Oleh: Irfan Abu Naveed al-Atsari
[Peneliti di Raudhah Tsaqafiyyah Daerah Jawa
Barat]
A. Ittiba’ Kepada Rasulullah –shallâLlahu ’alayhi wa sallam-

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ
فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ
الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا {٢١}
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu
teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan ia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzâb [33]: 21)
Allah yang memberikan pujian, menunjukkan kebenaran pihak
yang dipuji, karena Allah yang Maha Benar tidak mungkin keliru dalam menilai
hamba-Nya, dimana Dia memberikan predikat kepada Rasulullah –shallâLlahu
’alayhi wa sallam- sebagai uswat[un] hasanat[un] (teladan yang baik)
bagi kita, yang disebut Imam al-Baghawi (w. 516 H) sebagai qudwah shâlihah
(panutan yang shalih).[1] Dalam ayat ini pun
terdapat dua penegasan (taukîd) yakni lâm
dan qad di depan kata kerja lampau (al-fi’l al-mâdhi) yang
berfaidah menafikan segala bentuk keraguan dan pengingkaran terhadap
kebenaran informasi yang disampaikan, dan menuntut pembenaran atasnya tanpa
ada sedikit pun keraguan.[2] Dimana
ayat yang agung ini pun dinukil oleh Dr. Muhammad bin Hamid Hawari untuk
menegaskan wajibnya ittiba’ kepada Rasulullah –shallâLlahu ’alayhi wa sallam-. Allah –Ta’âlâ- pun berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ
الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ
وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ
شَدِيدُ الْعِقَابِ {٧}
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan
apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah sangat keras hukumannya.” (QS. Al-Hasyr [59]: 7)
Dari Abu Hurairah r.a.,
ia berkata telah mendengar Rasulullah –shallâLlahu ’alayhi wa sallam- bersabda:
«مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ، وَمَا
أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ»
“Apa-apa yang aku
larang atas kalian maka jauhilah ia, dan apa-apa yang aku perintahkan kepada
kalian maka laksanakanlah ia sesuai dengan kemampuan kalian (dengan segenap
kemampuan-pen.).” (HR. Muslim, Ahmad, Ibn Majah, al-Bazzar dan
al-Thabrani. Lafal Muslim)[3]
Kata mâ dalam
ayat dan hadits di atas menjadi petunjuk keumuman pesan dalam keduanya,
perintah melaksanakan apa yang Rasulullah –shallâLlahu ’alayhi wa sallam- contohkan dan ajarkan
kepada umatnya, termasuk metode dakwah dalam upaya menegakkan kehidupan Islam
menerapkan Islam kâffah dalam kehidupan. Menetapinya merupakan bentuk ittibâ’
terhadap Rasulullah –shallâLlahu
’alayhi wa sallam- yang memang diwajibkan Allah –Ta’âlâ-, dan Dia jadikan sebagai salah satu syarat meraih kemenangan.
Dalam buku Ta'rîf Hizb
al-Tahrir ditegaskan bahwa wajib hukumnya ittibâ’ (meniti
jalan baik i'tiqad maupun amal) terhadap Rasulullah –shallâLlahu ’alayhi wa sallam-, berdasarkan dalil:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ
تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ
ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ {٣١}
“Katakanlah:
"Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (QS. Âli Imrân [3]: 31)
Ayat yang agung ini,
mengandung ungkapan syarat, in syarthiyyah, yang menjadikan perbuatan ittibâ’
kepada Rasulullah –shallâLlahu
’alayhi wa sallam-, sebagai bukti kecintaan kepada Allah. Ungkapan syarthiyyah ini
menunjukkan betapa konsistensi untuk meniti jalan Rasulullah –shallâLlahu ’alayhi wa sallam- merupakan hal yang mutlak, harus ada dan senantiasa ada
sebagai bukti kecintaan terhadap Allah ’Azza wa Jalla.
