
Koreksi atas Fatwa "Mubah" & Perincian Pembahasan Menurut Para Ulama Ahli Syari’ah
Penyusun:
Al-Faqir
ilaLlâh Ta’âlâ Irfan Abu Naveed, M.Pd.I
Disarikan dari buku, Menggugah Nafsiyyah Dakwah Berjama'ah, (Bab Tafsir & Balaghah QS. Ali Imran [3]: 104)
Disarikan dari buku, Menggugah Nafsiyyah Dakwah Berjama'ah, (Bab Tafsir & Balaghah QS. Ali Imran [3]: 104)
الحمدلله رب العالمين والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه أجمعين وبعد
Ikhwatî
fiLlâh rahimanâ wa rahimakumuLlâh, salah satu ayat al-Qur’an
yang agung merinci konsep dakwah
adalah firman Allah, QS. Âli Imrân [3]: 104. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ
بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ {١٠٤}
“Dan hendaklah ada di antara kalian golongan yang menyeru kepada
kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar, dan
mereka adalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Âli Imrân [3]:
104)
Mengomentari ayat yang
agung ini, al-’Allamah Muhammad al-Thahir bin ’Asyur (w. 1393 H) menuturkan dalam
tafsirnya:
فجاءت الآية بهذا الأمر على هذا الأسلوب البليغ الموجز
“Ayat ini turun dengan kandungan perintahnya, menggunakan
uslub yang mendalam dan singkat padat.”[1]
Salah satu konsep yang digali dari ayat ini adalah
kewajiban mengadakan kelompok dakwah terorganisir (jamâ’ah dâ’iyyah
mutakattilah), hal ini sebagaimana ditegaskan dalam pendalilan para ulama
mujtahid penggagas gerakan-gerakan dakwah, di antaranya al-’Allamah al-Qadhi
Taqiyuddin bin Ibrahim al-Nabhani dan al-’Allamah Abdul Qadim Zallum, dua sosok
ulama pakar syari’ah dan tsaqafah Islam dari al-Azhar al-Syarif, didukung oleh
penjelasan para ulama lainnya (para ulama dahulu dan saat ini), yang saling
menguatkan pada kesimpulan wajibnya mendirikan jamâ’ah dâ’iyyah mutakattilah
(pembahasan mereka bisa jadi satu buku khusus, ditinjau dari berbagai fan
ilmu syar'i dan bahasa (khususnya nahwu-sharf-balaghah)).
Hal itu pun terbukti dengan besarnya perhatian kaum
Muslim khususnya di masa ketika Islam kini belum tegak sempurna secara kâffah
dalam kehidupan, dengan keberadaan gerakan-gerakan dakwah Islam yang
benar-benar terorganisir, semisal HT, IM, Wahdah Islamiyyah (WI), DDII, MMI,
FPI, dan lain sebagainya yang digagas
dan didirikan oleh para ulama.
Maka ironis jika ada yang bisa dinilai gegabah
memfatwakan, tidak wajibnya mendirikan kelompok dakwah terorganisir, bahwa hukumnya
mubah saja, tidak wajib tidak pula sunnah. Dimana fatwa tersebut semata-mata
didasarkan pada makna ummah secara literal dan perumpamaan ummah seperti
kelompok burung yang tak terorganisir, serta asumsi bahwa organisasi adalah
salah satu teknis/wasilah beramar makruf nahi mungkar. Penjelasannya menjadi
semakin samar ketika shahibatul maqalah menuturkan “yang wajib adalah
melaksanakan amar makruf nahi mungkar bukan mendirikan organisasinya.”
Cuplikan
sebagian tulisannya yang perlu diluruskan:
==============
APAKAH
AMAL AMAR MAKRUF NAHI MUNGKAR WAJIB DIORGANISASI?
Jawabannya
tidak. Hukum mendirikan organisasi mubah saja, bukan wajib atau sunnah, karena
tidak ada dalil yang mewajibkannya. Sebagian orang ada yang menggunakan QS. Ali
Imran ayat 104 untuk menyatakan wajib mendirikan harakah/organisasi dakwah: (Ali
Imran: 104).
Mereka
memaknai “segolongan umat” berarti sekelompok orang yang ada amir/ketuanya, ada
tanzhim/administrasinya/AD-ART-nya, dan ada anggotanya. Ini pemaknaan yang
tidak tepat terhadap makna kata ummah pada ayat tersebut. Karena lafaz ummah
bermakna jama’ah/kelompok dan secara bahasa ummah tidak harus diorganisasi.
Burung dalam Al-Qur’an disebut ummah, padahal burung tidak memiliki AD/ART. Hal
ini menunjukkan lafaz ummah hanya bermakna sekelompok saja, tanpa membedakan
apakah diorganisasi ataukah tidak. Mendirikan organisasi adalah salah satu
teknis/wasilah beramar makruf nahi mungkar, hukumnya boleh, bukan wajib. Yang
wajib adalah melaksanakan amar makruf nahi mungkar bukan mendirikan
organisasinya."
