[Koreksi Argumentatif Atas
Klaim Sdr. Ahmad Ishomuddin Tentang HTI dan Khilafah]
Oleh: Irfan Abu Naveed,
M.Pd.I[1]
D
|
i antara persoalan yang
cukup memprihatinkan di zaman ini adalah, munculnya suara-suara sumbang
sebagian oknum terhadap kepemimpinan Islam, yang disebutkan secara sharih dalam
al-Sunnah al-Nabawiyyah dan turats ulama ahlus sunnah dengan istilah al-khilafah/al-imamah
al-‘uzhma.
Ironisnya, suara sumbang tersebut justru keluar dari
lisan mereka yang mengaku seorang muslim, tak hanya tentang khilafah, gerakan
yang dibidani kelahirannya oleh para ulama dan dibesarkan oleh para mukhlishin,
yakni Hizbut Tahrir (HT) pun tak luput dari ketajaman lisan mereka
yang anti khilafah, sikap intoleransi pun diungkapkan secara verbal,
diungkapkan dengan berbagai ungkapan yang cukup memprihatinkan, padahal Hizbut
Tahrir didirikan oleh para ulama, berdasarkan taujih al-Qur’an: QS. Âli Imrân
[3]: 104, dan didirikan dengan visi dan misi agung dalam perjuangannya,
sebagaimana disebutkan dalam Ta’rif Hizb al-Tahrîr:
غاية حزب التحرير هي استئناف الحياة الإسلامية، وحمل الدعوة
الإسلامية إلى العالم. وهذه الغاية تعني إعادة المسلمين إلى العيش عيشًا إسلاميًا
في دار الإسلام، وفي مجتمع إسلامي، بحيث تكون جميع شؤون الحياة فيه مسيرة وفق
الأحكام الشرعية
Tujuan Hizbut Tahrir
adalah melanjutkan kehidupan Islam, dan mengemban dakwah Islam ke seluruh
penjuru dunia. Dan tujuan ini yakni (terwujud) dengan mengembalikan kaum
muslimin kepada kehidupan islami dalam naungan Dâr al-Islâm, dalam masyarakat
islami, dimana seluruh urusan kehidupan di dalamnya sejalan dengan hukum-hukum
syar’iyyah.[2]
Maka hendaknya mereka
mawas diri, agar tak menjadi bagian dari orang yang Allah sifati dalam ayat-Nya
yang agung:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ
عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا ۚ أُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ
مُهِينٌ {٦}
“Dan di antara manusia (ada) orang yang menggunakan
perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa
ilmu, dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh
azab yang menghinakan.” (QS.
Luqmân [31]: 6)
Frasa lahw al-hadits, mencakup perkara-perkara
kebatilan yang disuarakan atau dituliskan untuk menyesatkan manusia,
menyimpangkan mereka dari jalan Allah (Islam). Al-Hafizh Ibn Jarir al-Thabari
(w. 310 H) menuturkan bahwa cakupan frasa (lahw al-hadits) segala hal
berupa ucapan yang menyimpangkan (manusia) dari jalan Allah, berupa hal-hal
yang Allah dan Rasul-Nya larang untuk mendengarkannya, karena Allah SWT
mengungkapkan keumuman dalam firman-Nya: (lahw al-hadits), dan Dia tidak
mengkhususkannya. Oleh karena itu, ia tetap dalam keumumannya hingga ada dalil
yang mengkhususkannya.[3]
A.
Kaidah Ushul Mendefinisikan Istilah Khalifah dan Khilafah
Istilah khalifah (الخليفة) dan khilafah (الخلافة)
jelas merupakan lafal arab dan termasuk mushthalahat syar’iyyah, dalam
persepektif ilmu ushul ia menandung makna hakiki secara bahasa (al-haqiqah
al-lughawiyyah), dan makna hakiki secara syar’i (al-haqiqah
al-syar’iyyah), sama seperti istilah shalat, zakat, shaum, haji, iman, Islam,
takwa, kufur, nifaq, dan yang semisalnya dari berbagai istilah syari’at.
Kaidahnya: memaknai
istilah seperti ini wajib digali berdasarkan petunjuk-petunjuk al-Qur’an dan
al-Sunnah dengan ilmunya, tidak boleh didefinisikan sembarang orang, secara serampangan
dan ditarik kesimpulan secara gegabah, ini domainnya para ulama dengan ilmunya
(sebenar-benarnya ahli ilmu) dan melakukan penelitian mendalam, bukan muqallid
rasa mujtahid, yang memberanikan diri membahas persoalan besar
berbekal riset kecil-kecilan. Kaidah ini relevan dengan kedudukan istilah-istilah Islam (al-alfazh al-syar’iyyah) itu sendiri, sebagaimana ditegaskan
para pakar. Diantaranya Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili menegaskan:
وهذا ما بينه الله ورسوله فيجب الالتزام بدلالتها الشرعية
Dan ini (lafal-lafal syar’i) adalah apa-apa
yang Allah dan Rasul-Nya jelaskan, maka wajib berpegang teguh padanya,
berdasarkan petunjuk syar’inya.[4]
Hal senada diutarakan
oleh Dr. Muhammad Ahmad ‘Abdul Ghani:
فاللفظة حين تكون منتمية إلى الإسلام فإنها تكتسب المعنى
الشَّرْعي الذي يجب الالتزام به اعتقاداً وعملاً
Maka suatu lafal ketika termasuk
istilah islam, maka ia memiliki makna syar’i dimana Islam mewajibkan kita
terikat dengan makna ini, baik dari sisi i’tikad maupun pengamalan.[5]
Dimana dalam
perinciannya, makna syar’i ini dikedepankan daripada makna bahasanya,
sebagaimana diulas dalam kajian ushul.[6] Tidak sah jika makna
bahasa suatu lafal digunakan sebagai alat untuk menafikan makna syar’inya,
tidak sah meskipun seluruh manusia menyepakatinya.
