[Jawaban Atas Terulangnya Intoleransi Non Muslim
Terhadap Syi’ar Islam]
Irfan Abu Naveed, M.Pd.I
[Peneliti
di Raudhah Tsaqafiyyah Jawa Barat]
U
|
mat Islam, baru-baru ini dibuat prihatin dengan
aksi oknum-oknum yang mengatasnamakan gereja di Papua, memprotes panggilan
adzan dan pembangunan menara Masjid al-Aqsha Sentani Papua. Terlepas apa motif
mereka sebenarnya, mereka seharusnya menghargai pemahaman umat Islam yang
seharusnya sudah dimaklumi dan tidak dipersoalkan lagi:
Pertama, Adzan, dalam Islam menempati
kedudukan yang penting sebagai bagian dari syi’ar Islam. Hal itu sebagaimana
ditegaskan oleh Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji (w. 1435 H) dalam kamus ahli
fikihnya, Mu’jam Lughat al-Fuqaha’:
الاذان: الاعلام وأصله
من " الاذن " كأن يلقى في اذن السامع * الاعلام بوقت الصلاة بألفاظ ورد
بها الشرع.
Adzan adalah pemberitahuan, asal-usul katanya
adalah al-udzn, seakan-akan (adzan) itu adalah sesuatu yang diperdengarkan
ke telinga pendengarnya. Yakni pemberitahuan atas tibanya waktu shalat, dengan
lafal-lafal yang disebutkan oleh syari’at.[1]
Keberadaan adzan sebagai seruan ini, setali tiga uang
dengan keberadaan fasilitas masjid dan menaranya. Dalam referensi yang sama,
Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji ketika memaknai kata (المنارة) menyifati menara
sebagai salah satu bagian dari masjid, diistilahkan مئذنة المسجد.[2]
Masjid itu sendiri, sebagaimana disifati oleh Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah
Ji:
المسجد: بسكون السين وكسر
الجيم ج مساجد، الموضع الذي يسجد فيه. * المكان الذي
أعد للصلاة فيه على الدوام
Masjid: dengan di-sukun-kan
huruf sin-nya, dan di-kasrah-kan huruf jim-nya, jamaknya
adalah masâjid, adalah tempat dimana umat Islam bersujud (shalat) di
dalamnya, yakni tempat yang disediakan untuk ibadah shalat secara berkesinambungan.[3]
Maka baik
masjid maupun menara adzan dalam Islam jelas termasuk bagian dari sarana syi’ar
Islam itu sendiri. Dan syi’ar Islam,
sebagaimana firman-Nya:
ذلِكَ
وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ {٣٢}
“Demikianlah (perintah Allah) dan siapa saja yang
mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan
qalbu.” (QS. Al-Hajj [22]: 32)
Yakni sikap yang lahir dari
ketakwaan kepada Allah, Syaikh Nawawi al-Bantani (w. 1316 H) menjelaskan bahwa
di antara sifat terpuji yang melekat pada orang
yang bertakwa adalah mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, yakni syi’ar-syi’ar
Din-Nya.[4]
Syi’ar adzan pun misalnya, jelas menjadi salah satu simbol persatuan umat
Islam, mengingat kalimat yang termaktub di dalamnya merupakan kalimat tauhid
yang menyatukan umat Islam.
Kedua, Berangkat dari penjelasan
poin pertama di atas, maka segala bentuk intervensi, semisal pelarangan atas gema
suara adzan yang dipasang keluar masjid, serta intervensi atas pembangunan menara
masjid, adalah bentuk intervensi yang tidak menghargai hak umat Islam untuk
menunaikan syari’at ibadahnya dan syi’ar ajarannya.
Suara adzan
yang dikumandangkan menggema keluar masjid, jelas merupakan bentuk
pemberitahuan khususnya bagi umat Islam atas tibanya waktu shalat, tak boleh
ada seseorang pun yang mengintervensinya, ia menjadi bagian dari syi’ar Islam
itu sendiri, sama halnya dengan masjid sebagai tempat ibadah umat Islam, dan
menaranya yang menjadi ciri khas dari masjid agung itu sendiri, serta penanda keberadaan
masjid yang tampak sejauh mata memandang.
