
[Koreksi Argumentatif Atas
Tuduhan Ansyaad Mbay Terhadap HTI dan Takfir][1]
Editor: Irfan Abu
Naveed, M.Pd.I
[Peneliti di Raudhah
Tsaqafiyyah Jawa Barat, Dosen, Penulis Buku Tafsir & Balaghah ”Menggugah Nafsiyyah
Dakwah Berjama’ah”]
Mukadimah
D
|
i tengah hiruk pikuk kehidupan dunia yang bisa memperdaya
hamba-hamba-Nya, di tengah fitnah sistem Demokrasi yang rusak dengan prinsip
kebebasannya, kaum Muslim seringkali dihadapkan dengan beragam macam fitnah dan
namîmah (adu domba) yang dilakukan oleh mereka yang terpedaya, melupakan
akhirat demi harga dunia. Salah satu fitnah berbahaya tersebut, adalah fitnah
yang dialamatkan kepada gerakan dakwah yang mulia, Hizbut Tahrir Indonesia
(HTI), yang kelahirannya dibidani oleh para ulama, dibesarkan oleh mereka yang
ikhlash membela Din-Nya.
Dalam persidangan di PTUN, HTI pun menjadi sasaran fitnah oknum, salah satunya fitnah yang menstigma negatif HTI sebagai kelompok takfiri; mengkafirkan kaum Muslim, menimbulkan keresahan di tengah-tengah masyarakat, sehingga disimpulkan harus dibubarkan oleh pemerintah. Ciri gerakan radikal adalah menganut paham takfiri,” kata Ansyaad Mbay pada sidang di PTUN Kamis 1/3/18 yang lalu. Menurut ahli yang didatangkan pemerintah ini, paham takfiri adalah paham yang mengkafirkan orang lain yang berbeda paham dengan kelompoknya.
Tak sekadar mengkafirkan. Menurut Mbay, para penganut paham takfiri ini pun menghalalkan darah orang yang dianggap kafir tersebut. “Paham radikal inilah yang melahirkan terorisme,” ujar mantan Ketua BNPT itu meyakinkan. Setelah menjelaskan ciri-ciri lainnya, Ansyaad Mbay pun menegaskan bahwa HTI termasuk organisasi radikal. Meskipun demikian, ia sama sekali tak bisa menunjukkan bukti-bukti atas tuduhan seriusnya tersebut.
Tak sekadar mengkafirkan. Menurut Mbay, para penganut paham takfiri ini pun menghalalkan darah orang yang dianggap kafir tersebut. “Paham radikal inilah yang melahirkan terorisme,” ujar mantan Ketua BNPT itu meyakinkan. Setelah menjelaskan ciri-ciri lainnya, Ansyaad Mbay pun menegaskan bahwa HTI termasuk organisasi radikal. Meskipun demikian, ia sama sekali tak bisa menunjukkan bukti-bukti atas tuduhan seriusnya tersebut.
Benarkah tuduhan-tuduhan
tersebut? Bertolak dari penelitian mendalam saya terhadap sepak terjang dakwah
HT selama ini, maka tuduhan-tuduhan di atas lebih tepat dinilai sebagai
khurafat. Apa itu khurafat? Khurafat dalam bahasa sekarang diistilahkan hoax, asal usul kata
ini: ”ما اخترف أي اقتطف من ثمار الشجر ثم جعل اسما لما يتلهى به من الحديث” yakni apa-apa yang dipungut dari buah-buahan dari
pepohonan kemudian dipakai untuk menamai apa-apa yang menghibur diri dengannya
berupa perkataan.[2] Orang-orang arab
jika mendengar perkataan yang tidak ada asal-usulnya menyebutnya “حديث
خرافة” (perkataan khurafat), dan konotasinya meluas hingga dikatakan
untuk perkara-perkara batil: khurâfât.[3] Ini sejalan
dengan keterangan dalam Kamus al-Shihaah, bahwa al-khurâfât
merupakan perkara-perkara batil (al-abâthîl) dan kedustaan (al-akâdzîb).[4]
Menurut Imam al-Laits sebagaimana dinukil Imam al-Azhari
dalam Tahdzîb al-Lughah yakni:
الْخُرَافةُ: حَدِيث مُسْتَمْلَحٌ كَذِبٌ
Atau
dalam istilah lain, seperti yang disebutkan oleh Prof. Dr. Muhammad Rawwas
Qal’ah Ji (w. 1435 H):
الخرافة: ج خرافات، الكلام الذي لا صحة له
“Al-Khurâfat: jamaknya khurâfât yakni
perkataan yang tidak ada kebenaran di dalamnya.”[6]
Kenyataannya, tuduhan bahwa
HTI adalah kelompok takfiri merupakan khurafat, hoax yang wajib dijauhi.
