
Koreksi atas Fatwa "Mubah" & Perincian Pembahasan Menurut Para Ulama Ahli Syari’ah
Penyusun:
Al-Faqir ilaLlâh Ta’âlâ Irfan Abu Naveed, M.Pd.I
Disarikan dari kajian, Menggugah Nafsiyyah Dakwah Berjama'ah, (Bab Tafsir & Balaghah QS. Ali Imran [3]: 104)
Disarikan dari kajian, Menggugah Nafsiyyah Dakwah Berjama'ah, (Bab Tafsir & Balaghah QS. Ali Imran [3]: 104)
a.
Makna Bahasa
Kata Ummah
Kata (أُمَّةٌ) dalam ayat
ini berkonotasi jama’ah atau kelompok, hal ini ditegaskan oleh para ulama. Meskipun
dalam perinciannya, jika ditelusuri kata ummah dalam bahasa arab,
termasuk satu kata yang mengandung lebih dari satu makna (lafzh musytarak)[1] yakni berserikat di
dalamnya lebih dari satu makna[2].
Lafal musytarak, sebagaimana diungkapkan Prof. Dr. Muhammad Rawwas
Qal’ah Ji (w. 1435 H) yakni:
ما
وضع لأكثر من معنى ولا يتعين المراد منه إلا بقرينه
“Lafal yang mengandung lebih dari satu makna dan
maksudnya tidak bisa ditentukan kecuali berdasarkan suatu petunjuk (indikasi)
lain.”[3]
Lalu apa makna umat sebagai lafal musytarak? Ketika
menjelaskan kata ummah dalam QS. Âli Imrân [3]: 104 ini, Dr. Muhammad
Mutawalli al-Sya’rawi menuturkan:
كلمة
(أمة): الجماعة/ الملة أو الدين/ الفترة الزمنية/ الرجل الجامع لصفات الخير
“Kata (ummah) bermakna jama’ah, millah atau
din, jangka waktu tertentu, atau seseorang yang terkumpul padanya sifat-sifat
kebaikan.”[4]
Para
ulama pun merinci makna kata ummat, di antaranya Imam Ibn Haim dalam
kitab Al-Tibyân fî Tafsîr Gharîb al-Qur’ân[5], Imam al-Alusi dalam Rûh al-Ma’âni[6] dan Syaikhul Ushul ‘Atha bin Khalil Abu
al-Rasythah dalam kitab Al-Taysîr.[7] Syaikh ‘Atha bin Khalil ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah
[2]: 134 menuturkan bahwa kata (أمة) adalah lafal musytarak
dengan perincian pemisalan dan maknanya, dan kata ummah dalam ayat ini.
Adapun kata umat dalam QS. Âli Imrân
[3]: 104, Syaikhul Ushul ‘Atha bin Khalil menegaskan bahwa ia bermakna jama’ah
(kelompok),[8] pemaknaan ini sejalan dengan apa yang dijelaskan
oleh al-Hafizh Ibn Jarir al-Thabari (w. 310 H)[9], Imam Ibn Mundzir (w. 318 H)[10],
Imam al-Anbari (w. 328 H)[11],
Imam Abu al-Mundzir al-’Autabi (w. 511 H)[12], Imam al-Raghib al-Ashfahani (w. 511 H), Imam
Syamsuddin Ahmad al-Khathib al-Syarbini (w. 977 H)[13],
Imam Syihabuddin al-Alusi (w. 1270 H)[14], al-‘Allamah Muhammad al-Thahir bin ‘Asyur (w. 1393
H)[15] dan para ulama lainnya.
b.
Kefardhuan
Mengadakan Kelompok Dakwah
Ayat yang agung ini jelas
merupakan pesan agung dari Allah ’Azza wa Jalla untuk membentuk kelompok
dakwah. Dalam persepektif ilmu balaghah (’ilm al-ma’âni),
kata ummat[un] dalam ayat yang agung ini, mengandung bentuk ringkasan
dari makna yang dikehendaki yakni ummat[un] dâ’iyyat[un] (jama’ah yang berdakwah),
diistilahkan al-îjâz bi al-hadzf (bentuk peringkasan kalimat),[16] yang berfaidah lebih menguatkan makna
yang dikehendaki daripada penyebutannya secara lengkap.[17] Dalam ayat ini terdapat dua bentuk îjâz
hadzf.