Itu semua
jelas senantiasa dijunjung tinggi oleh umat Islam dari masa ke masa, melewati berbagai
periode kehidupan umat Islam, bersinggungan dengan umat-umat agama lain,
semenjak masa Rasulullah ﷺ hingga sa at
ini. Maka jika ada non muslim yang mempersoalkan itu semua, jelas termasuk
perbuatan intoleransi yang harus segera dihentikan. Pada saat yang sama, umat
Islam sudah sangat toleran terhadap keberadaan mereka selama ini. Mengapa harus
dilarang-larang? Padahal keberadaan seruan adzan, masjid dan menaranya jelas
diperuntukkan terutama untuk umat Islam.
Ketiga, Berbagai peristiwa
memprihatinkan ini, akhirnya mengingatkan kita kembali kepada pentingnya
persatuan umat Islam, di bawah kepemimpinan Khalifah yang disabdakan oleh yang
mulia Rasulullah ﷺ dalam haditsnya. Dari Abu Hurairah r.a.
bahwa Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
«إِنَّمَا
الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ»
”Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai, dimana
(orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan
(kekuasaan) nya.” (HR. Muttafaqun ’Alayh)
Hadits yang agung ini, mengandung pesan penting menyoal
keberadaan sosok al-Imam (pemimpin), berikut perangkat sistemnya yang
diistilahkan al-Khilafah. Ia diungkapkan oleh Rasulullah ﷺ dalam
ungkapan majazi, dimana sosok pemimpin yang dimaksud disifati dengan sifat junnat[un];
menjadi ungkapan tasybih (penyerupaan) yang dikuatkan (tasybih
mu’akkad sebagaimana dikenal dalam istilah ilmu balaghah). Dimana kata junnah
dalam hadits ini, menjelaskan kedudukan al-Imâm (بيان حال)[5].
Artinya, jelas bahwa hadits ini mengandung pujian istimewa dari yang mulia
al-Mushthafa ﷺ atas kedudukan al-imam
(khalifah), jelasnya ditandai oleh dua hal: keberadaan ungkapan
pengkhususan (al-qashr huruf innama) dan ungkapan tasybih
mu’akkad di balik ungkapan al-Imam junnat[un], pujian benar dari
sebaik-baiknya insan, yang sudah seharusnya menggugah kita untuk mewujudkannya
di atas manhaj Rasulullah ﷺ.
Hingga para ulama pun menegaskan hadits ini sebagai salah satu dalil wajibnya
menegakkan Khilafah.
Pertanyaannya, Imam
seperti apa yang dimaksud oleh Rasulullah ﷺ ini? Jawabannya, ia berkonotasi al-Khalifah atau al-Imam
al-A’zham yang mengurusi urusan manusia. Al-Mulla al-Qari (w. 1041 H)
secara gamblang menyatakan:
(فَإِنَّمَا الْإِمَامُ) أَيِ الْخَلِيفَةُ أَوْ أَمِيرُهُ
Imam al-Munawi al-Qahiri (w. 1031 H) dan ulama mujtahid
penulis kitab Subul al-Salâm, Imam al-Shan’ani (w. 1182 H)[7],
dan para ulama lainnya menegaskan bahwa al-Imam dalam hadits ini yakni al-Imam
al-A’zham[8],
dimana para ulama ketika menyebut al-Imâm al-A’zham berkonotasi Imâm
al-Muslimîn, dan Imâm al-Muslimîn adalah al-Khalifah (lihat: penjelasan Prof.
Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji (w. 1435 H) dalam Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’),
dan sistem pemerintahan yang dipimpin oleh al-Khalifah adalah al-Khilâfah
yang disebut para ulama sebagai al-Imâmah al-Kubrâ’ (kepemimpinan
agung)[9],
Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji (w. 1435 H) dalam Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’
menegaskan:
الخليفة؛ من ولي الإمامة العامة للمسلمين: الرئيس الاعلى
للدولة الاسلامية
Al-Khalifah; seseorang
yang memegang tampuk kepemimpinan umum bagi kaum Muslim: pemimpin tertinggi
bagi Negara Islam (al-Dawlah al-Islâmiyyah).[10]
Maka jelas bukan
sembarang pemimpin, melainkan pemimpin yang menunaikan amanah dalam hadits
tersebut sebagai junnah bagi kaum Muslim, yang menjaga kehormatan kaum
Muslim, dan mencegah terjadinya kezhaliman dengan menegakkan syari’at Islam
dalam kehidupan. Al-Hafizh Abu Zakariya bin Syarf al-Nawawi (w. 676 H) mengutarakan:
قوله صلى الله عليه وسلم:
(الإمام جنة) أي: كالستر لأنه يمنع العدو من أذى المسلمين، ويمنع الناس بعضهم من
بعض، ويحمي بيضة الإسلام، ويتقيه الناس ويخافون سطوته
Sabda Rasulullah ﷺ: (الإمام جنة) yakni seperti
al-sitr (pelindung), karena Imam (Khalifah) mencegah musuh dari
perbuatan mencelakai kaum Muslim, dan mencegah sesama manusia (melakukan
kezhaliman-pen.), memelihara kemurnian ajaran Islam, rakyat berlindung
kepadanya dan mereka tunduk kepada kekuasaannya.[11]
Penjelasan senada diuraikan
para ulama lainnya, di antaranya Imam al-Thibi (w. 743 H) dalam syarh-nya
atas Misykât al-Mashâbîh[12],
Imam Syamsuddin al-Kirmani (w. 786 H) dalam syarh-nya atas Shahîh
al-Bukhârî[13],
Imam Shadruddin al-Munawi (w. 803 H) [14],
Imam Ibn al-Mulqan (w. 804 H) dalam syarh-nya atas al-Jâmi’
al-Shaghîr[15],
al-Hafizh al-Suyuthi (w. 911 H) dalam syarh-nya atas Shahîh
Muslim[16],
dan al-Hafizh Ibn Hajar al-’Asqalani (w. 852 H) dalam kitab syarh-nya
atas Shahîh al-Bukhârî, dan para ulama lainya yang menjelaskan sifat
al-Imam sebagai junnah, yakni pelindung dari kejahatan musuh dan kezhaliman.[17]
Imam Ibn Bathal (w. 449
H) menegaskan bahwa (الإمام جنة) yakni sebagai
pelindung interaksi manusia satu sama lain, karena dengan fungsi penguasa,
Allah melindungi kaum yang lemah di antara manusia yakni pelindung bagi mereka,
menjaga harta dan kehormatan-kehormatan orang-orang beriman.[18]
Hal ini pula yang menjadi intisari dari atsar Utsman bin Affan r.a. yang
menuturkan:
ما يزع الله بالسلطان أكثر مما يزع بالقرآن
Persoalan apa yang Allah
selesaikan dengan keberadaan penguasa lebih banyak daripada apa yang
diselesaikan oleh al-Qur'an (tanpa kekuasaan yang menjalankannya).
Imam al-Khaththabi (w.
