Dipublikasikan oleh Majalah Tsaqafia
Catatan Irfan Abu Naveed al-Atsari, M.Pd.I
Source: pinterest.com
|
Ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam yang mengandung banyak pelajaran,
bagaikan limpahan permata yang tak boleh terkubur dalam lembaran sejarah yang terlupakan.
Sekilas Fikih Ibadah Haji
Keagungan ibadah haji ditandai oleh kedudukannya sebagai rukun Islam,
difardhukan sekali seumur hidup kepada setiap muslim yang baligh, berakal, merdeka
dan memiliki kemampuan, mencakup kemampuan fisik dan harta benda.[1] Disyari’atkan berdasarkan nas
al-Qur’an dan al-Sunnah, ditegaskan konsensus para ulama[2], Allah SWT berfirman:
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ
الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ {٩٧}
“Dan kewajiban bagi manusia
terhadap Allah, mengerjakan haji, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan
perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka
sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. Âli Imrân [3]: 97).
Kalimat ”wa liLlâhi ’ala al-nâs”
dalam ayat ini, menandai perintah fardhu dari Allah, yakni perintah berhaji
bagi siapa saja yang memiliki kemampuan (man istathâ’a), dengan indikasi
tegas (qarînah jâzimah) adanya kalimat ”wa man kafara”, berupa ancaman bagi siapa saja
yang mengingkari ibadah agung ini. Diperjelas dalil al-Sunnah, dari Ibnu ‘Umar
r.a., Nabi Saw. bersabda:
«بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ
شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ،
وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَالْحَجِّ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ»
“Islam dibangun di atas lima
perkara: bersaksi tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan
Muhammad adalah utusan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berhaji dan
berpuasa di bulan Ramadhan.” (HR. Muttafaqun ’Alaihi)
Dengan ketentuan syari’at di antaranya mencakup:
Pertama, Syarat-Syarat
Ibadah haji difardhukan bagi mereka yang memenuhi syaratnya, yakni muslim, baligh,
berakal sehat, merdeka dan memiliki kemampuan, mencakup kemampuan fisik dan materil
untuk biaya perjalanan dan tanggungan yang ditinggalkan. Kelima syarat tersebut
adalah syarat yang disepakati oleh para ulama, sebagaimana ditegaskan Ibn
Qudamah al-Maqdisi (w. 620).[3]
Syarat sahnya ibadah haji: Islam, berakal, memenuhi miqat zamani, yakni
dilakukan di waktu yang disyari’atkan (pada bulan-bulan haji), serta memenuhi miqat
makani, artinya penunaian rukun dan wajib haji dilakukan di tempat tertentu
yang telah ditetapkan, tidak sah dilakukan tempat lainnya: wukuf di Arafah, thawaf
mengelilingi Ka’bah, sa’i di antara Shafa dan Marwah, dsb.
Kedua, Rukun-Rukun &
Kewajiban-Kewajiban
Rukun
haji ada enam: Ihram haji yakni niat mengawali ibadah haji, wukuf di padang
Arafah yakni berada di padang Arafah, thawaf ifadhah, sa’i yakni berlari-lari
kecil di antara dua bukit (Shafa & Marwah), tahallul yakni memotong rambut
kepala, tertib di antara kebanyakan rukun-rukunnya.[4] Seluruhnya ditunaikan
semata-mata ittiba’ terhadap Rasulullah Saw.[5]
Disamping itu ada kewajiban-kewajiban: ihram dari miqat, bermalam di
Muzdalifah meski hanya sejenak, bermalam di Mina, thawaf wada’, melontar jumrah
Aqabah 7 kali.[6]
Itu semua dilakukan pada hari-hari yang ditentukan syari’ah didukung berbagai
kesunahan, yang dilakukan semata-mata demi mendekatkan diri kepada Allah,
meraih keridhaan-Nya.
