
[Kilas Tafsir Fadhilatusy-Syaikh 'Atha bin Khalil Abu
al-Rasytah -hafizhahullah- & Catatan Tambahan Irfan Abu Naveed al-Atsari]
Allah -Subhânahu wa
Ta'âlâ- berfirman:
وَلَنْ تَرْضَىٰ عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ
ۗ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ
هُوَ الْهُدَىٰ ۗ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ ۙ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ
مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ {١٢٠}
"Orang-orang
Yahudi dan Nasrani tidak akan ridha kepada kamu hingga kamu mengikuti agama
mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang
benar)". dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah
pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan
penolong bagimu." (QS. Al-Baqarah [2]: 120)
Penjelasan
Fadhilatusy-Syaikh 'Atha bin Khalil Abu al-Rasytah -hafizhahuLlâh-:
Allah menjelaskan
dalam ayat-ayat ini sebagai berikut:
Sesungguhnya kaum
Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah ridha kepadamu, hingga engkau mengikuti
agama mereka, dimana hal ini tidak boleh terjadi, karena:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ
دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ {٨٥}
”Barangsiapa
mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima
(agama itu)daripadanya, dan Dia di akhirat Termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Âli Imrân [3]: 85)
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ {١٩}
”Sesungguhnya
agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Âli Imrân [3]: 19)
Maka seharusnya mereka mengetahui bahwa
petunjuk adalah apa yang dibawa Rasulullah -shallaLlâhu
'alayhi wa sallam-, bukan apa yang mereka klaim bahwa
petunjuk adalah dengan mengikuti agama mereka saat ini, padahal agamanya adalah
agama yang menyimpang dan mengalami perubahan (dari agama Allah-pen.), ia
adalah agama kufur setelah disimpangkan.
Kemudian
Allah -Subhânahu wa Ta'âlâ- menginformasikan kepada Rasul-Nya -shallaLlâhu
'alayhi wa sallam-, dengan bentuk ungkapan sumpah (qasam), karena huruf lâm
dalam kata la’in (لئن)
merupakan huruf lâm qasam (bentuk sumpah), bahwa jika Rasul -shallaLlâhu
'alayhi wa sallam- mengikuti hawa nafsu mereka, -terdapat petunjuk bahwa agama
mereka dan apa yang mereka klaim sebagai petunjuk, sebenarnya adalah hawa nafsu, yakni penyimpangan dari jalan
kebenaran-, maka beliau -shallaLlâhu 'alayhi wa sallam- tidak akan
pernah menemukan pelindung dan penolong yang mencegah dari adzab Allah.
Itu semua merupakan penegasan dari
Allah betapa jauhnya kaum Yahudi dan Nasrani untuk meridhai Rasulullah -shallaLlâhu
'alayhi wa sallam-, dengan upayanya agar Rasulullah -shallaLlâhu 'alayhi wa
sallam- mengikuti agama mereka.[1]
Catatan Tambahan
Irfan Abu Naveed al-Atsari
Pertama, Faidah
dari Penafian dengan Kata Lan dan Kata La dalam Kalimat "وَلَنْ تَرْضَىٰ عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ "
Kata lan dan
kata la untuk menafikan keridhaan kaum Yahudi dan Nasrani dalam ayat ini dalam
ilmu balaghah merupakan bentuk pengulangan makna tanpa lafalnya (tikrâr
al-ma'na dûna al-lafzh) dimana ia masuk bahasan al-ithnâb (bentuk
penambahan lafal yang memiliki makna dan maksud tertentu).
Lafalnya berbeda,
namun semakna dalam konteks mengandung penafian. Perbedaan sedikit maknanya
hanya pada segi bahwa kata lan itu awkad (lebih tegas) daripada
kata lâ. Lan berkonotasi menunjukkan li ta'bîd (yakni
selama-lamanya).
Imam Al-Khalil bin
Ahmad al-Farahidi (w. 170 H) dalam Kitab al-’Ain menyatakan:
أَلا تَرى أَنَّهَا تُشبه فِي المَعْنى
(لَا) وَلكنهَا أَوْكد
“Bukankah engkau
melihat bahwa kata lan menyerupai kata lâ dalam pemaknaannya,
akan tetapi kata lan lebih kuat maknanya.”[2]
Penjelasan ini pun
dinukil oleh Imam al-Azhari dalam Tahdzîb
al-Lughah. Atau dalam istilah lain yakni li tab’îd. Kata lan,
sebagaimana diungkapkan Imam al-Jauhari (w. 393 H) merupakan kata penafian
untuk kata kerja yang akan datang (حرفٌ لنفي الاستقبال)
, atau kata penafian untuk hal yang akan terjadi di masa mendatang (حرف نفي لما يأتي) sebagaimana disebutkan Imam Ibn Faris (w. 395 H)[3] yang
bermakna ”tidak akan pernah” yakni li ta'bîd (selama-lamanya), perinciannya
bisa dirujuk dalam kamus-kamus arab.[4]
Kedua,
Faidah dari Kalimat "قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَىٰ ۗ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ
بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ"
Allah menegaskan bahwa petunjuk-Nya adalah petunjuk yang
benar, bukan jalan-jalan kaum Yahudi dan Nasrani yang menyimpang dari agama
Allah. Dalam ayat yang agung ini pun, bisa dipahami bahwa Allah menyifati
ajaran Yahudi dan Nasrani sebagai ajaran yang menyimpang dari jalan petunjuk,
dengan kata lain berasal dari al-hawa (hawa nafsu). Mempertegas pemahaman bahwa
segala hal yang bertentangan dengan al-wahyu, itu berasal dari al-hawa/al-jahl.
