Oleh: Irfan Abu Naveed al-Atsari
[Peneliti di Raudhah Tsaqafiyyah Daerah Jawa
Barat]
S
|
alah satu sunnah, yakni
ajaran Rasulullah –shallâLlahu
’alayhi wa sallam-, adalah wasiat agung beliau pada umatnya untuk berpegang
teguh pada al-Qur’an dan al-Sunnah, menegakkan Islam kâffah dalam
kehidupan.
A. Sunnah Rasulullah –shallâLlahu
’alayhi wa sallam-: Tegakkan Islam Kâffah

«يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنِ اعْتَصَمْتُمْ
بِهِ فَلَنْ تَضِلُّوا أَبَدًا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ»
“Wahai
umat manusia, sesungguhnya aku telah meninggalkan bagi kalian apa-apa yang jika
kalian berpegang teguh pada keduanya, maka tidak akan tersesat selama-lamanya
yaitu Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.” (HR. Al-Hakim,
al-Baihaqi dan lainnya)
Hadits
ini mengandung pesan umum bagi manusia, mencakup kehidupan pribadi,
berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara, sebagaimana ditunjukkan oleh
Rasulullah –shallâLlahu ’alayhi wa sallam- dan para sahabatnya secara
praktis. Kata yâ
ayyuhannâs (wahai manusia), dengan ungkapan seruan harf al-nidâ’ (kata
seru yâ ayyuha) dengan objek yakni al-nâs (bentuk plural yang
artinya manusia), menunjukkan bahwa wasiat Nabi –shallâLlahu
’alayhi wa sallam-
ini merupakan wasiat agung yang ditujukan kepada umat manusia secara umum,
termasuk pemimpin kaum Muslim dan kaum Muslim pada umumnya.
Wasiat
Rasulullah –shallâLlahu ’alayhi wa sallam- ini, mengandung perintah
fardhu untuk berpegang teguh terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah, mencakup kewajiban
menjadikan keduanya sebagai dasar negara dan hukum perundang-undangan, mencakup
aspek politik dalam negeri maupun luar negeri, fardhu dengan petunjuk (qarînah) adanya janji
keselamatan dari kesesatan, diperkuat dalil-dalil al-Qur’an dan al-Sunnah
lainnya, Dr. Muhammad bin Hamid Hawari menjelaskan:
Saya
menyadari dengan penuh keyakinan, berdasarkan kajian terhadap sirah
nabawiyyah dalam bimbingan cahaya al-Qur’an dan sunnah nabawiyyah, bahwa
mengembalikan hukum syari’at Islam dalam kehidupan merupakan kewajiban syar’i,
dan fardhu kifayah bagi mereka jika ada yang mampu menegakkannya, dan fardhu
’ain jika tidak ada yang mampu menegakkannya.[1]
Dalam perinciannya, Rasulullah –shallâLlahu ’alayhi wa
sallam- dan para sahabat telah memberikan keteladanan bahwa untuk
menegakkan al-Qur’an dan al-Sunnah dalam kehidupan, mencakup kehidupan
bermasyarakat, maka memerlukan institusi politik yang menegakkan politik Islam,
mengatur kehidupan masyarakat dengan hukum al-Qur’an dan al-Sunnah.
Al-’Allamah
Taqiyuddin al-Nabhani (w. 1396 H) menggambarkannya secara mapan berdasarkan petunjuk
syari’at, bahwa Islam adalah din yang Allah turunkan kepada
Sayyidina Muhammad –shallâLlahu
’alayhi wa sallam-, untuk mengatur hubungan antara manusia
dengan Pencipta-Nya, dirinya sendiri dan sesama manusia. Hubungan manusia dan
Pencipta-Nya mencakup akidah dan peribadahan-peribadahan; hubungan manusia
dengan dirinya sendiri mencakup akhlak, makanan dan pakaian; hubungan manusia
dengan sesama manusia mencakup mu’amalah, dan hukum-hukum persanksian. Maka
Al-Islam adalah ideologi yang mengatur seluruh aspek kehidupan.[2]
Hal itu sebagaimana ditunjukkan oleh sunnah Rasulullah –shallâLlahu
’alayhi wa sallam-, yang menegakkan institusi politik Islam berpusat di
Madinah al-Munawwarah, diteruskan oleh para sahabat al-khulafâ’ al-râsyidûn pada
periode yang disebut Rasulullah –shallâLlahu ’alayhi wa sallam- dalam
hadits hasan riwayat Imam Ahmad, sebagai periode al-khilâfah ’alâ minhâj
al-nubuwwah. Ditegaskan para ulama dalam turats mereka yang menguraikan
kewajiban menegakkan institusi Khilafah ini dalam kehidupan, sebagai ajaran Rasulullah
–shallâLlahu ’alayhi wa sallam- dan disepakati para sahabat dengan
konsensus (ijma’) mereka.