Terlebih jika didapati bahwa: kesalahan mendasar tuduhan tersebut berangkat
dari kesalahan fatal mengandalkan logical fallacy, dengan cara
menyematkan perkara yang buruk kepada pihak yang dikritisi sehingga mudah untuk
dijatuhkan; jelas ini merupakan kesalahan fatal yang sangat mendasar. Mengingat
apa yang disampaikan hanya klaim semata tanpa bukti, sehingga tak layak
dipercaya, terlebih khurafat tersebut ternyata diandalkan untuk mendukung sikap
zhalim rezim yang menimbulkan kegaduhan di masyarakat dalam isu pembubaran HTI.
Maka terang benderang,
secara ilmiah tuduhan tersebut kembali kepada pihak penuduh, ketika pihak
penuduh tak mampu menyodorkan bukti-bukti tuduhannya, kecuali hanya klaim
sepihak yang tak bisa dipertanggungjawabkan secara mapan, mengandalkan logical
fallacy menjadi fitnah semata. Padahal kaidahnya, penuduh wajib menunjukkan
buktinya, jika tidak maka akan ada banyak fitnah yang dijustifikasi tersebar
dari orang-orang yang tak bertanggungjawab, menimpakan malapetaka terhadap kaum
Muslim, Allah al-Musta’an, sesuai pesan nabawi:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَـا
؛ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَوْ يُعْطَى النَّاسُ
بِدَعْوَاهُمْ لَادَّعَى رِجَالٌ أَمْوَالَ قَوْمٍ وَدِمَاءَهُمْ ، وَلَكِنِ الْبَيِّنَةُ
عَلَـى الْـمُدَّعِيْ ، وَالْيَمِيْنُ عَلَـى مَنْ أَنْكَرَ
Dari Ibnu ‘Abbas
Radhiyallahu anhuma bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Seandainya (setiap) orang dipenuhi klaim (tuduhan) mereka, maka tentu akan ada
orang-orang yang akan mengklaim (menuduh/menuntut) harta dan darah suatu kaum,
namun barang bukti wajib bagi pendakwa (penuduh) dan sumpah wajib bagi orang
yang tidak mengaku/terdakwa.” (HR.
Muttafaqun alayhi)
A. Menimbang Dakwah Hizbut
Tahrir Secara Adil
Hizbut Tahrir adalah hizbuLlah;
kelompok dakwah yang mendakwahkan DinuLlah, lahir dibidani oleh para
ulama rabbani, rahimahumuLlah, dibesarkan oleh tangan-tangan yang
ikhlash menolong Din-Nya. Mulia tujuannya dan luhur cita-citanya, saksikan bahwa Hizbut Tahrir bertekad menjadikan Islam sebagai jantung
kehidupannya, berjuang menegakkan kehidupan Islam demi meraih keridhaan Allah
semata, cukuplah Allah menjadi saksinya, sebagaimana ditegaskan dalam kitab Ta’rîf
Hizb al-Tahrîr:
غاية حزب
التحرير هي استئناف الحياة الإسلامية، وحمل الدعوة الإسلامية إلى العالم. وهذه
الغاية تعني إعادة المسلمين إلى العيش عيشًا إسلاميًا في دار الإسلام، وفي مجتمع
إسلامي، بحيث تكون جميع شؤون الحياة فيه مسيرة وفق الأحكام الشرعية
Tujuan Hizbut Tahrir adalah melanjutkan kehidupan Islam,
dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Dan tujuan ini yakni
(terwujud) dengan mengembalikan kaum Muslim kepada kehidupan islami dalam
naungan Dâr al-Islâm, dalam masyarakat islami, dimana seluruh urusan kehidupan
di dalamnya sejalan dengan hukum-hukum syari’ah.[7]
Tujuan
ini, lalu diterjemahkan oleh para kadernya dalam bahasa sikap: aktif menjalin
komunikasi dengan berbagai pihak; para alim ulama, tokoh lintas ormas Islam,
pesantren, lembaga pendidikan dan lain sebagainya; menyampaikan gagasan-gagasan
segar memerhatikan urusan umat dan solusinya dalam Islam, sehingga umat
menyadari kewajiban menerapkan syari’at Islam dalam kehidupan. Apa yang
disampaikan Hizbut Tahrir selama ini menunaikan perintah Allah ’Azza wa
Jalla:
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ
بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي
هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ
ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ
بِالْمُهْتَدِينَ {١٢٥}
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya
dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Nahl [16]: 125)
Jalinan komunikasi dakwah tersebut menggambarkan
keyakinan Hizbut Tahrir terhadap firman Allah SWT yang menggambarkan hubungan
mulia di antara mereka:
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ
بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ
بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ
وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ أُولَٰئِكَ
سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ
حَكِيمٌ {٧١}
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan,
sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. mereka
menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan
shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu
akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” (QS. Al-Tawbah [9]: 71)
Jalinan komunikasi aktif tersebut takkan terjalin baik
jika sedari awal HT memvonis mereka sebagai orang kafir, ini perkara muhal (mustahil),
tidak logis, hadza min al-qiyâs badî’. Para syabab HT pun berasal dari
berbagai latar belakang pendidikan dan status sosial: kyai, dosen, mahasiswa,
santri, pelajar, pedagang. Muslim dan muslimah, tua dan muda hingga remaja.
