Irfan
Abu Naveed, M.Pd.I
[Penulis Buku "Menggugah Nafsiyyah Dakwah Berjama'ah: Tafsir & Balaghah Ayat-Ayat Qur'aniyyah & Hadits-Hadits Nabawiyyah"]
B
|
erbagai tragedi memilukan
yang menimpa kaum Muslim di berbagai penjuru dunia: Rohingya, Suriah, Palestina,
dan lainnya, sudah seharusnya mengingatkan kembali kaum Muslim kepada urgensi ukhuwah
Islamiyah yang menyokong persatuan, berpijak pada taujih Qur’ani dan Nabawi
yang mensyari’atkan ukhuwah yang luhur nilainya, bagaikan cahaya di tengah
gelapnya kehidupan individualistik produk kapitalisme.
A. Pengertian Ukhuwah
Islam: Lughawi & Syar’i
Al-Ukhuwwah al-Islâmiyyah terdiri dari dua kata: Pertama, Kata al-ukhuwwah,
secara bahasa adalah mashdar dari kata akhâ, bermakna ikatan
antara seseorang dengan saudaranya[1]. Kedua, Kata al-Islâmiyyah
yang menjadi sifat al-ukhuwwah. Sifat Islami yang melekat kepada
ukhuwah merupakan konsep rabbani al-Qur’an dan al-Sunnah, sehingga ia digambarkan
sebagai ikatan persaudaraan agung di antara orang beriman yang diikat oleh keimanan
(akidah Islam):
هي رابطة شرعيّة ربّانيّة،
وثيقة دائمة، تجمع بين كلّ مسلم وجميع المسلمين في كل ناحية وجزء من العالم
Ukhuwah Islamiyah adalah ikatan syar’i nan rabbani,
kokoh dan konsisten, yang menyatukan setiap muslim dengan seluruh kaum Muslim
di seluruh sisi dan bagian dari dunia ini.[2]
Keimanan yang menjadi landasan ukhuwah ini, mendasari
istilah semakna yang digunakan para ulama yakni al-ukhuwwah al-îmâniyyah.
B. Konsepsi Ukhuwah
Islamiyah Menurut Al-Qur’an & Al-Sunnah
Besarnya perhatian al-Qur’an dan al-Sunnah terhadap
ukhuwah Islamiyah, ditunjukkan oleh banyaknya dalil-dalil yang mendasari konsep
tersebut dalam dua klasifikasi: Pertama, Dalil-dalil yang menegaskan
ukhuwah berasaskan akidah Islam dan memerintahkan persatuan. Kedua, Dalil-dalil
yang mencela ashabiyyah, serta melarang perpecahan dan permusuhan. Allah Swt berfirman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ
وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ {١٠}
“Sesungguhnya
orang-orang beriman itu bersaudara, maka damaikanlah di antara saudaramu, dan
bertakwalah kepada Allah, mudah-mudahan kalian menjadi golongan yang
dirahmati.” (QS. Al-Hujurât [49]: 10)
Allah
SWT mengumpamakan hubungan di antara orang-orang yang beriman sebagai hubungan
saudara senasab (ikhwah). Kata ikhwah (إخوة) adalah jamak dari akh[un] (أخ)[3],
yang berkonotasi ikatan persaudaraan karena nasab atau sedarah, sebagaimana
diisyaratkan dalam Mukhtâr al-Shihâh: “Kata
al-ikhwân banyak digunakan untuk menggambarkan hubungan pertemanan, sedangkan
kata al-ikhwah banyak digunakan untuk hubungan sedarah (saudara kandung).”[4]
Artinya,
orang-orang beriman bagaikan saudara senasab dalam hal saling mengasihi.[5] Menurut Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, dalam ilmu balaghah ungkapan ini merupakan
penyerupaan yang kuat (tasybîh balîgh), yang diungkapkan tanpa
menyertakan perangkat penyerupaan (adat al-tasybîh) dan gambaran dari
irisan kesamaannya (wajh al-syabah).[6] Imam al-Jurjani
al-Nahwi (w. 474 H) dalam Dalâ’il al-I’jâz,[7] menjelaskan
bahwa tasybîh berfaidah menguatkan makna dan pengaruhnya dalam benak
pikiran.[8] Diperkuat
adanya pengkhususan (qashr) dari ungkapan huruf innamâ (إِنَّمَا) yang mengawali topik informasi, yang menegaskan makna yang
dimaksud, meringkas perkataan.[9]
Allah
SWT mengaitkan persaudaraan dengan keimanan, menunjukkan bahwa ikatan
persaudaraan tersebut lahir dari keimanan (akidah Islam), sehingga bisa
disimpulkan bahwa akidah Islam menjadi pengikat satu sama lain. Ikatan ini yang
ditegaskan al-’Allamah Taqiyuddin al-Nabhani (w. 1396 H) sebagai ikatan yang
benar untuk mengikat kaum Muslim[10],
ikatan ideologis yang
kokoh, dilandasi oleh prinsip yang mengakar dan menghujam dalam dada-dada orang
beriman.
