
Oleh: Abu Naveed al-Atsari
(Peneliti di Raudhah Tsaqafiyyah Jawa Barat)
A.
Koalisi Empat Pasang Calon
Petarung pada Pemilihan Gubernur Jawa Barat (Pilgub
Jabar) sudah terpetakan. Ada empat pasang yang muncul ke permukaan.
Masing-masing partai juga telah menentukan figur pilihannya untuk diusung maju
dalam perhelatan lima tahunan ini.
Partai Gerindra dan PKS yang membentuk 'Koalisi Reuni'.
Koalisi ini awalnya akan mengusung pasangan Deddy Mizwar-Ahmad Syaikhu. Namun
batal setelah Gerindra memutuskan untuk menarik dukungan kepada Deddy, begitu
juga dengan PKS.
Setelah melalui pertemuan para petinggi partai di
Jakarta, akhirnya koalisi ini memutuskan untuk mengusung pasangan calon
Sudrajat-Ahmad Syaikhu yang merupakan kader terbaik dari masing-masing partai.
Koalisi ini juga diperkuat PAN.
Kemudian ada koalisi antara Partai Golkar dan Partai
Demokrat. Kedua partai ini sepakat menjalin kerja sama dan membentuk 'Koalisi
Sajajar'. Koalisi ini juga telah resmi mengusung Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi
untuk maju bertarung di Pilgub Jabar.
Selanjutnya ada koalisi yang dibentuk oleh Partai NasDem,
PPP, PKB dan Hanura. Empat partai ini sepakat untuk berkoalisi meski sempat
digoyang isu tarik menarik dukungan. Namun akhirnya ke empat partai ini
memutuskan untuk tetap bersama dengan mengusung Ridwan Kamil-Uu Ruhzanul Ulum.
Terakhir, secara mengejutkan PDIP yang awalnya dikabarkan
akan mendukung Ridwan Kamil akhirnya memutuskan untuk mengusung calonnya
sendiri. Dengan modal 20 kursi di DPRD partai berlambang banteng ini resmi
mengusung Tubagus Hasanudin-Anton Charliyan di Pilgub Jabar 2018.
B.
Koalisi Pragmatis
Sudah terang bahwa koalisi yang dibentuk, lebih didasarkan
pada pertimbangan pragmatis, untuk mencapai target pemenangan dan kepentingan
pihak-pihak terkait. Tarik ulur dukungan terhadap pasangan calon, dan pasang
surut rencana koalisi di antara partai-partai yang berkompetisi pada Pilgub
Jabar adalah buktinya. Hal yang juga terjadi di berbagai daerah lainnya, hanya
saja Jabar terlihat paling dinamis.
Istilah koalisi, sepadan dengan istilah al-tahâluf
al-siyâsi yang secara etimologi berasal dari kata al-hilf:
الحِلْفُ العَهْد يكون بين القوم
“Al-Hilf: perjanjian di antara kaum.” (Ibn Manzhur, Lisân
al-’Arab, (II/963))
Lebih rinci, al-Hafizh Ibn al-Atsir (Al-Nihâyah fi
Gharîb al-Hadîts, (I/424)) mendefinisikan al-hilf:
أصل الحِلْف: المُعاقَدةُ والمعاهدة على التَّعاضُد
والتَّساعُد والاتّفاق
“Asal-usul kata al-hilf: saling mengikat dan
mengadakan perjanjian dalam hal bekerja sama, tolong menolong dan kesepakatan.”
Adapun istilah al-tahâluf, Prof. Dr. Muhammad
Rawwas Qal’ah Ji (Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’, (I/122)) mendefinisikan:
التحالف : حلف كل واحد من الفريقين
“Al-Tahâluf: yakni kesepakatan satu sama lain di
antara dua pihak (atau lebih).”
Realitas koalisi dalam politik praktis saat ini,
dilakukan oleh sejumlah parpol yang bersepakat dan bekerja sama membangun suatu
pemerintahan. Koalisi yang ada di antaranya koalisi Cagub dan Cawagub beserta
perangkatnya, yang faktanya bertugas menegakkan sistem Demokrasi dan menjalankan
sistem hukum yang ada.
C.
Koalisi Pragmatis dalam Pandangan Islam
Islam adalah agama yang mengatur segala aspek kehidupan
manusia termasuk hukum berkoalisi yang realitasnya adalah bekerja sama
mengangkat penguasa beserta perangkatnya dengan membawa banyak kepentingan
partai sebagai determinan yang paling dominan, maka dapat ditimbang dengan
panduan syar’i sebagai berikut:
Pertama, Larangan berhukum dengan selain hukum Islam (lihat: QS. Al-Ahzâb [33]: 36,
QS. Al-Mâ’idah [5]: 44; 45; 47, -) dan kewajiban berhukum dengan hukum Islam
(lihat: QS. Al-Nisâ’ [4]: 65, QS. Al-Mâ’idah [5]: 48, QS. Al-Baqarah [2]: 208,
QS. Al-Nûr [24]: 51, -) dan nas-nas lainnya disertai banyak sekali penjelasan
para ulama mengenai ini.
Kedua, Larangan tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran, maka meskipun koalisi
tersebut dibangun oleh partai-partai “berbasis massa Islam”, jika berkoalisi
(saling tolong menolong) mengangkat penguasa yang pada akhirnya menegakkan
selain hukum Islam, dan berorientasi pada kepentingan kelompok atau pemodal
–bukan untuk kepentingan umat yang sejalan dengan rambu-rambu Islam-, maka
hukumnya tetap haram karena nyata bekerja sama dalam kemungkaran.
