![]() |
al-omah.com |
Soal
Assalamualikum.izin
bertaya ustad.
Ilmu
nahwu bapaknya ilmu dan shorof ibunya ilmu,kutipan d atas yg harus d dahulukan
di pelajari itu ilmu nahwu,knpa tidak ilmu shorof yg harus d dahulukan ustadz. Ilmu shorof ibunya ilmu,di kaitkan dgn
perkataan rosulullah saw ,yg harus d utamakan itu ibumu2 smapai tiga kali
rosulullah meyebutkannya.
[Mahasiswa Smt II STAIS Al-Azhary Cianjur,
Jurusan PAI, Grup Bahasa Arab II (Muthala’ah)]
Jawaban
وعليكم
السلام ورحمة الله وبركاته
الحمدلله
رب العالمين والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه أجمعين وبعد
Dalam ungkapan arab
memang dikenal:
إنّ الصرف أمّ العلوم والنحو أبوها
Ilmu sharaf adalah
induknya ilmu, sedangkan ilmu nahwu adalah bapaknya.[1]
Muhammad Al-Tahanuwi al-Hanafi, yang wafat setelah tahun 1158 H menjelaskan
bahwa ungkapan ini menggambarkan bahwa seluruh ilmu bahasa arab dan ilmu syar’i
membutuhkan ilmu ini (yakni ilmu nahwu dan sharaf), seperti ilmu tafsir,
hadits, fikih dan ilmu kalam (ilmu manthiq).[2]
Ini sama seperti makna di balik ungkapan: al-Fatihah umm al-Qur’an (surat
al-fatihah induknya al-Qur’an), sebagaimana disebutkan Al-Hafizh al-Qurthubi
(w. 671 H).[3] Berdasarkan dalil hadits shahih dari Ubay bin Ka’ab r.a., ia berkata: Rasulullah
ﷺ bersabda:
«مَا أَنْزَلَ اللهُ فِي التَّوْرَاةِ، وَلَا فِي الْإِنْجِيلِ مِثْلَ
أُمِّ الْقُرْآنِ، وَهِيَ السَّبْعُ الْمَثَانِي»
“Tidaklah Allah menurunkan dalam al-Taurat, tidak pula dalam Injil, yang
menyamai Umm al-Qur’an (induk al-Qur’an), dan ia adalah al-Sab’u al-Matsâni
(tujuh pujian yang berulang-ulang).” (HR. Ahmad,
Al-Tirmidzi, Ibn Khuzaimah)[4]
Surat al-Fatihah
dinamakan umm al-Qur’an, karena surat yang agung ini memang mengandung
makna-makna pokok al-Qur’an, mencakup pokok agama dan cabang-cabangnya.
Mencakup tauhid, hukum-hukum, gambaran balasan, jalan-jalan kehidupan yang
ditempuh Bani Adam, dan lainnya.[5] Prof.