Coba tela'ah tafsir surat al-Fatihah, silahkan nikmati sajian berikut ini: Link Tafsir
Ketiga,
Faidah dari Kalimat "وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ
مِنَ الْعِلْمِ ۙ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ
وَلَا نَصِيرٍ"
Dalam
ayat yang agung ini terdapat peringatan atas resiko mengikuti jalan-jalan hawa
nafsu ini, yakni tidak mendapatkan pertolongan Allah, sebaliknya keta'atan dan
konsistensi di atas jalan petunjuk (al-Islam) merupakan sebab turunnya
pertolongan Allah 'Azza wa Jalla.
Secara prinsipil, Allah
dan Rasul-Nya telah memperingatkan kaum Muslim dari bahaya ideologis meniti
jalan mereka, salah satu bentuk jalan tersebut adalah ideologi
Neoliberalisme-Kapitalisme dan sistem politik Demokrasi, tentang Demokrasi
misalnya, jelas sekali menjadi agenda penyesatan kaum imperialis.
Mantan Presiden AS, Georde
W. Bush Junior pada tahun 2003 menyatakan: “Jika kita mau melindungi negara
kita dalam jangka panjang, hal terbaik yang dilakukan adalah
menyebarkan kebebasan dan demokrasi”.[5] George
W. Bush pun dalam “The National Endowment for Democracy” (Kamis 6/11/2003) menyatakan:
“Selama kebebasan (freedom) belum tumbuh di Timur Tengah, kawasan itu akan
tetap menjadi wilayah stagnan (jumud), peng’ekskpor’ kekerasan, termasuk
menjadi tempat penyebaran senjata yang membahayakan negara AS.”[6] Link kajian Islam atas Demokrasi: Link Video
Padahal Allah ’Azza wa Jalla telah memperingatkan:
وَمَنْ يُشَاقِقِ
الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ
نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ صلى وَسَاءَتْ مَصِيرًا
{١١٥}
“Dan siapa saja yang menentang Rasul sesudah jelas datang
kepadanya petunjuk, dan mengikuti jalan orang-orang yang tidak beriman. Kami
biarkan ia leluasa dengan kesesatannya (yakni menentang Rasul dan mengikuti
jalan orang-orang kafir-pen.) kemudian Kami seret ke dalam jahannam. Dan
jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. Al-Nisâ’ [4]: 115)
Lafal man dalam
ayat di atas menunjukkan keumuman subjeknya, yakni siapa saja yang memenuhi
karakteristik yang disebutkan dalam ayat, yakni:
Pertama, Menentang Rasulullah -shallaLlâhu
'alayhi wa sallam- setelah jelas
baginya petunjuk Islam (يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ)
Kedua, Mengikuti jalan orang-orang yang
tidak beriman (يَتَّبِعْ غَيْرَ
سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ)
Dimana
kedua karakteristik di atas, dihubungkan oleh waw al-’athf[7]
yang menunjukkan kesatuan. Mereka yang menentang jalan petunjuk, bisa
dipastikan akan terhempas pada jalan kesesatan. Pilihan ini bukan tanpa resiko,
bahkan mengandung resiko serius di balik ancaman, “Kami biarkan ia leluasa dengan kesesatannya (yakni
menentang Rasul dan mengikuti jalan orang-orang kafir-pen.) kemudian Kami seret
ke dalam jahannam”, jelas merupakan istidraj, kerugian dunia dan
akhirat.
Diperjelas hadits
dari Ibn ’Abbas r.a., ia berkata: “Rasulullah -shallaLlâhu 'alayhi wa sallam- bersabda:
«لَتَتَّبِعُنَّ سنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا
بِذِرَاعٍ، حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِي جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ»
“Sungguh kamu mengikuti tuntunan orang-orang sebelum kamu
sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta hingga salah seorang dari mereka
masuk lubang biawak pun sungguh kamu mengikutinya.” (HR. Muslim, Ahmad)[8]
Al-Mulla’ Ali al-Qari (w. 1014 H) menjelaskan makna سُنَنَ yakni jalan hidup,
manhaj dan perbuatan mereka[9], dan suatu pemikiran jelas
termasuk manhaj, jalan hidup yang khas lahir dari suatu peradaban. Sehingga
dipahami bahwa hadits ini mengandung larangan, sebagaimana ditegaskan oleh
al-’Allamah Taqiyuddin al-Nabhani (w. 1396 H)[10], karena terdapat celaan atas perbuatan mengikuti manhaj
dan pola pikir orang kafir.