Poin ini pun sebenarnya sudah cukup membantah tuduhan oknum sebelumnya bahwa:
HT menebarkan keresahan di tengah-tengah masyarakat. Pada saat yang sama,
dukungan umat justru menguat dan semakin mengemuka, HT semakin dekat di hati
masyarakat. Bukankah mereka yang menikam HT dengan seabreg tuduhan ini pun
mendapati buktinya? Ketika rezim menimbulkan kegaduhan di masyarakat, dengan menggulirkan isu zhalim
”membubarkan gerakan dakwah Hizbut Tahrir” dengan beragam alasan yang
diada-adakan. Masyarakat luas, di antaranya para ulama dari berbagai daerah
justru berpihak pada HTI, barakaLlâhu lanâ wa lahum, bahkan hal itu tampak
di depan mata mereka (para penuduh) sendiri ketika duduk di PTUN.
Ini konsekuensi logis dari dakwah aktif yang
mengedepankan ukhuwwah imaniyyah, daripada al-nafs al-lawwamah yang
menjerumuskan seseorang mudah memfitnah saudara seakidahnya, dan menjegal
dakwahnya, tersulut provokasi oknum untuk menjegal agenda-agenda da’wiyyah yang
mulia, pada saat yang sama getol menjaga perayaan-perayaan yang dinilai Allah ’Azza
wa Jalla sebagai acara al-zûrr (kedustaan atau kebatilan) (lihat: QS.
Al-Furqân [25]: 72).
Dakwah HT selama ini secara terang-terangan; berinteraksi
aktif dengan masyarakat sesuai dengan marhalah dakwah yang ditempuh HT
meniti jalannya Rasulullah SAW, dalam rangka membina mereka dengan Islam (al-tatsqif),
menunjukkan dekatnya HT dengan masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari, para
syabab HT pun berbaur dengan masyarakat, ada yang menjadi pengasuh pondok
pesantren dan lembaga pendidikan, menjadi pengurus masjid, mengisi jadwal imam
dan khutbah jum’at, dan lain sebagainya. Semua kedekatan itu mustahil diraih
HTI jika HTI takfiri, mengkafirkan kaum Muslim.
Itu semua bisa dibuktikan secara ilmiah, dengan penelitian-penelitian
ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan secara mapan, jauh dari asumsi-asumsi
bias berstandar ganda. Ingatlah, sesungguhnya Hizbut Tahrir bergerak di
tengah-tengah umat, mengharapkan kebaikan bagi mereka karena Allah, menunaikan
firman-Nya:
وَلْتَكُنْ
مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ
وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
{١٠٤}
“Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang
menyeru kepada al-khayr (al-Islam), menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang
dari yang mungkar, dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Âli Imrân [3]: 104)
Dimana ulama nusantara yang mendunia, guru dari para
masyayikh pesantren di negeri ini, Al-’Allamah Al-Syaikh Nawawi al-Bantani
al-Syafi’i –dan para ulama lainnya- menjadikan ayat ini sebagai dalil wajibnya
menegakkan al-amr bi al-ma’rûf wa al-nahy ’an al-munkar, dan
meninggalkan perbuatan melarang dari kemungkaran termasuk kemaksiatan lisan.[8] Dan HT
mengemban amanah agung ini di pundaknya demi meraih keridhaan Allah SWT. Maka
dukunglah gerakan dakwah yang mulia ini, jangan terpedaya was wasah syaithan
golongan jin dan syaithan golongan manusia, raihlah kemuliaan bersama Hizbut
Tahrir dengan memperjuangkan kehidupan Islam sebagai bekal hidup di dunia dan
akhirat.
