إن الحمد لله نحمده ونستعينه من يهده الله فلا مضل
له ومن يضلل فلا هادي له وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا
عبده ورسوله، والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه أجمعين وبعد
D
|
inamika positif gerakan-gerakan dakwah pasca runtuhnya
Khilafah ’Utsmaniyyah tahun 1924 M, semakin solid dan terarah dalam upaya
meninggikan kalimatuLlâh, yakni kalimat agung yang mampu
menyatukan kaum Muslim di tengah perpecahan umat disekat oleh fitnah nation
state warisan kolonial (‘ashabiyyah wathaniyyah), dan fitnah
fanatisme golongan (‘ashabiyyah hizbiyyah).
Dinamika positif ini relevan dengan
kenyataan bahwa al-Qur’an dan al-Sunnah menjadikan ikatan akidah Islam sebagai
ikatan hakiki yang mengikat kaum Muslim (QS. Al-Hujurât [49]: 10), menjadi
inspirasi bagi persatuan umat (wihdat al-ummah) dan menjunjung
tinggi ukhuwwah Islâmiyyah. Sebagaimana al-Qur’an pun mendorong umatnya
menjadi ummat[an] dâ’iyyat[an] (umat yang berdakwah), meraih predikat khayra
ummat[in] (QS. Âli Imrân [3]: 104).
Aktivitas agung mendakwahkan Islam itu
sendiri, merupakan jawaban atas seruan Allah ’Azza wa Jalla dalam
al-Qur’an[1],
dan upaya meniti jalan Rasulullah SAW dan para sahabatnya –radhiyaLlâhu
‘anhum- yang solid berdakwah dalam jama’ah dakwah terorganisir (jamâ’ah
dâ’iyyah mutakattilah), sekaligus menjadi langkah awal membangun proyek
besar “kebangkitan umat”, membangkitkan umat yang besar ini dari tidurnya yang
panjang.
Namun sayang beribu-ribu sayang,
mulianya jalan dakwah ini, terusik fenomena menyedihkan adanya mereka yang
berguguran, terpalingkan oleh dunianya sendiri, atau berpaling dari idealisme menuju
pragmatisme, apa-apa yang dikenal dalam dunia dakwah dengan istilah futûr.
Suatu kondisi ketika seorang da’i mengalami stagnasi, terpukul mundur kembali kepada
masa ketika ia seakan tertidur, wal ‘iyâdzu biLlâh.
Tak hanya itu, perasaan terdalam kita
pun terusik oleh fenomena yang tak kalah menyedihkan, ketika gerakan-gerakan
dakwah Islam divonis buruk sebagian oknum yang terjangkit fanatisme golongan (‘ashabiyyah
hizbiyyah), dengan beragam vonis yang cukup menyedihkan, ‘satir’ bagi
mereka yang menjunjung tinggi ukhuwwah Islâmiyyah. Tak jarang pandangan
mata kita dibuat perih dan telinga kita dibuat sakit, membaca dan mendengar
vonis: “kelompok sesat pemecah belah agama (firqah dhalâlah)”, “hizbiyyun”
(dalam konotasi negatif), “ahli bid’ah” (harakah mubtadi’ah), “kelompok
batil” (min al-ahzâb al-bâthilah), dan beragam vonis buruk
lainnya yang sudah cukup mendorong kita semua mengucapkan, a’âdzanaLlâhu
minhâ, ghafaraLlâhu lanâ wa lahum. Lebih jauh lagi, kaum Muslim pun diuji
ketahanannya menghadapi suara-suara sumbang rezim yang menyuarakan pembubaran
gerakan dakwah Islam.
Padahal tiada keraguan bahwa dakwah adalah sunnah
para rasul utusan Allah –’alayhim al-salâm-. Hingga sejarah agung kaum
Muslim pun tak lepas dari langkah demi langkah dakwah yang telah dititi oleh
sebaik-baiknya teladan, Rasulullah SAW dan para sahabatnya, yang bersinergi
membangun kelompok dakwah, mendakwahkan Islam kepada umat manusia. Diteruskan
dari generasi ke generasi, dipelopori oleh para pewaris para nabi, al-ulamâ’
waratsat al-anbiyâ’, disokong oleh hamba-hamba-Nya yang mukhlish, hingga
Islam menebarkan rahmatnya sampai ke berbagai penjuru dunia, termasuk Bumi
Nusantara tercinta, bi fadhliLlâhi Ta’âlâ.
