📜 Irfan Abu Naveed al-Atsari, M.Pd.I
Penulis "Menggugah Nafsiyyah Dakwah Berjama'ah: Tafsir & Balaghah Ayat-Ayat Al-Qur'an & Hadits-Hadits Dakwah"
Tiada kenikmatan yang lebih agung daripada nikmat iman
dan Islam? Hingga Islam pun membimbing insan mempersiapkan diri menjemput
tibanya kematian. Hingga Allah ’Azza wa Jalla pun berfirman:
وَلَا
تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ {١٠٢}
“Dan janganlah sekali-kali kamu (wahai orang-orang yang
beriman) mati melainkan dalam keadaan Islam.” (QS. Âli
Imrân [3]: 102)
Ayat ini, bukan larangan untuk mati
dan tak bisa dipahami sebagai perintah untuk menghindari kematian, karena
kematian sesuatu yang pasti datang. Fadhilatusy Syaikh ’Atha bin Khalil -hafizhahuLlâh-
menguraikan:
Yakni hendaklah
kalian senantiasa teguh di atas Islam, hingga kematian menjemput kalian. Yakni
tidaklah tiba kematian dan kalian benar-benar golongan yang tunduk dan kepada
Allah. Maka larangan dalam ayat ini hakikatnya adalah apa yang bertolak belakang dengan
ke-Islaman, ketika tibanya kematian. Bukan larangan terhadap tibanya kematian
mereka sendiri. Ungkapan ini seperti perkataan ” لا تصلّ إلا وأنت خاشع” (janganlah engkau shalat kecuali dalam keadaan khusyu’).
Maknanya jangan kalian melarang orang tersebut shalat, akan tetapi melarang orang
tersebut meninggalkan sikap khusyu’ ketika shalat, sama seperti ungkapan ini,
maka larangan dalam ayat di atas bukan larangan terhadap tibanya kematian
mereka, melainkan larangan untuk meninggalkan Islam.[1]
Penjelasan senada ditegaskan oleh Imam Tajuddin
al-Fakihani (w. 734 H) bahwa ayat ini mendorong hamba-hamba-Nya yang beriman
untuk meniti sebab-sebab mati dalam keadaan Islam, yakni mena’ati perintah
Allah dan menjauhi larangan-Nya.[2] Dimana tiada kenikmatan
yang lebih sempurna kecuali tibanya kematian dalam keadaan Islam, sebagaimana
diuraikan oleh al-Mulla Ali al-Qari (w 1014 H).[3] Serta Imam al-Munawi (w.
1031 H) menjelaskan atsar dari Ali bin Abi Thalib r.a.[4]
Dari Abu Sa’id al-Khudri r.a., bahwa Rasulullah SAW
bersabda:
«مَنْ
رَضِيَ بِاللهِ رَبّاً، وَبِالإسْلاَمِ ديناً، وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولاً، وَجَبَتْ لَهُ
الجَنَّةُ»
“Siapa saja yang ridha Allah sebagai Rabb-nya, Islam
sebagai Din-nya, Muhammad sebagai rasul baginya, maka wajib baginya ganjaran
surga.”
Maka Abu Sa’id merasa takjub, lalu ia berkata: “Tolong
ulang kembali untukku wahai Rasulullah SAW?” Kemudian Rasulullah SAW mengulang
kembali perkataannya (HR. Muslim, Ahmad, Ibn Hibban, al-Nasa’i)[5]
Imam Muhammad Ali Ibn ’Allan al-Syafi’i (w. 1057 H)
menjelaskan bahwa di dalam hadits ini terdapat dorongan untuk mati dalam
keadaan Islam.[6] Dimana
hal tersebut bisa diraih di antaranya dengan menjadikan dakwah sebagai poros
kehidupan, menolong tegaknya DinuLlah dalam kehidupan. Mengapa dakwah?
Dakwah ilaLlâh
merupakan salah satu amal shalih yang menjadi sebab turunnya pertolongan Allah.