Persaudaraan
karena dîn ini (al-ukhuwwah fî al-dîn), ditegaskan al-Hafizh
al-Qurthubi (w. 671 H) lebih kokoh daripada persaudaraan karena nasab[11],
dan ia menjadi ’illat (alasan) perintah untuk mengadakan perbaikan (ishlâh),
sehingga petunjuk terhadap ukhuwah ini dilanjutkan dengan perintah ishlâh.[12]
Istimewanya, Allah Swt menutup ayat ini dengan perintah bertakwa, sekaligus menginformasikan
hikmah dibaliknya pada kalimat la’allakum turhamûn, yakni agar
dirahmati Allah. Perintah takwa di akhir ayat ini hukumnya fardhu, sehingga
menjadi petunjuk tegas (qarînah jâzimah) atas kewajiban menegakkan
ukhuwah Islamiyah.
Dr. Abdullah Nashih Ulwan pun menegaskan bahwa ukhuwah
adalah konsekuensi keimanan dan buah agung ketakwaan, dimana tiada ukhuwah
tanpa iman, tiada iman tanpa ukhuwah (lihat: QS.
Al-Hujurât [49]: 10),
dan tiada kedekatan (dengan saudara seiman) tanpa ketakwaan dan tiada ketakwaan
tanpa kedekatan (lihat: QS. Al-Zukhruf [43]: 67).[13] Allah
Swt. pun menjadikan pertaubatan, penegakkan shalat dan penunaian zakat sebagai
syarat bagi persaudaraan dalam dîn ini (fa ikhwânukum fi al-dîn):
فَإِنْ
تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ
{١١}
“Dan jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan
menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu dalam Din ini.” (QS. Al-Taubah [9]: 11)
Dalam ayat lainnya, Allah SWT menyebut orang-orang
yang beriman satu sama lain sebagai auliyâ’ (teman setia), yang
direalisasikan dalam bentuk saling menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang
dari yang mungkar (QS. Al-Taubah [9]: 71), serta saling menasihati dalam
kebenaran dan kesabaran (QS. Al-’Ashr [103]: 1-3). Itu semua menunjukkan bahwa keimanan
dan ketakwaan adalah landasan ukhuwah Islamiyah, dan dakwah adalah cerminan
ukhuwah yang tak boleh dipandang sebelah mata. Diperjelas perintah untuk
berpegang teguh kepada tali dînuLlâh dengan berdakwah, yang menyatukan qalbu,
menjauhkan dari perpecahan:
وَاعْتَصِمُوا
بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ
أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا {١٠٣}
“Dan berpegangteguhlah kamu semuanya kepada
tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat
Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah
mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang
yang bersaudara.” (QS. Âli Imrân [4]: 103)
Dalam
ayat ini, Allah Swt. memerintahkan bersatu, berpegang teguh pada dînuLlâh,
dimana hal tersebut menjauhkan dari perpecahan, menguatkan terjalinnya kalbu
dan persaudaraan di antara orang beriman, yang Allah Swt sifati sebagai
kenikmatan dari-Nya (lihat pula: QS. Al-Anfal [8]: 63), al-Hafizh Ibn al-Jauzi
(w. 597 H) menuturkan: “Ketahuilah bahwa kalimat bermakna yang menyatukan
antara kaum Muslim adalah Islam, sungguh mereka meraih ukhuwah yang prinsipil
dengan Islam, dimana Islam mewajibkan mereka dengan ukhuwah ini hak-hak satu
sama lain.”[14] Ibn al-Jauzi lalu menukil hadits shahih:
«مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِى تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ
وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ
الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى»
“Perumpamaan kaum Mukmin dalam hal saling cinta, kasih
sayang dan simpati di antara mereka seperti satu tubuh; jika salah satu organ
sakit maka seluruh tubuh demam dan tak bisa tidur.” (HR Muslim dan Ahmad)
Diperindah dengan perumpamaan-perumpamaan Rasulullah Saw.