Bukan jalan mudah semudah membalikkan telapak
tangan, torehan tinta emas Rasulullah SAW, para sahabatnya, dan para ulama
dalam sejarah peradaban Islam, menjadi bukti kuat tak terbantahkan kesungguhan
(jiddiyyah) dan pengorbanan (tadhiyyah) mereka di jalan dakwah. Syaikh Hamd Fahmi Thabib dalam salah
satu Risaalah-nya menggambarkan, “Para Nabi dan Rasul
telah menghadapi berbagai tantangan yang enggan dipikul oleh gunung-gunung yang
kokoh sekali pun. Hal itu terjadi di
tengah upaya para Nabi dan Rasul menghadapi realita yang rusak, dengan
menggunakan pemikiran yang kuat dan tertunjuki. Dan di antara para Nabi dan
Rasul itu yang paling besar tantangannya adalah utusan untuk umat ini yaitu
Muhammad SAW.”[2]
Maka diperlukan
upaya serius mendudukkan persoalan dakwah dan eksistensi gerakan-gerakan Islam
ini, dengan mengembalikan topik ini kepada ashl (pokok) ajaran Islam
yakni al-Qur’an dan hadits-hadits nabawiyyah, salah satunya al-Qur’an surat Âli
Imrân [3]: 104, diperjelas petunjuk-petunjuk agung dalam ayat-ayat al-Qur’an dan
hadits-hadits nabawiyyah dalam topik yang sama. Itu semua dikaji dan disajikan secara mendalam dalam
buku ini, sebagai motivasi nafsiyyah berdakwah, dan solid berjama’ah dalam
gerakan dakwah, -bi ‘auniLlâhi wa bi taufîqihi-.
Bagaimana mendudukkan
persoalan dakwah berdasarkan al-Qur’an dan hadits-hadits nabawiyyah? Bagaimana
memahami syar’iyyah berdirinya gerakan-gerakan dakwah? Bagaimana
karakteristik gerakan-gerakan dakwah yang dikehendaki al-Qur’an dan hadits-hadits
nabawiyyah? Bagaimana menampik syubhat-syubhat vonis buruk terhadap gerakan
dakwah? Apa kaitan antara dakwah dan nashruLlâh? Itu semua menjadi
pertanyaan penting, yang kemudian penyusun jawab berdasarkan kajian ilmiah atas
al-Qur’an dan hadits-hadits nabawiyyah dalam buku sederhana ini, dengan catatan:
Pertama, Tinjauan tafsir
dan hukum yang digali dari al-Qur’an dan hadits-hadits nabawiyyah dengan metode tafsir maudhu’i
(tafsir tematik), dengan berupaya merujuk kepada kajian tafsir al-Qur’an dan
syarah hadits para ulama mu’tabar.
Kedua, Pendekatan kajian
tafsir balaghi (ma’ani dan bayani) serta pendekatan kajjian siyasi, untuk membumikan
pesan-pesan agung nan mendalam dalil-dalil al-Qur’an dan hadits-hadits
nabawiyyah, sebagai motivasi kuat dari Allah ’Azza wa Jalla untuk
berdakwah dan solid berjama’ah.
Metodologi
penelitian buku ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan
library research. Secara umum data-data yang digunakan adalah data-data
primer dan sekunder mencakup mushaf al-Qur’ân al-Karîm dan
literatur-literatur ilmiah yang mengkaji ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits
nabawiyyah yang membicarakan topik dakwah, mencakup literatur kajian tafsir
al-Qur’an, syarah hadits serta balaghah al-Qur’an dan hadits, diantaranya:
1.