Dr. Wahbah al-Zuhaili (w. 1436 H) lebih rinci menjelaskan bahwa surat al-Fatihah
ini mengandung makna-makna al-Qur’an al-’Azhim, mencakup perkara pokok agama
dan cabang-cabangnya (ushûl al-dîn wa furû’uhu), mencakup akidah,
ibadah, penetapan hukum (tasyrî’), keimanan terhadap Hari Kebangkitan (yawm
al-ba’ats) dan sifat-sifat Allah yang terpuji, menunggalkan-Nya dalam
peribadatan dan pemintaan tolong serta berdo’a, mengandung permohonan diberi
petunjuk terhadap Din yang benar dan jalan yang lurus, serta mengandung
permohonan dicegah dari jalan orang-orang yang menyimpang dari petunjuk Allah
Ta’ala.[6]
Begitu pula perumpamaan kedudukan ilmu sharaf, yang menjadi dasar lahirnya
kata-kata (lafal-lafal) bahasa arab, yang menjadi objek dari ilmu bahasa arab dan
ilmu syar’i seperti ilmu tafsir, ilmu hadits, dan lainnya. Syamsuddin Ahmad
Danquz (w. 855 H) menjelaskan:
وفي قوله:
"وأم العلوم" أي أصلها تسمية للدال باسم المدلول شبهه بالأم من حيث الولادة
فكما أن الأم تلد الأولاد كذلك هذا العلم يلد الكلمات التي هي دوال العلوم وقوالبها
Dalam ungkapan: ”ilmu sharaf adalah induknya ilmu”, yakni pokoknya
ilmu, sebagai bentuk penamaan yang menunjukkan konteks penamaannya serupa
dengan kata al-umm (ibu), pada sisi al-wiladah (aktivitas
melahirkan), sebagaimana seorang ibu melahirkan anak-anaknya, begitu pula ilmu
sharaf ini yang melahirkan berbagai kata (lafal) bahasa arab, yang menjadi pokok-pokok
petunjuk ilmu dan bagian-bagiannya.[7]
Lalu jika dipertanyakan mana di antara kedua ilmu ini (nahwu dan sharaf) yang
perlu didahulukan? Maka jawabannya, kedua jenis ilmu ini dipelajari bersamaan,
bahkan umumnya memang dipelajari secara bersamaan. Sehingga diungkapkan majazi:
ibu dan bapaknya ilmu, dimana keduanya berpasangan tak bisa dipisahkan dan
saling melengkapi sehingga lahir lah generasi, dalam konteks ini yakni
ilmu-ilmu lainnya: ilmu bahasa arab dan ilmu syar’i.
Di sisi lain, keduanya merupakan dasar ilmu bahasa arab yang perlu
dipelajari bersamaan, sebelum lebih jauh berbicara tentang ilmu-ilmu bahasa
arab lainnya seperti ilmu balaghah (ma’ani, bayan dan badi’), ilmu matan
lughah, ilmu qardh al-syi’ri, dan lain sebagainya.
Adapun ungkapan Rasulullah ﷺ terkait penyebutan ibu 3 kali
dan bapak 1 kali, penyebutan ini benar dan sesuai, benar dan sesuai dengan
besarnya kedudukan sang ibu, lebih utama daripada bapak, namun hal itu tidak
berkaitan dengan urutan pengajaran ilmu sharaf dan nahwu, sebagaimana
dipraktikkan para guru yang umumnya mengajatkan ilmu nahwu dan sharaf
bersamaan.[]
Irfan Abu
Naveed al-Atsari, M.Pd.I
:: Dosen Bahasa
Arab
:: Penulis
buku kajian tafsir & balaghah "Menggugah Nafsiyyah Dakwah
Berjama'ah"
والله أعلم بالصواب
[1] Muhammad bin Ali
al-Tahanuwi al-Hanafi, Mawsû’at Kasyaf Ishthilâhât al-Funûn wa al-’Ulûm, Beirut:
Maktabat Lubnan Nasyirun, cet. I, 1996, juz I, hlm. 23.
[2] Ibid.
[3] Prof. Dr. Wahbah bin Mushthafa
al-Zuhaili, Al-Tafsîr al-Munîr
fî
al-‘Aqîdah wa al-Syarî’ah wa
al-Manhaj, Damaskus: Dâr al-Fikr al-Mu’âshir, cet.
II, 1418 H, juz I, hlm. 53.
[4] HR. Ahmad dalam Musnad-nya (no. 21094), Syu’aib
al-Arna’uth mengomentari bahwa sanadnya shahih sesuai syarat Muslim;
Al-Tirmidzi dalam Sunan-nya (V/297, no. 3125); Ibn Khuzaimah dalam Shahîh-nya
(I/281, no. 501) Dr. Mushthafa al-A’zhami mengomentari bahwa sanadnya shahih,
lafal Ahmad.
[5] Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Tafsîr Sûrat al-Fâtihah,
Riyadh: Mu’assasat al-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin al-Khayriyyah, 1434 H, hlm. 14.
[7] Syamsuddin Ahmad
Danquz, Syarhâni ‘alâ Murâh al-Arwâh fî ‘Ilm al-Sharf, Mesir: Mathba’ah
al-Babi al-Halabi, 1379 H, hlm. 3.
Comments
Post a Comment