Oleh: Irfan Abu Naveed al-Atsari
[Peneliti di Raudhah Tsaqafiyyah Daerah Jawa
Barat]


T
|
ahun berganti tahun, kaum Muslim senantiasa memperingati momentum
peringatan mawlid Sayyidinâ al-Mushthafa Muhammad –shallâLlahu
’alayhi wa sallam-, kelahiran sosok agung pembawa risalah Islam yang diutus
Allah –Ta’âlâ- untuk seluruh umat manusia (kâffata li al-nâs, lihat:
QS. Saba’ [34]: 28) dan sebagai rahmat bagi semesta alam (lihat: QS. Al-Anbiyâ’
[21]: 107).
Perhatian kaum Muslim terhadap momentum peringatan mawlid,
diakui sebagai salah satu bentuk ekspresi kecintaan (mahabbah) terhadap
beliau –shallâLlahu ’alayhi wa sallam-, dimana kecintaan (mahabbah)
tersebut memang wajib ditumbuhkan dan dipupuk, serta dibuktikan dengan benar sesuai
taujih nabawi itu sendiri, bagaimana sebenarnya mendudukkan persoalan mahabbah
ini dalam persepektif nabawi?
A. Menghidupkan Sunnah
Rasulullah –shallâLlahu ’alayhi wa sallam-, Bukti Mahabbah Kepadanya
Salah satu hadits yang
mengandung taujih nabawi membuktikan kecintaan terhadap Rasulullah –shallâLlahu
’alayhi wa sallam-, adalah hadits dari Anas bin Malik r.a., Rasulullah –shallâLlahu
’alayhi wa sallam- bersabda:
«مَنْ أَحْيَا سُنَّتِي فَقَدْ أَحَبَّنِي، وَمَنْ
أَحَبَّنِي كَانَ مَعِي فِي الْجَنَّةِ»
“Barangsiapa
yang menghidupkan sunnahku, maka sungguh ia telah mencintaiku, dan siapa saja
yang mencintaiku, maka ia bersamaku menjadi penghuni surga.” (HR.
Al-Tirmidzi, al-Marwazi, al-Thabrani, al-Lalika’i, Ibn Baththah dan Ibn Syahin)[1]
Hadits
yang agung ini, mengandung informasi berharga bagi mereka yang mengaku
mencintai Sayyid al-Mursalîn Muhammad al-Mushthafa –shallâLlahu
’alayhi wa sallam-, mengingat hadits yang agung ini mengandung petunjuk
dari beliau –shallâLlahu ’alayhi wa sallam-, berkaitan dengan cara membuktikan
kecintaan tersebut, berikut ganjaran dari Allah bagi siapa saja yang benar-benar membuktikan cintanya.
Istimewanya, hadits yang agung di
atas diungkapkan Rasulullah –shallâLlahu ’alayhi wa sallam- dalam bentuk kalimat syarat (jumlah
syarthiyyah), dimana syarat harus senantiasa melekat dan mengiringi apa
yang menjadi objek (jawab) syarat[2],
sebagaimana diuraikan ulama pakar bahasa, Imam Abu Hilal al-Askari (w. 395 H), ditandai
dengan adanya huruf man dan fa jawab syarat:
Pertama, Menghidupkan sunnah nabi –shallâLlahu
’alayhi wa sallam-
adalah syarat mencintainya, berdasarkan ungkapan (مَنْ أَحْيَا
سُنَّتِي فَقَدْ أَحَبَّنِي),
dimana informasi (khabar) agung ini pun diungkapkan Rasulullah –shallâLlahu
’alayhi wa sallam-
dengan penegasan berupa huruf qad di depan kata kerja lampau (al-fi’l
al-madhi), yang berfaidah menafikan adanya keraguan atas kebenaran
informasi tersebut, kebenaran cinta bagi siapa saja yang menghidupkan sunnah
Nabi –shallâLlahu
’alayhi wa sallam-.
