الحمدلله رب العالمين
والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه أجمعين وبعد
Pembentukan kelompok dakwah terorganisir merupakan perkara fardhu kifayah, wajib ada di antara umat ini, tidak bisa dihukumi sebatas mubah! Perincian bantahan:
Pertama, Jawaban atas Tuduhan Menyoal Penukilan, Meluruskan Pemahaman
Pertama, Jawaban atas Tuduhan Menyoal Penukilan, Meluruskan Pemahaman
Membaca komentar-komentar mereka yang memfatwakan tidak wajibnya mengorganisasi dakwah (link diskusi), ana menyimpulkan mereka terlihat seperti orang yang tidak memahami alur
penjelasan artikel yang telah saya jelaskan di sini (artikel I, artikel II), berkali-kali mempertanyakan seperti orang yang tak
membaca keseluruhan, atau membaca tapi tergesa-gesa untuk melahirkan asumsi
baru terkait penukilan, terbukti dengan kesalahan memahami alur penukilan, sama
seperti gegabahnya memfatwakan mudahnya dakwah tak wajib diorganisasi, padahal
ini masalah hukum syara', yang tak sepele, menyangkut kehidupan umat, dalam protek nahdhah al-ummah al-islamiyyah.
Di sisi lain, menyoal
penukilan ini duduk persoalannya jelas bagi mereka yang menela’ah dengan teliti
penukilan-penukilan pendapat para ulama ini, sudah secara mendetail saya letakkan pada subbahasan-subbahasan terperinci yang sesuai dengan porsinya,
tidak ada yang ditambah-tambahkan atau dikurangi.
Pertanyaan mendasarnya, mengapa begitu getol mempersoalkan penukilan
yang juga salah dipahami, pada saat yang sama mengabaikan istidlal utama
yang telah saya jelaskan dalam artikel? Ini penilaian yang tidak adil untuk menjatuhkan
argumentasi lawan diskusi. Mereka lebih layak fokus membantah istidlal
utama, yang bisa ditemukan dengan mudah dalam dua artikel penjelasan saya di atas, jika dibaca secara mendetail dan tak tergesa-gesa membantah, padahal
belum memahami inti persoalan (argumentasi lawan diskusi). Mengabaikan istidlal
yang paling utama, dan beralih pada persoalan cabang bukan cara yang mapan
untuk membantah argumentasi lawan diskusi, Allah al-Musta'an.
Kedua, Jawaban atas Syubhat Menyoal
Ulama Ahli Syari’ah & Posisi Para Ulama
Para ulama ahli syari’ah yang mendasari penjelasan saya, saya sebutkan di awal
artikel itu benar adanya, khususnya al-’Allamah Taqiyuddin al-Nabhani dan al-’Allamah
Abdul Qadim Zallum, keduanya jelas pakar dalam ilmu syari'ah, diakui oleh para ulama sejawat, dan murid-muridnya, jika ada yang memperdebatkan soal kedudukan mereka dalam keilmuan,
sama sekali tak berfaidah dan menunjukkan rendahnya pemahaman atau buruknya
adab terhadap ilmu dan ahlinya.
Bahkan jika seandainya saya membantah fatwa mereka (yakni Sdr. Aang dan Bintubni Akram yang memfatwakan tidak wajibnya dakwah diorganisasi, mubah saja), yakni dengan istidlal-nya kedua ulama ini pun, ini sudah sangat mapan, mengingat
penjelasan keduanya jelas kokoh, terutama perincian Syaikh Abdul Qadim Zallum, lalu mengapa saya menukil penjelasan para ulama
dalam subbab-subbab terperinci? Ini saya nukilkan sebagai dasar pembahasan
adanya ”kelompok dakwah”, pada posisi ini lah saya banyak menukil pendapat
mereka, terlepas dari perincian tafshil menyoal kelompok ini, mengingat para ulama berfatwa terkadang sesuai dengan kondisi orang yang bertanya (ini pembahasan
lanjutan yang sama sekali tidak membuktikan dakwah tak perlu diorganisir), yang
kemudian digambarkan para ulama ini dalam bentuk kelompok ulama, kelompok ahli
hadits, dsb., namun tidak ada dari mereka yang ditanya soal wajib tidaknya
mengorganisasi dakwah, lalu dengan gegabah memfatwakan ”dakwah tak wajib diorganisasi,
tak harus diatur, mubah-mubah saja, itu soal sarana.” Padahal ini perkara pembahasan lanjut yang wajib digali secara matang.