Salah satunya pada kalimat (ولتكن منكم أمة), karena maksudnya adalah (ولتكن منكم أمة داعية)[18],
bahwa yang dikehendaki dari kata umat dalam ayat ini adalah (أمة داعية), yakni ummat yang berdakwah, sebagaimana diistilahkan
Imam Abu al-Su’ud (w. 982 H) dalam tafsirnya[19].
Atau dalam istilah Imam Fakhruddin al-Razi (w. 606 H) yakni ummat[un] du’ât[un]
(أمة دعاة).[20]
Dalam perinciannya, para
ulama menegaskan kewajiban membangun kelompok dakwah, bertolak dari pemahaman
bahwa kata min dalam ayat ini, termasuk jenis min li al-tab’îdh (للتبعيض) yakni lafal min yang menunjukkan
arti sebagian, diperjelas karakter kelompok dakwah yang dikehendaki ayat ini:
menyeru kepada al-khair, menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang dari
yang mungkar.
Frasa minkum menunjukkan
konotasi “sebagian dari kalian”, yakni orang beriman yang berpegang teguh
kepada tali agama Allah. Ini merupakan pendapat Ibn ‘Athiyyah dan
Al-Dhahhak[21], Imam
Abu Bakr al-Jashshash (w. 370 H)[22],
Imam Fakhruddin al-Razi (w. 606 H)[23],
Al-Hafizh Syamsuddin al-Qurthubi (w. 671 H), al-Qadhi al-’Allamah Taqiyuddin
al-Nabhani (w. 1397 H), al-’Allamah Abdul Qadim Zallum (w. 1424 H)[24], Syaikhul
Ushul ’Atha bin Khalil[25],
dan Syaikh Dr. Abdurrahman al-Baghdadi[26],
Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili[27]
serta para ulama lainnya.
Konsekuensinya, mereka
menafsirkan ayat ini bermakna waltakun minkum thâ’ifat[un] (ولتكم منكم طائفة) atau liyakun
minkum qaum[un] (ليكن منكم قوم)[28]
yang artinya, ”harus ada di antara kalian kelompok atau kaum”, yakni perintah
untuk mengadakan kelompok atau jama’ah yang memiliki karakteristik dakwah. Hal
ini memperjelas kesimpulan bahwa berdirinya kelompok dakwah merupakan perkara
yang disyari’atkan dalam agama ini (masyrû’), diperintahkan oleh Allah Rabb
al-’Âlamîn, dicontohkan oleh sebaik-baiknya generasi umat ini, generasi
Rasulullah SAW dan para sahabatnya.
Didukung dengan alasan bahwa penegakkan kewajiban dakwah,
tak sekedar kewajiban, melainkan kewajiban yang melekat padanya berbagai
tuntutan dan persyaratan. Seorang muslim harus menjadi orang yang memahami
perintah dan larangan, mendalami banyak hal dari ilmu, pengetahuan, hukum-hukum
dan berbagai permasalahan, dimana hal tersebut takkan mampu diraih oleh setiap individu muslim, namun
mereka yang terpilih di antaranya.[29] Yakni golongan yang membekali
dirinya dengan ilmu, dengan ganjaran sebagai golongan yang beruntung. Al-Hafizh
Ibn Jarir al-Thabari (w. 310 H) menjelaskan:
Kalimat (وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ)
wahai orang-orang beriman, (أُمَّةٌ) yakni jama’ah yang menyeru manusia (إِلَى الْخَيْرِ)
yakni kepada al-Islam dan aturan-aturan syari’at yang telah disyari’atkan Allah
pada hamba-hamba-Nya. Makna (ويأمرون
بالمعروف) yakni memerintahkan
manusia untuk mengikuti Muhammad SAW dan agamanya yang datang dari Allah. (وينهون عن المنكر) yakni melarang mereka mengkufuri Allah dan mendustakan
Muhammad dan apa yang datang darinya (risalahnya) dari Allah.[30]
Al-Hafizh al-Qurthubi (w. 671 H) setelah merinci bahwa lafal
(min) dalam frasa minkum adalah min li al-tab’îdh (menunjukkan sebagian), menjelaskan konsekuensi maknanya,
bahwa kaum yang berdakwah ini wajib orang yang berilmu dan tidak semua manusia
itu adalah ahli ilmu. Dikatakan pula (pendapat kedua) bahwa kata min dalam
ayat ini adalah min li bayân al-jins (untuk menjelaskan jenis-pen.) dan maknanya bahwa setiap
diri kalian wajib berdakwah.[31]
Namun al-Hafizh al-Qurthubi menguatkan pendapat yang
pertama dengan menyatakan bahwa menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang dari
kemungkaran itu hukumnya fardhu kifâyah, ia pun menukil dalil QS. Al-Hajj
[22]: 41. Ini pun pendapat Imam Abu Bakr al-Jashshash,[32] Ibn ‘Athiyyah, Al-Dhahhak, sebagaimana
dinukil oleh al-‘Allamah Muhammad al-Thahir bin ‘Asyur.[33]
c.