Allah ’Azza wa Jalla berjanji meneguhkan kedudukan mereka
yang menolong Din-Nya dan ini menjadi prasyarat bagi datangnya pertolongan dari-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ
تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ {٧}
“Wahai orang-orang yang beriman jika kalian menolong
(Din) Allah, maka Dia akan menolong kalian dan meneguhkan kedudukan kalian.” (QS. Muhammad
[47]: 7)
Perbuatan menolong agama Allah dalam kalimat {إِنْ تَنْصُرُوا اللهَ} QS. Muhammad [47]: 7, diungkapkan dengan kata kerja
al-mudhâri’, yang berfaidah menunjukkan perlunya kesinambungan,
konsistensi hingga ajal menjemput. Kalimat {يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ}
merupakan jawaban (jawâb al-syarth) jika terpenuhinya apa yang menjadi
syarat yakni ”menolong dînuLlâh” {إِنْ تَنْصُرُوا اللهَ}, sehingga
Allah memberikan ganjaran berupa pertolongan dari-Nya dan keteguhan diri dalam
Islam.
Ungkapan agung yutsabbit aqdâmakum (Dia
akan meneguhkan kaki-kaki kalian), merupakan bentuk kiasan (majâz mursal),
disebutkan sebagian yakni aqdâm (kaki-kaki) padahal yang dimaksud adalah
keseluruhan diri orang yang Allah teguhkan (ithlâq al-juz’i wa irâdat
al-kulli). Digunakan istilah kaki-kaki ini, karena ia adalah alat untuk
berpijak (adât al-tsabât), sebagaimana diuraikan oleh Prof. Dr. Wahbah
al-Zuhaili[7].
Hal ini dimaksudkan untuk menguatkan rasa,
menggambarkan keteguhan, yakni teguh dalam Islam, dan dalam peperangan (jihad)[8], serta
teguh dalam menghadapi berbagai tantangan, termasuk tantangan-tantangan dalam
berdakwah, sebagaimana dialami oleh para nabi dan rasul –’alayhi al-salâm-.
Konsisten hingga tiba saatnya untuk memetik hasil jerih payah, tiba waktu yang tepat
untuk beristirahat, termasuk golongan yang Allah firmankan dalam ungkapan yang
indah:
يَاأَيَّتُهَا النَّفْسُ
الْمُطْمَئِنَّةُ {٢٧} ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً
{٢٨}
فَادْخُلِي فِي عِبَادِي {٢٩} وَادْخُلِي جَنَّتِي
{٣٠}
“Hai
jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Rabb-mu dengan hati yang puas lagi
diridhai-Nya. Maka
masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS.
Al-Fajr [89]: 27-30)
وَمَنْ جَاهَدَ فَإِنَّمَا
يُجَاهِدُ لِنَفْسِهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَغَنِيٌّ
عَنِ الْعَالَمِينَ {٦}
“Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya
jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha
Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari alam semesta.” (QS. Al-’Ankabût [29]: 6)
اللّهمّ اجعل
آخر كلامنا من الدنيا عند انتهاء أجلنا: أشهد أن لا إلٰه إلا الله وأشهد أن محمدًا
رسول الله
[1] Ibid.
[2] Abu Hafsh Umar bin Ali Tajuddin al-Fakihani, Riyâdh
al-Afhâm fî Syarh ‘Umdat al-Ahkâm, Suriah: Dâr al-Nawâdir,
cet. I, 1431 H/2010, juz III, hlm. 177.
[3] Al-Mulla Ali al-Qari, Mirqât al-Mafâtîh Syarh
Misykât al-Mashâbîh, juz IV, hlm. 1688-1689.
[4] Abdurra’uf bin Tajul Arifin al-Munawi, Al-Fath
al-Samâwî bi Takhrîj Ahâdîts al-Qâdhi al-Baidhâwi, Riyadh: Dâr
al-‘Âshimah, t.t., hlm. 195-196.
[5] HR. Muslim dalam Shahîh-nya (no.
1884); Ahmad dalam Musnad-nya (no. 11117); Ibn Hibban dalam Shahîh-nya
(no. 4612), Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari: “Hadits hasan gharib”;
Al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath (no. 8742); Al-Nasa’i dalam Sunan-nya
(no. 3131).
[6] Muhammad Ali Ibn ‘Allan al-Syafi’i, Dalîl al-Fâlihîn
Li Thuruq Riyâdh al-Shâlihîn, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, cet. IV, 1425
H, juz VII, hlm. 102-103.
[7] Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, Al-Tafsîr al-Munîr fî
al-‘Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj, juz ke-26, hlm. 83.
Comments
Post a Comment