Adapun sikap semata-mata mendasarkan pembahasan pada kata ummah dalam ayat, tanpa
mempertimbangkan aspek-aspek mafhum-nya terkait harus tidaknya dakwah
diorganisir secara rapih, dan hukum keberadaan pemimpin dakwah, disandingkan
dengan realitas dakwah di tengah-tengah kehidupan saat ini, maka inilah yang
mendasari penilaian ”fatwa gegabah”. Ingat kita tidak sedang mengkaji tafsir satu kata, tapi menurunkan hukum dari satu ayat al-Qur'an, yang tak bisa mengabaikan banyak aspek terkait istinbath! Bukan tafsir kata ummah, tapi istinbath hukum menegakkan kelompok dakwah terorganisir di masa kini!
Ketiga, Benarkah Pendapat Al-’Allamah Taqiyuddin al-Nabhani & Al-’Allamah Abdul Qadim Zallum Bertentangan dengan Pendapat Imam al-Dhahhak?
Ini adalah asumsi sepihak yang jelas tak bisa dibenarkan, jika mereka sering menelusuri bahasa para ulama ketika
berfatwa, menafsirkan suatu ayat, istilah dan lain sebagainya, niscaya mereka takkan dengan mudah membenturkan penjelasan para ulama ini, dimana ilmu mereka jelas
bersanad. Justru seharusnya dipahami saling menguatkan, dan itu terbukti.
Saya beri contoh ketika para ulama menafsirkan kata al-zûr,
dalam ayat ini:
وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ
الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
”Dan orang-orang yang tidak menyaksikan
al-zûr, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan
yang tidak berfaidah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al-Furqân [25]: 72)
Mereka menjelaskan dengan beragam istilah, yang saling
menguatkan dan tidak bertolak belakang, dan tak boleh lantas dibentur-benturkan:
Imam Abu Muhammad al-Tustari (w. 283 H) menafsirkan kata
(الزُّورَ) yakni majelis-majelis ahli
bid’ah.[1] Al-Hafizh Ibn Katsir (w.
774 H) pun menegaskan bahwa ia bermakna kesyirikan dan penyembahan terhadap
berhala, dikatakan pula yakni kedustaan dan kefasikan. Dan makna al-laghw adalah
kebatilan.[2] Atau segala sesuatu yang
batil dan tidak mengandung faidah.[3]
Keragaman istilah yang digunakan para ulama untuk
memaknai al-zûr sebenarnya satu makna, hal itu sebagaimana ditegaskan
oleh Imam Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) yang mengatakan:
وقول هؤلاء التابعين:
إنه أعياد الكفار
" ليس مخالفا لقول بعضهم: " إنه الشرك "، أو صنم كان في الجاهلية، ولقول
بعضهم: إنه مجالس الخنا، وقول بعضهم: إنه الغناء؛ لأن عادة السلف في تفسيرهم هكذا:
يذكر الرجل نوعا من أنواع المسمى لحاجة المستمع إليه، أو لينبه به على الجنس
”Dan perkataan
para ulama tabi’in: ”sesungguhnya ia adalah perayaan orang-orang kafir” tidak
bertentangan dengan perkataan sebagian mereka ”sesungguhnya ia adalah
kesyirikan” atau berhala di masa jahiliyyah, dan perkataan mereka ”sesungguhnya
ia adalah majelis-majelis keji”, dan perkataan sebagian mereka ”sesungguhnya ia
adalah nyanyian”; karena kebiasaan al-salaf dalam penafsiran mereka memang
seperti itu: yakni seseorang menyebutkan suatu jenis dengan beragam jenis
penamaan sesuai dengan kebutuhan orang yang menyimak perkataannya, atau sebagai
bentuk peringatan atas perkara tersebut.”[4]
Jadi ada kondisi ketika para
ulama berpendapat, sesuai dengan kondisi orang yang bertanya, atau apa yang
mereka saksikan ketika itu. Jadi JANGAN GEGABAH membenturkan pendapat para
ulama, untuk menjustifikasi sesuatu yang tidak ada dasarnya dari pendapat para
ulama, menyoal tidak wajibnya dakwah diorganisasi! Mereka semua tidak berselisih paham dalam hal keberadaan kelompok
dakwah. Terlebih dasar pemahaman yang jelas argumentatif, dikembalikan kepada contoh Rasulullah SAW dan para sahabat pada periode Mekkah, untuk sampai pada kesimpulan perlu tidaknya, atau wajib tidaknya keberadaan kelompok dakwah terorganisir? Yang lantas dihukumi para ulama sebagai fardhu kifayah, bukan mubah-mubah saja.
