P
|
rinsip yang harus diperhatikan
kaum Muslim untuk memahami hakikat Khilafah di tengah gencarnya syubhat adalah:
mengembalikan topik agung ini kepada pokok pembahasannya dalam Islam. Sehingga mendudukkannya
sebagaimana sikap Rasulullah SAW dan para sahabat, tak terpedaya penyesatan
opini yang digencarkan oleh mereka yang gelap mata, mendikte Khilafah dengan kacamata
kuda peradaban Barat. Padahal topik
ini telah diulas para ulama rabbani pewaris para nabi, dengan pembahasan
yang mapan tak mengandung kecacatan, gamblang tak mengandung kesamaran,
Allah al-Musta’an.
A.
Pengertian
Khilafah
Asal usul kata khilâfah, kembali kepada ragam
bentukan kata dari kata kerja khalafa. Al-Khalil bin Ahmad (w. 170 H) mengungkapkan:
fulân[un] yakhlufu fulân[an] fî ‘iyâlihi bi khilâfat[in] hasanat[in].[2] Yang menggambarkan estafeta kepemimpinan, hal senada diungkapkan oleh
al-Qalqasyandi (w. 821 H),[3] salah satu contohnya dalam
QS. Al-A’râf [7]: 142. Al-Qalqasyandi menegaskan bahwa khilafah secara ’urf lantas
disebut untuk kepemimpinan agung, memperkuat makna syar’inya yang menggambarkan
kepemimpinan umum atas umat, menegakkan berbagai urusan dan kebutuhannya.[4]
Namun bukan sembarang kepemimpinan, melainkan
kepemimpinan yang menjadi pengganti kenabian dalam memelihara urusan Din ini, dan
mengatur urusan dunia dengannya, ditegaskan Imam al-Mawardi (w. 450 H)[5], Imam al-Haramain
al-Juwaini (w. 478 H)[6] dan para ulama lainnya. Dari
Abu Hurairah r.a., Nabi SAW bersabda:
«كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا
هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ
خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ»
“Adalah bani Israil, urusan mereka diatur oleh para nabi.
Setiap seorang nabi wafat, digantikan oleh nabi yang lain, sesungguhnya tidak
ada nabi setelahku, dan akan ada para Khalîfah yang banyak.” (HR. Muttafaqun ’alayh)
Dengan kata lain, kepemimpinan dengan ruh Islam ini
menjadi menjadi ciri khas mulia, membedakannya dengan sistem sekular yang
mengundang malapetaka. Inilah yang diungkapkan Al-Qadhi Taqiyuddin al-Nabhani,
menjelaskan makna syar’i secara mapan digali dari nas-nas syar’i, bahwa Khilafah
adalah “kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia, untuk
menegakkan hukum-hukum syari’at Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh
penjuru dunia.”
Yakni mengemban dakwah dengan hujjah dan jihad.[7]
B.
Istilah Khilâfah dan Imâmah
Istilah khilafah, diungkapkan pula oleh para ulama dengan
istilah imamah, yakni al-imâmah al-’uzhmâ, keduanya bentuk sinonim (mutarâdif)
karena esensinya sama, yakni topik kepemimpinan dalam Islam. Prof. Dr. Wahbah
al-Zuhaili menjelaskan bahwa al-imâmah al-’uzhmâ, al-khilâfah, atau imârat
al-mu’minîn, seluruhnya semakna.[8] Hal ini pun ditegaskan
oleh Dr. Shalah al-Shawi.[9] Hal itu terbukti ketika
sebagian ulama mengeksplorasi kedua istilah ini secara bersamaan, semisal Imam
al-Mawardi.[10]
Hal ini menggugurkan klaim orang yang menyimpangkan aqwâl
ulama dalam topik al-imâmah, untuk menjustifikasi kepemimpinan di
luar Islam yang sekularistik. Padahal setiap sistem politik, dibangun dari
berbagai karakteristik yang membedakan satu sama lain, dari persoalan prinsip
hingga cabangnya: antara Islam dan sekularisme yang menjadi pijakan Demokrasi jelas
bertentangan secara asasi. Karakteristik ini ditegaskan para pakar kontemporer,
semisal Dr. Shalah Al-Shawi.[11]
C.
Dasar
Kewajiban Menegakkan Khilafah
Dalam
perinciannya, kewajiban menegakkan khilafah merupakan perkara yang ma’lûm
disepakati salaful ummah dan ulama ahlus sunnah, bahkan disebut-sebut sebagai
salah satu kefardhuan agama tersebar, diuraikan dalam turâts para ulama dengan
perincian dalil:
Pertama, Al-Qur’an
Dalil pertama, Allâh memerintahkan kita mena’ati ulil amri dalam QS. Al-Nisâ’ [4]: 59. Maka berdasarkan dalâlah al-iltizam, perintah menta’ati ulil
amri pun merupakan perintah mewujudkannya sehingga kewajiban tersebut
terlaksana. Maka ayat tersebut pun mengandung petunjuk, wajibnya mengadakan ulil amri (Khalifah) dan sistem syar’inya
(Khilafah).