B. Mengkaji Pemikiran HT
Menyoal Takfir
1.
HT Tidak Mengkafirkan Orang Lain Secara
Serampangan
HTI tidak pernah mengkafirkan sesama Muslim hanya karena
perbedaan pandangan dan kelompok. Tidak ada satu pun dokumen resmi yang
dikeluarkan HTI mengatakan demikian. HTI justru menjelaskan bahwa status iman
dan kufurnya seseorang ditentukan oleh aqidahnya (lihat al-Syakhshiyyah
al-Islamiyyah, I/196). Selama masih memeluk aqidah Islam, maka dia tetap
Muslim, walaupun melakukan sebuah pebuatan maksiat (lihat al-Syakhshiyyah
al-Islamiyyah, I/24).
2.
Nasihat Amir HT Terkait Vonis Takfir
Al-’Alim al-Syaikh ’Atha bin Khalil -ulama mujtahid, amir
HT- dalam kitab tafsirnya ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah [2]: 1-5, beliau
menjelaskan perbedaan antara status orang yang melakukan pelanggaran atas hukum
syara’ (tanpa ada pengingkaran atas hukum syara’ yang qath’i) dengan orang yang
menyelisihi akidah Islam (tidak iman/kufur), beliau menjelaskan lebih lanjut:
“….Saya sampaikan hal ini
karena pada saat ini kita mendengar seseorang yang mengkafirkan saudaranya
dengan prasangka belaka, sehingga seakan-akan vonis takfir mudah saja bagi
mereka, di sisi lain mengkafirkan seorang muslim tanpa dalil yang qath’i adalah
perkara besar dalam Islam. Rasulullah –shallallahu
’alayhi wa sallam- bersabda:
«مَنْ قَالَ لِأَخِيهِ يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا»
”Barangsiapa berkata
kepada saudaranya ”hai kafir”, maka sungguh hal itu akan kembali kepada salah
seorang di antaranya.” (HR.
Al-Bukhari[9], Ahmad[10], Malik[11])
Lalu al-’Alim al-Syaikh ’Atha bin Khalil menyampaikan nasihat:
ولذلك
فمن لاحظ من أخيه ارتكاب معصية فلا يسارع إلى تكفيره، بل يسارع إلى أمره بالمعروف
ونهيه عن المنكر، ليصلح حال أخيه، فيدرك ذنبه، ويستغفر ربه سبحانه وتعالى
Oleh
karena itu, siapa saja yang menemukan saudaranya melakukan kemaksiatan
janganlah tergesa-gesa (serampangan-pen.) mengkafirkannya, akan tetapi
semestinya bersegera dalam memerintahkannya kepada yang ma’ruf dan mencegahnya
dari kemungkaran, untuk memperbaiki keadaan saudaranya, menyadarkannya dari
dosanya, dan memohonkan ampunan kepada Rabb-nya –subhanahu wa ta’ala-.[12]
Hal
senada beliau tegaskan lagi dalam website resmi Amir HT, al-Âlim al-Jalîl Atha bin
Khalil Abu Al-Rastah berkata:
ولذلك
فإن الذي سار عليه المسلمون هو عدم تكفير مسلم بذنب ارتكبه إلا إذا كان فيه إنكار كمن
لا يصوم وينكر فرض الصيام فهذا يكفر بذلك، وأما الذي لا يصوم ويقر بفرض الصيام فهو
فاسق وليس كافراً لأن التكفير لا يكون إلا باليقين، فالتكفير أمر كبير في الإسلام والرسول
-صلى الله عليه وسلم- يقول: «إِذَا قَالَ الرَّجُلُ لِأَخِيهِ يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ
بِهِ أَحَدُهُمَا» رواه البخاري من طريق أبي هريرة، وفي رواية لأحمد عن ابن عمر عَنْ
النَّبِيِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ «مَنْ كَفَّرَ أَخَاهُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا..»
Oleh
karena itu, sesungguhnya yang dijalani oleh kaum Muslim adalah tidak
mengkafirkan orang yang seorang Muslim karena dosa yang dikerjakannya kecuali
terdapat pengingkaran di dalamnya, seperti orang yang tidak berpuasa dan
mengingkari wajibnya puasa, dia dianggap kafir karena pengingkarannya itu.
Adapun orang yang tidak berpuasa namun tetap mengakui wajibnya puasa, maka dia
fasik, bukan kafir. Sebab, pengkafiran tidak terjad kecuali pada keyakinan.