Keempat, Terorganisirnya Dakwah Rasulullah SAW & Para Sahabat
R.A
Di sisi lain, jelas dakwah Rasulullah SAW dan para
sahabat r.a. pun dinamakan oleh para ulama semisal al-’Allamah Taqiyuddin al-Nabhani
dalam kutubnya, dengan istilah kutlah, hal itu tergambar jelas dengan memperhatikan aspek esensi dari suatu kelompok terorganisir, ini karena musamma (esensi) lebih penting daripada ism, realitasnya yakni:
Pertama, Adanya kepemimpinan dakwah beliau saw, hingga dakwah terorganisir cukup mapan! Rasulullah SAW sebagai pemimpin dakwah pun jelas, mengatur aktivitas dakwah para sahabat, ada perintah dan larangan terkait aktivitas dakwah sebagai suatu kelompok, misalnya larangan beliau SAW mengangkat senjata menghadapi gempuran fisik Kafir Quraisyi. Disamping adanya perintah dan larangan, serta penugasan dakwah semisal penugasan dakwah ke Yastrib, dan pengaturan mencari keamanan, misalnya ketika sebagian kaum Muslim hijrah ke Habasyah, itu semua menunjukkan kepemimpinan dakwah beliau SAW!
Kedua, Adanya pembinaan bagi para sahabat, dimana mereka lalu menjadi para da'i yang juga berdakwah di sisi Rasulullah SAW, ditugaskan berdakwah dan lain sebagainya. Inilah esensi kelompok dakwah sebagai kelompok yang memiliki ilmu.
Ketiga, Adanya ikatan di antara para anggota, diwujudkan dalam bentuk ikatan akidah Islam.
Dan lain sebagainya, bagaimana mungkin dakwah beliau SAW dikatakan tak diorganisir?! Silahkan baca sirah, jika masih tak diakui, ini gegabah, dan menuduh beliau SAW tak mengorganisir dakwahnya, bisa termasuk berdusta mengatasnamakan beliau SAW yang dihukumi haram.
Pertama, Adanya kepemimpinan dakwah beliau saw, hingga dakwah terorganisir cukup mapan! Rasulullah SAW sebagai pemimpin dakwah pun jelas, mengatur aktivitas dakwah para sahabat, ada perintah dan larangan terkait aktivitas dakwah sebagai suatu kelompok, misalnya larangan beliau SAW mengangkat senjata menghadapi gempuran fisik Kafir Quraisyi. Disamping adanya perintah dan larangan, serta penugasan dakwah semisal penugasan dakwah ke Yastrib, dan pengaturan mencari keamanan, misalnya ketika sebagian kaum Muslim hijrah ke Habasyah, itu semua menunjukkan kepemimpinan dakwah beliau SAW!
Kedua, Adanya pembinaan bagi para sahabat, dimana mereka lalu menjadi para da'i yang juga berdakwah di sisi Rasulullah SAW, ditugaskan berdakwah dan lain sebagainya. Inilah esensi kelompok dakwah sebagai kelompok yang memiliki ilmu.
Ketiga, Adanya ikatan di antara para anggota, diwujudkan dalam bentuk ikatan akidah Islam.