388 H) pun menjelaskan besarnya kedudukan al-Imam (al-Khalifah) dalam
melindungi umat dari serangan kaum kuffar dalam perkataannya:
ومعنى الجنة العصمة والوقاية، وليس
لغير الإمام أن يجعل لأمة بأسرها من الكفار أمانًا
Dan makna al-junnah
yakni pencegah dan pelindung, dan tidak ada bagi selain sosok al-Imam
yang mampu mewujudkan keamanan bagi umatnya dari serangan orang-orang kafir.[19]
Imam Badruddin al-‘Aini (w. 855 H) menjelaskan bahwa ia
sesungguhnya melindungi kaum Muslim dari tangan-tangan musuh dan melindungi
kemurnian ajaran Islam.[20] Imam al-Munawi al-Qahiri (w. 1031 H)
menegaskan bahwa (al-Imam) adalah tameng yang memelihara kemurnian ajaran
Islam, dan dengannya menolak berbagai kezhaliman, dan umat manusia akan meminta
perlindungannya dalam berbagai keadaan genting.[21] Imam al-Shan’ani (w. 1182 H) pun menjelaskan fungsi
al-Imam sebagai wiqâyah (pencegah), sâtir (pelindung) dan turs
(tameng) yang memelihara kemurnian ajaran Islam.[22]
Hal itu bisa terwujud ketika ada sosok al-Imam
(al-Khalifah) menegakkan hukum-hukum Islam kâffah dalam kehidupan, menunaikan
amanah agung dari Rasulullah ﷺ:
«أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ
رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ
رَعِيَّتِهِ»
“Ketahuilah setiap
kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas
pihak yang dipimpinnya, penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai
pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. Al-Bukhârî, Muslim, Abu Dawud, Ibn Hibban)[23]
Dan lebih terang benderang lagi ketika syari’at,
ditunjukkan oleh Rasulullah ﷺ
dan al-khulafâ’ al-râsyidûn, memahamkan kita secara jelas bahwa
penerapan Islam dalam kehidupan membutuhkan kekuasaan politik, yang ditafsirkan
oleh Rasulullah ﷺ
dalam bentuk praktis yakni dengan tegaknya institusi politik, negara Islam (al-daulah
al-Islâmiyyah). Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H)–begitu pula para ulama
lainnya- mengumpamakannya sebagai saudara kembar (الدّين وَالسُّلْطَان توأمان)[24], lalu Al-Ghazali pun menegaskan:
الدّين
أس وَالسُّلْطَان حارس فَمَا لا أس لَهُ فمهدوم وَمَا لا حارس لَهُ فضائع
“Al-Dîn itu asas dan penguasa
itu penjaganya, maka apa-apa yang tidak ada asasnya maka ia akan roboh dan
apa-apa yang tidak ada penjaganya maka ia akan hilang.”[25]
Lalu, apa lagi yang ditunggu wahai saudara-saudara
sekalian? Berjuang untuk menegakkan Islam dalam kehidupan, dengan
menegakkan kembali peradaban Islam adalah persoalan yang wajib diperjuangkan
dan tak bisa diabaikan, merealisasikan kemuliaan umat Islam:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ {١١٠}
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah.” (QS. Âli Imrân [3]:
110) []
وفقنا الله وإياكم فيما يرضاه ربنا ويحبه
والله أعلم بالصواب
[1] Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji dkk, Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’, Beirut:
Dâr al-Nafâ’is, cet. II, 1408 H, hlm. 52.
[2] Ibid, hlm. 461.
[3] Ibid, hlm. 428.
[4] Nawawi al-Bantani, Syarh Sullam al-Tawfîq, Jakarta: Dâr
al-Kutub al-Islâmiyyah, cet. I, 1431 H, hlm. 103.
[5] Dr. Abdul Aziz bin Ali al-Harbi, Al-Balâghah al-Muyassarah, hlm.
59.
[6] ‘Ali bin Sulthan Muhammad Abu al-Hasan al-Mulla al-Qari, Mirqât
al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, juz VI, hlm. 2391.
[7] Muhammad bin Isma’il al-Kahlani al-Shan’ani, Al-Tanwiir Syarh al-Jâmi’
al-Shaghiir, Ed: Dr. Muhammad Ishaq, Riyadh: Maktabat Dâr al-Salâm, cet. I,
1432 H/2011, juz IV, hlm. 166.
[8] Abdurra’uf bin Tajul Arifin bin Ali al-Munawi, Faydh al-Qadîr Syarh
al-Jâmi’ al-Shaghîr, Mesir: Al-Maktabah al-Tijâriyyah al-Kubrâ’, cet. I,
1356 H, juz II, hlm. 559.
[9] Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji dkk, Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’, Beirut:
Dâr al-Nafâ’is, cet. II, 1408 H/1988, hlm. 88.