==============
Koreksi:
Konklusi fatwa
di atas ini keliru, fatal dengan mengambil kesimpulan istidlâl semata-mata
dari penafsiran kata ummah secara bahasa, dan mengasumsikan
mengorganisir dakwah sebagai teknis yang sekedar mubah. Padahal topik yang
diulas adalah istidlal hukum syara’ mendirikan jama’ah dakwah, bukan kajian
bahasa dari kata ummah. Padahal dalam konteks istidlal, hendaknya
diperhatikan benar:
Para
‘ulama bersepakat bahwa dalam memahami ayat-ayat al-Qur’ân dan al-Sunnah
digunakan dua pendekatan yang benar.
Pertama, Memahami
pengertian secara tersurat, yakni dipahami secara langsung dari lafazh atau
bentuk lafazh dalam nash (harfiah/manthûq).
Kedua, Pengertian
secara tersirat, yakni dipahami melalui penafsiran secara logis dari petunjuk
atau makna lafazh atau makna keseluruhan kalimat yang dinyatakan dalam nash
(kontekstual/mafhûm). Makna ini menjadi kelaziman makna lafazh secara langsung.
Realitasnya,
para ulama ahli syari'ah merinci dalil manthuq dan mafhum dari
ayat ini, untuk sampai pada ulasan "wajibnya mendirikan gerakan dakwah
terorganisir (jama'ah mutakattilah), dengan INTISARI SINGKAT PADAT
sebagai berikut:
I.
Fokus
Perintah Ayat adalah Perintah Mengadakan Kelompok Dakwah, Tak Hanya Soal
Aktivitas Dakwah
Secara manthûq, fokus perintah (wajh al-istidlâl) ayat ini
jelas pada aspek perintah mengadakan kelompok dakwah, sebagaimana dituturkan
oleh al-’Allamah Abdul Qadim Zallum, tak hanya menyoal dakwah dan amar ma’ruf
nahi mungkar, dimana dakwah dalam ayat ini berkedudukan sebagai penjelasan dari
aktivitas kelompok yang dituntut dalam ayat. Jadi tak bisa diklaim yang wajib ”amar
ma’ruf nahi mungkarnya, bukan mendirikan organisasinya”, padahal ayat ini
menunjukkan kefardhuan mengadakan kelompok dakwah.
Perintah mengadakan kelompok dakwah dalam ayat yang agung ini, ditandai
dengan adanya frasa (ولتَكُنْ), dalam tinjauan ilmu
bahasa arab termasuk kalimat perintah (shiyag al-amr)[2],
karena huruf lâm pada permulaan frasa tersebut, adalah huruf lâm yang
berfungsi sebagai kata perintah (lâm al-amr), sebagaimana ditegaskan
oleh Abu Ja’far al-Nahhas al-Nahwi (w. 338 H)[3]
dan Imam al-Tsa’labi (w. 427 H)[4],
serta para ulama lainnya.[5]
Diperjelas ulasan ilmu ushul fikih berkaitan dengan
bentuk perintah (shiyagh al-amr). Para ulama pakar ushul fikih, di
antaranya Prof. Dr. ‘Iyadh bin Sami al-Salmi dan Syaikhul Ushul ‘Atha bin
Khalil Abu al-Rasytah[6]
menjelaskan bahwa di antara bentuk perintah adalah:
الفعل المضارع المقترن
بلام الأمر (ليفعل)
Frasa waltakun
dalam QS. Âli Imrân [3]: 104, jelas termasuk di antaranya, sehingga menunjukkan bahwa ayat
ini mengandung perintah. Lalu apakah tuntutan perintah tersebut fardhu atau
sunnah? Hal itu terjawab dengan menelusuri keberadaan petunjuk-petunjuk lain (qarâ’in)
yang berfaidah menentukan status tuntutannya, fardhu atau sunnah. Seorang ulama ushul, Fadhilatusy
Syaikh ‘Atha bin Khalil, ketika menjelaskan berbagai petunjuk (qarâ’in)
yang menunjukkan tuntutan pasti (qarînah jâzimah) suatu kefardhuan,
menjelaskan diantara bentuknya:
مَا كَانَ فِيْهَا بَيَانُ لِأَمْرِ حُكْمِهِ الوُجُوْبَ أَو
مَوْضُوْعه فَرْض أَوْ مَدْلُوله حِرَاسَة لِلإِسْلاَمِ
“Jika didalamnya terkandung
penjelasan atas suatu perintah bahwa hukumnya wajib, topiknya fardhu atau
konteksnya menunjukkan penjagaan terhadap Islam.”[8]
Ia pun menjadikan QS. Âli Imrân [3]: 104 sebagai salah satu contohnya,
yakni dengan adanya frasa (وأولئك
هم المفلحون) “dan mereka sebenar-benarnya golongan yang beruntung”,
yang merupakan qarinah pujian kuat. Hal senada dipaparkan oleh para
ulama lainnya.[9]
Para
ulama pun jika kita perdalam, satu suara atas kefardhuan dakwah ketika menafsirkan
ayat ini, mereka hanya merinci pembahasan, apakah ayat ini menegaskan
kefardhuan bagi sebagian kaum Muslim (fardhu ’alâ al-kifâyah),
yakni dengan membangun kelompok dakwah, atau fardhu bagi
setiap individu muslim (fardhu
‘ain), yakni
dorongan untuk menjadi umat (satu golongan) yang berdakwah?