Kata
kerja ahya dalam ungkapan (مَنْ أَحْيَا سُنَّتِي),
berkonotasi
“menghidupkan”, yakni dengan mengamalkan sunnah tersebut.[3] Syaikh Abdurrahman
al-Mubarakfuri (w. 1353 H) menegaskan, yakni dengan mengunggulkannya dan
menyebarkannya dengan perkataan atau perbuatan.[4]
Namun
penjelasan lebih terperinci, diuraikan Imam Izzuddin al-Shan’ani (w. 1182 H) bahwa menghidupkan
sunnah, terwujud dengan mengamalkannya, menyiarkannya, dan
menafikan penyimpangan kaum yang menyimpang atasnya.[5] Sehingga taujih nabawi ini
menunjukkan secara jelas, motivasi
yang kuat bagi setiap hamba Allah yang mengaku cinta pada nabi –shallâLlahu
’alayhi wa sallam-,
untuk mempelajari sunnahnya, mengamalkannya, menyiarkannya serta membelanya
dari penyimpangan kaum sesat dengan meluruskan penyimpangannya, sesuatu yang
lazim dilakukan oleh seseorang yang mengaku mencintai sesuatu, sebagai
pembuktian bagi pengakuan cintanya.
Kata
sunnati, berkonotasi thariqi, yakni jalan hidupku,[6] mencakup seluruh ajaran-ajaran
yang beliau gariskan untuk umatnya, baik berupa ucapan (qauliyyah),
perbuatan (fi’liyyah) yang dicontohkan Rasulullah–shallâLlahu ’alayhi
wa sallam- bagi umatnya. Al-Hafizh Ibn al-Atsir (w. 606 H) menguraikan:
Sunnah
asalnya
bermakna thariqah (metode) dan sirah (jalan hidup), dan disebutan
secara syar’i, yang dimaksud dengannya adalah apa-apa yang Nabi Saw
perintahkan, dan beliau Saw larang, serta puji baik berupa perkataan, maupun
perbuatan, selain ungkapan ayat al-Qur’an.[7]
Dimana gambaran hidup Rasulullah –shallâLlahu
’alayhi wa sallam-, menggambarkan keteladanan praktis penegakkan Islam
secara totalitas (kâffah) dalam seluruh aspek kehidupan, dari mulai
kehidupan pribadi, keluarga, hingga kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dari mulai perkara
syahadat dan shalat, hingga urusan imamah dan siyasah.
Kedua, Mencintai
Rasulullah –shallâLlahu
’alayhi wa sallam- adalah syarat menjadi penghuni surga, sebagaimana Rasulullah
–shallâLlahu ’alayhi wa
sallam- memasukinya, berdasarkan ungkapan
(مَنْ أَحَبَّنِي كَانَ مَعِي فِي الْجَنَّةِ).
Kalimat
siapa saja yang mencintaiku (مَنْ أحَّنِي),
berkonotasi mencintai Rasulullah –shallâLlahu
’alayhi wa sallam- dan sunnahnya, menjadi pertanda kecintaan terhadapnya,
sebagaimana cinta membutuhkan pembuktian dan bukti cinta kepada Rasulullah –shallâLlahu ’alayhi wa sallam- adalah
menegakkan sunnahnya. Dimana hal tersebut diganjar Allah –Ta’âlâ- dengan surga-Nya, sebagaimana
Rasulullah –shallâLlahu
’alayhi wa sallam- memasukinya. Diungkapkan dengan ungkapan kata kerja
lampau (كَانَ),
sebagai penekanan kepastian ganjaran tersebut bagi mereka yang memenuhi syarat
agung ini.