Dimana pelakunya akan diganjar
dengan ganjaran yang sangat istimewa, yakni rahmat dan ampunan-Nya. Luar
biasanya, ittiba’ terhadap Rasulullah –shallâLlahu ’alayhi wa sallam- pun sekaligus menjadi bukti
kecintaan terhadap beliau. Dalam ayat yang agung ini, frasa fattabi‘ûnî (ikutilah
aku) bermakna umum, karena tidak ada indikasi pengkhususan (takhshîsh),
pembatasan (taqyîd), atau penekanan (tahsyîr) hanya pada
aspek-aspek tertentu yang dipraktikkan Nabi –shallâLlahu ’alayhi wa sallam-.
Syaikh Nawawi
al-Bantani menguraikan bahwa salah satu bukti mahabbah kepada Rasulullah
–shallâLlahu ’alayhi wa
sallam- adalah dengan meniti jalannya, melaksanakan sunnahnya, ittiba’
terhadap perkataan dan perbuatannya, menunaikan perintahnya, dan menjauhi
larangannya, beradab sesuai dengan adabnya, baik dalam keadaan susah maupun
senang, sebagaimana diuraikan oleh Imam al-Ramli al-Syafi’i.[4] Mencakup
sunnah qauliyyah Rasulullah –shallâLlahu ’alayhi wa sallam- yang
mewasiatkan umatnya untuk berpegang teguh pada al-Qur’an dan al-Sunnah,
menegakkan Islam totalitas dalam kehidupan.
Diperjelas nas-nas lainnya
yang menunjukkan kewajiban ittibâ’ kepada Rasulullah –shallâLlahu ’alayhi wa sallam-. Allah –Ta’âlâ- pun berfirman:
وَأَنَّ
هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا
تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ۚ
ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ {١٥٣}
“Dan bahwa (yang
Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah ia, dan
janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu
mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah
agar kamu bertakwa.” (QS. Al-An’âm [6]: 153)
Rasulullah –shallâLlahu ’alayhi wa sallam- pun pernah membuat
garis di depan para sahabatnya dengan satu garis lurus di atas pasir, sementara
di kanan kiri itu beliau menggariskan garis-garis yang banyak. Lalu beliau
bersabda, “Ini adalah jalanku yang lurus, sementara ini adalah jalan-jalan
yang di setiap pintunya ada syaithan yang mengajak ke jalan itu.” Kemudian
Nabi –shallâLlahu
’alayhi wa sallam- membaca QS. Al-An’âm [6]: 153 yang memerintahkan kita
mengikuti jalan yang lurus serta melarang untuk mengikuti jalan yang lain. Kalimat (لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ) dalam ayat ini, menunjukkan
hikmah dibalik seruan tersebut, yakni sebagai realisasi ketakwaan pada-Nya.
Selain itu, Allah telah
mengancam orang-orang Islam yang menyalahi jalan Rasulullah –shallâLlahu ’alayhi wa sallam- dengan ancaman musibah dan
azab yang pedih (QS. Al-Nûr [24]: 63), Allah pun berfirman:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ
وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ
جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا {١١٥}
“Dan barangsiapa
yang menentang Rasul sesudah jelas datang kepadanya petunjuk dan mengikuti
jalan orang-orang yang tidak beriman. Kami biarkan ia leluasa dengan
kesesatannya (yakni menentang Rasul dan mengikuti jalan orang-orang kafir-pen.)
kemudian Kami seret ke dalam Jahannam. Dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat
kembali.” (QS. Al-Nisâ’ [4]: 115)
Diperjelas dalil-dalil
al-Sunnah, yang secara tegas melarang kaum Muslim menyimpang dari jalan beliau –shallâLlahu ’alayhi wa sallam-, yakni dengan
mengambil jalan kaum yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, yang
tersesat dari jalan-Nya. Salah satunya hadits dari Ibn Abbas r.a., ia
berkata: “Rasulullah –shallâLlahu ’alayhi wa sallam- bersabda:
«لَتَتَّبِعُنَّ
سنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ، حَتَّى
لَوْ دَخَلُوا فِي جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ»
“Sungguh kamu
mengikuti tuntunan orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal, sehasta
demi sehasta hingga salah seorang dari mereka masuk lubang biawak pun sungguh
kamu mengikutinya.”