yang menggambarkan kaum Muslim layaknya satu bangunan yang saling menguatkan,
satu tubuh yang saling menyatu:
«إِنَّ الْمُؤْمِنَ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا»
“Sesungguhnya orang beriman bagi orang beriman lainnya,
bagaikan satu bangunan yang saling menguatkan.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, al-Nasai, al-Tirmidzi dan Ahmad)
«إِنَّ الْمُؤْمِنَ مِنْ أَهْلِ الإِيمَانِ بِمَنْزِلَةِ
الرَّأْسِ مِنَ الْجَسَدِ يَأْلَمُ الْمُؤْمِنُ لأَهْلِ الإِيمَانِ كَمَا يَأْلَمُ
الْجَسَدُ لِمَا فِى الرَّأْسِ»
“Sesungguhnya seorang Mukmin bagi Mukmin yang lain
berposisi seperti kepala bagi tubuh. Seorang Mukmin akan merasakan sakitnya
Mukmin yang lain seperti tubuh ikut merasakan sakit yang menimpa kepala.” (HR. Ahmad)
Hadits-hadits di atas,
merupakan hadits yang kuat dan mendalam maknanya diungkapkan oleh
semulia-mulianya insan dan sefasih-fasihnya lisan, yang mulia Rasulullah Saw.,
dalam bentuk tasybîh (penyerupaan) yang menegaskan maknanya dan
membuahkan pengaruh kuat dalam benak pikiran. Diperkuat adanya taukîd huruf
inna yang mengawali informasi, menegaskan kebenarannya dan menafikan
keraguan atasnya.
Tuntutan penegakkan ukhuwah
Islamiyah dipertegas al-Qur’an dan al-Sunnah yang mencela perpecahan di atas
kesesatan, dan fanatisme terhadap kesesatan (ashabiyyah) yang membuahkan
permusuhan (’adâwah). Allah
Swt berfirman:
وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
{٣١} مِنَ
الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا ۖ كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ
{٣٢}
“Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang
menyekutukan Allah, yaitu
orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa
golongan, tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan
mereka.” (QS. Al-Rûm [30]: 31-32)
Lihat pula QS. Al-Mu’minûn [23]: 52-53, QS. Âli Imrân [3]: 105. Dalam ayat-ayat di atas, disebutkan salah satu
karakter dari kelompok-kelompok yang berpecah belah, menyimpang dari kebenaran
adalah berbangga-bangga dengan kelompoknya masing-masing, dengan kesesatan yang
ada di sisi mereka berupa kesesatan dan kekufuran. Kebanggaan ini merupakan ta’ashub
yang dicela syari’ah. Rasulullah Saw. pun bersabda:
«لَيْسَ مِنَّا مَنْ دَعَا إِلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ
قَاتَلَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ مَاتَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ»
“Tidaklah termasuk
golongan kami, siapa saja yang menyeru kepada ‘ashabiyyah, dan bukanlah
termasuk golongan kami, siapa saja yang berperang di atas ‘ashabiyyah, dan
bukan termasuk golongan kami, siapa saja yang mati di atas ‘ashabiyyah.” (HR. Abu Dawud)
Frasa laysa minnâ,
”bukan golongan kami” merupakan ancaman serius bagi siapa saja yang
terjangkit penyakit ashabiyyah, menjadi indikasi tegas keharaman atas
keyakinan dan perilaku ashabiyyah, yang ditegaskan oleh al-Mulla al-Qari
(w. 1014 H) sebagai semangat jahiliyah (hamiyyat al-jahiliyyah).[15] Ashabiyyah
dalam hadits ini diungkapkan dalam bentuk nakirah, menunjukkan keluasan
cakupannya, mencakup fanatisme buta terhadap ikatan-ikatan yang menyalahi dan merusak
ukhuwah Islamiyah.