وَتَعَاوَنُوا
عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ
وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah Amat berat
siksa-Nya.” (QS.
Al-Mâ’idah [5]: 2)
Al-Hafizh Ibn Katsir (Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm, (II/12-13))
menjelaskan ayat di atas: “Allah Swt. telah memerintahkan kepada para hamba-Nya
yang beriman untuk tolong-menolong dalam mengerjakan perbuatan baik, yaitu
kebajikan (al-birr), dan meninggalkan kemungkaran-kemungkaran, yaitu
ketakwaan (al-taqwa). Allah Swt. juga melarang mereka untuk tolong-menolong
dalam kebatilan (al-bâthil), dalam dosa (al-ma’âtsim) dan dalam
hal-hal yang diharamkan (al-mahârim).”
Rasulullah -ﷺ- menegaskan:
«لاَ حِلْفَ فِي الإِسْلام»
“Tidak boleh ada perjanjian (yang batil) dalam Islam.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Ahmad).
Al-Hafizh al-Nawawi (Syarh Shahîh Muslim, (XVI/82))
memaknai hadis itu dengan menyatakan: Yang dimaksud dengan hilf[un] yang
dilarang dalam hadits di atas adalah perjanjian untuk saling mewarisi [yang ada
pada masa awal hijrah bagi orang-orang yang saling dipersaudarakan oleh
Rasulullah -ﷺ- dan perjanjian pada segala sesuatu yang
dilarang oleh syariah.
Ketiga, Setiap syarat dalam koalisi yang bertentangan dengan al-Qur’an dan
as-Sunnah adalah akad batil yang dibatalkan oleh Islam. Rasulullah
-ﷺ- bersabda:
«مَنْ اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِي كِتَابِ
اللهِ فَهُوَ بَاطِلٌ. وَإِنْ كَانَ مِائَة شَرْط كِتَاب [الله] أَحَق؛ وَشَرْط
الله أَوْثَق»
“Barang siapa membuat persyaratan (perjanjian) yang tidak
sesuai dengan kitab Allah, maka syarat tersebut batal walaupun mengajukan
seratus persyaratan, karena syarat Allah lebih benar dan lebih kuat.” (HR. Al-Bukhari & Muslim)
Al-Hafizh Ibn Hajar Al-’Asqalani menjelaskan: “Sesungguhnya
syarat-syarat yang tidak sesuai syara’ adalah batil, meski banyak jumlahnya.”
(Ibnu Hajar Al-’Asqalani, Fath al-Bârî, (V/189)).
Keempat, Koalisi adalah sarana pemenuhan syarat bagi partai-partai untuk mengangkat
Cagub dan Cawagub dimana keduanya adalah hakim yang bertugas menegakkan sistem
demokrasi. Maka jelas sarana ini hukumnya haram,
sesuai kaidah syar’iyyah:
الوَسِيْلَةُ إِلَى الْحَرَامِ مُحَرَّمَةٌ
“Sarana yang menyampaikan kepada perkara haram maka
diharamkan.”
Apa itu wasilah? Imam al-Jurjani mendefinisikan wasîlah
yakni:
الوَسِيْلَةُ: هِيَ مَا يُتَقَرَّب بِهِ إِلى الغَيْرِ
“Wasilah yakni dimana suatu hal dihantarkan olehnya
kepada hal lainnya.” (Al-Jurjani, Al-Ta’rîfât, hlm. 252)
Kaidah tersebut bisa diterapkan pada kasus ini karena:
(1) Hukum yang menjadi tujuannya jelas haram dan keharamannya dinyatakan oleh
nash; yakni keharaman menegakkan sistem kufur Demokrasi beserta perangkat
sistem hukumnya. (2) Sarana (koalisi) tersebut berdasarkan ghalabatu azh-zhann
mengantarkan kepada perbuatan mengangkat presiden dan wakilnya yang bertugas
menegakkan sistem kufur Demokrasi dan sistem hukum jahiliyah.
D.
Partai Politik Islam yang Seharusnya
Partai politik wajib berasaskan akidah Islam, dan dari
akidah inilah terpancar berbagai peraturan yang diadopsi oleh partai, dan ia
wajib terikat padanya dalam hal apapun mencakup metode, pemikiran dan uslub
yang digunakan. Aktivitasnya adalah menyerukan al-khayr yakni al-Islam,
menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang dari kemungkaran.
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ
يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ
الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan
hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada al-khayr
(al-Islam), menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar;
merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Âli
Imrân [3]: 104)
Parpol Islam,
sudah semestinya menyerukan perubahan sistem berdasarkan metode perubahan yang
dicontohkan Rasulullah -ﷺ- sebaik-baiknya teladan.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ
اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ
وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak
menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzâb [33]: 21)
Parpol Islam
wajib menyeru umat kepada penegakkan Islam kâffah dalam kehidupan, memperingatkan
umat dari bahaya sistem dan ideologi rusak produk hawa nafsu manusia (Demokrasi,
Kapitalisme-Neoliberalisme), mengadopsi permasalahan umat dan menjelaskan hukum
syara’ atasnya, serta bersama umat menegakkan sistem politik dan kepemimpinan
Islam yang menjadikan al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai pedoman, WaLlâhu a’lam
bi al-shawâb. []
Comments
Post a Comment