Para sahabat
lantas bertanya, “Apakah mereka kaum Yahudi dan Nasrani?” Rasulullah –shallâLlahu ’alayhi wa sallam- menjawab: “Siapa
lagi kalau bukan mereka?” (HR. Al-Bukhari, Muslim)
Hadits ini
mengandung indikasi larangan, sebagaimana ditegaskan oleh al-’Allamah Taqiyuddin
al-Nabhani[5],
karena terdapat celaan atas perbuatan mengikuti manhaj dan pola pikir
orang kafir pada kalimat (لَوْ
أَنَّ أَحَدَهُمْ دَخَلَ جُحْرَ ضَبٍّ
لَدَخَلْتُمْ), ditegaskan di awal kalimat dengan penegasan (taukid)
huruf lam yang mengiringi jawab dari sumpah yang disembunyikan (mudhmarah),
dan nun taukîd al-tsaqîlah. Maka tidak ada jalan lain bagi kaum Muslim yang
mendambakan keselamatan dunia dan akhirat, kecuali dengan menghidupkan sunnah
Rasul-Nya, meniti jalannya, dan membelanya dari berbagai penyimpangan kaum yang
tersesat dari jalan kebenaran, sebagaimana yang dilakukan oleh kaum liberal
selama ini, dengan menikam ajaran-ajaran Islam, Allâh al-Musta’ân.
B. Ittibâ’ Kepada Tharîqah Dakwah Rasulullah –shallâLlahu ’alayhi
wa sallam-
Dakwah yang benar, dan
menyampaikan kepada kemuliaan dan keberuntungan, adalah dakwah yang didasari
oleh ittibâ’ kepada Rasulullah –shallâLlahu ’alayhi wa sallam-, tidak boleh menyelisihinya.
قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ
إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضِ ۖ لَا
إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ يُحْيِي وَيُمِيتُ ۖ
فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ
بِاللَّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ {١٥٨}
“Katakanlah: “Hai manusia sesungguhnya aku adalah
utusan Allah kepadamu semua, Yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan
bumi; tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) selain Dia, yang menghidupkan
dan mematikan, Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-Nya, nabi yang ummi
yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan
ikutilah ia, supaya kamu mendapat petunjuk.” (QS.
Al-A’râf [7]: 158)
Kalimat (لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ)
yang diawali dengan huruf la’alla, menunjukkan
hikmah di balik perintah mengikuti (ittibâ’) Rasulullah –shallâLlahu
’alayhi wa sallam-[6], yakni agar meraih
petunjuk, sebenar-benarnya petunjuk di jalan kebenaran, dengan petunjuk itulah
akan diraih kemuliaan. Kemuliaan
seterang mentari terbit tak terhalang awan, yang bisa diraih oleh mereka yang
teguh meniti jalan Rasul-Nya, sebaik-baiknya teladan:
إِنْ لَمْ تَكُوْنُوْا
مِنْهُمْ فَتَشَبَّهُوْا * إِنَّ التَّشَبُّهَ بِالكِرَامِ فَلاح
“Meskipun kalian
belum menjadi seperti mereka maka serupailah * karena
sesungguhnya menyerupai orang-orang yang mulia merupakan keberuntungan.”[7]
Keberuntungan dengan
meraih keberkahan dunia dan akhirat. Ketika Allah –Ta’âlâ- menetapkan suatu hukum, Allah pun membimbing hamba-hamba-Nya untuk
menunaikannya, mencakup metode untuk mewujudkannya, dimana hal tersebut Allah –Ta’âlâ- tunjukkan dengan mengutus
sebaik-baiknya teladan, Rasulullah –shallâLlahu ’alayhi wa sallam-, ke tengah-tengah hamba-Nya.