Hakikat Kelompok
Dakwah yang Dituntut dalam Ayat & Dibutuhkan Umat
Hakikat kelompok dakwah yang dituntut dalam ayat dan dibutuhkan umat,
jelas dipahami dari banyak petunjuk. Tak cukup menyederhanakan pembahasan
dengan bertolak pada definisi kata ummah secara literal, padahal ayat
ini pun merinci gambarannya, baik manthûq maupun mafhûm.
Para ulama sendiri, bisa kita simpulkan menyifatinya
sebagai kelompok istimewa dan terorganisir (ana nukilkan pada pembahasan ini),
hal itu bisa kita simpulkan dari pendapat mereka yang saling menguatkan, dimana
mereka menyifatinya sebagai jama’ah yang diikat secara solid oleh suatu ikatan
yakni akidah Islam, terbina dengan ilmu (tatsqif) sehingga mampu
memahami mana yang ma’ruf dan mungkar, dan beramal jama’i mendakwahkan Dinul
Islam, dengan metode dakwah yang dicontohkan Rasulullah SAW dan para
sahabatnya, dimana gerakan dakwah ini wajib dipimpin oleh seorang pemimpin
dakwah, untuk memimpin dakwah di medan dakwah yang memang tak sederhana,
kompleks dengan berbagai permasalahan.
Sehingga tak logis, jika difatwakan tak wajib
diorganisir, jika yang dimaksud tak diorganisir adalah tak perlu ada pimpinan,
keanggotaan, lalu bagaimana bisa di-manage dan diatur sedemikian rupa
secara mapan untuk memenuhi aktivitas dakwah yang begitu kompleks?! Padahal
pengaturan dakwah ini menjadi bagian yang melekat sebagai sesuatu yang
diperlukan, untuk mencapai keberhasilan dakwah di medan yang memang penuh
tantangan, tak diorganisir sama saja dengan tak di-manage secara mapan, jika
tak di-manage secara mapan, apakah bisa dakwah dipenuhi asal-asalan?!
Pemahaman ini cukup riskan dan bias, uraiannya sebagai berikut:
Pertama, Kelompok Dakwah Diikat Suatu Ikatan (Akidah Islam)
Suatu jama’ah dikatakan jama’ah, ketika ia memang
diikat oleh sesuatu. Imam Abu al-Qasim al-Husain bin Muhammad atau yang masyhûr
dikenal dengan nama al-Raghib al-Ashfahani (w. 502 H) mendefinisikan kata ummah:
والأمة:
كل جماعة يجمعهم أمر ما إما دين واحد، أو زمان واحد، أو مكان واحد
Suatu
kelompok tak bisa dikatakan menyatu, jika tak ada perekat dan pengikatnya.