Dan lain sebagainya, bagaimana mungkin dakwah beliau SAW dikatakan tak diorganisir?! Silahkan baca sirah, jika masih tak diakui, ini gegabah, dan menuduh beliau SAW tak mengorganisir dakwahnya, bisa termasuk berdusta mengatasnamakan beliau SAW yang dihukumi haram.
Kelima, Penegasan Dasar Argumentasi Adanya Perincian Pembedaan Antara Kelompok Dakwah
& Individu yang Berdakwah
Syaikh Abdul Muhsin bin Hamad al-‘Abbad al-Badr menjelaskan bahwa ayat ini (QS.
Ali Imran 104) merupakan perintah dari Allah ‘Azza wa Jalla agar mengadakan
kelompok-kelompok yang menegakkan dakwah kepada al-khair, menyuruh kepada yang
ma’ruf dan melarang dari kemungkaran, dan ia termasuk fardhu kifâyah, dan bagi
setiap individu muslim wajib (pula) menegakkan dakwah kepada al-khair, menyuruh
kepada yang ma’ruf dan melarang dari kemungkaran sesuai dengan kemampuan dan
potensinya.
Prof. Dr. Wahbah
al-Zuhaili (w. 1436 H) pun menjelaskan:
جماعة
تربطهم رابطة معينة تجمعهم
“Kelompok yang terikat
suatu ikatan yang menyatukan mereka.”
Dimana beliau menafsirkannya dengan mengaitkan dengan QS. Ali Imran 103,
yakni mereka yg berpegang teguh pada tali DinuLlah. Alasan di atas pun terang
benderang terjawab dalam pernyataan Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili MEMBEDAKAN
WILAYAH KELOMPOK & INDIVIDU,
يأمر الله تعالى الأمة الإسلامية بأن يكون منها جماعة متخصصة بالدعوة إلى الخير والأمر بالمعروف والنّهي عن المنكر، وأولئك الكمّل هم المفلحون في الدّنيا والآخرة. وتخصص هذه الفئة بما ذكر لا يمنع كون الأمر بالمعروف والنّهي عن المنكر واجبا على كلّ فرد من أفراد الأمّة بحسبه
"Allah
SWT memerintahkan umat Islam, agar ada di antara umat ini jama’ah/kelompok khusus
(jamâ’ah mutakhashshishah) yang menegakkan dakwah kepada al-khair, menyuruh
kepada yang ma’ruf, dan melarang dari yang mungkar. Mereka adalah golongan yang
beruntung di dunia dan akhirat. Namun pengkhususan adanya kelompok ini
berdasarkan apa yang telah dijelaskan, tidak menghalangi adanya kewajiban
menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar atas setiap individu
dari individu-individu umat ini sesuai kemampuannya." (Prof. Dr. Wahbah
al-Zuhaili, Al-Tafsîr al-Munîr, juz. IV, hlm. 33)
Beliau lalu menukil dalil hadits shahih, Rasulullah SAW bersabda:
«مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ»
“Barangsiapa di antara kalian yang melihat
kemungkaran maka ubahlah dengan tangan, jika tidak mampu maka ubahlah dengan
lisan, jika tidak mampu maka ubahlah dengan qalbu dan hal itu adalah
selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim,
Ahmad, Ibn Majah, Ibn Hibban)
Prof Wahbah
pun jelas aktif di banyak lembaga ke-Islaman, ini sudah cukup dinilai sebagai
bentuk aplikasi beliau untuk berdakwah, menyebarkan ilmu islamnya, yang bisa
dinilai pula sebagai kelompok yang berdakwah, terorganisir.
Jadi jelas,
ini berbicara soal kelompok dakwah, yang ditafsirkan kemudian oleh para ulama:
kelompok ulama (jama’at al-’ulama), kelompok yang memiliki ikatan (bi
al-rabithah), kelompok istimewa (mutamayyizah), kelompok terorganisir
(mutakattilah).
Artinya, ini sesuai dengan penjelasan, adanya pendalilan dasar keberadaan
kelompok dakwah khusus, terorganisir, apa yang salah dengan kesimpulan ini?!