Dimana itu semua memahamkan kita secara terang benderang,
bahwa penerapan Islam dalam
kehidupan membutuhkan kekuasaan politik, yang ditafsirkan oleh Rasulullah –shallâLlahu
’alayhi wa sallam- dalam
bentuk praktis yakni dengan tegaknya institusi politik, negara Islam (al-daulah
al-Islâmiyyah). Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H)–begitu pula
para ulama lainnya- mengumpamakannya sebagai saudara kembar (الدّين وَالسُّلْطَان توأمان)[3], lalu Al-Ghazali pun menegaskan:
الدّين أس وَالسُّلْطَان حارس فَمَا لا أس
لَهُ فمهدوم وَمَا لا حارس لَهُ فضائع
“Al-Dîn itu
asas dan penguasa itu penjaganya, maka apa-apa yang tidak ada asasnya maka ia
akan roboh dan apa-apa yang tidak ada penjaganya maka ia akan hilang.”[4]
Merealisasikan itu semua bagian dari menyambut seruan Allah
yang berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ {٢٤}
“Hai
orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul
menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu.”
(QS. Al-Anfâl [8]: 24)
B. Tegakkan Islam Kâffah
dengan Tegaknya Al-Khilâfah ’ala Minhâj al-Nubuwwah
Salah satu ajaran Islam yang diwasiatkan dan diwariskan Rasulullah
–shallâLlahu ’alayhi wa sallam- kepada para sahabat dan umatnya adalah al-imamah
(kepemimpinan) dengan ruh Islam yakni al-Khilafah, sebagaimana sabdanya
yang mulia, dari Abu Hurairah r.a., Nabi Muhammad –shallâLlahu ’alayhi wa
sallam- bersabda:
«كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ
الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ
بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ»
“Adalah bani Israil, urusan mereka diatur oleh para nabi.
Setiap seorang nabi wafat, digantikan oleh nabi yang lain, sesungguhnya tidak
ada nabi setelahku, dan akan ada para Khalîfah yang banyak.” (HR. Al-Bukhari, Muslim dan Ahmad. Lafal
al-Bukhârî)
Kepemimpinan dengan ruh Islam ini menjadi menjadi ciri
khas mulia, membedakannya dengan sistem sekular yang mengundang malapetaka.
Inilah yang diungkapkan Al-Qadhi Taqiyuddin al-Nabhani (w. 1396 H), menjelaskan
makna syar’i secara mapan digali dari nas-nas syar’i, bahwa Khilafah adalah “kepemimpinan
umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia, untuk menegakkan hukum-hukum syari’at
Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.”
Imam Abu Bakr al-Anbari (w. 328 H) pun menjelaskan:
سمي الخليفة خليفة في الأصل،
لخلافته رسول الله، والأصل فيه: خَلِيفٌ، بغير هاء، فدخلت " الهاء "
للمبالغة في مدحه بهذا الوصف
Dinamakan
al-khalifah, yakni khalifah pada asal katanya, karena kedudukannya sebagai
pengganti Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam-, asal
katanya adalah: khalîf, tanpa ada tambahan huruf hâ’ (maksudnya tâ’
marbûthah), maka ditambahkan al-hâ’ (tâ’ marbûthah) sebagai bentuk superlatif
(mubâlaghah) atas pujian terhadapnya dengan penyifatan tersebut.[5]
Imam
Al-Qalqasyandi menegaskan bahwa khilafah secara ’urf lantas disebut
untuk kepemimpinan agung, memperkuat makna syar’inya yang menggambarkan
kepemimpinan umum atas umat, menegakkan berbagai urusan dan kebutuhannya.[6]
Namun bukan sembarang kepemimpinan, melainkan kepemimpinan yang menjadi
pengganti kenabian dalam memelihara urusan Din ini, dan mengatur urusan dunia
dengannya, ditegaskan Imam al-Mawardi (w. 450 H)[7],
Imam al-Haramain al-Juwaini (w. 478 H)[8].