Sejarah Ka’bah & Pensyari’atan
Ibadah Haji
Keagungan ibadah haji pun didukung oleh keagungan Ka’bah baituLlâh itu
sendiri, kata al-hajj secara bahasa berkonotasi al-qashd (menuju),
yakni banyak menuju sesuatu yang diagungkan[7], secara syar’i ia
berkonotasi qashd al-Ka’bah li al-nusuk (menuju Ka’bah untuk menunaikan
manasik).[8] Ka’bah dibangun fondasinya
pertama kali oleh Nabi Adam a.s. berdasarkan riwayat yang dikuatkan Syaikh Atha
bin Khalil.[9]
Kemudian dibangun oleh Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Isma’il a.s., berdasarkan
isyarat dalam firman-Nya:
وَعَهِدْنَا إِلَىٰ إِبْرَاهِيمَ
وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ
وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ {١٢٥}
“Dan telah Kami perintahkan
kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang
thawaf, yang i'tikaf, yang ruku' dan yang sujud.” (QS. Al-Baqarah [2]: 125)
Menafsirkan ayat ini, Syaikh ’Atha bin Khalil menjelaskan yakni“telah
Kami wahyukan kepada Ibrahim a.s. dan Isma’il a.s., agar keduanya mendirikan
Baitul Haram dan menyucikannya untuk mereka yang Allah SWT sebutkan dalam ayat
tsb.” Kata thahhirâ yakni jadikanlah
ia tempat yang bersih yakni suci dan bersih untuk mereka yang thawaf, i’tikaf,
ruku’ dan sujud kepada-Nya, kata thâhir[an] mengandung makna kiasan,
yakni khâlish[an] naqiyy[an] (suci bersih), karena tempat dibangunnya BaituLlâh, tidak boleh ditinggali seseorang
pun di dalamnya, tidak berhala-berhala, dan tidak pula berbagai perbuatan keji,
harus disucikan dari itu semua (lihat: QS. Ibrâhîm [14]: 37).[10]
Sisi ini menunjukkan bahwa Ka’bah al-Musyarrafah memiliki sejarah yang
agung, dibangun oleh tangan-tangan mulia berdasarkan perintah dari Allah SWT, relevan
dengan informasi bahwa Allah telah mensyari’atkan ibadah haji kepada para rasul
dan umat terdahulu (min al-syarâi’i al-qadîmah)[11], sebagaimana
disyari’atkan kepada Rasulullah saw. dan umatnya. Perjuangan Rasulullah
saw. dan para sahabatnya untuk beribadah haji ketika Mekkah di bawah
bayang-bayang kekuasaan politik kaum Kafir Quraisyi, menunjukkan pentingnya
ibadah ini di sisi mereka. Sehingga tak mengherankan jika penyelenggaraan ibadah
haji pun difasilitasi dari masa ke masa oleh para Khalifah kaum Muslim, sebagai
ri’âyah penguasa atas urusan rakyatnya.
Pelajaran Agung Di Balik Ritual
Ibadah Haji
Banyak sekali pelajaran agung di balik ritual haji,
relevan dengan keagungan tempat yang dikunjungi, BaituLlâh Ka’bah
al-Musyarrafah.
وَإِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ
مَثَابَةً لِلنَّاسِ وَأَمْنًا {١٢٥}
“Dan (ingatlah), ketika Kami
menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang
aman.” (QS. Al-Baqarah [2]: 125)
Syaikhul Ushul ’Atha bin Khalil
menafsirkan ayat ini, menguraikan agungnya kedudukan baituLlâh. Beliau
menjelaskan bahwa sesungguhnya Allah SWT telah menjadikan Ka’bah disifati
dengan dua sifat yang sudah seharusnya melekat padanya:
Pertama, Sifat matsâbat[an] yakni
tempat kembali manusia, mereka mengunjunginya setiap tahun, untuk kembali
kepadanya, tidak akan pernah berhenti angan-angan terhadapnya. Maka siapa saja
yang mengunjunginya sekali, takkan timbul anggapan sebagai akhir perjalanan
mengunjunginya. Akan tetapi akan timbul keingian dalam dirinya untuk kembali
kepadanya untuk yang kedua kalinya (dan seterusnya) (lihat: QS. Ibrâhîm [14]:
37)
Kedua, Sifat amn[an], ia adalah mashdar
dari kata kerja amina-ya’manu-amn[an], mashdar di sini
berkedudukan sebagai kata benda subjek (ism al-fâ’il) sebagai bentuk superlatif (mubâlaghah) dari kata al-amn (keamanan),
yakni Kami menjadikan Baitul Haram sebagai tempat yang aman sentausa,
sebagaimana isyarat dalam QS. Al-’Ankabût [29]: 67)[12]
Poin ini menguatkan mulianya pengorbanan yang dikeluarkan untuk menunaikan
ibadah yang agung ini, sebagaimana diisyaratkan dalam firman-Nya:
لِيَشْهَدُوا
مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَىٰ
مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ ۖ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا
الْبَائِسَ الْفَقِيرَ {٢٨}
“Supaya mereka (orang yang haji) menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka
dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas
rizki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka
makanlah sebagian darinya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan
orang-orang yang sengsara dan fakir.” (QS.
Al-Hajj [22]: 28)
Kata manafi’a, bentuk plural dari manfa’ah,
diungkapkan dalam bentuk nakirah (tanpa alif lam), menunjukkan
keluasan keberkahan di balik ibadah haji bagi mereka yang melaksanakannya, diantaranya:
Pertama, Dasar Kesadaran Politik Umat: Aspek
Rûhiyyah Di Balik Talbiyyah & Ihram
Ibadah haji menanamkan dan menguatkan aspek rûhiyyah
dalam setiap aktivitas, membangun kesadaran hubungannya dengan Allah
yang berperan besar dalam membentuk sikap tunduk dan patuh pada syari’at-Nya
secara totalitas, dimulai dari seruan talbiyyah ”labbaikaLlâhumma labbaik,
labbaika lâ syarîka laka labbaik” yang mengandung jawaban atas seruan Allah
sebagai tamu-Nya, dimulai dengan mengagungkan-Nya, mentauhidkan-Nya dan
memuji-Nya. Seruan ini melatih hamba-Nya menyambut seluruh seruan Allah dan
Rasul-Nya baik berupa perintah maupun larangan, sebagaimana firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ {٢٤}
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul,
apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu.” (QS. Al-Anfâl [8]: 24)
Kedua, Kesadaran Politik Umat: Menunaikan Manasik Haji
Menanamkan Ketundukkan Total Terhadap Hukum Syari’ah
Ritual ibadah haji yang dimulai dengan ihram
berniat haji, menjadi penanda kesiapan meninggalkan perkara-perkara yang
pada asalnya mubah menjadi terlarang. Hal ini jelas melatih keteguhan
meninggalkan perkara-perkara yang pada asalnya telah diharamkan oleh Allah dan
Rasul-Nya, yang sudah seharusnya dijauhi seperti perbuatan anti terhadap
syari’at Islam, menjegal dakwah Islam, bertransaksi ribawi, dsb.
Di sisi lain salah satu prasyarat meraih predikat haji mabrur dan maqbul,
adalah konsisten mengikuti tatacara manasik haji yang dicontohkan Rasulullah
Saw., dimana syari’at menegaskan kewajiban ittiba’ terhadap beliau Saw.,
sebagaimana sabda beliau Saw.:
«لِتَأْخُذُوا مَنَاسِكَكُمْ»
“Hendaklah kalian ambil tata cara
ibadah haji kalian (dari tata cara ibadah hajiku).” (HR. Muslim, Abu Dawud)
Kata lam pada hadits ini merupakan lam perintah, yang
menandai perintah wajib dari Rasulullah saw. untuk mengadopsi tata cara ritual
ibadah haji berdasarkan contoh darinya (ittibâ’). Ibadah
haji pun merefleksikan rasa syukur atas berbagai kenikmatan, baik nikmat iman,
Islam, akal sehat, usia, serta kemampuan fisik maupun harta benda, yang
keseluruhannya menjadi syarat bagi kefardhuan ibadah haji. Diwujudkan tak hanya
dengan menyucikan kalbu tapi juga menyucikan aktivitas lahiriah, dimana orang
yang melaksanakan ibadah haji didorong mengikhlaskan niatnya semata-mata
karena Allah, sebagaimana mereka didorong untuk banyak beribadah, berdo’a,
berzikir, menggantikan berbagai aktivitas yang melalaikan dari-Nya, itu semua
dilakukan dengan tatacara dan waktu-waktu yang ditentukan syari’ah, melatih
ketundukkan kepada aturan-aturan Islam. Aspek ini sudah seharusnya membuahkan
kesadaran politik umat untuk mengatur kehidupannya dengan syari’at Islam.