Apa akibatnya? Dengan
mengikuti manhaj dan pola pikir kaum kuffar yang materialistic
oriented, kaum Muslim terjangkit penyakit materialisme yang menyebabkan
cinta dunia dan takut mati, hingga sulit berkorban memperjuangkan Islam dan
hilanglah rasa takut dari musuh-musuh Islam terhadap mereka, hingga terjadi
penguasaan musuh atas kaum Muslim, benarlah apa yang diperingatkan dalam hadits
yang mulia:
عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- «يُوشِكُ الأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ
كَمَا تَدَاعَى الأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا». فَقَالَ قَائِلٌ وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ
يَوْمَئِذٍ قَالَ «بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ
كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزِعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمُ
الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِى قُلُوبِكُمُ الْوَهَنَ».
فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْوَهَنُ قَالَ «حُبُّ الدُّنْيَا
وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ»
“Dari Tsauban r.a, ia berkata bahwa Rasulullah -shallaLlâhu 'alayhi wa sallam- bersabda,
“Hampir saja para umat (yang kafir dan sesat, pen) mengerumuni kalian dari
berbagai penjuru, sebagaimana mereka berkumpul menghadap makanan dalam piring”.
Kemudian seseorang bertanya, ”Katakanlah wahai Rasulullah, apakah kami pada
saat itu sedikit?” Rasulullah -shallaLlâhu 'alayhi wa sallam- berkata, ”Bahkan
kalian pada saat itu banyak. Akan tetapi kalian bagaikan buih seperti buih
dalam gelombang lautan. Dan sungguh Allah akan menghilangkan rasa takut pada
hati musuh kalian dan Dia sungguh akan menimpakan dalam hati kalian ’Wahn’.”
Kemudian seseorang bertanya,”Apa itu ’wahn’?” Rasulullah -shallaLlâhu 'alayhi wa sallam- berkata, ”Cinta
dunia dan takut mati.” (HR. Abu Dawud, Abu Nu’aim)[11]
Wahn inilah
yang diisyaratkan oleh al-’Allamah Taqiyuddin al-Nabhani (w. 1396 H) sebagai
penghadang laju dakwah untuk kebangkitan umat dalam ungkapannya: “Kesulitan lain yang menghadang laju dakwah adalah
sulitnya mengorbankan kehidupan dunia –berupa harta, perdagangan, dan
sejenisnya- di jalan Islam dan dakwah Islam.”[12] Tentu
kita berlindung kepada Allah darinya, wal ’iyâdzu biLlâh.
Konsekuensinya dirasakan benar di zaman ini, umat
terjerumus ke dalam cengkeraman pusaran neoliberalisme, yang memuluskan jalan imperialisme
kaum Kapitalis yang merusak kehidupan, hingga tampak kerusakan di hadapan mata,
di daratan dan lautan, bukan fatamorgana semata. Maka wajib segera campakkan jalan-jalan
mereka yang sesat menyesatkan lagi dimurkai Allah, Allah al-Musta’an.
وفقنا الله وإياكم فيما يرضاه
ربنا ويحبه
والله أعلم بالصواب
[1] Atha bin Khalil Abu
al-Rasytah, Al-Taysîr fî Ushûl al-Tafsîr (Surat al-Baqarah), Beirut: Dâr
al-Ummah, hlm. 143-144.
[2] Abu ’Abdurrahman al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi, Kitâb
Al-’Ain, Dâr wa Maktabah al-Hilâl, juz VIII, hlm. 350.
[3] Ahmad bin Faris bin
Zakariya al-Qazwaini al-Razi, Majmal al-Lughah, Beirut: Mu’assasat
al-Risâlah, cet. II, 1406 H/1986, juz I, hlm.
790.
[4]
Abu al-Hasan ‘Ali bin Isma’il, Al-Muhkam
wa al-Muhîth al-A’zham, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1421
H/2000, juz X, hlm. 361.
[7] Dalam bahasa arab, jenis huruf waw ini berfungsi li muthlaq
al-jam’i (menunjukkan penyatuan).
[8] HR. Muslim (no. 2669), bab. Ittibâ’
Sunan al-Yahûdi wa al-Nashârâ; Ahmad dalam Musnad-nya (no. 11817),
Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari: “Sanadnya shahih sesuai syarat
syaikhain (al-Bukhari dan Muslim).”
[9] Nuruddin al-Mulla
‘Ali al-Qari, Mirqât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh,
Beirut: Dâr al-Fikr, cet. I, 1422 H, juz VIII, hlm. 3403.
[10] Taqiyuddin Abu Ibrahim al-Nabhani, Muqaddimah
al-Dustûr aw al-Asbâb al-Mûjibah Lahu, Beirut: Dâr al-Ummah, cet. II, 1420
H, juz I, hlm. 44.
[11]
HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (no. 4299); HR. Abu Nu’aim dalam Hilyat
al-Auliyâ’ wa Thabaqât al-Ashfiyâ’.
Comments
Post a Comment