Imam al-Mawardi al-Syafi’i menegaskan:
الْإِمَامَةُ: مَوْضُوعَةٌ لِخِلَافَةِ النُّبُوَّةِ فِي
حِرَاسَةِ الدِّينِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا
Al-Imâmah: pembahasan terkait khilâfat al-nubuwwah (pengganti kenabian) dalam
memelihara urusan Din ini dan mengatur urusan dunia (dengannya).
Karakter agung pengganti kenabian ini, sebagaimana petunjuk
dalam hadits di atas, dimana kekhilafahan menegakkan apa yang disebut politik
Islam (al-siyâsah al-syar’iyyah), sebagaimana didefinisikan Prof. Dr.
Muhammad Rawwas Qal’ah Ji (w. 1435 H) dalam kamus bahasa ahli fikihnya, Mu’jam
Lughat al-Fuqahâ’:
رِعَايَةُ شُؤُوْنِ الأُمَّةِ
بِالدَّاخِلِ وَالخَارِجِ وَفْقَ الشَّرِيْعَةِ الإِسْلاَمِيَّةِ
Dimana sifat syar’iyyah dari
politik warisan Rasulullah –shallaLlâhu
’alayhi wa sallam- ini pun diungkapkan al-Syafi’i, sebagaimana dinukil oleh Imam Ibn Qayyim
al-Jauziyyah (w. 751 H) dalam sejumlah kitabnya, salah satunya Badâi’i
al-Fawâ’id:
لَا سِيَاسَةَ إلَّا
مَا وَافَقَ الشَّرْعَ
”Tidak ada politik
kecuali apa-apa yang sejalan dengan hukum syara'.”[10]
Maka jelas bahwa jika penguasa
menegakkan politik sekularistik, mengatur rakyat dengan aturan yang
bertentangan dengan syari’at Islam, maka hal itu tertolak, sebagaimana kecaman dalam
hadits dari ’Aisyah –radhiyallâhu ’anhâ- bahwa Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam-:
«مَنْ عَمِلَ عَمَلاً
لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ»
“Siapa saja yang
beramal tidak sesuai dengan perintah kami, maka amal perbuatan itu tertolak” (HR. Muslim,
Ahmad)[11]
Dalil hadits di atas pun
disebutkan oleh Imam Ibn Hazm al-Andalusi ketika menjelaskan syarat penguasa
yang memenuhi karakteristik berpegang teguh terhadap syari’at, “Seseorang
yang mengedepankan perintah-Nya, mengetahui apa-apa yang Allah wajibkan berupa
kefardhuan-kefardhuan din ini, dan bertakwa kepada Allah.”[12]
Dalam perinciannya, kewajiban menegakkan khilafah,
mencakup karakteristik agungnya, merupakan perkara yang ma’lûm disepakati
salaful ummah dan ulama ahl al-sunnah wa al-jamâ’ah, bahkan
disebut-sebut sebagai salah satu kefardhuan agama tersebar (min a’zham
al-wajibat), diuraikan dalam turâts para ulama dengan perincian dalil:
Pertama, Dalil-Dalil
Al-Qur’an
Dalil pertama, Allâh memerintahkan kita mena’ati ulil
amri dalam QS. Al-Nisâ’ [4]: 59. Maka berdasarkan dalâlah al-iltizâm,
perintah menta’ati ulil amri pun merupakan perintah mewujudkannya sehingga
kewajiban tersebut terlaksana. Maka ayat tersebut pun mengandung petunjuk,
wajibnya mengadakan ulil amri (Khalifah) dan sistem syar’inya (Khilafah), yang
juga disebut nama (al-ism) dan dirinci konsepnya (al-musamma)
dalam hadits-hadits nabawiyyah.
Dalil kedua, Para ulama pun menegaskan bahwa dalam banyak ayat
al-Qur’an, Allah mewajibkan kaum Muslim menegakkan syari’at Islam (lihat: QS.
