Oleh: Irfan Abu Naveed al-Atsari
[Peneliti di Raudhah Tsaqafiyyah Daerah Jawa
Barat]

«مَنْ أَحْيَا سُنَّتِي فَقَدْ أَحَبَّنِي، وَمَنْ أَحَبَّنِي كَانَ
مَعِي فِي الْجَنَّةِ»
“Barangsiapa
yang menghidupkan sunnahku, maka sungguh ia telah mencintaiku, dan siapa saja
yang mencintaiku, maka ia bersamaku menjadi penghuni surga.” (HR.
Al-Tirmidzi, al-Marwazi, al-Thabrani, al-Lalika’i, Ibn Baththah dan Ibn Syahin)[1]
Beliau menguraikan, yakni
benar-benar cinta kepada beliau –shallâLlahu ’alayhi
wa sallam-, karena
sesungguhnya siapa saja yang mencintai seseorang, maka ia akan bertingkah laku
seperti pihak yang dicintainya, maka tanda cinta seseorang kepada Rasulullah –shallâLlahu
’alayhi wa sallam-
adalah bertingkah laku sesuai sunnahnya, menolong sunnahnya
serta menyeru manusia kepadanya.[2]
Menolong
Rasulullah –shallâLlahu ’alayhi wa sallam- dan sunnahnya, yakni dengan
membela ajaran-ajaran Rasulullah –shallâLlahu ’alayhi wa sallam- dari
berbagai penyimpangan (tahrîf) dan penyesatan (tadhlîl) yang
dibuat-buat oleh kaum yang terpedaya.
A. Menolong Rasulullah –shallâLlahu ’alayhi wa
sallam-, Sunnahnya & Golongannya
Menolong
Rasulullah –shallâLlahu ’alayhi wa sallam-, sunnahnya dan golongannya
(ahl al-sunnah), termasuk dalam cakupan menolong DinuLlah dalam QS. Muhammad [47]: 7:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ
تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ {٧}
“Wahai orang-orang yang beriman jika kalian menolong
(Din) Allah, maka Dia akan menolong kalian dan meneguhkan kedudukan kalian.” (QS. Muhammad
[47]: 7)
Dalam ayat
yang agung ini, Allah menggunakan bentuk ungkapan syarat dan jawabnya (al-jumlah
al-syarthiyyah), dengan perangkat (adat al-syarth) yakni in (إِنْ): jika kalian menolong Allah (إن تنصروا الله). Kalimat menolong, setelah
sebelumnya diawali dengan seruan yang berkaitan dengan keyakinan (akidah),
menunjukkan bahwa aktivitas menolong ini merupakan aktivitas yang berkenaan
dengan perbuatan (hukum syara’) yang dilandasi oleh keimanan (akidah Islam),
tidak terpisahkan.
Istimewanya,
dalam kalimat ini Allah menisbatkan pertolongan hamba-hamba-Nya kepada-Nya, padahal Allah Maha Kuasa atas segala perkara,
tidak membutuhkan pertolongan makhluk-Nya.
وَمَنْ جَاهَدَ
فَإِنَّمَا يُجَاهِدُ لِنَفْسِهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ
لَغَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ {٦}
“Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya
jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha
Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari alam semesta.” (QS. Al-’Ankabût [29]: 6)
Imam Abu Ja’far al-Nahhas al-Nahwi (w. 338 H) dan
al-Qadhi Badruddin Ibn Jama’ah al-Syafi’i (w. 733 H) menjelaskan bahwa bentuk ungkapan tersebut merupakan bentuk
kiasan (majâz).[3] Yang disebutkan langsung
dinisbatkan kepada ”Allah”, namun maksudnya adalah dînuLlâh (agama
Allah). Perinciannya, yakni dengan menghilangkan bentuk idhâfah dari
kata Allah[4]: yakni menghilangkan kata dîn
di depan lafal jalâlah (Allah), karena makna sebenarnya adalah menolong Rasul-Nya,
Dîn-Nya[5], syari’at-Nya, dan kelompok pembela Dîn-Nya (hizbuLlâh)[6], dalam ilmu balaghah (al-ma’âni), ini yang
diistilahkan al-îjâz bi al-hadzf (bentuk meringkas perkataan
dengan menghilangkan bagian), yang berfaidah lebih menguatkan makna
yang dikehendaki daripada penyebutannya secara lengkap.[7]
Relevansinya dalam ayat ini, menunjukkan pentingnya
perbuatan menolong agama Allah, karena seakan menisbatkan pertolongan makhluk
langsung pada Allah ’Azza wa Jalla, ini sudah cukup menunjukkan besarnya
kedudukan amal perbuatan tersebut, sehingga cukup menjadi dorongan kuat, targhîb,
bagi hamba Allah yang mencintai-Nya, Din-Nya dan mengharapkan perjumpaan
dengan-Nya. Bahkan jika seandainya Allah tidak menginformasikan ganjaran agung
bagi mereka yang menolong Din-Nya: {يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ}.