Pengkafiran merupakan perkara besar dalam Islam, dan Rasulullah saw bersabda:
“Apabila seseorang berkata kepada saudaranya, ‘Wahai orang kafir’, maka akan
kembali kepada salah satu dari keduanya (HR al-Bukhari dari Abu Hurairah).
Dalam riwayat Imam Ahmad dari Ibnu Umar, dari Nabi saw: “Barangsiapa yang
menganggap saudaranya kafir, maka kembali kepada salah satu dari keduanya.”
Inilah
pemahaman dan akhlak luhur seorang Amir Hizbut Tahrir, lalu bagaimana mungkin
dibenarkan tuduhan HT takfiri, menggampangkan untuk memvonis kufur kaum Muslim?
Dengan demikian, tuduhan Ansyad Mbay bahwa HTI menganut paham takfiri, dalam
pengertian mengkafirkan orang yang berbeda atau kelompok lain, jelas merupakan kedustaan.
3.
Kesamaan Pandangan Antara HT dan Ulama
Mu’tabar Menyoal Takfir
Untuk
diketahui, sikap HTI tersebut tidak berbeda dengan pandangan para ulama
mu’tabar. Al-Hafizh al-Nawawi (w. 676 H) berkata:
واعلم
أن مذهب أهل الحق أنه لا يكفر أحد من أهل القبلة بذنب ولا يكفر أهل الاهواء والبدع
وأن من جحد ما يعلم من دين الاسلام ضرورة حكم بردته وكفره
Ketahuilah bahwa madzhab
ahlul haq adalah tidak mengkafirkan seseorang di antara ahlul qiblah (orang
Muslim) karena perbuatan dosa. Juga tidak mengkafirkan orang yang menjadi budak
nafsu dan pelaku bid’ah. Namun orang yang mengingkari sesuatu yang diketahui
bagian dari agama ini dengan pasti, maka ia dihukumi murtad dan kafir.[13]
Hukum yang sama juga
berlaku bagi yang menghalalkan zina, khamr, pembunuhan, atau perkara-perkara
haram yang lain, yang keharamannya diketahui dengan pasti.[14]
4.
Menyoal Vonis ”Kafir” dalam Islam
Jika yang dimaksudkan
dengan paham takfiri oleh Ansyaad Mbay adalah pandangan yang memvonis orang non
muslim sebagai orang kafir, maka ini bukan hanya dikatakan oleh HTI, tapi juga
dilafalkan dalam banyak nas al-Qur’an dan hadits-hadits nabawiyyah. Dalam nas
al-Qur’an misalnya: QS. Al-Bayyinah [98]: 1 dan 6, QS. Al-Nisa’ [4]: 150-151, QS.
Al-Maidah [5]: 72-73 , dan banyak sekali ayat-ayat lainnya, didukung oleh
hadits-hadits nabawiyyah yang tak mungkin dipungkiri oleh mereka yang beriman
terhadap Allah dan Rasul-Nya. Misalnya tentang Kekufuran mereka yang
menyekutukan Allah dengan Isa a.s.:
لَقَدْ
كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ ۚ قُلْ فَمَنْ
يَمْلِكُ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا إِنْ أَرَادَ أَنْ يُهْلِكَ الْمَسِيحَ ابْنَ
مَرْيَمَ وَأُمَّهُ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ۗ وَلِلَّهِ
مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا ۚ يَخْلُقُ
مَا يَشَاءُ ۚ وَاللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ {١٧}
”Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata:
"Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putra Maryam." Katakanlah:
"Maka siapakah (gerangan) yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah,
jika Dia hendak membinasakan Al-Masih putra Maryam itu beserta ibunya dan
seluruh orang-orang yang berada di bumi kesemuanya?." Kepunyaan Allahlah
kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya; Dia menciptakan
apa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS.