Al-Baqarah [2]: 208, QS. Al-Mâ’idah [5]: 48 dan lainnya), namun penerapannya
takkan sempurna kecuali dengan tegaknya sistem Khilafah dan adanya Khalifah
yang dibai’at secara syar’i menegakkan hukum al-Qur’an dan al-Sunnah, maka
menegakkan keduanya hukumnya wajib, sesuai kaidah syar’iyyah:
مَا لاَ يَتِمُّ
الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Para ulama pun menjadikan kaidah ini sebagai hujjah
wajibnya khilafah, penerapannya dijelaskan oleh Imam al-Naisaburi (w. 850 H):
Umat ini (ulama) bersepakat bahwa yang diseru dari
firman-Nya: ”Jilidlah” adalah Imam hingga mereka pun berhujjah dengannya atas
kewajiban mengangkat Imam (Khalifah), karena sesungguhnya hal dimana kewajiban
takkan sempurna kecuali dengannya maka hal tersebut menjadi wajib adanya.[14]
Kedua, Dalil-Dalil
Al-Sunnah
Banyak dalil-dalil al-Sunnah yang mendasarinya, dua di
antaranya, yakni hadits dari Abu Hurairah r.a., bahwa Nabi –shallâLlahu ’alayhi wa sallam- bersabda:
«إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ
وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ»
“Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai, dimana
(orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan
(kekuasaan) nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad)[15]
Hadits ini, mengandung pujian
yang sangat kuat terhadap sosok Khalifah, karena maksud dari al-Imâm dalam hadits ini adalah al-Khalîfah, ditegaskan para ulama salah satunya al-Mulla al-Qari (w. 1041 H),[16] dimana pujian tersebut -dalam ilmu balaghah- ditunjukkan oleh dua hal: ungkapan qashr (pengkhususan)
dan tasybîh mu’akkad (penyerupaan tegas) yang menyerupakan Khalifah
sebagai perisai kaum Muslim. Dalam ilmu ushul al-fiqh, jika adanya “hal
yang dipuji” tersebut menjadi sebab tegaknya hukum Islam, sebaliknya jika hal
tersebut tidak ada menyebabkan hukum Islam terbengkalai, maka pujian tersebut
merupakan qarînah jazîmah (indikasi tegas) bahwa “hal yang dipuji” itu
hukumnya wajib. Yakni adanya Khalifah dalam sistem Khilafah.
Dalil lainnya, Rasulullah –shallâLlahu ’alayhi wa sallam- bersabda:
«مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ
مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً»
“Barangsiapa yang mati
sedangkan dipundaknya tiada bai’at (kepada Khalîfah), maka ia mati seperti mati
jahiliyyah.” (HR. Muslim)[17]
Bai’at
secara terminologis adalah hak umat dalam melaksanakan akad penyerahan kekhilafahan.
Para ulama menegaskan bahwa bai’at merupakan metode syar’i mengangkat Khalîfah.[18] Nabi –shallâLlahu ’alayhi wa sallam- telah mewajibkan adanya
bai’at di pundak setiap muslim, dengan qarînah jâzimah adanya ancaman tasybîh:
mati seperti mati jahiliyyah, menurut al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani (w. 852
H) yakni mati dalam keadaan bermaksiat.[19]
Hadits ini mewajibkan adanya
bai’at di atas pundak setiap Muslim, dan bai’at tidak diberikan kecuali kepada
Khalifah, maka ini menjadi dalil wajibnya mengadakan Khalifah, menegakkan
sistem Khilafah dengan tempo tiga hari. Imam Ibn Hubairah (w. 560 H)
menjelaskan hadits ini menegaskan:
Yakni jika tiada
Imam/Khalifah baginya, dan ini menunjukkan bahwa tidak boleh terjadi kekosongan
yang meliputi kaum Muslim, lebih dari tiga hari sebagai tempo syura’ (dari
ketiadaan khilafah), kecuali di pundak mereka terdapat bai’at terhadap seorang
Khalifah tempat kembali mereka.[20]
Ketiga, Dalil
Ijma’ Sahabat
Konsensus (ijmâ’) sahabat merupakan hujjah
syar’iyyah berdasarkan dalil QS. Al-Taubah [9]: 100, disepakati oleh para