Begitu pula menyoal kelompok dakwah. Ketika menafsirkan kata ummat[un], Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili (w. 1436
H) pun menjelaskan:
جماعة تربطهم رابطة معينة تجمعهم
Al-‘Allamah
Abdul Qadim Zallum (w. 1424 H) merinci bahwa para kader kelompok dakwah, wajib
diikat oleh suatu ikatan (yakni ikatan yang benar), sehingga mereka mampu
bergerak, bersinergi bagaikan satu tubuh. Tanpa adanya ikatan tersebut, takkan terwujud
suatu kelompok yang solid, dan mampu menjalankan fungsinya sebagai kelompok
dakwah.[36]
Ikatan apa yang dimaksud? Bukan ikatan kepentingan
(râbithah maslahiyyah) atau ikatan emosional yang sifatnya
temporal, fluktuatif dan tak stabil, namun ikatan yang kokoh, dilandasi oleh
prinsip yang mengakar, dan menghujam dalam dada-dada setiap orang beriman,
yakni ikatan akidah Islam.
Bukan sembarang ikatan, melainkan ikatan
yang ditunjukkan dalam QS. Âli Imrân [3]: 103, dimana kelompok da’i yang dituntut dalam frasa
minkum (kalian) pada QS. Âli Imrân [3]: 104, kembali kepada ayat sebelumnya, yakni karakter
mereka yang beriman dan berpegang teguh kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, untuk
mendakwahkan Dinul Islam. Ini menunjukkan ikatan akidah dan tsaqafah Islam
sebagai pengikat solid para kader dakwah, sekaligus
syarat ke-Islaman sebagai syarat pertama
seorang kader kelompok dakwah.
Prof.
Dr. Wahbah al-Zuhaili ketika menjelaskan korelasi antara QS. Âli
Imrân [4]: 104 dan ayat-ayat sebelumnya, menuturkan bahwa ayat
ini menjadi penjelasan atas ayat:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ
اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا {١٠٣}
“Dan berpegangteguhlah kamu semuanya kepada tali (agama)
Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (QS. Âli Imrân
[4]: 103)
Bahwa salah satu bentuk sikap berpegang teguh terhadap
tali agama Allah, dijelaskan kemudian dalam QS. Âli
Imrân [4]: 104. Allah memerintahkan kita berpegang teguh
terhadap al-Qur’an dan konsisten menegakkan Dinul Islam. Kemudian Allah pun
menjelaskan tatacara berpegang teguh terhadap al-Qur’an, yakni dengan
mendakwahkan al-khair (al-Islam-pen.), menyuruh kepada yang ma’ruf dan
melarang dari yang mungkar.[37]
Untuk
mewujudkan karakter da’i semacam ini, tentu memerlukan pengorganisasian yang
mapan, dalam pengkaderan da’i! Tak bisa disederhanakan dengan difatwakan tak
wajib diorganisasikan, lalu akan kemana arah dakwah jika tak diatur dengan
rapi? Kejahatan saja terorganisir, bagaimana mungkin dakwah tak wajib
diorganisir?
Urgensi
pengikat ini pun sangat besar, mengingat aktivitas kelompok dakwah adalah
aktivitas kolektif (’amal jamâ’i) yang serius, dan membutuhkan sinergi
setiap unsur yang terlibat di dalamnya. Sehingga untuk menunaikan fungsinya, para
kader dakwah harus diikat oleh ikatan yang benar dan luhur, yakni akidah dan
tsaqafah Islam, bukan selainnya.
Kedua, Kelompok yang Terbina dengan Islam
Karakter kelompok dakwah ini pun, merupakan kelompok yang
diistimewakan dengan ilmu dan pemahaman, serta amal, sehingga sebagian ulama menyifatinya sebagai jama’ah
yang berilmu, misalnya dalam penjelasan al-Raghib al-Ashfahani yang
mengungkapkan:
وقوله: }ولتكن منكم أمة يدعون إلى الخير{ أي: جماعة يتخيرون العلم والعمل الصالح
يكونون أسوة لغيرهم
“Dan firman-Nya (Dan hendaklah ada di antara kalian ummat yang
menyeru kepada al-khair) -kata ummat dalam ayat ini- yakni sebuah jama’ah
yang memiliki keutamaan ilmu dan amal shalih, dan mereka menjadi teladan bagi
orang lainnya.”[38]
Ibn Faris (w. 395 H) pun menjelaskan maknanya adalah
kelompok ahli ilmu.[39] Pertanyaannya, apakah membentuk kader seperti ini
tak perlu diorganisir?