C. Membangun Kembali
Spirit Ukhuwah Islamiyah
Menegakkan ukhuwah Islamiyah merupakan konsekuensi
keimanan, yang membuktikan kecintaan terhadap persatuan kaum Muslim di atas asas
Islam, dan membenci perpecahan karena kesesatan. Berkaca dari proses tatsqif
Rasulullah Saw., maka menegakkan ukhuwah:
Pertama,
Dimulai dari meluruskan keyakinan dan memurnikan pemikiran dari berbagai unsur
perusak, semisal keyakinan dan pemikiran jahiliyah yang mengunggulkan
ikatan-ikatan lain di atas ikatan akidah Islam, berpijak dari konsep asas
keimanan sebagai asas ukhuwah Islamiyah, dan keimanan yang mencakup prinsip al-walâ’
wa al-bara’.
Kedua, Dari
asas yang jernih mengakar kokoh dalam jiwa seorang Mukmin, akan tumbuh buah
manis ukhuwah Islamiyah yang mendorong kepeduliannya terhadap Mukmin lainnya,
melampaui jauh sekat-sekat ’ashabiyyah. Ukhuwah ini harus dipupuk dengan
ilmu dan amal, mengikuti pembinaan Islam, dan riyâdhah berdakwah untuk
menumbuhkan kepedulian.
Dakwah yang juga harus menyentuh aspek keimanan,
meluruskan keyakinan dan pemikiran umat dari berbagai kotoran dan debu jahiliyah,
serta menyeru mereka untuk kembali bersatu: menjalin keterikatan kalbu dengan
ikatan akidah dan pemikiran Islam, hingga bersatu dalam satu kepemimpinan Islam.
Ketiga, Mewujudkan
persatuan kaum Muslim di bawah satu panji kepemimpinan Islam, berpegang teguh
di atas tali dînuLlâh, yang kokoh dengan menerapkan Islam kâffah dalam
kehidupan, membentuk masyarakat Islam: satu pemikiran, satu perasaan, satu
sistem hukum yakni Islam. Wa biLlâhi al-taufîq. []
[1] Dr. Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-’Arabiyyah al-Mu’âshirah, ’Alam
al-Kutub, cet. I, 1429 H, I/73.
[2] Prof. Dr. Isma’il Ali Muhammad, Al-Ukhuwwah al-Islâmiyyah,
Dâr al-Kalimah, cet. II, 1433 H, hlm. 10.
[4] Muhammad Abu Bakr al-Razi, Mukhtâr al-Shihâh, Beirut:
al-Maktabah al-‘Ashriyyah, cet. V, 1420 H, hlm. 14.
[5] Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, Al-Tafsîr al-Munîr, Damaskus: Dâr al-Fikr, cet. II,
1418 H, XXVI/235.
[6] Ibid.
[9] Dr. Abdul Aziz al-Harbi, Al-Balâghah al-Muyassarah, Beirut: Dâr Ibn
Hazm, cet. II, 1432 H, hlm. 37.
[10] Taqiyuddin al-Nabhani, Nizhâm Al-Islâm, Beirut: Dâr al-Ummah, hlm. 12.
[11] Syamsuddin al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Kairo:
Dâr al-Kutub al-Mishriyyah, cet. II, 1384 H, XVI/322.
[13] Dr. Abdullah Nashih Ulwan, Al-Ukhuwwah al-Islamiyyah, Dâr al-Salâm,
hlm. 4.
[14] Ibn al-Jauzi, Al-Tabshirah, Beirut: Dâr al-Kutub,
cet. I, 1406 H, II/273.
No comments :
Post a Comment