Al-Mâ’idah [5]: 17)
Kekufuran mereka yang menyekutukan Allah dengan Isa a.s.,
padahal Isa a.s. adalah hamba-Nya, nabi dan rasul-Nya yang menyeru kepada
mentauhidkan Allah, menolak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun:
لَقَدْ
كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ ۖ وَقَالَ
الْمَسِيحُ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ ۖ إِنَّهُ
مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ
النَّارُ ۖ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ {٧٢}
”Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata:
"Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putera Maryam", padahal Al-Masih
(sendiri) berkata: "Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan
Tuhanmu." Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah,
maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka,
tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.” (QS. Al-Mâ’idah [5]: 72)
Menurut Imam Abu Ja’far al-Nahhas
al-Nahwi (w. 338 H), ayat ini menjelaskan bantahan yang qath’i (tegas, pasti)
atas keyakinan batil yang mempertuhankan Isa a.s[15] dengan
seruan dari Isa a.s. yang justru menyeru untuk mentauhidkan Allah dan tidak
menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Karena Ibnu ’Abbas r.a. ketika
menafsirkan perintah (اعْبُدُوا اللَّهَ) maknanya adalah tauhidkanlah Allah, sebagaimana dinukil oleh
Imam Ibnu Abi Hatim al-Razi (w. 327 H).[16]
Para ulama pun tidak
berbeda tentang ini, mengingat istilah kafir, kufr, iman, mu’min merupakan
istilah-istilah syar’i (mushthalahat syar’iyyah), yang mengandung makna
bahasa (al-haqiqah al-lughawiyyah) dan makna syar’i (al-haqiqah
al-syar’iyyah). Mereka sepakat bahwa semua pemeluk agama selain Islam
adalah kafir. Imam Ibn Hazm al-Andalusi (w. 456 H) pun mendokumentasikan
konsensus ulama menyoal istilah ini:
وَاتَّفَقُوا عَلَى تَسْمِيَةِ
الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى كُفَّارًا
Mereka (para ulama) sepakat
tentang penamaan orang Yahudi dan Nasrani sebagai orang-orang kafir.[17]
Bahkan, tidak menganggap
pemeluk agama selain Islam sebagai orang kafir juga membuat pelakunya dihukumi
kafir. Al-Qadhi Iyadh (w. 544 H), seorang ulama besar madzhab Maliki, berkata:
ولهذا نُكَفّر من لم يُكَفّر من دَان بِغَيْر ملّة الْمُسْلِمِين
مِن المِلَل أَو وَقَف فِيهِم أَو شَكّ أَو صَحَّح مَذْهَبَهُم وإن أظْهَر مَع ذَلِك
الْإِسْلَام وَاعْتَقَدَه وَاعْتَقَد إبْطَال كُلّ مذْهَب سِواه فَهُو كَافِر بإظْهَارِه
مَا أظْهَر من خِلَاف ذَلِك
Oleh karena itu kami
menganggap kafir orang yang beragama apa pun selain Islam, ragu atas kesalahan
mereka, atau menganggap benar madzhab mereka walaupun dia menampakkan keislaman
dan meyakini Islam serta menganggap batil semua madzhab selainnya. Ia kafir
karena menampakkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang diyakininya.[18]
Al-Syaikh Manshur
al-Bahuti (w. 1051 H), seorang ulama besar dari Madzhab Hanbali, berkata:
)أَوْ لَمْ يُكَفِّرْ مَنْ دَانَ) أَيْ
تَدَيَّنَ (بِغَيْرِ الْإِسْلَامِ كَالنَّصَارَى) وَالْيَهُودِ (أَوْ شَكَّ فِي كُفْرِهِمْ
أَوْ صَحَّحَ مَذْهَبَهُمْ) فَهُوَ كَافِرٌ لِأَنَّهُ مُكَذِّبٌ لِقَوْلِهِ تَعَالَى:
{وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ
مِنَ الْخَاسِرِينَ} [آل عمران: 85[
Atau tidak menganggap
kafir orang yang beragama selain Islam, seperti Nasrani (dan Yahudi), ragu
terhadap kekufuran mereka, atau menganggap benar madzhab mereka, maka dia
kafir, karena mendustakan firman Allah Swt dalam QS Ali Imran [3]: 85.[19]
Jika pemahaman seperti
ini disebut sebagai paham radikal dalam konotasi negatif, maka Ansyaad Mbay
tidak sedang menyerang HTI, namun juga menyerang para ulama mu’tabar yang memiliki
pandangan yang sama. Lebih dari itu, bahkan bisa jadi termasuk perbuatan menyerang
ajaran Islam itu sendiri, apakah seperti itu? Silahkan dievaluasi.
5.
Perincian Menyoal Hukum Membunuh Orang Non Muslim
Penyebutan orang nonmuslim sebagai kafir, bukan berarti
boleh membunuh mereka tanpa alasan yang dibenarkan syara’ seperti tuduhan Mbay.