Al-‘Allamah Taqiyuddin
bin Ibrahim al-Nabhani (w. 1396 H) pun menegaskan kaidahnya, bahwa perkara-perkara
yang berhubungan dengan definisi suatu perkara dari berbagai macam perkara,
baik definisi yang bersifat syar’i, seperti definisi hukum syara’, maupun
non-syar’i seperti definisi akal, masyarakat, dan lain sebagainya.[7] Perkara semacam ini dikembalikan
kepada definisi yang paling sesuai dengan fakta yang hendak didefinisikan, jika
ia merupakan istilah syar’i, maka dikembalikan kepada petunjuk syari’at itu
sendiri. Tidak ada pengambilan pendapat dalam masalah ini. Pada perkara-perkara
semacam ini, prinsip suara mayoritas tidak berlaku bahkan tidak boleh
diberlakukan.
Ini sama seperti perkara-perkara
yang berhubungan dengan masalah hukum syari’at dan pendapat-pendapat syar’i secara
umum, tidak boleh dimusyawarahkan atau divooting. Karena perkara-perkara
semacam ini sudah ditetapkan berdasarkan nas-nas al-Qur’an dan al-Sunnah. Kaum
muslim hanya diperintahkan berijtihad untuk menggali hukum-hukum dari keduanya.
Suara mayoritas tidak berlaku pada perkara-perkara semacam ini.
Bahkan ini merupakan
kesepakatan para ulama, Imam Fakhruddin al-Razi (w. 606 H) ketika menafsirkan
QS. Âli Imrân [3]: 159, menegaskan bahwa dalam perkara yang telah tetap nasnya
berdasarkan wahyu maka tidak boleh dimusyawarahkan dan ini merupakan
kesepakatan para ulama. Ia berkata:
اتَّفَقُوا عَلَى أَنَّ كُلَّ مَا نَزَلَ فِيهِ وَحْيٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ
لَمْ يَجُزْ لِلرَّسُولِ أَنْ يُشَاوِرَ فِيهِ الْأُمَّةَ، لِأَنَّهُ إِذَا جَاءَ النَّصُّ
بَطَلَ الرَّأْيُ وَالْقِيَاسُ
Para ulama bersepakat bahwa segala hal dimana
turun wahyu di dalamnya dari sisi Allah maka tidak boleh bagi Rasulullah –shallaLlâhu
’alayhi wa sallam- untuk memusyawarahkannya dengan umatnya, karena jika
datang nas maka batal pendapat pribadi dan qiyas.[8]
Poinnya, jika suatu istilah termasuk istilah
syari’at, maka didefinisikan sesuai petunjuk syari’at itu sendiri. Jika tidak, betapa
berbahayanya jika setiap orang bebas mendefinisikan suatu
istilah, akan
membuka kesempatan kepada orang-orang yang rusak akidah dan pemahamannya untuk
mengaburkan makna-makna istilah, dengan tujuan menimbulkan bencana kerancuan dalam pemahaman Islam, melibas batas-batas
kebenaran dan kebatilan yang sebelumnya tiada kesamaran. Semisal istilah sesat menyesatkan “Islam
Liberal”.
Dr. Muhammad Ahmad
‘Abdul Ghani menuturkan:
ويترتب
على هذا الانتماء حظر أيّ تداخل بين الألفاظ ذات المصطلحات الإسْلاميَّة من جهة
وكل المصطلحات غير الإسْلاميَّة من جهةٍ أخرى، ويترتب على هذه الاستقلالية للإسلام
حظر استعمال كل مصطلح له انتماء إلى عقيدة غير الإسلام. بل المفترض أن يكون منع
التداخل في المفاهيم والمصطلحات عاماً لكل مذهب أو عقيدة
Dan
menggagas penggabungan ini (baca: pengaburan istilah-istilah-pen.)
berbahaya, yakni menyebabkan tumpang tindih antara lafal-lafal yang
termasuk istilah islami di satu sisi dan istilah-istilah di luar islam di sisi
yang lain. Dan berbahaya pula terhadap islam, gagasan atas kebebasan penggunaan
istilah-istilah di luar akidah islam untuk diterapkan ke dalam istilah islam.
Maka, wajib dicegah adanya tumpang tindih dalam pemahaman-pemahaman dan
istilah-istilah ini secara umum bagi seluruh aliran atau keyakinan.[9]
Definisi itu sendiri merupakan deskripsi
realitas yang bersifat jâmi’ (komprehensif) dan mâni’ (protektif). Artinya,
definisi itu harus menyeluruh meliputi seluruh aspek yang dideskripsikan, dan
memproteksi sifat-sifat di luar substansi yang dideskripsikan. Inilah gambaran
mengenai definisi yang benar. Kesalahan mendefinisikan, bisa berimbas pada kesalahan pemahaman, dan akhirnya berujung pada kesalahan dalam penyikapan. Dukungan sebagian kaum
Muslim terhadap demokrasi, pada saat yang sama
anti terhadap sistem politik Islam, khilafah, menjadi salah satu buktinya.
B.
Kesalahan Mendasar Sdr. Ahmad Ishomuddin Terkait
Pemaknaan Khalifah
& Khilafah
Dalam perinciannya,
untuk sampai pada pengkajian komperhensif atas makna syar’i khalifah dan
khilafah, maka harus diteliti secara mendalam berdasarkan petunjuk al-Qur’an
dan al-Sunnah, mengingat istilah khalifah dan khilafah banyak disebutkan
hadits-hadits nabawiyyah, dengan konotasi kepemimpinan politik, lebih dari
sekedar makna ”pengganti”. Hingga para ulama muhaddits, salah satunya Imam
Muslim mengumpulkan hadits-hadits kepemimpinan (bab khusus berjudul Abwab
al-Imarat (bab-bab bahasan kepemimpinan)) dalam Shahih-nya, yang
jelas-jelas menukil hadits-hadits Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam-
terkait kepemimpinan politik. Sisi ini sudah cukup menunjukkan pentingnya
merujuk kepada para ulama terkait pendefinisian kata khalifah dan khilafah
secara syar’i.
Dengan kata lain, untuk
memahami makna khalifah dan khilafah yang banyak disebutkan Rasulullah –shallaLlâhu
’alayhi wa sallam- dalam haditsnya,
dan para ulama ahlus sunnah dalam turats-nya, maka tak cukup berhenti
pada definisi bahasa saja (al-haqiqah al-lughawiyyah), terlebih tidak
jika hanya berbekal riset sederhana pada kajian tafsir satu ayat dan
mengabaikan dalil-dalil syar’iyyah lainnya yang relevan. Termasuk ketika hendak
mengkritisi pemikiran para ulama HT yang sudah sampai pada tahap menjelaskan
makna syar’i dari kedua istilah ini.