Keteladanan yang
mencakup metode dakwah untuk menegakkan kehidupan Islam secara totalitas (kâffah),
dimana Rasulullah –shallâLlahu
’alayhi wa sallam- dan para
sahabat mencontohkannya dengan mengupayakan tegaknya kekuasaan Islam, institusi
politik, al-Daulah al-Islâmiyyah. Merujuk pada perjalanan hidup
Rasulullah –shallâLlahu ’alayhi wa sallam-, maka secara umum upaya dakwah beliau dalam rangka
menegakkan Daulah Islamiyyah setidaknya mewujudkan dua hal:
Pertama, Mewujudkan opini umum (al-ra’yu
al-‘âm) yang lahir dari kesadaran umum (al-wa’yu al-‘âm).
Hasil dakwah yang
dilakukan oleh Rasulullah –shallâLlahu
’alayhi wa sallam- dan para
sahabat selama di Makkah di antaranya:
a. Dinul Islam diterima dan diikuti oleh sebagian
masyarakat. Hal itu ditandai dengan masuk Islamnya berbagai kalangan, dari
kalangan rakyat biasa hingga tokoh yang berpengaruh di tengah-tengah
masyarakat.
b. Lahir kader-kader dakwah yang berkepribadian Islam kuat,
ikhlas dalam berdakwah serta istiqamah dalam menghadapi berbagai tantangan dan
cobaan.
c. Nabi Muhammad –shallâLlahu
’alayhi wa sallam- dengan
ajaran yang dibawa (Islam) serta kelompok (kutlah) dakwahnya menjadi
perbincangan hangat di tengah masyarakat.
d. Masyarakat mengetahui kebobrokan akidah jahiliyyah,
praktik-praktik sosial yang merusak tatanan kehidupan bermasyarakat.
e. Masyarakat mengetahui bahwa solusi yang ditawarkan Nabi
Muhammad –shallâLlahu
’alayhi wa sallam- adalah
Islam; akidah dan berbagai macam hukum-hukumnya (syari’at).
Adapun keberhasilan
dakwah sebagaimana yang tersebut di atas, terwujud setelah Rasulullah –shallâLlahu ’alayhi wa sallam- melakukan dua tahapan dakwah yakni:
(1) Tahap pembinaan kader dalam kutlah (kelompok) dakwah; (2) Tahap
berinteraksi dengan masyarakat, dan perjuangan politik.
Pertama, Tahap pembinaan kader
dalam kutlah (kelompok) dakwah. Setelah Allah mewahyukan risalah kepada Nabi Muhammad –shallâLlahu ’alayhi wa sallam-, beliau mulai mengajak orang-orang
untuk memeluk Islam. Rasulullah –shallâLlahu ’alayhi wa sallam-. kemudian membina mereka dengan
pembinaan intensif di rumah Arqam bin Abi al-Arqam. Rasulullah –shallâLlahu
’alayhi wa sallam- pun
mengorganisir para sahabat dalam sebuah kutlah (kelompok) dakwah yang
beliau pimpin. Nabi –shallâLlahu ’alayhi wa sallam- terus melakukan hal itu selama tiga
tahun hingga Allah memerintahkan untuk melakukan tahap selanjutnya.
Kedua, Tahap berinteraksi
dengan masyarakat dan perjuangan politik. Setelah tiga tahun masa kenabian,
dengan turunnya QS. Al-Hijr [15]: 94, Allah –Ta’âlâ- memerintahkan Rasulullah –shallâLlahu ’alayhi wa sallam- untuk menyampaikan risalah secara
terbuka ke masyarakat dan mengajak mereka masuk Islam.