ulama. Salah satunya, konsensus mereka terhadap kewajiban menegakkan khilafah,
mengangkat khalifah. Al-Qadhi Abu Ya’la al-Farra (w. 458 H) ketika mengomentari
peristiwa bersejarah, diskusi alot antara tokoh-tokoh Kaum Anshar dan Kaum
Muhajirin di Saqifah Bani Sa’idah menegaskan: “Jika seandainya al-Imamah (Khilafah) itu tidak wajib,
maka takkan berlangsung diskusi alot tersebut dan dialog tentangnya.”[21]
Sebelumnya, al-Farra menegaskan bahwa Khilafah hukumnya
wajib berdasarkan dalil al-sam’u (yakni dalil-dalil naqli).[22] Penjelasan
senada ditegaskan oleh al-Hafizh al-Qurthubi (w. 671 H) dalam kitab tafsirnya.[23] Di sisi lain, para
sahabat pun lebih mendahulukan pengangkatan Khalifah daripada pemakaman jenazah
Rasulullah –shallâLlahu ’alayhi wa sallam-, sebagaimana ditegaskan oleh Imam al-Khaththabi (w. 388 H). Setelah menjelaskan konsensus
sahabat ini, al-Khaththabi (w. 388 H) lalu menegaskan:
وذلك من أدل الدليل على وجوب الخلافة وأنه لا بد للناس من إمام يقوم بأمر الناس
ويمضي فيهم أحكام الله ويردعهم عن الشر ويمنعهم من التظالم والتفاسد
Dalil tersebut (ijma’ sahabat) termasuk
sejelas-jelasnya dalil atas wajibnya menegakkan al-Khilafah, dan bahwa
harus ada seorang Imam (Khalifah) bagi masyarakat yang berdiri memerintah dan
mengatur mereka dengan hukum-hukum Allah, menjauhkan mereka dari keburukan,
menghalangi mereka saling menzhalimi dan menimbulkan kerusakan.[24]
Maka tak mengherankan jika
para ulama pun menegaskan kesepakatan mereka atas wajibnya menegakkan Khilafah.
Imam Ibn Hazm al-Andalusi (w. 456 H) mendokumentasikan: “Mereka (para ulama) sepakat bahwa
imamah itu fardhu dan adanya Imam itu merupakan
suatu keharusan.”[25]
Seluruh penjelasan di
atas semakin menegaskan bahwa dakwah, wajib berorientasi pada upaya penegakkan
Islam dalam kehidupan, dan hal itu terwujud sempurna dengan tegaknya institusi
kekuasaan Islam, Sistem Khilafah yang berdiri tegak di atas manhaj kenabian (al-khilâfah
’alâ minhâj al-nubuwwah). Menyongsong abad tegaknya kembali kemuliaan
Islam, dari Hudzaifah bin
al-Yaman r.a., Rasulullah –shallâLlahu ’alayhi wa sallam- bersabda:
«ثُمَّ تَكُوْنُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ
النُّبُوَّةِ»
Inilah sunnah Rasulullah –shallâLlahu ’alayhi wa
sallam- yang menggariskan sistem politik Islam yang khash, dicontohkan oleh
beliau dan para khalifah, tak ada jalan lain bagi kita yang mengaku mencintai beliau,
kecuali berjuang merealisasikannya, sebagai salah satu bagian dari pesan
mendalam Rasulullah –shallâLlahu ’alayhi wa sallam-, dari Al-’Irbadh bin
Sariyah ia berkata: Rasulullah –shallâLlahu ’alayhi wa sallam- bersabda:
«عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ ، عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ»
“Hendaklah
kalian berdiri di atas sunnahku, dan sunnah para khalifah al-rasyidin
al-mahdiyyin (khalifah empat yang mendapatkan petunjuk), gigitlah oleh kalian hal
tersebut) dengan geraham yang kuat.” (HR. Ahmad, Ibn Majah,
Al-Hakim, Al-Baihaqi)[27]
[1] Dr. Muhammad bin
Hamid Hawari, Da’watun Min Jâmi’ al-Ahkâm Min Tafsîr al-Imâm
al-Qurthubi, Risâlah Duktûrah,
1428 H, hlm. 8.
[2] Al-Qadhi Taqiyuddin bin Ibrahim al-Nabhani, Nizhâm Al-Islâm, Beirut:
Dâr al-Ummah, 1953, hlm. 34.
[3] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd, Beirut:
Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1424 H, hlm. 128.
[4] Ibid. Penuturan senada diutarakan oleh Imam Abu al-Hasan al-Mawardi (w.
450 H), Imam al-Qal’i al-Syafi’i (w. 630 H), Imam Ibn al-Azraq al-Gharnathi (w.
896 H), dan lainnya.
[5] Abu Bakar al-Anbari, Al-Zâhir fî Ma’ânî Kalimât al-Nâs, Ed: Dr.