[10] Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji dkk, Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’, hlm.
200.
[11] Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syarf al-Nawawi, Al-Minhâj Syarh
Shahîh Muslim bin al-Hijâz, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabi, cet. II,
1392 H, juz. XII, hlm. 230.
[12] Syarfuddin al-Husain bin ’Abdullah al-Thibi, Al-Kâsyif ’an Haqâ’iq
al-Sunan: Syarh al-Thibi ’alâ Misykât al-Mashâbîh, Ed: Dr. Abdul Hamid
Handawi, Riyadh: Maktabat Nazar Mushthafa al-Bâz, cet. I, 1417 H/1997, juz
VIII, hlm. 2557.
[13] Muhammad bin Yusuf Syamsuddin
al-Kirmani, Al-Kawâkib al-Durârî fî Syarh Shahîh al-Bukhârî, Beirut: Dâr
Ihyâ’ al-Turâts al-’Arabi, cet. I, 1401 H/1981, juz XII, hlm. 197.
[14] Muhammad bin Ibrahim al-Munawi al-Qahiri al-Syafi’i, Kasyf al-Manâhij
wa al-Tanâqîh fî Takhrîj Ahâdîts al-Mashâbîh, Ed: Dr. Muhammad Ishaq,
Beirut: al-Dâr al-’Arabiyyah li al-Mawsû’ât, cet. I, 1425 H/2004, juz III, hlm.
265.
[15] Ibn al-Mulqan Sirajuddin Abu Hafsh Umar bin Ali, Al-Tawdhîh
li Syarh al-Jâmi’ al-Shaghîr, Damaskus: Dâr al-Nawâdir, cet. I, 1429
H/2008, juz XVIII, hlm. 67.
[16] Jalaluddin al-Suyuthi ‘Abdurrahman bin Abu Bakr, Al-Dîbâj ‘alâ Shahîh
Muslim bin al-Hijâz, KSA: Dâr Ibn ‘Affân, Cet. I, 1416 H, juz IV, hlm. 454.
[17] Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-‘Asqalani, Fat-h al-Bâri Syarh Shahîh
al-Bukhâri, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1379 H, juz VI, hlm. 116.
[18] Abu al-Husain ‘Ali bin Khalaf (Ibn Bathal), Syarh Shahîh al-Bukhâri, juz
V, hlm. 128.
[19] Abu Sulaiman Hamd bin Muhammad al-Khaththabi, Ma’âlim al-Sunan Syarh
Sunan Abi Dawud, Halb: al-Mathba’ah al-‘Ilmiyyah, Cet. I, 1351 H, juz II,
hlm. 316.
[20] Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad al-Hanafi Badruddin al-‘Aini, ‘Umdat
al-Qârî Syarh Shahîh al-Bukhâri, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabi,
t.t, juz XIV, hlm. 222.
[21] Abdurra’uf bin Tajul Arifin bin Ali al-Munawi, Faydh al-Qadîr Syarh
al-Jâmi’ al-Shaghîr, juz II, hlm. 559.
[22] Muhammad bin Isma’il al-Kahlani al-Shan’ani, Al-Tanwîr Syarh al-Jâmi’
al-Shaghîr, juz IV, hlm. 166-167.
[23] HR. Al-Bukhari dalam Shahîh-nya (VI/2611, hadits 6719); Muslim
dalam Shahîh-nya (1829); Abu Dawud dalam Sunan-nya
(III/91, hadits 2930); Ibnu Hibban dalam Shahîh-nya (X/342, hadits 4490).
[24] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd, Beirut:
Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1424 H, hlm. 128.
[25] Ibid. Penuturan senada dutarakan oleh Imam Abu al-Hasan al-Mawardi (w. 450
H), Imam al-Qal’i al-Syafi’i (w. 630 H), Imam Ibnu al-Azraq al-Gharnathi (w.
896 H), dan lainnya.
Comments
Post a Comment