Terlebih dengan menilik pendalilan al-’Allamah Taqiyuddin al-Nabhani, terutama al-’Allamah
Abdul Qadim Zallum yang secara rinci menegaskan hujjah argumentatif, syar’i,
menyoal fardhu kifayahnya menegakkan kelompok dakwah terorganisir! Ini semakin memperjelas
duduk persoalan ”hukum mendirikan kelompok dakwah terorganisir”, menurut sudut pandang ulama, bukan orang awam.
Keenam, Dalil Utama yang Tak Kunjung Dibantah Secara Mapan & Menyoal Asumsi Mewajibkan Suatu Perkara
Ya benar sekali, ini bagian dari perkara besar, bahwa mewajibkan suatu
perkara adalah perkara besar, begitu pula gegabah memubahkan sesuatu yang wajib
pun juga perkara besar! Padahal penjelasan mengenai kewajiban tersebut pun oleh ahli ilmu, al-'Allamah Taqiyuddin al-Nabhani, al-'Allamah Abdul Qadim Zallum, Syaikhul Ushul Atha bin Khalil. Di antara kaidah pendalilannya JELAS mapan dan syar’i sebagai berikut:
Dengan pendekatan mafhum, jelas dipahami bahwa
setiap jama’ah harus mempunyai seorang pemimpin (amir) yang wajib dita’ati,
sehingga dikatakan solid karena terikat pada ikatan Islam, terbina dengan Islam
dan terpimpin serta terarah, hal itu diperjelas dengan menilik keteladanan
Rasulullah SAW yang berkedudukan sebagai pemimpin gerakan dakwah, yang memimpin
dan membina para sahabatnya –radhiyaLlahu ’anhum- di masa itu. Mereka
yang mengatakan dakwah tak wajib diorganisir, seakan-akan menafikan gambaran
sirah yang sangat gamblang menyoal keteladanan Rasulullah SAW, ketika beliau
memimpin gerakan dakwahnya, adanya kepemimpinan yang dita’ati ini sudah cukup
wajibnya mengorganisir dakwah secara mapan, dimana beliau SAW menjadi rujukan
bertanya yang mengarahkan sikap para sahabatnya menyikapi berbagai tantangan
dakwah di masa itu, khususnya pada periode dakwah di Mekkah.
Di sisi lain, hal itu sesuai dengan mafhum dari
perintah syara’ yang mewajibkan setiap jama’ah, yang terdiri dari tiga orang
atau lebih untuk memiliki seorang amir. Rasulullah SAW
bersabda:
«وَلاَ
يَحِلُّ لِثَلاَثَةِ نَفَرٍ يَكُونُونَ بِأَرْضِ فَلاَةٍ إِلاَّ أَمَّرُوا عَلَيْهِمْ
أَحَدَهُمْ»
“Tidak halal bagi tiga orang yang berjalan di muka Bumi,
kecuali mengangkat salah seorang dari mereka sebagai pemimpinnya.” (HR. Ahmad, al-Thabrani)[5]
Hadits ini, banyak dinukil para ulama sebagai salah satu
dalil wajibnya adanya al-Imâm atau al-Khalîfah, qadhi, dsb,
semisal kitab Nail al-Authar yang menukilnya dalam satu bab khusus (بَابُ وُجُوبِ نَصْبِ وِلَايَةِ الْقَضَاءِ وَالْإِمَارَةِ وَغَيْرِهِمَا)[6],
hal itu karena keumuman khabar dan lafal dalam hadits ini.[7]
Sehingga tidak mengherankan jika hadits ini pun dinukil
oleh al-’Allamah Abdul Qadim Zallum, untuk menegaskan kewajiban adanya pemimpin
dalam dakwah.[8]
Kalimat lâ yahillu, menunjukkan larangan keras (qarînah jâzimah),
menunjukkan keharaman atas ketiadaan amîr (pemimpin).
Jika dalam persoalan safar saja wajib ditunjuk salah
seorang pemimpin (amîr al-safar), maka perkara dakwah yang lebih
kompleks persoalannya, lebih utama (awlâ) membutuhkan adanya kepemimpinan,
poin ini jelas sangat relevan dalam kajian hukum Islam.