Buku tafsir
Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân karya al-Hafizh Muhammad bin Jarir al-Thabari (w. 310 H), yang merupakan induk dari
semua kitab tafsir, dengan corak bi al-ma’tsûr yaitu dengan menukil
pendapat para sahabat dan tabi’in disertai sanadnya.[3]
2.
Buku tafsir Al-Jâmi’
li Ahkâm al-Qur’ân karya al-Hafizh Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi (w. 671 H), tafsir
ini menggunakan metodologi bi al-ra’y (al-dirâyah)[4], dengan
corak penulisan hampir serupa dengan penulisan ulama fikih dan membahas suatu
permasalahan fiqhiyyah secara detail.[5]
3.
Buku Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm karya
al-Hafizh Abu al-Fida’ Isma’il bin ’Umar -Ibnu Katsir- al-Dimasyqi (w. 774 H), dengan metode bi
al-ma’tsûr.[6]
4.
Buku tafsir Al-Taysîr fî Ushûl al-Tafsîr: Sûrat
al-Baqarah karya al-’Alim al-Syaikh ’Atha bin Khalil Abu Al-Rasythah.
5.
Buku Al-Tafsîr al-Munîr fî al-’Aqîdah wa al-Syarî’ah
wa al-Manhaj, karya Prof. Dr. Wahbah bin Mushthafa al-Zuhaili (w. 1436 H),
buku tafsir ini memuat tinjauan manhaj, akidah dan syari’ah, dengan ulasan
mencakup kajian mufradat dan balaghah.[7]
6.
Buku Rûh al-Ma’âni fî Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm wa al-Sab’u al-Matsani, Imam Syihabuddin Mahmud bin Abdullah Al-Alusi (w. 1342
H), dengan corak tafsir ma’ani-bayani.
Begitu pula referensi-referensi mu’tabarah lainnya, yang tak bisa disebutkan satu persatu, bisa dilihat pada daftar pustaka buku ini, dengan kerangka penulisan tematik yang satu sama lain saling terkait, semata-mata mengambil keberkahan dan faidah ilmu para ulama, melestarikan turats mereka dengan mengikat ilmu yang tak boleh hilang dimakan zaman, tenggelam dalam kubangan kejahilan. Umar bin al-Khaththab r.a. berpesan:
«قيِّدُوا الْعِلْمَ بِالْكِتَابِ»
‟Ikatlah ilmu dengan buku
(menuliskannya).”[8]
Pengantar & Testimoni KH. Hafidz Abdurrahman MA & Lainnya: Link
Pengantar & Testimoni KH. Hafidz Abdurrahman MA & Lainnya: Link
Selamat membaca! Berminat menyisihkan sebagian kecil hartanya untuk memahami ilmu berharga para ulama dalam buku ini? Silahkan dipesan, isi dan kirim:
Jumlah :
A.n :
No. Kontak :
Alamat Tujuan :
Kirim sms/WA ke : +62858 6183 3427
[3] Akhmad Alim, Tafsir Pendidikan Islam, Jakarta
Selatan: AMP Press, cet. I, 2014, hlm. 19.
[4] Ibid, hlm. 15-16.
[5] Ibid, hlm. 19-20. Buku ini membuang kisah dan sejarah
diganti dengan hukum dan istinbath dalil, juga i’rab, qira’ah, nasikh dan
mansukh
[6] Ibid, hlm. 19. Buku ini hampir sama dengan metode dalam
buku tafsir al-Thabari, hanya saja tafsir ini lebih ringkas dan lebih
mudah dipahami.
[7] Buku ini menggunakan sistematika pembahasan yang memaparkan keterkaitan
dengan ayat sebelumnya (munâsabah), kandungan makna kosakata (mufradât
lughawiyyah), kajian i’rab dan balaghah al-Qur’an (al-i’râb wa
al-balâghah), dan kandungan makna tafsir
(al-tafsîr wa al-bayân).
[8] Al-Hakim
dalam Al-Mustadrak ‘alâ
al-Shahîhain, (no. 360). Disebutkan pula bahwa atsar tersebut dari Ibn Abbas r.a.
dan Anas bin Malik r.a.
Comments
Post a Comment