
Pertanyaan
Assalamualaikum. Teori flat earth
mulai booming. Begitu pula di
kalangan 'pemuda'. Ada yang pro, ada yang kontra. Salah satu ayat yang sering
kali diperdebatkan adalah an naba ayat 7. Bagaimana sebenarnya tafsir ayat
tsb?
Jawaban
وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته
الحمدلله رب العالمين والصلاة والسلام على رسول
الله وعلى آله وأصحابه أجمعين وبعد
Pertama,
Sampai sejauh ini, saya belum menemukan satu ayat dalam ayat-ayat al-Qur'an
yang secara sharih (jelas: lafal dan maknanya), menyatakan bahwa bumi itu datar
dan tidak bulat. Adapun ayat-ayat ini:
اَلَمْ نَجْعَلِ الْاَرْضَ
مِهٰدًا
"Bukankah Kami telah menjadikan bumi sebagai
hamparan." (QS.
Al-Naba’ [78]: 6)
وَاِلَى الْاَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ
"Dan bumi bagaimana dihamparkan?" (QS. Al-Gasyiyah [88]: 20)
Jelasnya,
ayat-ayat tersebut tidak sedang berbicara bentuk bumi, tidak pula ditemukan di
dalamnya pernyataan sharih bahwa bentuk bumi adalah datar dan tidak
bulat. Hal ini bisa dikaji berdasarkan sudut pandang ilmu balaghah dan
dikomparasikan dengan ilmu sains itu sendiri.
Misalnya
sedikit penjelasan terkait kalimat سطحت
dalam firman Allah ini:
وَاِلَى الْاَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ
"Dan bumi bagaimana dihamparkan?" (QS. Al-Gasyiyah [88]: 20)
Ayat ini di
awali dengan:
اَفَلَا يَنْظُرُوْنَ اِلَى الْاِ بِلِ
كَيْفَ خُلِقَتْ
”Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana
dia diciptakan” (QS.
Al-Ghasyiyah [88]: 17)
Yakni
"apakah mereka tidak melihat", ini merupakan bentuk istifham inkari,
yang mengandung peringatan untuk melakukan tadabur dan tafakur terhadap
ayat-ayat kauniyyah yang ada di alam semesta, dimana ayat-ayat al-Qur’an yang
berkaitan dengan ayat-ayat kauniyyah, seperti ayat ini jelas berkaitan dengan
pesan penting untuk mentadaburi dan mentafakuri tanda-tanda (ayat)
keagungan Allah ’Azza wa Jalla yang ada di alam semesta, tegasnya itu semua
merupakan dalil ’aqliyyah atas keberadaan dan keagungan Sang Pencipta. Tidak
sedang berbicara tentang bentuk bumi.
Relevansinya
dengan ayat ini:
وَاِلَى الْاَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ
"Dan bumi bagaimana dihamparkan?" (QS. Al-Gasyiyah [88]: 20)
Bentuk istifham
inkari di balik kalimat afala yanzhuruna, pada ayat ke-17 pun
berlaku pada ayat-ayat setelahnya, termasuk ayat ke-20 ini, karena
kalimat-kalimat pada ayat tersebut dihubungkan dengan waw al-’athf,
berfungsi menyatukan dan menyambungkan, menunjukkan adanya relevansi, maksudnya
bisa kita pahami pula:
”Apakah mereka tidak menyaksikan: bagaimana bumi
dihamparkan?”
