![]() |
Info Pemesanan: WA/Telegram: +62 85861833427 |
"Buku yang ada di tangan pembaca ini adalah buku yang luar biasa, yang ditulis untuk mengokohkan nafsiah para pengemban dakwah. Buku yang ditulis bukan saja oleh orang yang berilmu [al-‘alim], tetapi juga seorang pejuang [al-‘amil] dan pengemban dakwah [hamilu ad-da’wah]. Lebih terasa lagi nuansanya, karena tulisan-tulisan yang tertuang dalam buku ini merupakan hasil dialektika intelektual penulisnya dengan mereka-mereka yang menentang dakwah, baik karena tidak paham, salah paham maupun karena pahamnya salah."
PENGANTAR BUKU NAFSIYAH
Kepribadian manusia,
siapapun dia, sesungguhnya sama. Tiap kepribadian manusia terbentuk dari dua
hal, yang tak terpisahkan satu dengan yang lainnya. Pertama,
adalah akliah [cara berpikir]. Kedua, nafsiah [cara mengendalikan
diri]. Kedua hal ini juga harus dibentuk dan didasari dengan dasar dan kaidah
yang sama, yaitu akidah, jika kepribadiannya ingin menjadi kepribadian yang
khas, dan unik. Bukan kepribadian yang tidak jelas dan amburadul. Ini berlaku
untuk semua kepribadian, baik kepribadian Islam maupun non-Islam.
Dua hal inilah yang harus
benar-benar diperhatikan oleh siapun yang ingin membentuk dan mempunyai
kepribadian yang unik, kuat dan tinggi. Karena kedua faktor inilah yang
menentukan semuanya, yaitu akliah dan nafsiah. Bagi seorang Muslim, terutama
pengemban dakwah, membentuk, menjaga dan meningkatkan akliah dan nafsiah Islam
adalah keniscayaan yang tidak bisa ditawar-tawar. Karena pengemban dakwah bukan
pribadi biasa, tetapi pribadi seorang pemimpin, inspirator, penggerak,
motivator, bahkan penutan dan teladan umat.
Pertanyaannya kemudian
adalah, bagaimana agar akliah dan nafsiah Islam pengemban dakwah itu tetap
terjaga dan meningkat kualitasnya? Kuncinya adalah terus belajar dan meningkatkan
pemahaman [ad-dirasah wa al-fahm], serta yakin dan menerapkan [al-yakin
wa at-tathbiq] apa yang dipahami dan diyakininya. Terus belajar dan
meningkatkan pemahaman adalah cara yang tepat untuk menjaga dan meningkatkan
kualitas akliah pengemban dakwah. Begitu juga meyakini dan menerapkan apa yang
dipahami dan diyakininya itu adalah cara untuk menjaga dan meningkatkan
kualitas nafsiahnya. Inilah kunci utama dalam menjaga dan meningkatkan
kepribadian kita.
Hanya saja, dari keempat
kunci tersebut, yaitu ad-dirasah wa al-fahm dan al-yakin wa
at-tathbiq, yang paling berat adalah yang terakhir, yaitu at-tathbiq [menerapkan]. Untuk belajar, memahami hingga
yakin relatif lebih mudah, tetapi menerapkan apa yang telah dipelajari,
dipahami dan diyakini itu jauh lebih berat. Karena masalah yang terakhir ini
adalah masalah pembuktian iman. Karena tanpa bukti kongkrit dalam bentuk tindakan
dan perbuatan, apa yang diyakini, dipahami dan dipelajari itu tak akan tampak
wujudnya. Bagian yang terakhir ini merupakan wilayah nafsiah. Karena itu,
masalah nafsiah ini sangat sulit.
Bagaimana tidak, banyak
orang yang berilmu, bahkan ilmunya sundul langit, tetapi keilmuannya tidak
tercermin dalam sikap dan perilakunya. Karena keilmuan adalah hasil proses
belajar dan memahami, sedangkan sikap dan perilaku adalah proses mengamalkan
ilmu yang dipelajari, dipahami dan diyakini. Karena itu, tidak semua orang yang
mempelajari, memahami dan meyakini ilmu, kemudian menggunakan dan menerapkannya
dalam sikap dan perilakunya. Karena antara ilmu dan sikap adalah dua hal yang
berbeda, bahkan dua wilayah yang berbeda.
Karena itu, jangan heran,
jika ada orang alim melakukan kesalahan, bahkan pada level sahabat pun bisa
mengalami hal yang sama. Karena mereka tetap manusia, bukan Malaikat. Manusia,
dengan akal dan nafsunya bisa berubah, apalagi tidak ada satu pun manusia yang
maksum, kecuali Rasulullah saw. Meksi akal dan nafsunya telah dibentuk menjadi
akliah dan nasfiah Islam, tetapi faktor ketidakmaksuman itu membuat potensi
manusia melakukan kesalahan tetap ada. Lihatlah, bagaimana Hatib bin Abi
Balta’ah yang membocorkan rahasia Nabi saw. kepada kaum Kafir Quraisy di
Makkah. Begitu juga pasukan kaum Muslim telah melarikan diri dari medan Perang
Hunain. Semuanya ini membuktikan, bahwa potensi melakukan kesalahan tetap ada
pada kepribadian manusia.