Artinya jika ada
kritikus yang fokus membahas makna khalifah secara bahasa berbekal penafsiran
sebagian ulama atas suatu ayat, dan mengabaikan pengkajian makna syar’inya,
lalu memberanikan diri menuduh HT menyimpangkan makna khalifah dan khilafah,
maka kritikus seperti ini sebenarnya telah gagal sedari awal, karena tak
menyentuh esensi pemikiran pihak yang dikritik, tidak apalagi membantah
argumentasinya. Dengan kata lain tidak relevan, sehingga kritikannya menyalahi
esensi dari kaidah balaghiyyah (ilmu al-ma’ani), ketika mengungkapkan suatu
perkataan:
لكل مقام مقال
Untuk setiap keadaan
(pihak yang diajak bicara), ada perkataan tertentu (atasnya).[10]
Kesalahan mendasar seperti
ini yang terjadi dalam kasus tuduhan sdr. Ahmad Ishomuddin terhadap HT, yang
menuduh HT telah menyimpangkan makna Khalifah dan Khilafah dengan mendasarkan
tuduhannya pada penjelasan prematur, belum selesai. Ibarat seseorang yang fokus
menjelaskan makna bahasa “shalat”, lalu menyalahkan para ulama yang menjelaskan
makna syar’inya. Bahaya reduksi dan deradikalisasi atas makna syar’i khalifah
dan khilafah ini, sama seperti orang yang mengklaim makna shalat adalah do’a,
maka orang yang berdo’a sudah cukup diklaim telah menegakkan shalat, padahal
makna tersebut adalah makna bahasa, yang tidak mewakili makna syar’inya.
Dalam paper dan
penjelasannya di pengadilan PTUN, Sdr. Ishomuddin, jelas sekedar menukil
penafsiran sebagian ulama atas QS. Al-Baqarah [2]: 30. Ironisnya, para ulama
yang dinukil Ishomuddin ini pun sebenarnya tak sedang membantah pembahasan
makna khalifah dalam persepektif syar’i kaitannya dengan kepemimpinan politik,
opini yang ada hanya kesimpulan sepihak Ishomuddin yang prematur. Layak dinilai
prematur karena kesimpulannya menyalahi kaidah-kaidah ushul dalam pengkajian
istilah, tidak memenuhi syarat penelitian ilmiah, dan jelasnya menyalahi apa
yang dipahami para ulama ahlus sunnah itu sendiri, ini akan penyusun buktikan in
sya Allah.
Nasihat saya bagi
siapapun yang hendak mengkritisi pihak lain, hendaklah mawas diri, sebelum
menyesal di kemudian hari, tak terjatuh dalam kesalahan fatal yang dikritik
oleh Imam Tajuddin al-Subki (w. 771 H):
فكثيرا
ما رأيت من يسمع لفظة فيفهمها على غير وجهها
Aku melihat banyak orang
yang mendengar sebuah perkataan, namun memahaminya bukan seperti apa yang
dimaksudkan.[11]
Dan hendaknya jauh dari
sikap tergesa-gesa, dimana para ulama pun memperingatkan dari bahaya
ketergesa-gesaan, yang bisa jadi lahir dari ketidakpahaman dan kebingungan,
dari Ibn Wahb, ia mengatakan telah mendengar Imam Malik r.a. berkata:
الْعَجَلَةُ
فِي الْفَتْوَى نَوْعٌ مِنَ الْجَهْلِ وَالْخُرْقِ
Ketergesa-gesaan dalam
berfatwa merupakan jenis ketidakpahaman dan keraguan.[12]
C. Makna Khalifah Secara Bahasa & Syar’i
1.
Makna
Khalifah Secara Bahasa (al-Haqiqah al-Lughawiyyah)
Kata khalifah (الخليفة) jelas termasuk lafal arab. Secara bahasa, dalam
ilmu ushul diistilahkan al-haqiqah al-lughawiyyah, istilah khalifah
berkonotasi pengganti dalam konotasi yang luas, yakni pengganti pihak
sebelumnya. Al-Khalîfah (الخليفة)
secara bahasa berasal dari kata khalafa, secara harfiah bermakna
”pengganti”, adapun perincian mengenai pemaknaan bentuk-bentuk turunan dari
kata kerja khalafa, sudah dijelaskan oleh ulama pakar bahasa,
Imam al-Azhari (w. 370 H) dalam Tahdzîb al-Lughah.[13]
Istilah ini pun
disebutkan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah secara gamblang misalnya dalam QS.
Al-Baqarah [2]: 30:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً
{٣٠}
“Ingatlah ketika Rabb-mu berfirman
kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah
di muka bumi.” (QS. Al-Baqarah [2]: 30)
Jamak dari kata khalîfah adalah khulafâ’, atau khalâ’if, hal
itu dirinci oleh Imam al-Azhari.[14] Imam
al-Farra berkata ketika menafsirkan firman-Nya QS. Al-An’âm [6]: 165:
وَهُوَ الَّذِي جعلكُمْ خلائف الأَرْض {١٦٥}
“Dan Dia lah yang menjadikan kamu
penguasa-penguasa di bumi.” (QS.