Kalimat suthihat,
yakni dihamparkan, jelas berkaitan dengan apa yang terlihat dalam
pandangan mata manusia, sesuai dengan kapasitas dan keterbatasannya. Kata
tersebut diungkapkan dengan kata kerja pasif (mabni li al-majhul),
diciptakan oleh Allah dan dihamparkan untuk manusia. Dan manusia menyaksikan
bahwa bumi yang luas ini, dalam pandangan mata manusia bagaikan hamparan,
daratan yang dihamparkan, سطحت, karena saking luasnya. Analoginya, sama seperti bola yang
sangat besar sebesar gedung bertingkat, lalu diletakkan pada bagian puncaknya,
seekor anak kucing, tentu dalam pandangan
anak kucing tersebut, ia menyaksikan di hadapan matanya bagaikan
hamparan, ketika semakin besar ukurannya, maka semakin tampak pula bagaikan
hamparan, hingga tak terlihat lengkungan pada ujungnya karena terbatasnya
pandangan menyaksikan sesuatu yang jauh dan lebar.
Dari sudut
pandang ilmu balaghah, justru ayat-ayat terkait unta, langit, gunung, bumi dalam
surat al-Ghasyiyah ini, jelas merupakan kalam[an] baligh[an], karena memenuhi
aspek syarat: Kesesuaian perkataan
dengan keadaan pihak yang diseru (المخاطب). Dari sinilah kita bisa memahami perkataan Arab:
لكل
مقام مقال
“Atas setiap kedudukan
itu ada perkataan tertentu untuknya.”
Sejalan dengan karakter
balaghah dalam terminologi ulama balaghah itu sendiri yakni:
أن
يكون الكلام مطابقًا لمقتضى أحوال المخاطبين مع فصاحته
“Menjadikan perkataan sesuai dengan keadaan pihak-pihak
yang diseru disertai kefasihannya.”
Kata suthihat, jelas sesuai dengan
ahwal al-mukhathabin, kondisi manusia yang disebutkan dalam ayat.
Penjelasan
tambahan, misalnya dalam tafsir al-jalalayn disebutkan:
أفلا ينظرون: أي كفار مكة نظر
اعتبار
“Kalimat (Afalâ
yanzhurûna) Yakni orang Kafir Mekkah (tidak melihat?) penglihatan untuk
mengambil pelajaran”
Dan orang kafir
Makkah tentu yang biasa mereka saksikan adalah unta sebagai bagian penting
tunggangan keseharian mereka dalam kehidupan sehari-hari.
وصدرت بالإبل لأنهم أشد ملابسة لها
من غيرها
“Dimunculkan
istilah unta, karena mereka (orang-orang Mekkah) paling sering menggunakan
tunggangan unta daripada selainnya.”
Begitu pula yang
terlihat langit itu telah ditinggikan, gunung-gunung ditegakkan, bumi
dihamparkan. Kata السماء dalam surat
al-Ghasyiyah ayat ke-18 disebutkan mufrad bukan jamak:
وَإِلَى السَّمَاءِ
كَيْفَ رُفِعَتْ
"Dan langit bagaimana ia ditinggikan?" (QS. Al-Gasyiyah [88]: 18)
Padahal dalam ayat
lainnya Allah menyebut jamak yang notabene sesuai dengan fakta ilmiah langit
berlapis-lapis, semisal dalam potongan ayat:
إن
في خلق السماوات
”Sesungguhnya dalam penciptaan langit-langit.” (QS. Al-Baqarah [2]: 164)
Dikaitkan
dengan penciptaan, berbeda dengan penyebutan dalam surat al-Ghasyiyah yang disebut
mufrad (tunggal), karena yang terlihat oleh pandangan manusia yang disinggung
dalam ayat ini, langit itu seakan satu, karena yang tampak dalam pandangan mata
manusia yang terbatas memang terlihat satu. Sehingga semuanya sejalan dengan ahwal
(kondisi) pihak yang diajak untuk berpikir, ini sejalan dengan perkataan doktor
balaghah dari al-Azhar, seorang ustadz dari Mesir:
لكل حرف من حروف القرآن فيه أسرار
"Setiap
huruf dari huruf-huruf al-Qur'an mengandung berbagai rahasia kandungan
makna."
Hal ini
kemudian diperjelas oleh pendapat sebagian ulama dan ilmuwan muslim, dulu dan
sekarang yang menegaskan bahwa bumi itu bulat.