Pada fase ini,
Rasulullah –shallâLlahu
’alayhi wa sallam-
menyerukan perubahan radikal dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, tatacara
ibadah, nilai-nilai sosial dan praktik mu’amalah mereka. Identitas dan gaya
hidup mereka yang jahiliyyah dikritik, dijelaskan kebobrokannya agar mereka mau
menggantinya dengan agama dan gaya hidup yang baru. Nabi –shallâLlahu
’alayhi wa sallam- mengoreksi
dan membantah sistem kehidupan yang dijalankan oleh Quraisy seraya menawarkan
sistem Islam sebagai penggantinya. Perjuangan dakwah Rasulullah –shallâLlahu
’alayhi wa sallam- dan para
sahabat pada tahap kedua ini dilakukan tanpa kekerasan. Beliau melakukan
pergulatan pemikiran (shirâ’ al-fikr) dan perjuangan politik (kifâh
al-siyâsi) tanpa menggunakan kekuatan fisik/mengangkat senjata, meskipun
setiap lelaki Arab pada waktu itu sudah terbiasa menunggang kuda dan memainkan
senjata.
Kedua, Adanya dukungan ahl
al-quwwah dan kekuatannya untuk menegakkan Daulah Islam.
Dukungan dari ahlul
quwwah, semisal dukungan suku Aus dan Khazraj, terjadi setelah sebelumnya
Rasulullah –shallâLlahu
’alayhi wa sallam-
mendatangi, mendakwahi serta meminta dukungan dari berbagai kabilah. Beliau
pergi mencari dukungan dari kabilah yang dianggap mampu menjaga kekuasaan dan
melindungi kaum Muslim serta mampu menjamin tegaknya Daulah Islam. Kebanyakan
reaksi pimpinan kabilah yang didatangi Rasulullah –shallâLlahu
’alayhi wa sallam- adalah
menolak, baik dengan halus maupun kasar. Ada juga yang menerima tetapi
mengajukan berbagai persyaratan (kompromistis), sebagaimana Bani Amr bin
Sha’sha’ah dan Bani Syaiban, yang tentu saja ditolak Rasulullah –shallâLlahu
’alayhi wa sallam-.
Meskipun menghadapi
berbagai penolakan kabilah, namun karena thalab al-nushrah merupakan
kewajiban, maka Rasulullah –shallâLlahu
’alayhi wa sallam- tetap
istiqamah melaksanakannya. Rasulullah –shallâLlahu ’alayhi wa sallam- tetap berupaya menemui sekitar 40
kabilah dalam rangka mencari nushrah. Hingga akhirnya, beliau –shallâLlahu
’alayhi wa sallam- berhasil
meraih dukungan suku Aus dan Khazraj dari Yastrib. Kedua suku kuat inilah yang
memberikan dukungan, dengan menyerahkan kekuasaan yang ada pada mereka kepada
Rasulullah –shallâLlahu ’alayhi wa sallam-, sehingga akhirnya Daulah Islam tegak di Madinah al-Munawwarah.
Kontinuitas, konsistensi
dan keteguhan sikap Rasulullah –shallâLlahu
’alayhi wa sallam- untuk
menolak syarat-syarat yang diajukan oleh Bani Amr bin Sha’sha’ah dan Bani
Syaiban—meskipun hal itu berkaitan dengan kewajiban menegakkan kekuasaan Islam—
menunjukkan disyari’atkanya thalab
al-nushrah, sekaligus menunjukkan status hukum wajibnya, dan menjadi bagian
tak terpisahkan dari metode penegakkan Daulah Islâmiyyah.[8]
Keteladanan, keteguhan, dan pengorbanan beliau –shallâLlahu ’alayhi wa sallam- dalam mengemban dakwah Islam ini, sudah seharusnya
menggugah nafsiyyah kita, dakwah menuju Islam kâffah dengan
menegakkan sistem al-Khilâfah. Untaian bait sya’ir salah seorang sahabat
berikut ini, cukup menggambarkan semangat beramal mereka ketika bersama
Rasulullah –shallâLlahu
’alayhi wa sallam- membangun masjid, pada awal
tegaknya kehidupan Islam di Madinah:
لَئِنْ قَعَدْنَا وَالنَّبِيُّ يَعْمَلُ * لَذَاكَ مِنَّا الْعَمَلُ الْمُضَلّلُ
“Betapa kita duduk
menganggur, sedangkan Nabi (–shallâLlahu
’alayhi wa sallam-) asyik bekerja”
Tentu kaum Muslim tak ingin seperti kaum yang duduk-duduk
berdiam diri, berpangku tangan menunggu pertolongan turun dari langit untuk
membangkitkan kaum Muslim dalam tidurnya yang panjang, padahal Rasulullah –shallâLlahu
’alayhi wa sallam- telah beramal, menggariskan jalan dakwah bagi umatnya,
dan memberikan keteladanan sebaik-baiknya keteladanan. Dan kita, sebagaimana sya’ir yang dinukil al-Hafizh al-Suyuthi (w. 911 H):
نَبْنِي كَمَا كَانَتْ أَوَائِلُنَا * تَبْنِي، وَنَفْعَلُ مِثْلَ مَا
فَعَلُوْا
“Kami membangun sebagaimana generasi pendahulu kami
membangun * Dan kami
berbuat sebagaimana mereka telah berbuat.”[10]
[1] Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl,
Dâr Thayyibah, cet. IV, 1417 H, hlm. 420.
