi pendapat wajibnya mengangkat Khalifah dan menegakkan sistem
Khilafah sebagai kewajiban syari’at, berdasarkan dalil-dalil naqliyyah, sama
seperti yang diadopsi para ulama mu’tabar dalam turats mereka, semisal al-Hafizh
al-Qurthubi (w. 671 H) dalam kitab tafsirnya,[37] Imam
Fakhruddin al-Razi (w. 606 H)[38], al-Qadhi
Abu Ya’la al-Farra (w. 458)[39], Imam
al-Mawardi al-Syafi’i (w. 450 H)[40], al-Hafizh
al-Nawawi al-Syafi’i[41], Imam Ibn Hazm al-Andalusi (w. 456 H)[42], dan lain sebagainya.
Ketiga, HT pun mengadopsi pendapat para ulama mu’tabar menyoal kewajiban
mewujudkan kesatuan kepemimpinan seorang Khalifah, sebagaimana ditegaskan ulama
syafi’iyyah semisal Imam al-Mawardi al-Syafi’i (w. 450 H) dalam dua kitab masterpiece-nya,
Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah dan Adab Al-Dunya wa Al-Din, dan para
ulama mu’tabar lainnya.
Seluruhnya
menguatkan apa yang ditegaskan para ulama HT sebagai empat pilar politik Islam
dalam sistem Khilafah:
a.
Kedaulatan di tangan syara’ (al-siyâdah li al-syar’i),
yang menjamin penegakkan hukum al-Qur’an dan al-Sunnah dalam kehidupan,
mengundang keberkahan dari Allah, menebarkan rahmat bagi alam semesta.
b.
Kekuasaan milik umat (al-sulthân li al-ummah),
yakni dengan adanya hak bai’at untuk mengangkat khalifah, yang dibai’at untuk
menegakkan hukum al-Qur’an dan al-Sunnah, yang menjamin terealisasinya
kepemimpinan yang amanah menegakkan syari’at Islam.
c.
Kewajiban adanya satu kepemimpinan Khalifah untuk seluruh
umat (wujûb al-khalîfah al-wahîd li al-muslimîn), yang menjamin
realisasi kesatuan kaum Muslim dalam satu institusi super power untuk
menegakkan Islam dalam kehidupan.
d.
Khalifah berhak mengadopsi hukum (li al-khalîfah haq
al-tabanni), yang menjamin kesatuan kaum Muslim, menjaganya dari ancaman
perpecahan. Adopsi hukum yang berkaitan dengan kesatuan kaum Muslim, dimana
tanpa kesatuan ini kaum Muslim akan berpecah belah.
Lalu pada sisi mana Khilafah yang diperjuangkan HT
berbeda dengan Khilafah yang dipahami para ulama mu’tabar dalam turats mereka?
[]
والله
أعلم بالصواب
[1] Ahmad al-Mahmud, Al-Da’wah ila
al-Islâm, juz I, hlm. 255; Muhammad Isma’il, al-Fikr al-Islâmi juz
I, hlm. 48.
[2] HR. Al-Bukhari dalam Shahîh-nya (no. 2797); Muslim
dalam Shahîh-nya (no. 1841); Ahmad dalam Musnad-nya
(no. 10787), Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari: “Shahih dan ini
sanadnya kuat.”
[3] Al-Mulla Ali al-Qari, Mirqât al-Mafâtîh, juz VI, hlm. 2391.
[4] Tajuddin ‘Abdul Wahhab al-Subki,
Al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir, Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, II/88
[5] Nizhamuddin al-Naisaburi, Gharâ’ib
al-Qur’ân wa Raghâ’ib al-Furqân, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, V/148
[6] Muhammad bin ‘Umar bin al-Husain Fakhruddin al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb,
Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabi, cet. III, 1420 H, juz XXIII, hlm. 313.
[7] Ibid.
[8] Abu al-‘Abbas Syihabuddin Ahmad
al-Qarafi, Al-Furûq: Anwâr al-Burûq fî Anwâ’i al-Furûq, Beirut: Dâr
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1418 H/1998, juz I, hlm. 302.
[9] Abu al-Fida’ Isma’il Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân
al-’Azhîm, Dâr al-Thayyibah, cet. II, 1420 H, juz VI, hlm. 320.
[10] Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr Syamsuddin al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li
Ahkâm al-Qur’ân, Riyadh: Dâr ‘Âlam al-Kutub, 1423 H, juz I, hlm. 264.
[11] Dr. Taj al-Sir Ahmad Harran, Hâdhir Al-‘Âlam Al-Islâmi, Riyadh:
Maktabat Al-Rusyd, cet. IV, 1428 H.
[12] Majduddin Abu Thahir al-Fayruz Abadi, Tanwîr al-Miqbâs Min Tafsîr Ibn
‘Abbas, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, hlm. 267.
[13] Abu al-Fida’ Isma’il Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm, juz V,
hlm. 322-323.
[14] HR. Al-Thabrani dalam Al-Mu’jam al-Kabir (no. 462); Al-Hakim
dalam Al-Mustadrak (no. 2261), ia berkata: “Hadits ini shahih
meskipun al-Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya” disetujui oleh
al-Hafizh al-Dzahabi.