Hatim Shalih al-Dhamin, Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, cet. I, 1412 H/1992, juz
II, hlm. 229.
[6] Ibid.
[7] Abu al-Hasan al-Mawardi, Al-Ahkâm al-Sulthâniyyah, Dâr al-Hadîts, juz
I, hlm. 15
[8] Abu al-Ma’ali al-Juwaini, Ghiyâts al-Umam fî al-Tiyâts al-Zhulm, Maktabat
Imâm al-Haramain, cet. II,
1401 H, juz I, hlm. 22
[9] Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji dkk, Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’, Dâr
al-Nafâ’is, cet. II,
1408 H, juz I, hal. 252.
[10] Muhammad bin Abi Bakr Syamsuddin Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Badâ'i
al-Fawâ'id, Beirut: Dâr al-Kitâb al-'Arabi, juz III, hlm. 152.
[11] HR. Muslim dalam Shahîh-nya; HR. Ahmad dalam Musnad-nya
(42/62, hadits no. 25128); Syu’aib al-Arna’uth dkk mengomentari: “Hadits ini
sanadnya shahih sesuai syarat Imam Muslim.”
[12] ‘Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm al-Andalusi, Al-Fashl fî al-Milal wa
al-Ahwâ’ wa al-Nihal, Kairo: Maktabah al-Khanji, t.t., juz IV, hlm. 128.
[13] Tajuddin ‘Abdul Wahhab
al-Subki, Al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1411 H, juz II, hlm. 88.
[14] Nizhamuddin al-Naisaburi, Gharâ’ib al-Qur’ân wa Raghâ’ib al-Furqân, Beirut:
Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1416 H, juz V, hlm. 148.
[15] HR. Al-Bukhari dalam Shahîh-nya (no. 2797); Muslim
dalam Shahîh-nya (no. 1841); Ahmad dalam Musnad-nya
(no. 10787), Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari: “Shahih dan ini
sanadnya kuat.”
[16] Al-Mulla Ali al-Qari, Mirqât al-Mafâtîh, juz VI, hlm. 2391.
[17] Muslim dalam Shahîh-nya (no. 1851).
[18] Hal ini disimpulkan dari ulasan para ulama terkait bai’at untuk khalifah,
misalnya dalam kitab al-Ahkâm
al-Sulthaniyyah karya
Imam al-Mawardi dan selainnya.
[19] Ahmad bin Ali Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bâri: Syarh
Shahîh al-Bukhâri, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1379 H, juz XIII,
hlm. 7.
[20] Yahya bin Hubairah al-Syaibani, Al-Ifshâh ‘An Ma’âni al-Shihâh, Dâr
al-Wathan, 1417 H, juz IV, hlm. 262.
[21] Muhammad bin al-Husain Abu Ya’la al-Farra, Al-Ahkâm
al-Sulthâniyyah, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. II, 1421 H, juz I,
hlm. 19.
[22] Ibid
[23] Abu Abdullah Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Riyadh;
Dar ‘Alam al-Kutub, 1423 H, juz I, hlm. 264.
[24] Abu Sulaiman
Al-Khaththabi, Ma’âlim al-Sunan, Halb: Al-Mathba’ah al-‘Ilmiyyah, cet.
I, 1351 H, juz III,
hlm. 6.
[25] Ibn Hazm Al-Andalusi, Marâtib
al-Ijmâ’ fî al-‘Ibâdât wa al-Mu’âmalât wa al-I’tiqâdât, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t., hlm. 124.
[26] HR. Ahmad dalam Musnad-nya (no. 18430), Syaikh Syu’aib al-Arna’uth
mengomentari: “Sanadnya hasan.”
[27] HR. Ahmad dalam Musnad-nya (no. 17184), Syaikh Syu’aib al-Arna’uth
mengomentari: ”Hadits shahih dan para perawinya tsiqah.”; Ibn Majah
dalam Sunan-nya (no. 42), Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari: ”Hadits
shahih dengan banyak jalan periwayatan dan syawahid (riwayat-riwayat
pendukungnya).”; Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (no. 329), al-Hakim
berkata: ”Ini hadits shahih, tidak mengandung satupun cacat.” ditegaskan
senada oleh al-Hafizh al-Dzahabi; Al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman (no.
7516).
Comments
Post a Comment