Bahkan
menolong dînuLlâh itu
sendiri merupakan wasiat para nabi dan rasul, Syaikh ’Atha bin Khalil
menjelaskan bahwa sesungguhnya KhaliluLlah Ibrahim a.s. menunaikan
perintah Allah, dan tunduk patuh serta ikhlas kepada Allah, hal ini yang beliau
a.s. wasiatkan kepada anak-anaknya. Begitu pula wasiat Ya’qub a.s. terhadap
anak-anaknya, agar mereka senantiasa berpegang teguh terhadap agama mereka, yang
Allah pilih untuk mereka, dan agar mereka senantiasa berada dalam agama ini
hingga mereka diwafatkan oleh Allah, dan mereka dalam keadaan tunduk dan ta’at
kepada-Nya, tak pernah berpaling kepentingan mereka dari keta’atan kepada
Allah, tunduk dan ner-Islam, karena mereka tidak mengetahui kapan tibanya
kematian.[8]
Jika lantas
timbul pertanyaan, “Dengan cara apa menolong dînuLlâh?” Jawabannya, yakni
dengan beriman dan beramal shalih, salah satunya dengan berdakwah dengan meniti
metode dakwah Rasulullah –shallâLlahu
’alayhi wa sallam-, dakwah pemikiran, memahamkan umat agar menjadikan Islam
sebagai ideologi kehidupan.
B. Kemenangan:
Ganjaran Bagi Mereka yang Menolong Din-Nya dan Rasul-Nya
Kalimat {يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ}
merupakan jawaban (jawâb al-syarth) jika terpenuhinya apa yang menjadi
syarat yakni ”menolong dînuLlâh” {إِنْ تَنْصُرُوا اللهَ}. Pertolongan dari Allah, merupakan pertolongan untuk
meraih keberhasilan atau keselamatan hidup di dunia dan akhirat. Imam
al-Sam’ani menafsirkan makna al-nashr minaLlâh (pertolongan dari Allah)
yakni al-hifzh (pemeliharaan dan penjagaan dari segala keburukan)
dan al-hidâyah (bimbingan petunjuk untuk senantiasa berada di atas
kebenaran).
Ungkapan agung yutsabbit aqdâmakum (Dia
akan meneguhkan kaki-kaki kalian), merupakan bentuk kiasan (majâz mursal),
disebutkan sebagian yakni aqdâm (kaki-kaki) padahal yang dimaksud adalah
keseluruhan diri orang yang Allah teguhkan (ithlâq al-juz’i wa irâdat
al-kulli). Digunakan istilah kaki-kaki ini, karena ia adalah alat untuk
berpijak (adât al-tsabât), sebagaimana diuraikan oleh Prof. Dr. Wahbah
al-Zuhaili[9]. Hal ini dimaksudkan
untuk menguatkan rasa, menggambarkan keteguhan, yakni teguh dalam Islam, dan
dalam peperangan (jihad)[10], serta teguh dalam
menghadapi berbagai tantangan, termasuk tantangan-tantangan dalam berdakwah,
sebagaimana dialami oleh para nabi dan rasul –’alayhi al-salâm-.