Adapun alasan pihak yang memfatwakan dakwah tak wajib
diorganisir ini:
“Jika ada satu ulama dakwah di
Surabaya, satunya lagi dakwah di jakarta, satunya lagi dakwah di Malang dan
seterusnya dan mereka semua melakukan amar makruf nahi mungkar seraya tidak
diorganisasi. Bukankah para ulama ini tetap bisa disebut ummah secara bahasa
telah menjalankan karakter tugas amar makruf nahi mungkar?"
Tanggapan ana: alasan ini lemah, menunjukkan bahwa mereka
menyederhanakan pembahasan dengan fokus pada aspek literal kata ummah semata,
ini tidak cukup untuk sampai pada pendalilan fardhu tidaknya mengorganisir
kelompok dakwah, mengingat para ulama, termasuk Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili (w.
1436 H) ketika menafsirkan kata ummat[un] pun menjelaskan:
جماعة تربطهم رابطة معينة تجمعهم
Dimana beliau menafsirkannya, dengan mengaitkan ayat ini dengan
QS. Ali Imran 103 (bi ’ilm al-munâsabah bayna al-âyât), yakni mereka yg
berpegang teguh pada tali DînuLlâh. Alasan di atas pun terang benderang
terjawab dalam pernyataan Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili yang menguraikan:
يأمر الله تعالى الأمة الإسلامية بأن يكون منها جماعة متخصصة بالدعوة إلى الخير والأمر بالمعروف والنّهي عن المنكر، وأولئك الكمّل هم المفلحون في الدّنيا والآخرة. وتخصص هذه الفئة بما ذكر لا يمنع كون الأمر بالمعروف والنّهي عن المنكر واجبا على كلّ فرد من أفراد الأمّة بحسبه
“Allah SWT memerintahkan umat Islam, agar ada di
antara umat ini jama’ah (kelompok) khusus (jamâ’ah mutakhashshishah) yang
menegakkan dakwah kepada al-khair, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan melarang
dari yang mungkar. Mereka adalah golongan yang beruntung di dunia dan akhirat.
Namun pengkhususan adanya kelompok ini berdasarkan apa yang telah dijelaskan,
tidak menghalangi adanya kewajiban menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang
dari yang mungkar atas setiap individu dari individu-individu umat ini sesuai
kemampuannya.”[41]
Beliau lalu menukil dalil hadits, dari Abu Sa’id al-Khudri r.a. ia
berkata: “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:
«مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ
بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ
، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ»
“Barangsiapa di antara kalian yang melihat
kemungkaran maka ubahlah dengan tangan, jika tidak mampu maka ubahlah dengan
lisan, jika tidak mampu maka ubahlah dengan qalbu dan hal itu adalah
selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim, Ahmad, Ibn Majah, Ibn Hibban)
Ketiga, Keistimewaan Aktivitas Kolektif (’Amal Jama’i)
Kelompok Dakwah
Aktivitas jama’ah dakwah dalam ayat ini, jelas
aktivitas kolektif. Salah satu murid Imam al-Sibawaih, Imam al-Akhfasy
al-Awsath (w. 210 H) menuturkan bahwa kata ummat dalam ayat ini lafal
tunggal yang maknanya jamak, oleh karena itu Allah berfirman (يدعون
إلى الخير) “mereka
yang menyeru kepada al-khair”.[42] Dimana subjek dari kata yad’ûna adalah
“mereka” (hum) menunjukkan subjek jamak, berjumlah lebih dari dua. Hal
tersebut mengisyaratkan bahwa aktivitas kelompok dakwah tersebut merupakan ‘amal
jamâ’i (kerja kolektif).
Diungkapkan dalam kata kerja yad’ûna (mereka
yang menyeru), ya’murûna (mereka yang memerintahkan), yanhauna
(mereka yang melarang), seluruhnya diungkapkan dalam bentuk kata kerja al-mudhâri’
(kata kerja sekarang atau yang akan datang), yang berfaidah al-istimrâr (berkesinambungan)[43],
menunjukkan keberlangsungan karakter ini, harus senantiasa ada dari masa ke
masa, dari generasi ke generasi, yang mau tidak mau harus benar-benar serius
tertata dan ter-manage. Tak dibatasi oleh suatu masa, melainkan
senantiasa aktif wajib ditegakkan kapan pun, dimanapun.