Dalil kedua, Dalam banyak ayat
al-Qur’an, Allah mewajibkan kaum Muslim menegakkan syari’at Islam (lihat: QS. Al-Baqarah
[2]: 208, QS. Al-Mâ’idah [5]: 48), namun penerapannya takkan sempurna kecuali
dengan tegaknya Khilafah, maka menegakkannya wajib, sesuai kaidah syar’iyyah:
مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ
بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Para ulama pun
menjadikan kaidah ini: penguat hujjah wajibnya khilafah, penerapannya dijelaskan oleh Imam al-Naisaburi (w. 850 H):
“Umat ini (ulama)
bersepakat bahwa yang diseru dari firman-Nya: ”Jilidlah” adalah Imam hingga
mereka pun berhujjah dengannya atas kewajiban mengangkat Imam (Khalifah),
karena sesungguhnya hal dimana kewajiban takkan sempurna kecuali dengannya maka
hal tersebut menjadi wajib adanya.”[13]
Kedua, Al-Sunnah
Banyak dalil-dalil al-Sunnah yang mendasarinya: hadits dari Abu
Hurairah r.a., bahwa Nabi SAW bersabda:
«إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ
وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ»
“Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai, dimana
(orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan
(kekuasaan) nya.” (HR. Muttafaqun ’Alaih)
Hadits ini mengandung pujian
yang sangat kuat terhadap sosok Khalifah, karena maksud dari al-Imâm dalam hadits ini adalah Khalîfah, ditegaskan al-Mulla al-Qari (w. 1041 H),[14] dimana pujian tersebut -dalam ilmu balaghah- ditunjukkan oleh dua hal: ungkapan qashr (pengkhususan)
dan tasybîh mu’akkad (penyerupaan tegas) yang menyerupakan Khalifah sebagai
perisai kaum Muslim. Jika adanya “hal yang dipuji” tersebut menjadi sebab
tegaknya hukum Islam, sebaliknya jika ia tiada menyebabkan hukum Islam terbengkalai,
maka pujian tersebut merupakan qarînah jazîmah (indikasi tegas) bahwa
“hal yang dipuji” tersebut hukumnya wajib. Yakni tegaknya sistem Khilafah. Dalil lainnya, Rasulullah SAW bersabda:
«مَنْ مَاتَ
وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً»
“Barangsiapa yang mati
sedangkan dipundaknya tiada bai’at (kepada Khalîfah), maka ia mati seperti mati
jahiliyyah.” (HR. Muslim)
Bai’at
secara terminologis adalah hak umat dalam melaksanakan akad penyerahan
kekhilafahan. Para ulama menegaskan bahwa bai’at merupakan metode syar’i
mengangkat Khalîfah.[15] Nabi SAW telah mewajibkan adanya
bai’at di pundak setiap muslim, dengan qarînah jâzimah adanya ancaman tasybîh:
mati seperti mati jahiliyyah, menurut al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani (w. 852
H) yakni mati dalam keadaan bermaksiat.[16]
Hadits ini mewajibkan adanya
bai’at di atas pundak setiap Muslim, dan bai’at tidak diberikan kecuali kepada
Khalifah, maka ini menjadi dalil wajibnya mengadakan Khalifah, menegakkan
sistem Khilafah dengan tempo tiga hari. Imam Ibn Hubairah (w. 560 H) menjelaskan
hadits ini menegaskan:
“Yakni jika tiada
Imam/Khalifah baginya, dan ini menunjukkan bahwa tidak boleh terjadi kekosongan
yang meliputi kaum Muslim, lebih dari tiga hari sebagai tempo syura’ (dari
ketiadaan khilafah), kecuali di pundak mereka terdapat bai’at terhadap seorang
Khalifah tempat kembali mereka.”[17]
Ketiga, Ijma’ Sahabat
Jika konsep khilafah dipertentangkan dengan konsep lain
yang mengatasnamakan kesepakatan, maka harus kembali kepada prinsip bahwa ijma’
sahabat, menurut ahl al-’ilm, menjadi hujjah syar’i berdasarkan dalil QS.
Al-Taubah [9]: 100, diunggulkan atas kesepakatan manusia manapun. Dimana
sahabat berijma’ atas wajibnya menegakkan khilafah, mengangkat khalifah.