Kedua, Adapun
pendapat sebagian ulama masa lampau yang berpandangan bahwa bumi datar, maka
tidak dapat dijadikan sebagai rujukan, dengan dua alasan:
1. Kapabilitas
ulama tersebut, sebagai ulama tidak pada posisi sebagai ahli sains, padahal
pembuktian seputar bentuk bumi ini wilayah saintis.
2. Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang, berbeda dulu dan
sekarang, dimana bentuk bumi bisa diteliti lebih jauh dengan ilmu dan peralatan
teknologi yang lebih canggih.
Dalam hal ini,
berlaku kaidah dalam al-Sunnah bahwa pendapat dalam persoalan saintis yang
bersifat duniawi, tak berkaitan dengan aspek tasyri'i, maka diambil sesuai
dengan pendapat ahlinya, yakni ahli sains terkait. Sama seperti pendapat yang
berkaitan dengan ilmu kedokteran yang diambil berdasarkan pandangan ahlinya,
yakni dokter dengan spesialisasi terkait. Kaidah pengambilan pendapat seperti
ini pun, sebagaimana ditegaskan al-'Allamah Taqiyuddin al-Nabhani.
Hadits dari
Anas bin Malik r.a.:
أَنّ النَّبِيَّ -صلى الله عليه وسلم-
مَرَّ بِقَوْمٍ يُلَقِّحُونَ، فَقَالَ: لَوْ لَمْ تَفْعَلُوا لَصَلُحَ، قَالَ: فَخَرَجَ
شِيصًا، فَمَرَّ بِهِمْ، فَقَالَ: مَا لِنَخْلِكُمْ، قَالُوا: قُلْتَ كَذَا وَكَذَا،
قَالَ: أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ
‟Bahwa Nabi ﷺ pernah melewati suatu kaum yang sedang mengawinkan pohon kurma
lalu beliau bersabda: ”Sekiranya mereka tidak melakukannya, kurma itu akan
(tetap) baik.” Tapi setelah itu, ternyata kurma tersebut tumbuh dalam keadaan
rusak. Hingga suatu saat Nabi ﷺ melewati mereka lagi dan melihat hal itu beliau bertanya: ”Ada
apa dengan pohon kurma kalian?” Mereka menjawab: ”Bukankah anda telah
mengatakan hal ini dan hal itu?” Beliau ﷺ lalu bersabda: ”Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.” (HR. Muslim)
Al-Hafizh
al-Nawawi menguraikan:
أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ
قَالَ الْعُلَمَاءُ قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ رَأْيِي أَيْ
فِي أَمْرِ الدُّنْيَا وَمَعَايِشِهَا لَا عَلَى التَّشْرِيعِ
Kalimat (أَنْتُمْ أَعْلَمُ
بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ) para ulama
menjelaskan bahwa makna sabda Rasulullah ﷺ
ini yakni berupa pendapatnya dalam perkara duniawi, tidak berkaitan dengan
tasyri’ (pensyari’atan hukum, halal dan haram).
Ketiga, Dari segi
ilmiah, logika kaum pendukung teori flath earth itu jelas tidak berdasar secara
ilmiah. Maka ini domainnya para saintis, ilmuwan yang juga jelas menolak klaim
teori flath earth ini. Mempercayai mereka, menurut saya seperti mempercayai
orang yang mengklaim tak ada aliran listrik karena tak terlihat.
Keempat, Pesan saya,
hentikan perdebatan soal ini, masih banyak permasalahan umat yang lebih urgen
untuk dibicarakan, dan agenda dakwah yang diperjuangkan, kita tak perlu
menunggu khilafah untuk memastikan bentuk bumi ini, dan untuk menghentikan perdebatan
dalam persoalan ini, Allah al-Musta'an. []
والله أعلم بالصواب
وفقنا الله وإياكم فيما يرضاه
ربنا ويحبه
Comments
Post a Comment