Dimana keragaman pandangan ini, berpijak pada perbedaan
memahami kedudukan kata min dalam ayat. Mengenai perincian ini, silahkan
bisa pembaca tela’ah dalam buku-buku para ulama tafsir, atau bisa menela’ah buku
penyusun yang mengkaji tafsir balaghah QS. Ali Imran 104 ini. Tak ada dari
mereka yang mengatakan tidak fardhu mengadakan kelompok dakwah, pertanyaannya
kelompok dakwah seperti apa? Apakah kelompok sembarang? Mengingat ayat ini
mengandung perintah fardhu, maka wajib dipahami dengan benar kelompok dakwah
seperti apa yang dituntut dalam ayat ini, apakah cukup berdakwah tanpa
diorganisir? Dakwah tanpa di-manage? Jawabannya jelas jika dipahami
dengan alur sebagai berikut (bersambung bag. II)
Bagian II: Dalil-Dalil Wajibnya Mengadakan Kelompok Dakwah Terorganisir (Jamâ’ah Dâ’iyyah Mutakattilah)
Bagian II: Dalil-Dalil Wajibnya Mengadakan Kelompok Dakwah Terorganisir (Jamâ’ah Dâ’iyyah Mutakattilah)
[1] Muhammad al-Thahir bin ‘Asyur, Tafsîr al-Tanwîr wa
al-Tahrîr, juz IV, hlm. 38.
[2] ‘Abdurrahman bin Hasan al-Dimasyqi, Al-Balâghah
al-‘Arabiyyah, Damaskus: Dâr al-Qalam, cet. I, 1416 H/1996, juz I, hlm.
229.
[3] Abu Ja’far al-Nahhas Ahmad bin Muhammad al-Nahwi, I’râb
al-Qur’ân, Ed: ‘Abdul Mun’im Khalil, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
cet. I, 1421 H, juz I, hlm. 174.
[4] Ahmad bin Muhammad al-Tsa’labi, Al-Kasyf wa al-Bayân
‘an Tafsîr al-Qur’ân, juz III, hlm. 122.
[5] Huruf wâw pada kata takûnu dihapus (majzûm) karena
diawali oleh kata depan lâm al-amr; Bahjat Abdul Wahid al-Syaikhali,
Balâghat al-Qur’ân al-Karîm fî al-I’jâz: I’râban wa Tafsîran Bi I’jâz,
Amman: Maktabah Dandis, cet. I, 1422 H, jilid II, hlm. 139. Lihat pula: Mahmud Shafi, Al-Jadwal fî I’râb al-Qur’ân
wa Sharfuhu wa Bayânuhu Ma’a Fawâ’id Nahwiyyah Hâmmah, Damaskus: Dâr
al-Rasyîd, cet. III,
1416 H, juz. IV, hlm. 265, dengan I’rab:
الإعراب:
(الواو) عاطفة -أو استئنافية- (اللام) لام الأمر (تكن) مضارع ناقص مجزوم -أو تام-
[6] Amir Hizbut Tahrir, Ulama ahli ushul fikih.
[7] ‘Atha bin Khalil Abu
al-Rasythah, Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl: Dirâsât fî Ushûl al-Fiqh,
Beirut: Dâr al-Ummah, cet. III, 1421 H, hlm. 182; Prof. Dr. ‘Iyadh bin Sami
al-Salmi, Ushûl al-Fiqh Alladzî Lâ Yasa’u al-Faqîh Jahluhu,
Riyadh: Dâr al-Tadmuriyyah, cet. VI, 1433 H, hlm. 220.
[8] ‘Atha bin Khalil Abu
Al-Rasythah, Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl: Dirâsât fî Ushûl al-Fiqh,
hlm. 22-23.
[9] Dr. Muhammad bin Sa’ad al-Dabl,
Dalîl al-Balâghah al-Qur’âniyyah, Sabkat al-Alûkah, cet. I, 1431 H/2010,
juz I, hlm. 505.
Comments
Post a Comment