Imam Izzuddin al-Shan’ani menguraikan makna (فَقَدْ
أَحَبَّنِي), yakni benar-benar cinta kepada Rasulullah –shallâLlahu ’alayhi wa sallam-, karena
sesungguhnya siapa saja yang mencintai seseorang, maka ia akan bertingkah laku
seperti pihak yang dicintainya, maka tanda cinta seseorang kepada Rasulullah –shallâLlahu ’alayhi wa sallam- adalah
bertingkah laku sesuai sunnahnya, menolong sunnahnya, serta menyeru manusia kepadanya.[8]
Dimana Al-Shan’ani lalu menegaskan, “Siapa saja yang
mengaku mencintai Rasulullah –shallâLlahu ’alayhi wa sallam- namun tidak
menegakkan sunnahnya, maka pengakuan tersebut adalah pengakuan dusta, dan
angan-angan batil semata.”[9]
Padahal
mencintai Rasulullah –shallâLlahu
’alayhi wa sallam- merupakan tuntutan keimanan dan sifat yang terpuji. Al-‘Allamah
al-Syaikh Nawawi al-Bantani al-Syafi’i (w. 1314 H) menguraikan bahwa cinta
kepada Rasulullah –shallâLlahu
’alayhi wa sallam- termasuk sifat yang terpuji, berdasarkan hadits dari
Anas bin Malik r.a., dari Nabi –shallâLlahu
’alayhi wa sallam- bersabda:
«لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ اللهُ
وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا»
“Tidak beriman salah satu di antara kamu, hingga
menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada kepada selain
keduanya.” (HR. Ahmad,
al-Bazzar)[10]
Frasa
(لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ)
berkonotasi tidak beriman dengan iman yang sempurna (îmân[an] kâmil[an]),
yang menunjukkan kesempurnaan iman dibuktikan dengan menjadikan cinta kepada
Allah dan Rasul-Nya di atas segala-galanya, dimana kecintaan terhadap Allah dan
Rasul-Nya, dibuktikan dengan cara ittiba’ terhadap Rasulullah –shallâLlahu ’alayhi wa sallam-:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ
تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ {٣١}
“Katakanlah:
"Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (QS. Âli Imrân [3]: 31)
[1] HR. Al-Tirmidzi dalam Sunan-nya (no. 2678, bab بَابُ
مَا جَاءَ فِي الأَخْذِ بِالسُّنَّةِ وَاجْتِنَابِ البِدَعِ), ia berkata: “Hadits ini hasan
gharib dari jalur ini.”; Abu Abdillah al-Marwazi dalam Ta’zhîm Qadr
al-Shalât (no. 714); Al-Thabrani dalam Al-Mu’jam al-Awsath (no.
9439); Al-Lalika’i dalam Syarh Ushûl I’tiqâd Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah (no.
8); Ibn Baththah dalam al-Ibânah al-Kubrâ (no. 51); Ibn Syahin dalam Al-Targhîb
fi Fadha’il al-A’mal (no. 527).
[2] Abu Hilal
al-Hasan bin Abdullah al-‘Askari, Mu’jam al-Furûq al-Lughawiyyah, Mu’assasat
al-Nasyr al-Islâmi, cet. I, 1424 H, hlm. 271.
[3] Ubaidullah
al-Rahmani al-Mubarakfuri, Mir’ât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, India: Idarat
al-Buhuts al-‘Ilmiyyah, cet. III, 1404 H, hlm. 281.
[4] Abdurrahman
al-Mubarakfuri, Tuhfat al-Ahwadzi bi Syarh Jâmi’ al-Tirmidzi, Beirut: Dâr
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, juz VII, hlm. 371.
[5] Muhammad bin
Isma’il ‘Izzuddin al-Shan’ani, Al-Tanwîr Syarh al-Jâmi’ al-Shaghîr, Riyadh:
Maktabah Dar al-Salam, cet. I, 1432 H, juz X, hlm. 55.
[6] Ubaidullah
al-Rahmani al-Mubarakfuri, Mir’ât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, India: Idarat
al-Buhuts al-‘Ilmiyyah, cet. III, 1404 H, hlm. 281.
[7] Majduddin Abu
al-Sa’adat Al-Mubarak Ibn al-Atsir, Al-Nihâyah
fi Gharib al-Hadîts, Beirut:
Al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1399 H, juz II, hlm. 409.
[8] Muhammad bin Isma’il ‘Izzuddin al-Shan’ani, Al-Tanwir Syarh al-Jami’
al-Shaghir, juz X, hlm. 55.
[9] Ibid.
[10] HR. Ahmad dalam Musnad-nya (no. 13151) Syaikh Syu’aib al-Arna’uth
mengomentari “Sanadnya shahih sesuai syarat Syaikhain (Al-Bukhari dan
Muslim)”; Al-Bazzar dalam Musnad-nya (no. 7540).
Comments
Post a Comment