Al-An’âm [6]: 165)
Yakni: ”umat Muhammad –shallaLlâhu ’alayhi
wa sallam- dijadikan khalâ’if (pengganti)
setiap umat-umat.”[15] Tak
hanya khalâ’if, jamak dari kata khalîfah pun yakni khulafâ’, sebagaimana
digunakan pula oleh nas al-Qur’an dan al-Sunnah. Dalam al-Qur’an, Allah SWT
berfirman:
وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الْأَرْضِ {٦٢}
‟Dan siapa yang
menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah-khalifah di bumi?” (QS. Al-Naml [27]: 62)
Kata khalâ’if dalam ayat ini,
berkonotasi sebagai pemimpin yang menggantikan pemimpin sebelumnya. Ia jamak
dari kata khalîfah, yang berkonotasi pemimpin pengganti. Al-Hafizh Ibn
Jarir al-Thabari (w. 310 H) menjelaskan:
ويستخلف بعد أمرائكم في الأرض منكم خلفاء أحياء يخلفونهم
Dan Dia menjadikan di
antara kalian sebagai pemimpin-pemimpin yang hidup setelah masa kepemimpinan
pemimpin kalian (sebelumnya) di muka bumi, yang menggantikan mereka.[16]
Penjelasan
senada diuraikan oleh Imam al-Sam’ani (w. 489 H):
أَي: يَجْعَل بَعْضكُم
خلفاء بعض، وَقيل: يَجْعَل أَوْلَادكُم خلفاءكم، وَقَالَ بَعضهم مَعْنَاهُ: يجعلكم
خلفاء الْجِنّ فِي الأَرْض
Yakni: Dia menjadikan sebagian kalian sebagai
pemimpin-pemimpin pengganti untuk sebagian lainnya, dikatakan: Dia menjadikan
generasi-generasi penerus kalian sebagai pengganti kalian, dan sebagian ulama
lainnya mengatakan maknanya: Dia menjadikan kalian sebagai pemimpin pengganti
Bangsa Jin di muka bumi.[17]
Dalam perinciannya, menurut Ibn Sikkit istilah
khalifah berlaku bagi kaum pria semata, meski terdapat tambahan huruf al-hâ’ (tâ’
marbûthah).[18] Karena tambahan ini sebenarnya bentuk mubâlaghah (superlatif/penguatan
makna) atas pujian terhadap kedudukannya, hal itu sebagaimana penjelasan Imam
Abu Bakr al-Anbari (w. 328 H) yang menjelaskan:
سمي الخليفة خليفة في
الأصل، لخلافته رسول الله، والأصل فيه: خَلِيفٌ، بغير هاء، فدخلت " الهاء
" للمبالغة في مدحه بهذا الوصف، كما قالوا: رجل علاّمة نسّابة راوية، لما
أرادوا أن يبالغوا في المدح، ولو لم يريدوا المبالغة لقالوا: رجل راوٍ، وعلاّمٌ،
ونسّابٌ
Dinamakan al-khalifah, yakni khalifah pada
asal katanya, karena kedudukannya sebagai pengganti Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam-, asal katanya adalah: khalîf, tanpa
ada tambahan huruf hâ’ (tâ’ marbûthah), maka ditambahkan al-hâ’
(tâ’ marbûthah) sebagai bentuk penguatan atas pujian terhadapnya
dengan penyifatan tersebut, sebagaimana orang-orang berkata: laki-laki ’allâmah (sangat
berilmu), nassâbah, râwiyyah, dimana hal itu karena mereka
hendak menguatkan pujiannya, karena jika tak hendak menguatkan pujian maka
mereka mengatakan: laki-laki râwin, ’allâm, nassâb.[19]
Pembahasan ini pun cukup menguatkan topik
pembahasan khilafah dalam konotasi syar’i, mengingat
kata khalîfah dengan jamaknya khalâif dan khulafâ’ yang digunakan al-Qur’an, tak bisa dilepaskan dari makna kepemimpinan di muka bumi. Topik ini relevan dengan topik
kepemimpinan dalam persepektif politik Islam, sehingga al-Hafizh
al-Qurthubi menguraikan wajibnya mengangkat khalifah (nashb al-khalifah)
ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah [2]: 30 dalam kitab tafsirnya.
Para ulama sendiri menegaskan sisi politik di
balik kedua istilah tersebut, berkaitan erat dengan kepemimpinan politik khas
atas umat, bukan sembarang kepemimpinan, sisi ini akan penyusun buktikan
berdasarkan referensi-referensi turats terpecaya, bukan sekedar klaim tanpa
bukti.
2. Makna Khalifah Secara
Syar’i
Apa makna khalifah
secara syar’i (al-haqiqah al-syar’iyyah)? Istilah khalifah disebutkan secara sharih
dalam dalil-dalil al-Sunnah, dirinci penjelasan para fuqaha’,
mufassirun, muhadditsun, dan mufakkirun, yang mencirikan istilah
tersebut secara syar’i sebagai pemegang tampuk kepemimpinan politik yang agung
dari sistem al-Khilafah/al-imâmah al-kubrâ’.
Prof. Dr. Muhammad
Rawwas Qal’ah Ji (w. 1435 H), dalam kamus bahasa ahli fikih-nya, Mu’jam
Lughat al-Fuqahâ’, menyebut sistem pemerintahan yang dipimpin oleh
al-Khalifah adalah al-Khilâfah yang diistilahkan pula sebagai al-Imâmah
al-Kubrâ’ (kepemimpinan agung)[20],
sebagaimana ditegaskan oleh banyak ulama, dan kata khalifah itu sendiri
mengandung konotasi:
الخليفة؛
من ولي الإمامة العامة للمسلمين: الرئيس الاعلى للدولة الاسلامية
Al-Khalifah; seseorang
yang memegang tampuk kepemimpinan umum bagi kaum muslimin: pemimpin tertinggi
bagi Negara Islam (al-Daulah al-Islâmiyyah).[21]
Pengertian senada disebutkan dalam kitab Ajhizat
Daulat al-Khilâfah yang diterbitkan oleh Hizbut Tahrir:
الخليفة هو الذي ينوب عن الأمة في الحكم والسلطان، وفي
تنفيذ أحكام الشرع
Khalifah adalah orang yang mewakili
umat dalam hukum dan pemerintahan, dan dalam menerapkan hukum-hukum syara’.[22]
Pengertian syar’i ini cukup mapan,
memenuhi aspek mâni’ dan jâmi’, didasarkan pada hadits-hadits
Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam-, salah satunya hadits dari
Abu Sa’id al-Khudri r.a. ia berkata: ”Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa
sallam- bersabda:
«إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ، فَاقْتُلُوا الْآخَرَ مِنْهُمَا»
”Jika dibai’at dua orang khalifah, maka bunuhlah yang
terakhir di antara keduanya.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya, Abu ’Awanah al-Isfaraini
dalam Musnad-nya, al-Baihaqi Al-Sunan al-Kubrâ’)
Hadits ini secara sharîh menggunakan lafal
”khalifah”, maka jelas bahwa hadits ini menjadi salah satu dasar yang mendasari
adanya istilah khalifah dengan konotasi syar’i, khusus dan bukan umum seperti
yang diklaim kaum terpedaya. Konotasi tersebut bisa kita ketahui dari indikasi:
”jika dibai’at (dua orang khalifah), maka bunuhlah yang terakhir dari
keduanya.”