[2] Dalam persepektif ilmu balaghah (ilm al-ma’âni) keberadaan
kata-kata taukîd (penegasan) yang lebih dari satu semisal lâm dan
kata qad di depan al-fi’l al-mâdhi berfaidah menafikan segala
bentuk pengingkaran, terlebih lagi keraguan dan menuntut pembenaran akan
kebenaran berita yang disampaikan, ini dinamakan pula khabar inkari. Lihat: Dr.
Abdullah al-Hamid dkk, Al-Balâghah wa al-Naqd, hlm. 39.
[3] HR. Muslim dalam Shahih-nya (no. 6184); Ahmad dalam Musnad-nya
(no. 10255); Ibn Majah dalam Sunan-nya (no. 1); Al-Bazzar dalam Musnad-nya
(no. 7658); Al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Awsath (no. 8773).
[4] Muhammad Nawawi bin Umar Al-Bantani, Mirqât Shu’ûd al-Tashdîq fî Syarh
Sullam al-Taufîq, Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, cet. I, 1431 H, hlm.
104.
[5] Taqiyuddin bin
Ibrahim, Muqaddimah al-Dustûr aw al-Asbâb al-Mûjibah Lahu, Beirut: Dâr
al-Ummah, cet. II, 1420 H, juz I, hlm. 44.
[7] Syihabuddin al-Alusi, Rûh al-Ma'âni fî Tafsîr al-Qur'ân juz
I, hlm. 92.
[8] Diadaptasi dari tulisan Ustadz Luthfi Affandi, “Jalan Pasti Jalan
Rasulullah saw., Jalan Pasti Menuju Tegaknya Khilafah.” di Majalah al-Wa’ie
edisi Oktober 2013, dan secara mapan bisa dirujuk dalam buku sirah dengan
pendekatan analisa politik karya al-‘Allamah Taqiyuddin al-Nabhani berjudul al-Daulah
al-Islâmiyyah.
[9] Abu al-Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir, Al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Dâr
Hijr, cet. I, 1418 H/1997, juz IV, hlm. 535.
[10] ’Abdullah Muhammad bin Muflih al-Maqdisi, Al-Âdâb al-Syar’iyyah, Ed:
Syu’aib al-Arna’uth, Beirut: Mu’assasatur Risâlah, cet. III, 1419 H, juz I,
hlm. 234; ‘Abdurrahman bin Abu Bakr Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Asybâh wa
al-Nazhâ’ir, juz I, hlm. 6; Jalaluddin Al-Suyuthi, Tadrîb al-Râwi fî
Syarh Taqrîb al-Nawawi, Dâr al-Thayyibah, juz I, hlm. 24; Muhammad
bin Yazid Abul ’Abbas, Al-Kâmil fî al-Lughah wa al-Adab, Kairo: Dâr
al-Fikr al-’Arabi, Cet. III, 1417 H, juz I, hlm. 132.
Comments
Post a Comment