Al-Qadhi Abu Ya’la al-Farra (w. 458 H) ketika mengomentari peristiwa bersejarah
diskusi alot antara tokoh-tokoh Kaum Anshar dan Kaum Muhajirin menegaskan: “Jika seandainya al-Imamah (Khilafah) itu tidak wajib,
maka takkan berlangsung diskusi alot tersebut dan dialog tentangnya.”[18]
Sebelumnya, al-Farra menegaskan bahwa Khilafah hukumnya
wajib berdasarkan dalil al-sam’u (yakni dalil-dalil naqli).[19] Penjelasan
senada ditegaskan oleh al-Hafizh al-Qurthubi (w. 671 H) dalam kitab tafsirnya.[20] Di sisi lain, para
sahabat pun lebih mendahulukan pengangkatan Khalifah daripada pemakaman jenazah
Rasulullah SAW, sebagaimana ditegaskan oleh Imam al-Khaththabi (w. 388 H). Setelah menjelaskan ijma’ sahabat
ini, al-Khaththabi (w. 388 H) lalu menegaskan:
وذلك من أدل الدليل على وجوب
الخلافة وأنه لا بد للناس من إمام يقوم بأمر الناس ويمضي فيهم أحكام الله
ويردعهم عن الشر ويمنعهم من التظالم والتفاسد
“Dan dalil tersebut (ijma’ sahabat) merupakan sejelas-jelasnya dalil
atas wajibnya menegakkan al-Khilafah dan bahwa harus ada seorang Imam (Khalifah)
bagi masyarakat yang berdiri memerintah dan mengatur mereka dengan hukum-hukum
Allah, menjauhkan mereka dari keburukan, menghalangi mereka saling menzhalimi
dan merusak.”[21]
Maka tak mengherankan jika
para ulama pun menegaskan kesepakatan mereka atas wajibnya menegakkan Khilafah.
Imam Ibn Hazm (w. 456 H) mendokumentasikan: “Mereka (para ulama) sepakat bahwa
imamah itu fardhu dan adanya Imam itu merupakan
suatu keharusan.”[22]
D.
Pilar-Pilar
Khilafah
Para ulama, menjelaskan empat pilar politik Islam dalam sistem
Khilafah:
Pertama, Kedaulatan di tangan syara’ (al-siyâdah li al-syar’i), yang menjamin
penegakkan hukum al-Qur’an dan al-Sunnah dalam kehidupan, mengundang keberkahan
dari Allah, menebarkan rahmat bagi alam semesta.
Kedua, Kekuasaan milik umat (al-sulthân li al-ummah), yakni dengan adanya
hak bai’at untuk mengangkat khalifah, yang dibai’at untuk menegakkan hukum
al-Qur’an dan al-Sunnah, yang menjamin terealisasinya kepemimpinan yang amanah
menegakkan syari’at Islam.
Ketiga, Kewajiban adanya satu kepemimpinan Khalifah untuk seluruh umat (wujûb
al-khalîfah al-wahîd li al-muslimîn), yang menjamin realisasi kesatuan kaum
Muslim dalam satu institusi super power untuk menegakkan Islam dalam kehidupan.
Keempat, Khalifah berhak mengadopsi hukum (li al-khalîfah haq al-tabanni), yang
menjamin kesatuan kaum Muslim, menjaganya dari ancaman perpecahan. Adopsi hukum
yang berkaitan dengan kesatuan kaum Muslim, dimana tanpa kesatuan ini kaum
Muslim akan berpecah belah.
E.
Khatimah
Khilafah, terang
benderang sebagai bagian dari ajaran Islam yang mulia, memuliakan mereka yang
mengemban dan memperjuangkannya, seterang mentari terbit tak terhalang awan
bagi ia yang teguh meniti jalan Rasul-Nya.
[1] Mudir &
Pengasuh Ma’had Du’at al-Furqan
[2] Al-Khalil bin
Ahmad, Kitâb al-‘Ain, Dâr al-Hilâl, IV/268
[3] Ahmad bin Ali
al-Qalqasyandi, Ma’âtsir al-Inâfah fî Ma’alim al-Khilâfah, Hukumat
al-Kuwait, I/8
[4] Ibid.
[5] Abu al-Hasan
al-Mawardi, Al-Ahkâm al-Sulthâniyyah, Dâr al-Hadîts, I/15
[6] Abu al-Ma’ali
al-Juwaini, Ghiyâts al-Umam fî al-Tiyâts al-Zhulm, Maktabat al-Imâm,
I/22
[7] Al-Juwaini, Ghiyâts
al-Umam, I/22
[8] Wahbah
al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, Dâr al-Fikr, VIII/6144
[10] Al-Mawardi, Al-Ahkâm
al-Sulthâniyyah, I/15
[13] Nizhamuddin al-Naisaburi, Gharâ’ib al-Qur’ân wa Raghâ’ib al-Furqân,
Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, V/148
[15] Hal ini disimpulkan dari ulasan para ulama terkait bai’at
untuk khalifah, misalnya dalam kitab al-Ahkâm al-Sulthaniyyah karya Imam al-Mawardi.
[16] Ahmad bin Ali al-Asqalani, Fath al-Bâri, Dâr
al-Ma’rifah, XIII/7
[17] Yahya bin Hubairah al-Syaibani, Al-Ifshâh ‘An Ma’âni
al-Shihâh, Dâr al-Wathan, IV/262
[18] Abu Ya’la al-Farra, Al-Ahkâm al-Sulthâniyyah, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
I/19
[19] Ibid
[20] Abu Abdullah Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Dâr
‘Âlam al-Kutub, I/264
[22] Ibn
Hazm Al-Andalusi, Marâtib al-Ijmâ’, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, I/124
Tujuan khilafah itu sendiri apa ustaz jika harus ditegakkan
ReplyDeleteMenegakkan syari'at Islam kaffatan, sebagaimana banyak diuraikan para ulama dalam turats
Delete