Kesalahan itu boleh jadi
karena tidak tahu, atau tahu, tetapi akidah yang seharusnya digunakan sebagai
kaidah berpikir tidak digunakan, atau tahu, dan akidahnya juga digunakan
sebagai kaidah berpikirnya, tetapi syaitan dalam waktu singkat berhasil
memerosokkannya, sehingga dia pun tergelincir. Inilah tiga faktor yang
menyebabkan, mengapa seseorang yang mempunyai kepribadian Islam bisa juga
melakukan kesalahan. Siapapun dia, apakah sahabat, tabiin, tabiit tabiin,
ulama’, pengemban dakwah maupun orang awam.
Karena itu, menjaga
konsistensi dalam bersikap, berperilaku dan bertindak jauh lebih sulit. Tetapi,
justru karena itu, pahalanya besar, dan mereka dicintai bukan hanya oleh
manusia, tetapi juga para malaikat. Tidak hanya itu, konsistensi dalam
bersikap, berperilaku dan bertindak, termasuk mengemban dakwah, itu
sesungguhnya refleksi dari keimanan. Keimanan yang membuat mereka tidak lagi
mempunyai rasa takut dan sedih dalam menghadapi tantangan hidup. Bahkan, mereka
pun menatap masa depannya dengan optimisme yang membumbung, karena janji Allah,
yaitu surga, sudah di depan mata.
Begitulah, Allah menuturkan
tentang mereka dalam Q.s. Fusshilat: 30:
﴿إنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا
تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا
وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنتُمْ تُوعَدُونَ﴾ [فصلت: 30]
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Tuhan kami
ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan
turun kepada mereka dengan mengatakan, “Janganlah kamu takut dan janganlah
merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan
Allah kepadamu.”
Malaikat
turun menghampiri mereka, karena kemuliaan mereka, karena keyakinan dan sikap
mereka yang begitu luar biasa. Para malaikat itu pun akan membantu mereka. Bagaimana
caranya? Itu adalah urusan Allah SWT. Keyakinan dan sikap mereka yang luar
biasa itulah yang membuat mereka tidak lagi mempunyai rasa takut, sedih, dan
tetap teguh dengan pendiriannya, karena surga telah menanti mereka. Ketika
pandangan mereka jauh ke akhirat, maka dunia pun dalam genggaman mereka.
Mata
dan hati mereka tak lagi terbelenggu oleh dunia, karena pandangan mata dan hati
mereka jauh menatap ke akhirat, setelah kematian mereka. Mereka pun menjadi orang
yang paling cerdas, karena telah sanggup mengalahkan dirinya, dan dunia. Dunia
benar-benar dalam genggamannya, tetapi dunia itu tidak menyandera hatinya. Karena
itu, dia menjadi penakluk dunia, yang tetap tawadhu’, ahli ibadah yang khusyu’,
dan tak tergoda dengan godaan dunia.
Buku
yang ada di tangan pembaca ini adalah buku yang luar biasa, yang ditulis untuk
mengokohkan nafsiah para pengemban dakwah. Buku yang ditulis bukan saja oleh
orang yang berilmu [al-‘alim], tetapi juga seorang pejuang [al-‘amil]
dan pengemban dakwah [hamilu ad-da’wah]. Lebih terasa lagi nuansanya,
karena tulisan-tulisan yang tertuang dalam buku ini merupakan hasil dialektika
intelektual penulisnya dengan mereka-mereka yang menentang dakwah, baik karena
tidak paham, salah paham maupun karena pahamnya salah.
Semoga
buku yang ditulis oleh Ustadz Irfan Abu Naveed, M.Pdi ini bermanfaat,
setidaknya bagi penulisnya, yang akan semakin mengokohkan keilmuannya. Juga
bermanfaat bagi umat, khususnya para pengemban dakwah dalam mengarungi berbagai
onak dan duri dalam mengemban dakwah. Setidaknya, apa yang dituangkan dalam
buku ini bisa menjadi bekal dalam mengarungi berbagai ujian yang akan selalu
menyertai perjalanan dakwah.
Bogor, 25 Agustus 2017 M
3
Dzulhijjah 1438 H
Al-Faqir
ila-Llah wa ‘Aunihi
KH Drs. Hafidz Abdurrahman, MA
Khadim Ma’had-Majlis Syaraful Haramain
Comments
Post a Comment