Ketundukkan totalitas sebagai wujud ketakwaan, dimana
ketakwaan pun Allah tegaskan sebagai sebaik-baiknya perbekalan ibadah haji
sebelum menuju kehidupan abadi:
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ
الزَّادِ التَّقْوَىٰ ۚ وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ
{١٩٧}
“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan
bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (QS.
Al-Baqarah [2]: 197)
Kata khair menunjukkan bentuk tafdhîl (pengutamaan),
yakni sebaik-baiknya bekal kehidupan adalah ketakwaan, bukan harta benda
duniawi yang ada dalam genggaman. Ketakwaan itu sendiri diwujudkan dalam bentuk
sikap menegakkan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Ketiga, Pentingnya Persatuan Umat Dilandasi Akidah Islam
Ibadah haji yang ditegakkan oleh umat Islam dari berbagai penjuru dunia,
tanpa sekat ashabiyyah wathaniyyah jelas menumbuhkan dan menguatkan rasa
persaudaraan dilandasi ikatan akidah Islam, ketika mereka semua bersama-sama ihram,
thawaf, sa’i, wukuf dan lain sebagainya, disamping bersama-sama takbir,
rukuk dan sujud kepada-Nya, tak memandang warna kulit dan asal usul seluruhnya
menyatu dalam lautan hamba-hamba-Nya yang tunduk kepada-Nya, menunaikan
amanah-Nya:
إِنَّمَا
الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ {١٠}
“Sesungguhnya
orang-orang beriman itu bersaudara.” (QS.
Al-Hujurât [49]: 10)
Dalam ayat yang agung ini, Allah SWT
mengumpamakan hubungan di antara orang-orang yang beriman sebagai hubungan saudara
senasab (ikhwah), berkonotasi ikatan persaudaraan karena nasab atau
saudara kandung.[13] Dalam ilmu balaghah, ini termasuk bentuk
penyerupaan yang kuat (tasybîh balîgh).[14]
Realitas ini sudah seharusnya membuahkan kesadaran
politik umat, pentingnya persatuan yang dibangun dari asas akidah Islam,
bersatu dalam satu kepemimpinan Islam, wa biLlâhi al-taufîq. []
[2] Ibn Qudamah al-Maqdisi, Al-Mughni, (III/164).
[3] Ibid.
[4] Zainuddin
al-Malibari, Fath al-Mu’în, hlm. 285-288.
[5] Ibid, hlm.
288.
[6] Ibid.
[7] Al-Khalil bin
Ahmad, Kitâb al-‘Ain, (III/9).
[8] Zainuddin
al-Malibari, Fath al-Mu’în, hlm. 282.
[9] ‘Atha bin
Khalil Abu Al-Rasytah, Al-Taysîr fî Ushûl al-Tafsîr, hlm. 159.
[10] Ibid, hlm.
157.
[11] Zainuddin
al-Malibari, Fath al-Mu’în, hlm. 282.
[12] ‘Atha bin
Khalil, Al-Taysîr fî Ushûl al-Tafsîr, hlm. 155-156.
[13] Muhammad al-Razi, Mukhtâr al-Shihâh, hlm.
14.
Comments
Post a Comment