Adanya bai’at menunjukkan bahwa ia bukan sembarang
pemimpin, melainkan pemimpin umat yang dibai’at untuk menegakkan hukum
al-Qur’an dan al-Sunnah. Di sisi lain, konsekuensi hukuman mati bagi pemecah
belah kesatuan kaum Muslim dalam hadits ini bukan perkara sepele, menunjukkan
khalifah bukan sembarang pemimpin, melainkan pemimpin yang telah ditetapkan
syarat, karakteristik dan tupoksinya oleh Islam. Karakteristik istimewa ini yang
membedakannya dengan istilah-istilah penguasa dalam sistem pemerintahan lain
selain Islam, seperti raja dalam sistem monarki konstitusional, presiden dalam
sistem republik, dan lain sebagainya.
Dalam hadits-hadits lainnya:
«أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»
“Ketahuilah Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan
dimintai pertanggungjawabannya atas yang di pimpin, penguasa yang memimpin
rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya..” (HR. al-Bukhârî, Muslim
& Lainnya)
Dari Abu Hurairah –radhiyallâhu ’anhu-. bahwa Nabi
Muhammad –shallallâhu ’alayhi wa sallam- bersabda:
«إِنَّمَا
الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ»
”Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai, dimana
(orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan
(kekuasaan) nya.” (HR. Muttafaqun ’Alayh)
Dan
hadits-hadits lainnya, yang lalu dikumpulkan para ulama, termasuk para ulama
hadits dalam topik al-imâmah, yang saling menguatkan pembahasan ini.
3. Mendudukkan Istilah-Istilah
Sinonim dari Khalifah dalam Bahasa Fuqaha’
Dalam khazanah turats, kita temukan
pula penyebutan lain dari istilah khalifah yang disebutkan para ulama: al-imam,
amîr al-mu’minîn, al-sulthân, al-imâm al-a’zhâm. Semua istilah
tersebut merupakan bentuk sinonim dari istilah khalifah (mutarâdif),
dimana istilah-istilah tersebut disebutkan dalam banyak hadits, atsar dan
maqalah ulama:
Pertama, Istilah al-Imâm, disebutkan
dalam hadits-hadits:
«أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»
“Ketahuilah Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap
kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang di pimpin, penguasa yang
memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang
dipimpinnya..” (HR. al-Bukhârî, Muslim & Lainnya)
Dari Abu Hurairah –radhiyallâhu ’anhu-. bahwa Nabi
Muhammad –shallallâhu ’alayhi wa sallam- bersabda:
«إِنَّمَا
الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ»
”Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai, dimana
(orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan
(kekuasaan) nya.” (HR. Muttafaqun ’Alayh
dll)
Kata ini mengandung
konotasi al-Khalifah atau al-Imâm al-A’zham yang mengurusi urusan
manusia. Al-Mulla al-Qari (w. 1041 H) secara gamblang menyatakan:
(فَإِنَّمَا الْإِمَامُ) أَيِ الْخَلِيفَةُ أَوْ أَمِيرُهُ
Imam al-Munawi al-Qahiri (w. 1031 H) pun menegaskan bahwa
al-Imam dalam hadits ini yakni al-Imâm al-A’zham[24],
istilah yang sama diungkapkan oleh ulama mujtahid penulis kitab Subul
al-Salâm, Imam al-Shan’ani (w. 1182 H).[25]
Salah seorang ulama pakar bahasa, Imam Ibn Faris (w. 395 H) pun menjelaskan
bahwa Al-Imam: siapa saja yang diikuti perintahnya dan dikedepankan dalam
memutuskan berbagai perkara, dan Nabi –shallallâhu ’alayhi wa sallam- adalah pemimpin para
pemimpin, dan Khalifah adalah pemimpin rakyatnya, dan al-Qur’an adalah pemimpin
kaum muslimin.[26]
Imam Ibn Bathal (w. 449 H) pun mengisyaratkan bahwa yang dimaksud
dari al-Imam dalam hadits ini adalah al-Khalifah, ia menjelaskan di antara
penakwilan (يقاتل من ورائه) yakni dengan al-Imam yang adil khususnya, dan siapa saja yang
memberontak al-Imam maka seluruh kaum muslimin wajib memeranginya bersama al-Imâm
al-’Adl tersebut.[27]
Penjelasan serupa diungkapkan oleh al-Qadhi ’Iyadh (w. 544 H) dalam kitab
syarh-nya atas Shahîh Muslim.[28]
Imam
Ibn Bathal (w. 449 H) mengatakan:
وكذلك
الإمام الذى هو خليفة الرسول ينبغى أن يكون من أشرف قومه
Begitu pula al-Imâm
yang merupakan Khalîfatur Rasûl –shallaLlâhu ’alayhi
wa sallam- haruslah seseorang yang paling mulia dari kaumnya.[29]
Imam Ahmad bin Hanbal
(w. 241 H) pun tak ragu untuk berkata:
والفتنة:
إذا لم يكن إمام يقوم بأمر الناس
Fitnah terjadi jika
tidak ada Imam (Khalifah) yang berdiri untuk mengatur manusia (dengan
hukum-hukum Islam-pen.).[30]
Kedua, Istilah Amîr al-Mu’minîn
Menurut Al-Anbari, khalifah pun
dijuluki Amîr al-Mu’minîn, karena khalifah berhak memerintah
mereka, hingga mereka mendengar perintahnya dan sejalan dengan perkataannya.
Dan yang pertama kali dijuluki Amîr al-Mu’minîn adalah ‘Umar
bin al-Khaththab r.a, Al-Khawarizmi (w. 387 H) pun menegaskan hal tersebut.[31] Hal
itu sebagaimana ditegaskan dalam banyak riwayat.