Bukankah tiada kenikmatan yang lebih agung daripada
nikmat iman dan Islam? Hingga Allah berfirman:
وَلَا
تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ {١٠٢}
“Dan janganlah sekali-kali kamu (wahai orang-orang yang
beriman) mati melainkan dalam keadaan Islam.” (QS. Âli
Imrân [3]: 102)
Dari Abu Sa’id al-Khudri r.a., bahwa Rasulullah –shallâLlahu ’alayhi wa sallam- bersabda:
«مَنْ رَضِيَ
بِاللهِ رَبّاً، وَبِالإسْلاَمِ ديناً، وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولاً، وَجَبَتْ لَهُ
الجَنَّةُ»
“Siapa saja yang ridha Allah sebagai Rabb-nya, Islam
sebagai Din-nya, Muhammad sebagai rasul baginya, maka wajib baginya ganjaran
surga.”
Maka Abu Sa’id merasa takjub, lalu ia berkata: “Tolong
ulang kembali untukku wahai Rasulullah –shallâLlahu ’alayhi wa sallam-?” Kemudian Rasulullah –shallâLlahu
’alayhi wa sallam- mengulang kembali perkataannya (HR. Muslim,
Ahmad, Ibn Hibban, al-Nasa’i)[11]
Imam Muhammad Ali Ibn ’Allan al-Syafi’i (w. 1057 H)
menjelaskan bahwa di dalam hadits ini terdapat dorongan untuk mati dalam
keadaan Islam.[12] Dimana
hal tersebut bisa diraih di antaranya dengan menjadikan dakwah sebagai poros
kehidupan, menolong tegaknya DinuLlah dalam kehidupan, mengupayakan tegaknya
Islam secara totalitas dalam kehidupan, dengan berada di barisan pejuang yang
memperjuangkan Din al-Islam. []
[1] HR. Al-Tirmidzi dalam Sunan-nya (no. 2678, bab بَابُ
مَا جَاءَ فِي الأَخْذِ بِالسُّنَّةِ وَاجْتِنَابِ البِدَعِ), ia berkata: “Hadits ini hasan
gharib dari jalur ini.”; Abu Abdillah al-Marwazi dalam Ta’zhim Qadr
al-Shalat (no. 714); Al-Thabrani dalam Al-Mu’jam al-Awsath (no.
9439); Al-Lalika’i dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (no.
8); Ibn Baththah dalam al-Ibanah al-Kubra (no. 51); Ibn Syahin dalam Al-Targhib
fi Fadhâ’il al-A’mal (no. 527).
[2] Muhammad bin Isma’il ‘Izzuddin al-Shan’ani, Al-Tanwir Syarh al-Jami’
al-Shaghir, juz X, hlm. 55.
[3] Yakni dalam tinjauan ilmu balaghah: ‘ilm al-bayân. Lihat: Abu
Ja’far al-Nahhas al-Nahwi, I’râb al-Qur’ân, juz IV, hlm. 119; Badruddin
Ibn Jama’ah, Îdhâh al-Dalîl fî Qath’i Hujjaj Ahl al-Ta’thîl,
Mesir: Dâr al-Salâm, cet. I, 1410 H, hlm. 117.
[4] Abu al-Fath ‘Utsman bin Jinni al-Maushuli, Al-Muhtasib fî Tabyîn
Wujûh Sawâdz al-Qirâ’ât wa al-Îdhâh ‘anhâ, Wizârat al-Awqâf, 1420 H/1999,
juz I, hlm. 188.
[7] Dr. Abdul Aziz bin Ali al-Harbi, Al-Balâghah al-Muyassarah, hlm.
51.
[8] Atha bin Khalil Abu al-Rasytah, Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl, hlm.
163-164.
[9] Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, Al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa
al-Syarî’ah wa al-Manhaj, juz ke-26, hlm. 83.
[11] HR. Muslim dalam Shahîh-nya (no. 1884); Ahmad dalam Musnad-nya
(no. 11117); Ibn Hibban dalam Shahîh-nya (no. 4612),
Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari: “Hadits hasan gharib”;
Al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath (no. 8742); Al-Nasa’i dalam Sunan-nya
(no. 3131).
[12] Muhammad Ali Ibn ‘Allan al-Syafi’i, Dalîl al-Fâlihîn Li Thuruq
Riyâdh al-Shâlihîn, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, cet. IV, 1425 H, juz
VII, hlm. 102-103.
Comments
Post a Comment