Hal itu karena dakwah merupakan perkara serius, harus
ditegakkan benar-benar sistematis terencana, dimana hal itu tak mungkin bisa
diwujudkan kecuali dengan adanya pemimpin dakwah, yang memimpin aktivitas
kelompok dakwah, yang mengarahkan setiap aktivitas mereka senantiasa di atas
rel Islam. Jika kefardhuan dakwah yang menjadi aktivitas kelompok dakwah, tak bisa
ditegakkan sempurna kecuali dengan adanya pemimpin (amîr al-da’wah),
maka pemimpin tersebut menjadi wajib adanya, sebagaimana disebutkan dalam kaidah syar’iyyah:
مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ
بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Al-Qadhi Abu Ya’la al-Farra
(w. 458 H) ketika menjelaskan kaidah ini menuturkan, bahwa jika Allah sudah
memerintahkan hamba-Nya untuk menunaikan suatu perbuatan dan Allah
mewajibkannya, di sisi lain apa yang diperintahkan tersebut takkan tercapai sempurna
kecuali dengan hal lainnya; maka hal tersebut menjadi wajib adanya.[10] Hal ini sebagaimana diungkapkan Imam
al-Qarafi (w. 684 H) yang berkata:
وُجُوْبُ الوَسَائِل تبِع لِوُجُوْبِ المَقَاصِد
Sebagaimana hal ini pun
ditunjukkan secara terang benderang dalam sirah, manakala Rasulullah SAW
dan para sahabatnya berdakwah secara berjama’ah dan terorganisir. Di sisi lain,
proyek membangkitkan umat merupakan proyek besar yang membutuhkan kecakapan,
kesabaran dan pengorbanan, dan hal itu tidak bisa tidak kecuali dilakukan
secara berjama’ah (kolektif) dan bahu membahu terorganisir, dimana dalam banyak
ayat al-Qur’an pun menyifati orang-orang beriman sebagai kaum yang saling
memberi taushiyyah (kata tawashau dengan wazan tafa’ala, artinya
interaksi dua sisi, saling menasihati) dalam kebenaran dan kesabaran (QS. Al-‘Ashr [103]: 1-3), dan juga saling menolong, salah satunya dalam perkara
yang Allah fardhukan yakni berdakwah:
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ
بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ
عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ
اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ أُولَٰئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ {٧١}
“Dan orang-orang yang
beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi
sebagian yang lain, mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari
yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan
Rasul-Nya, mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah, sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Taubah [9]: 71)
Maka terang benderang, penjelasan para ulama yang saling
menguatkan di atas, menjadi satu kesatuan yang menunjukkan wajibnya menata
gerakan dakwah, terorganisir secara mapan dan di-manage tidak
asal-asalan.
Poin di atas sama sekali tidak dibantah oleh Sdr. Aang
dan Bintubni Akram, dan tidak diuraikan kemudian oleh para ulama terdahulu pun
tak menjadi bukti hukum fardhu ini TAK ADA, terutama ketika mereka tidak lantas
ditanya dengan persoalan senada, coba pahami istidlal menyoal wajibnya
membangun industri militer yang diwajibkan para ulama dengan dalil mafhum,
yakni dilalah iltizam dari dalil kewajiban i'dad jihad, dengan kaidah maa la
yatimmu al-wajib yang juga dinukil di atas.
Perkara ini jelas sekali berdasar dan ilmiah, jelas
sandaran keilmuannya khususnya bagi mereka yang memahami ilmu ushul fikih.