Ketiga, Istilah
al-Sulthân
Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam-
bersabda:
«أَفْضَلَ
الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ»
“Sebaik-baik jihad adalah perkataan
yang haq pada pemimpin yang zhalim.” (HR. Ahmad, Ibn Majah, Abu Dawud, al-Nasa’i,
al-Hakim dan lainnya)
Dalam atsar al-Hasan al-Bashri (w. 110 H):
ولولا السلطان لأكل الناس بعضهم بعضاً
“Jika seandainya tiada al-sulthân
(al-khalifah) maka sungguh manusia akan menzhalimi satu sama lain.”[32]
Keempat, Istilah al-Imâm
al-A’zham
Dan terkadang untuk
menyebut istilah khalifah, para ulama menggunakan istilah al-Imâm al-A’zham yang
juga berkonotasi Imâm al-Muslimîn, dan Imâm al-Muslimîn adalah al-Khalifah,
sebagaimana disebutkan Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji (w. 1435 H) dalam Mu’jam
Lughat al-Fuqahâ’, dan sistem pemerintahan yang dipimpin oleh al-Khalifah
adalah al-Khilâfah yang disebut para ulama sebagai al-Imâmah
al-Kubrâ’ (kepemimpinan agung)[33],
atau al-Imamah al-’Amah:
الخليفة؛
من ولي الإمامة العامة للمسلمين: الرئيس الاعلى للدولة الاسلامية
Al-Khalifah; seseorang
yang memegang tampuk kepemimpinan umum bagi kaum muslimin: pemimpin tertinggi
bagi Negara Islam (al-Daulah al-Islâmiyyah).[34]
Penjelasan
di atas, sebagian kecil dari apa yang sudah diuraikan para ulama mu’tabar dalam
turats mereka yang berharga.
D. Makna Khilafah Secara Bahasa & Syar’i
1. Makna Khilafah Secara
Bahasa, Urf & Syar’i
Adapun asal usul kata
khilâfah, kembali kepada ragam bentukan kata dari kata kerja khalafa, jika
khalifah adalah sosok subjek pemimpin, maka istilah khilafah digunakan untuk
mewakili konsep kepemimpinannya.
Al-Khalil bin Ahmad (w.
170 H) mengungkapkan: fulân[un] yakhlufu fulân[an] fî ‘iyâlihi bi
khilâfat[in] hasanat[in], yakni seseorang menggantikan orang lain dalam
pergantian (kepemimpinan) yang baik.[35] Yang menggambarkan
estafeta kepemimpinan, hal senada diungkapkan oleh al-Qalqasyandi (w. 821 H),[36]
salah satu contohnya dalam QS. Al-A’râf [7]: 142. Al-Qalqasyandi menegaskan
bahwa khilafah secara ’urf lantas disebut untuk kepemimpinan agung,
memperkuat makna syar’inya yang menggambarkan kepemimpinan umum atas umat,
menegakkan berbagai urusan dan kebutuhannya dengan standar Islam.[37]
Dalam penjelasan para fuqaha' (yakni ’urf syar’i) Khilafah ini menggambarkan kepemimpinan agung yang menegakkan Din dan mengatur dunia dengannya.[38] Prof. Dr. Muhammad
Rawwas Qal’ah Ji (w. 1435 H), dalam kamus bahasa ahli fikih-nya, Mu’jam
Lughat al-Fuqahâ’, menyebut sistem pemerintahan yang dipimpin oleh
al-Khalifah adalah al-Khilâfah yang diistilahkan pula sebagai al-Imâmah
al-Kubrâ’ (kepemimpinan agung)[39],
Namun bukan sembarang
kepemimpinan, melainkan kepemimpinan yang menjadi pengganti kenabian dalam memelihara
urusan Din ini, dan mengatur urusan dunia dengannya, ditegaskan Imam al-Mawardi
(w. 450 H)[40],
Imam al-Haramain al-Juwaini (w. 478 H)[41]
dan para ulama lainnya. Dari Abu Hurairah r.a., Nabi –shallallâhu
’alayhi wa sallam- bersabda:
«كَانَتْ
بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ
نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ»
“Adalah bani Israil,
urusan mereka diatur oleh para nabi. Setiap seorang nabi wafat, digantikan oleh
nabi yang lain, sesungguhnya tidak ada nabi setelahku, dan akan ada para
Khalîfah yang banyak.” (HR. Muttafaqun ’alayh)
Dengan kata lain,
kepemimpinan dengan ruh Islam ini menjadi menjadi ciri khas mulia,
membedakannya dengan sistem sekular yang mengundang malapetaka. Inilah yang
diungkapkan Al-Qadhi Taqiyuddin al-Nabhani, menjelaskan makna syar’i secara
mapan digali dari nas-nas syar’i, bahwa Khilafah adalah “kepemimpinan umum
bagi seluruh kaum Muslim di dunia, untuk menegakkan hukum-hukum syari’at Islam
dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.”
Yakni mengemban dakwah
dengan hujjah (dakwah) dan jihad.[42]
Dimana keduanya menjadi bagian dari visi dakwah Khilafah menebarkan rahmat bagi
ke seluruh penjuru dunia.
2. Mendudukkan Istilah-Istilah Sinonim dari Khilâfah
dalam Bahasa Fuqaha’
Istilah khilafah,
diungkapkan pula oleh para ulama dengan istilah imamah, yakni al-imâmah
al-’uzhmâ, keduanya bentuk sinonim (mutarâdif) karena
esensinya sama, yakni topik kepemimpinan dalam Islam. Prof. Dr. Wahbah
al-Zuhaili menjelaskan bahwa al-imâmah al-’uzhmâ, al-khilâfah, atau imârat
al-mu’minîn, seluruhnya semakna.[43]
Hal ini pun ditegaskan oleh Dr. Shalah al-Shawi.[44]
Hal itu terbukti ketika sebagian ulama mengeksplorasi kedua istilah ini secara
bersamaan, semisal Imam al-Mawardi al-Syafi’i dalam Al-Ahkam al-Sulthaniyyah.[45]
الْإِمَامَةُ: مَوْضُوعَةٌ لِخِلَافَةِ النُّبُوَّةِ فِي
حِرَاسَةِ الدِّينِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا
Al-Imâmah: pembahasan terkait khilâfat
al-nubuwwah (pengganti kenabian) dalam memelihara urusan Din ini dan
mengatur urusan dunia (dengannya).