Sebagaimana penjelasan para ulama mu’tabar, HTI pun berpandangan bahwa tidak
boleh memaksa orang kafir untuk masuk Islam, apalagi dengan membunuh mereka.
al-Allamah al-Syaikh Taqiyuddin al-Nabhani (w. 1396 H) berkata:
فلا يعاقِب الخليفة الكفار على عدم الإيمان بالإسلام إلاّ إذا
كانوا من مشركي العرب غير أهل الكتاب، وذلك لقوله تعالى: (لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ)،
وقوله: (حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ )
Maka khalifah tidak menghukum orang-orang kafir karena
ketidakimanan mereka terhadap Islam, kecuali orang-orang musyrik Arab yang
bukan Ahli Kitab. Hal ini didasarkan pada firman Allah Swt: Tidak ada paksaan
dalam memeluk agama Islam (QS al-Baqarah [2]: 256). Juga firman-Nya: Hingga
mereka membayar jizyah dengan patuh dan mereka dalam keadaan tunduk (QS
al-Taubah [9]: 29).[20]
Disebutkan juga dalam kitab yang sama:
وكذلك لا يكلَّفون بصلاة المسلمين
ولا يُمنعون من صلاتهم
Demikian pula, mereka tidak ditaklif untuk mengerjakan
shalatnya orang Islam; mereka juga tidak dilarang mengerjakan shalat (ibadah)
mereka sendiri.[21]
Adapun memerangi kaum kafir harbi, lugasnya kaum yang
memerangi Islam dan kaum Muslim maka memiliki perincian hukum yang lebih
spesifik. Prof. Dr. Muhammad
Rawwas Qal’ah Ji (w. 1435 H), dalam kamus bahasa ahli fikih-nya, Mu’jam
Lughat al-Fuqahâ’ menjelaskan perinciannya:
دار الحرب: بلاد العدو الكافر
المحارب / الحربي: منسوب إلى الحرب : الكافر الذي يحمل جنسية الدولة
الكافرة المحاربة للمسلمين
Dar al-Harb: negeri musuh yang kafir serta memerangi
(Islam dan kaum Muslim)/ Kafir al-Harbi: dinisbatkan pada aktivitas perang.
Kafir harbi: kafir yang memiliki kewarganegaraan Negara Kafir yang memerangi
kaum Muslim.[22]
Terdapat banyak rincian fakta dan keadaan yang mengandung
banyak konsekuensi hukum. Yang pasti, membunuh dan memerangi mereka di medan
pertempuran bukan sesuatu yang terlarang, bahkan diperintahkan sebagai bagian
dari syari’at Islam yang agung dan mengandung hikmah serta kemaslahatan. Allah ’Azza wa Jalla pun
berfirman salah satunya dalam al-Qur’an:
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ
لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا
شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ {٢١٦}
“Difardhukan bagi kamu berperang, padahal ia adalah
sesuatu yang engkau benci. Bisa jadi engkau membenci sesuatu,
padahal ia amat baik bagimu, dan bisa jadi engkau menyukai sesuatu, padahal ia
amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]:
216)
Ayat ini dan QS. 21: 107 pun
menjadi dalil kaidah syar’iyyah yang ditegaskan para ulama:
حيثما
يكن الشرع تكن المصلحة
Berkaitan dengan syari’at jihad memerangi kaum Kafir harbi
pun, maka jelas bahwa ia bagian dari ajaran Islam dengan segala kebaikannya. Hal ini
terang benderang diyakini oleh mereka yang mengimani standar baik dan buruk adalah Islam itu sendiri, yakni prinsip halal dan haram menurut
syari’at. Hal itu karena akal manusia terbatas untuk memahami hakikat kebaikan dan
keburukan. Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H) mengatakan bahwa akal dengan
sendirinya lemah tidak mampu menjangkau segala sesuatu dengan bagian-bagiannya
seperti mengetahui secara umum baiknya keyakinan yang benar, perkataan jujur,
perbuatan yang terpuji, baiknya keadilan dan memelihara kehormatan... Adapun
syari’at mengetahui segala sesuatu dan bagian-bagiannya dan menjelaskan apa-apa
yang wajib diyakini satu per satu.[24]
C. Kesimpulan
Dari
penjelasan di atas, telah terbukti kesalahan Ansyaad Mbay dalam tuduhannya terhadap HTI menyoal
takfir. HT jelas bersama umat dalam mendakwahkan Islam, memimpin mereka untuk
kembali meraih kemuliaan dengan Islam, jauh dari hal-hal negatif yang
dituduhkan.
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ
أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ {١١٠}
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah.” (QS. Âli Imrân [3]: 110)
والله أعلم بالصواب
[1] Diadaptasi,
ditambahkan, disusun ulang dari tulisan KH. Rokhmat Labib.
[2] Syihabuddin Ahmad bin Muhammad al-Khufaji al-Hanafi, ‘Inâyat al-Qâdhi
wa Kifâyat al-Râdhi ‘alâ Tafsîr a-Baydhâwi (Hasyiyyah al-Syihâb ‘alâ Tafsîr
al-Baydhâwi), Beirut: Dâr Shâdir, juz IV, hlm. 41.