Misalnya dahulu i’dad jihad, hanya dengan kuda, baju besi, pedang dsb, apakah
ketika dahulu tidak menggunakan senapan mesin, tak ada industri militer yang
canggih nan mapan, lalu ditegaskan kewajibannya oleh para ulama di masa kemudian, dengan penggalian dalil terperinci menghukumi fakta, bisa
dengan mudahnya distempel logika FATALISTIK: ”ITU TIDAK WAJIB, KARENA
DAHULU RASULULLAH SAW & PARA ULAMA TIDAK MENCONTOHKANNYA”. Ini alasan yang fatalistik, tidak bisa dibenarkan, dan menyalahi konvensi keilmuan. Mari kita rujuk dan pikir ulang, persoalan mengorganisir dakwah jelas terkait proyek kebangkitan umat, sisi yang tak bisa disepelekan sebagai kenyataan di medan dakwah saat ini, yang tak bisa dihadapi sendiri-sendiri, serampangan dan asal-asalan tak terorganisir, tak terarah, di sisi lain, asumsi tersebut adalah asumsi yang gegabah, mengingat Rasulullah SAW jelas mengorganisir dakwahnya bersama para sahabatnya r.a. []
اللهم اغفرلنا ذنوبنا
نَسْأَلُ اللهَ تَعَالى أَنْ يَجْعَلَ آخِرَ كَلَامِنَا مِنَ الدُّنْيَا عِنْدَ انْتِهَاءِ أجَلِنَا:
نَسْأَلُ اللهَ تَعَالى أَنْ يَجْعَلَ آخِرَ كَلَامِنَا مِنَ الدُّنْيَا عِنْدَ انْتِهَاءِ أجَلِنَا:
«أشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن مُحَمدًا رسُول الله»
والحمد لله رب العالمين
[1] Abu Muhammad Sahl bin ‘Abdullah al-Tustariy, Tafsîr
al-Tustariy, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1423 H, hlm. 114.
[2] Abu al-Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir al-Dimasyqi,
Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm, juz VI, hlm. 130.
[3] Abu al-Muzhaffar Manshur bin Muhammad al-Sam’aniy, Tafsîr
al-Qur’ân, Riyadh: Dâr al-Wathan, cet. I, 1418 H, juz IV, hlm. 35.
[4] Taqiyuddin Abu al-‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim (Ibnu
Taimiyyah al-Harraniy), Iqtidhâ’ al-Shirâth al-Mustaqiim, juz I, hlm.
479.
[5] HR. Ahmad dalam Musnad-nya (no. 6647), Syaikh Syu’aib al-Arna’uth
mengomentari: “Shahih li ghairihi kecuali hadits al-imârat maka derajatnya
hasan.”; HR. Al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabîr (no. 14723).
[6] Muhammad bin Ali al-Syaukani, Nail al-Authâr, Mesir: Dâr al-Hadîts,
cet. I, 1413 H/1993, juz VIII, hlm. 294.
[7] Hal ini sebagaimana mafhum
yang dibangun oleh Imam Ibn al-Arabi ketika memahami keumuman dalil
larangan berbisik-bisik di antara dua orang tanpa orang ketiga di sisi mereka (ولا يحل لثلاثة نفر،
يكونون بأرض فلان أن يتناجى اثنان، دون صاحبهما),
dimana Ibn al-Arabi menjelaskan bahwa hadits ini, khabarnya umum, makna dan
lafalnya, dan alasannya karena bisa menimbulkan kesedihan (pada orang yang
tidak diajak bicara-pen.), dimana hal tersebut bisa terjadi baik dalam safar
maupun ketika diam di suatu tempat, maka larangan tersebut harus mencakup kedua
kondisi tersebut. (Prof. Dr. Musa Syahin Lasyin, Fath al-Mun’im Syarh
Shahîh Muslim, Dâr al-Syurûq, cet. I, 1423 H/2002, juz VIII,
hlm. 531)
[8] Abdul Qadim Zallum, Afkâr Siyâsiyyah, hlm. 56.
[9] Al-Qadhi Abu Ya’la al-Farra, Al-‘Iddat fî Ushûl al-Fiqh, Ed: Dr. Ahmad bin ‘Ali, Cet. II, Tahun 1410 H,
juz. II, hlm. 419; Sulaiman bin ‘Abdul Qawi Najmud Din, Syarh
Mukhtashar al-Raudhah, Beirut: Mu’assasat al-Risalah, cet. I, 1407 H, juz
I, hlm. 314; Tajuddin ‘Abdul Wahhab bin Taqiyyuddin al-Subki, Al-Asybâh wa
al-Nazhâ’ir, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1411 H, juz. II, hlm. 88.
[10] Ibid.
[11] Abu al-‘Abbas Syihabuddin Ahmad al-Qarafi, Al-Furûq: Anwâr al-Burûq fî
Anwâ’i al-Furûq, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1418 H/1998, juz I,
hlm. 302.
Comments
Post a Comment