Imam Abu Hamid
al-Ghazali (w. 505 H) –begitu pula para ulama lainnya- pun mengumpamakan Din
dan kekuasaan (kepemimpinan), sebagai saudara kembar (الدّين وَالسُّلْطَان توأمان)[47], lalu Al-Ghazali pun
menegaskan:
الدّين
أس وَالسُّلْطَان حارس فَمَا لا أس لَهُ فمهدوم وَمَا لا حارس لَهُ فضائع
Al-Dîn itu asas dan penguasa
itu penjaganya, maka apa-apa yang tidak ada asasnya maka ia akan roboh dan
apa-apa yang tidak ada penjaganya maka ia akan hilang.[48]
Hal ini menggugurkan
klaim orang yang menyimpangkan aqwâl ulama dalam topik al-imâmah,
untuk menjustifikasi kepemimpinan di luar Islam yang sekularistik. Padahal
setiap sistem politik, dibangun dari berbagai karakteristik yang membedakan
satu sama lain, dari persoalan prinsip hingga cabangnya. Karakteristik ini ditegaskan
para pakar kontemporer, semisal Dr. Shalah Al-Shawi.[49] Dr. Shalah Al-Shawi
menegaskan kekhasan politik dalam Islam: Maka menegakkan agama dan mengatur
urusan dunia dengan Islam merupakan perbedaan yang paling pokok antara sistem
Imamah (Khilafah) dengan sistem-sistem politik yang tegak di zaman ini yang
memisahkan antara Din dan pengaturan dunia, dan mengurusi urusan dunia dengan
memisahkannya dari agamanya, dan mengemban seluruh tuntutan hawa nafsu dan
syahwat.[50]
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas, telah jelas makna syar’i
khalifah dan khilafah, berdasarkan penjelasan para ulama mu’tabar, senada
dengan apa yang diadopsi oleh Hizbut Tahrir. Kejelasan pemaknaan ini, sekaligus
membuktikan kesalahan Sdr. Ahmad Ishomuddin dalam memaknai khalifah dan khilafah.
Dalam hal ini, jelas bukan HT yang menyimpangkan makna Khalifah dan Khilafah,
melainkan mereka yang memudahkan lisannya menuduh HT dengan beragam tuduhan
tidak berdasar.
والله
أعلم بالصواب
[1] Peneliti di
Raudhah Tsaqafiyyah Jawa Barat, Penulis Buku Tafsir & Balaghah ”Menggugah Nafsiyyah Dakwah Berjama’ah.
[2] Hizbut Tahrir, Hizbut Tahrîr, Beirut: Dâr al-Ummah, cet. II, 1431
H, hlm. 23.
[3] Muhammad bin Jarîr Abu Ja’far al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl
al-Qur’ân, Ed: Ahmad Muhammad Syakir, Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, cet.
I, 1420 H/2000, juz ke-20, hlm. 130
[4] Dr. Mushthafa al-Zuhaili, Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah wa
Tathbiqatuha fi al-Madzahib al-Arba’ah, Damaskus: Dar al-Fikr, cet. I, 1427
H, juz I, hlm. 314.
[5] Dr. Muhammad Ahmad Abdul Ghani, Al-’Adâlah
al-Ijtimâ’iyyah fi Dhaw’i al-Fikr al-Islâmi al-Mu’âshir, 1424 H, hlm. 22
[6] Lihat perincian pembahasan ini dalam; Dr. Muhammad Shidqi al-Ghazi, Al-Wajiz
fi Idhah Qawa’id al-Fiqh al-Kulliyyah, Beirut: Mu’assasat al-Risalah, cet. IV,
1416 H, hlm. 278; Dr. Muhammad Mushthafa al-Zuhaili, Al-Wajiz fi Ushul
al-Fiqh al-Islami, Damaskus: Dar al-Khayr, cet. II, 1427 H, juz I, hlm.
170.
[7] Taqiyuddin bin Ibrahim
al-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islâmiyyah, Beirut: Dâr al-Ummah, 1994,
juz. I, hlm. 247-248; Taqiyuddin bin Ibrahim al-Nabhani, Muqaddimah
al-Dustuur, 1963, hlm. 116-117.
[8] Muhammad bin ‘Umar bin al-Hasan al-Razi, Mafâtiih al-Ghayb, juz IX,
hlm. 409.
[9] Lihat: al-‘Adalah al-Ijtimaa’iyyah: Fii Dhaw-i
al-Fikr al-Islaamiy al-Mu’aashir, Dr. Muhammad ‘Abdul Ghaniy.
[10] Ungkapan ini, banyak disebutkan dalam referensi buku-buku ilmu balaghah,
terutama ketika menguraikan definisi ilmu balaghah (ilmu ma’ani).
[11] Tajuddin Abdul Wahhab bin Taqiyuddin al-Subki, Qâ'idah fi al-Jarh wa
al-Ta'dil, Beirut: Dâr al-Basyâ'ir, cet. V, 1410 H, hlm. 53.
[12] Ahmad bin al-Husain Abu Bakr al-Bayhaqi, Al-Madkhal ilâ al-Sunan
al-Kubrâ’, Kuwait: Dâr al-Khulafâ’, hlm. 437, atsar no. 817; Abu Muhammad
al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Syarh al-Sunnah, Damaskus: al-Maktab
al-Islâmi, cet. II, 1403 H, juz I, hlm. 306.
[13] Abu Manshur Muhammad bin Ahmad bin al-Azhari, Tahdzîb
al-Lughah, Ed: Muhammad ‘Audh, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabi, cet.
I, 2001, juz VII, hlm. 168-174.
[15] Ibid.
[16] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân
fî Ta’wîl al-Qur’ân, Ed: Ahmad Muhammad Syakir, Mu’assasat al-Risâlah, cet. I,
1420 H/2000, juz ke-19, hlm. 485.
[17] Manshur
bin Muhammad Abu al-Muzhaffar al-Sam’ani
al-Syafi’i, Tafsîr al-Qur’ân, Riyadh: Dar al-Wathan, Cet. I, 1418 H, juz
III, hlm. 370.