[15] HR. Ahmad dalam Musnad-nya (no. 18430), Syaikh Syu’aib al-Arna’uth
mengomentari: “Sanadnya hasan.”
[16] ’Abdullah Muhammad bin Muflih al-Maqdisi, Al-Âdâb al-Syar’iyyah, Ed:
Syu’aib al-Arna’uth, Beirut: Mu’assasatur Risâlah, cet. III, 1419 H, juz I, hlm. 234; ‘Abdurrahman bin Abu
Bakr Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir, juz I, hlm. 6;
Jalaluddin Al-Suyuthi, Tadrîb al-Râwi fî Syarh Taqrîb al-Nawawi, Dâr
al-Thayyibah, juz I, hlm. 24; Muhammad bin Yazid Abul ’Abbas, Al-Kâmil fî
al-Lughah wa al-Adab, Kairo: Dâr al-Fikr al-’Arabi, Cet. III, 1417 H, juz
I, hlm. 132.
[17] Muhammad bin ‘Ali Al-Syaukani, Fath al-Qadîr, Beirut: Dâr Ibn
Katsîr, cet. I, 1414 H, juz II, hlm. 139.
[18] Mahmud Shafi, Al-Jadwal
fî I’râb al-Qur’ân wa Sharfuhu wa Bayânuhu Ma’a Fawâ’id Nahwiyyah
Hâmmah, Damaskus: Dâr al-Rasyîd, cet. III, 1416 H, juz. VII, hlm. 165.
[19] ‘Abdurra’uf bin Tajul ’Arifin al-Munawi, Al-Taysîr bi Syarh
al-Jâmi’ al-Shaghîr, Riyadh: Maktabat al-Imâm al-Syâfi’i, cet. III, 1408 H,
juz I, hlm. 447.
[20] Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bâri Syarh Shahîh
al-Bukhâri, Beirut: Daar al-Ma’rifah, 1379 H, juz V, hlm. 361.
[21] Abu Ya’la al-Farra, Al-Ahkâm
al-Sulthâniyyah, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, juz I, hlm. 19.
[22] Ibid
[23] Abu Abdullah Al-Qurthubi, Al-Jâmi’
li Ahkâm al-Qur’ân, Dâr ‘Âlam al-Kutub, I/264
[25] Abdurrahman bin Muhammad al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala al-Madzâhib al-Arba’ah, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. II, 1424 H, juz V, hlm.
366.
[26] Ibn Hazm Al-Andalusi, Marâtib
al-Ijmâ’, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, juz I, hlm. 124
[27] Nawawi bin Umar al-Syafi’i, Mirqât Shu'ûd al-Tashdîq fi Syarh Sullam
al-Tawfîq, Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, cet. I, 1431, hlm. 8.
[29] Silahkan perdalam tentang kaidah ini dalam sejumlah kitab ushul fiqh: Abdullah bin Yusuf al-Ya’qub, Taysir ‘Ilm
Ushul al-Fiqh, Beirut: Mu’assasat al-Rayyan, cet. I, 1418 H, hlm. 222;
Prof. Dr. Muhammad Mushthafa al-Zuhaili, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh
al-Islami, Damaskus: Dar al-Khayr, cet. II, 1427 H, juz II, hlm. 74.
[31] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad
al-Ghazali, Al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd, Beirut: Dâr al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1424 H, hlm. 128.
[32] Ibid. Penuturan senada diutarakan
oleh Imam Abu al-Hasan al-Mawardi (w. 450 H), Imam al-Qal’i al-Syafi’i (w. 630
H), Imam Ibn al-Azraq al-Gharnathi (w. 896 H), dan lainnya.
[33] Ahmad bin Ali al-Qalqasyandi, Ma’âtsir
al-Inâfah fî Ma’alim al-Khilâfah, Hukumat al-Kuwait, I/8
[35] Abu al-Ma’ali al-Juwaini, Ghiyâts
al-Umam fî al-Tiyâts al-Zhulm, Maktabat al-Imâm, juz I, hlm. 22
[36] Abu al-Ma’ali al-Juwaini, Ghiyâts
al-Umam fî al-Tiyâts al-Zhulm, Maktabat Imâm al-Haramain, cet. II, 1401 H,
juz I, hlm. 22.
[37] Abu Abdullah Al-Qurthubi, Al-Jâmi’
li Ahkâm al-Qur’ân, Dâr ‘Âlam al-Kutub, I/264
[38] Muhammad bin ‘Umar bin al-Husain Fakhruddin al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb,
Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabi, cet. III, 1420 H, juz XXIII, hlm. 313.
[39] Ibid
[41] Al-Hafizh al-Nawawi, Raudhat
al-Thâlibîn wa ‘Umdat al-Muftîn, Beirut: al-Maktab al-Islâmi, cet. III,
1412 H, juz X, hlm. 42.
[42] Abu Muhammad Ali bin Ahmad Ibn Hazm
Al-Andalusi, Marâtib al-Ijmâ’ fî al-‘Ibâdât wa al-Mu’âmalât wa al-I’tiqâdât, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t., hlm. 124.
Comments
Post a Comment