[3] ‘Abdurrahman bin Abi Bakr Jalaluddin al-Suyuthi, Nawâhid al-Abkâr wa
Syawârid al-Afkâr (Hasyiyyah al-Syuyûthi ‘alâ Tafsîr al-Baydhâwi), KSA:
Jâmi’ah Umm al-Qurâ’, 1424 H, juz III, hlm. 343.
[4] Ibid.
[5] Muhammad bin Ahmad bin al-Azhari, Tahdzîb al-Lughah, Beirut: Dâr
Ihyâ al-Turâts al-‘Arabi, cet. I, 2001, juz VII, hlm. 151; Abu al-Hasan ‘Ali
bin Isma’il al-Mursi, Al-Mukhashshish, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts
al-‘Arabiy, cet. I, 1417 H, juz IV, hlm. 5.
[6] Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji dkk, Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’, Beirut:
Dâr al-Nafâ’is, cet. II, 1408 H, hlm. 194.
[7] Hizbut Tahrir, Hizbut Tahrîr, Beirut: Dâr al-Ummah, cet. II, 1431
H, hlm. 23.
[8] Ibid, hlm. 125.
[9] Muhammad bin Isma’il Abu ’Abdullah al-Bukhari, Al-Adab al-Mufrad, Mesir:
Maktabah al-Khanji, cet. I, 1423 H/2003, juz I, hlm. 205, hadits no. 439.
[10] Abu ‘Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin
Hanbal, Ed: Syu’aib al-Arna’uth dkk, Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, cet. I,
1421 H/2001, juz X, hlm. 147, hadits no. 5914. Syu’aib al-Arna’uth dkk
mengatakan hadits ini shahih.
[11] Malik bin Anas, Al-Muwaththa’ (Riwâyat Yahya bin Yahya al-Laitsi), Ed:
Dr. Basyar Ma’ruf, Beirut: Dâr al-Gharb al-Islâmi, juz II, hlm. 579, hadits no.
2814.
[12] Al-‘Alim asy-Syaikh ‘Atha’ bin Khalil Abu Rusythah, Al-Taysîr fî Ushûl
Al-Tafsîr (Sûrah Al-Baqarah), Beirut: Dar al-Ummah, cet. II, 1427 H/
2006, hlm. 45-46.
[13] Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin
Syarf al-Nawawi, Al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim,
Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-’Arabi, cet. II, 1392 H, juz V, hlm. 5.
[14] Ibid.
[15] Abu Ja’far al-Nahhas Ahmad bin Muhammad al-Nahwiy, I’râb al-Qur’ân, Beirut:
Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1421 H, hlm. 277.
[16] Abu Muhammad ‘Abdurrahman bin Muhammad al-Razi Ibnu Abi Hatim, Tafsiir
al-Qur’ân al-‘Azhiim, KSA: Maktabah Nazzâr Mushthafa al-Bâz, cet. III, 1419
H, juz IV, hlm. 1178.
[17] Ali bin Ahmad Ibn Hazm al-Andalusi, Marâtib al-Ijmâ’, Beirut: Dâr
al-Kutub al-’Ilmiyyah, hlm.22.
[18] Iyadh bin Musa Abu al-Fadhl Al-Sabati, Al-Syifâ bi Ta’rif al-Huqûq
al-Musthafâ, Dâr al-Fikr, 1409 H, juz II, hlm. 286
[19] Manshur al-Bahuti, Kasyâf al-Qinâ’ ‘an Matnil Iqnâ’, Beirut: Dâr
al-Kutub al-’Ilmiyyah, juz VI, hlm. 170.
[20] Taqiyuddin bin Ibrahim al-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islâmiyyah,
Beirut: Dâr al-Ummah, 1994, juz III, hlm. 41.
[21] Ibid.
[22] Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji dkk, Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’, Beirut:
Dâr al-Nafâ’is, cet. II, 1408 H, hlm. 178.
[23] Ahmad al-Mahmud, Al-Da’wah ilal Islâm, juz I, hlm. 255; Muhammad Isma’il, al-Fikr
al-Islâmi juz I, hlm. 48.
[24] Abu Hamid Muhammad al-Ghazali
al-Thusi, Ma’ârij al-Quds fii Madrâj Ma’rifat al-Nafs, Beirut: Dâr
al-Âfâq al-Jadîdah, cet. II, 1975, juz I, hlm. 58.
Comments
Post a Comment