[18] Abu Manshur Muhammad bin Ahmad bin al-Azhari, Tahdzîb
al-Lughah, juz VII, hlm. 168-174.
[19] Abu Bakar al-Anbari, Al-Zâhir fî Ma’ânî Kalimât
al-Nâs, Ed: Dr. Hatim Shalih al-Dhamin, Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, cet.
I, 1412 H/1992, juz II, hlm. 229.
[20] Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah
Ji dkk, Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’, Beirut: Dâr al-Nafâ’is, cet. II, 1408
H, hlm. 88.
[21] Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah
Ji dkk, Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’, hlm. 200.
[22] Atha bin Khalil Abu al-Rasytah, Ajhizat
Dawlat al-Khilâfah fî al-Hukm wa al-Idârah, Beirut: Dâr al-Ummah, Cet. I,
1426 H/2005, hlm. 20.
[23] ‘Ali bin Sulthan Muhammad Abu
al-Hasan al-Mala al-Qari, Mirqât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, juz
VI, hlm. 2391.
[24] Abdurra’uf bin Tajul Arifin bin
Ali al-Manawi, Faydh al-Qadîr Syarh al-Jâmi’ al-Shaghîr, Mesir:
Al-Maktabah al-Tijâriyyah al-Kubrâ’, cet. I, 1356 H, juz II, hlm. 559.
[25] Muhammad bin Isma’il al-Kahlani
al-Shan’ani, Al-Tanwîr Syarh al-Jâmi’ al-Shaghîr, Ed: Dr. Muhammad
Ishaq, Riyadh: Maktabat Dâr al-Salâm, cet. I, 1432 H/2011, juz IV, hlm. 166.
[26] Ahmad bin Faris al-Qazwaini
al-Razi, Mu’jam Maqâyîs al-Lughah, Ed: ‘Abdussalam Muhammad Harun,
Beirut: Dâr al-Fikr, 1399 H/1979, juz I, hlm. 28.
[27] Abu al-Husain ‘Ali bin Khalaf (Ibn
Bathal), Syarh Shahîh al-Bukhâri, Ed: Abu Tamim Yasir, Riyadh: Maktabat
al-Rusyd, cet. II, 1423 H/2003, juz V, hlm. 127.
[28] ‘Iyadh bin Musa bin ‘Iyadh
al-Sabati, Ikmâl al-Mu’lim bi Fawâ’id Muslim: Syarh Shahîh Muslim, Ed:
Dr. Yahya Isma’il, Mesir: Dâr al-Wafâ’, cet. I, 1419 H/1998, juz VI, hlm. 249.
[29] Ibn Bathal Abu
al-Hasan ‘Ali bin Khalaf bin ‘Abdul Malik, Syarh Shahîh al-Bukhârî, Ed:
Abu Tamim Yasir bin Ibrahim, Riyadh: Maktabah al-Rusyd, cet. II, 1423 H/2003.
[30] Abu Bakr Ahmad bin Muhammad al-Khallal, Al-Sunnah, Ed: Dr.
‘Athiyyah al-Zahrani, Riyadh: Dâr al-Râyah, Cet. I, 1410 H, juz
III, hlm. 81. Dalam catatan kaki kitab ini disebutkan bahwa atsar ini sanadnya
shahih dan madzhab ahlus sunnah memandang wajibnya mengangkat Imam (khalifah)
yang memelihara kemaslahatan masyarakat.
[31] Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad
al-Khawarizmi, Mafâtîh al-‘Ulûm, Ed: Ibrahim al-Abyari, Dâr al-Kutub al-‘Arabi,
cet. II, t.t., juz I, hlm. 126.
[32] Abu al-Faraj Ibn al-Jawzi, Âdâb
al-Hasan al-Bashri, Dâr al-Nawâdir, Cet. III, 1428 H, juz I, hlm. 58.
[33] Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah
Ji dkk, Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’, Beirut: Dâr al-Nafâ’is, cet. II, 1408
H/1988, hlm. 88.
[34] Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah
Ji dkk, Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’, hlm. 200.
[35] Al-Khalil bin
Ahmad, Kitâb al-‘Ain, Dâr al-Hilâl, IV/268
[36] Ahmad bin Ali
al-Qalqasyandi, Ma’âtsir al-Inâfah fî Ma’alim al-Khilâfah, Hukumat
al-Kuwait, I/8
[37] Ibid.
[38] Lihat penjelasan para fuqaha' dalam banyak maraji'.
[39] Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah
Ji dkk, Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’, Beirut: Dâr al-Nafâ’is, cet. II, 1408
H, hlm. 88.
[40] Abu al-Hasan
al-Mawardi, Al-Ahkâm al-Sulthâniyyah, Dâr al-Hadîts, juz I, hlm. 15
[41] Abu al-Ma’ali
al-Juwaini, Ghiyâts al-Umam fî al-Tiyâts al-Zhulm, Maktabat al-Imâm, juz
I, hlm. 22
[42] Al-Juwaini, Ghiyâts
al-Umam, juz I, hlm. 22
[43] Prof. Dr.
Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, Dâr al-Fikr, juz
VIII, hlm. 6144
[44] Dr. Shalah
Al-Shawi, Al-Wajîz fî Fiqh Al-Khilâfah, Dâr al-I’lâm, hlm. 5
[45] Al-Mawardi, Al-Ahkâm al-Sulthâniyyah, juz I, hlm.
15
[46] Abu al-Ma’ali
al-Juwaini, Ghiyâts al-Umam fî al-Tiyâts al-Zhulm, Maktabat Imâm
al-Haramain, cet. II, 1401 H, juz I, hlm. 22
[47] Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd, Beirut: Dâr
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1424 H, hlm. 128.
[48] Ibid.
Penuturan senada diutarakan oleh Imam Abu al-Hasan al-Mawardi (w. 450 H), Imam
al-Qal’i al-Syafi’i (w. 630 H), Imam Ibn al-Azraq al-Gharnathi (w. 896 H), dan
lainnya.
[50] Ibid.
Comments
Post a Comment