Dengan aktivitas seperti
apa? Al-’Allamah Abdul Qadim Zallum menjelaskan bahwa ayat ini
bermakna agar kaum Muslim mendirikan suatu jama’ah di antara mereka, yang
memiliki sifat-sifat sebagai suatu jama’ah dan melaksanakan dua fungsi, yaitu
beraktivitas menyeru kepada Islam, serta menyuruh berbuat baik dan mencegah
perbuatan yang mungkar.[44] Hal
itu dipahami berdasarkan pemahaman bahwa kata (أمة) berbentuk nakirah,
maka kalimat setelahnya yakni
kalimat (يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ) merupakan sifat dari kata (أمة) tersebut[45], sesuai kaidah yang disebutkan para ulama:
الجُمَلُ
بَعْدَ النَّكِرَاتِ صِفَاتٌ
“Kalimat-kalimat setelah
kata-kata benda nakirah itu sifat-sifatnya.”[46]
Ditambah dengan karakter
pada kalimat-kalimat setelahnya (وَيَأْمُرُونَ
بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ) yang menjadi
lanjutan bersambung (ma’thûf) dari kalimat (يَدْعُونَ
إِلَى الْخَيْرِ).[47]
Antara kalimat-kalimat yang menjadi sifat dari ummat[un] dalam ayat ini
pun, disatukan waw al-‘athf yang berfungsi menunjukkan penggabungan dan
penyatuan (li muthlaq al-jam’i), tidak terpisah satu sama lain, ia
menjadi karakter yang menyatu bagi jama’ah dakwah yang dikehendaki oleh Allah ’Azza
wa Jalla untuk meraih predikat golongan yang beruntung. Maka sifat aktivitas
dari jama’ah da’iyyah yang beruntung ini yakni:
a.
Jama’ah atau kelompok dari orang-orang yang
beriman, berpegang teguh kepada al-Qur’an dan al-Sunnah.
b.
Menyeru kepada al-khair (Islam).
c. Menyuruh kepada yang ma’ruf.
d. Melarang dari yang mungkar.
Apakah bisa ditunaikan tanpa diorganisir secara
mapan?!
Keempat, Dipimpin
Oleh Pemimpin Dakwah
Dengan
pendekatan mafhum, jelas dipahami bahwa setiap jama’ah harus mempunyai
seorang pemimpin (amir) yang wajib dita’ati, sehingga dikatakan solid karena
terikat pada ikatan Islam, terbina dengan Islam dan terpimpin serta terarah,
hal itu diperjelas dengan menilik keteladanan Rasulullah SAW yang berkedudukan
sebagai pemimpin gerakan dakwah, yang memimpin dan membina para sahabatnya
–radhiyaLlahu ’anhum- di masa itu. Mereka yang mengatakan dakwah tak wajib
diorganisir, seakan-akan menafikan gambaran sirah yang sangat gamblang menyoal
keteladanan Rasulullah SAW, ketika beliau memimpin gerakan dakwahnya, adanya
kepemimpinan yang dita’ati ini sudah cukup wajibnya mengorganisir dakwah secara
mapan, dimana beliau SAW menjadi rujukan bertanya yang mengarahkan sikap para
sahabatnya menyikapi berbagai tantangan dakwah di masa itu, khususnya pada
periode dakwah di Mekkah.
Di sisi
lain, hal itu sesuai dengan mafhum dari perintah syara’ yang mewajibkan
setiap jama’ah, yang terdiri dari tiga orang atau lebih untuk memiliki seorang
amir. Rasulullah
SAW bersabda:
«وَلاَ يَحِلُّ لِثَلاَثَةِ
نَفَرٍ يَكُونُونَ بِأَرْضِ فَلاَةٍ إِلاَّ أَمَّرُوا عَلَيْهِمْ أَحَدَهُمْ»
“Tidak
halal bagi tiga orang yang berjalan di muka Bumi, kecuali mengangkat salah seorang
dari mereka sebagai pemimpinnya.” (HR. Ahmad, al-Thabrani)[48]
Hadits
ini, banyak dinukil para ulama sebagai salah satu dalil wajibnya adanya al-Imâm
atau al-Khalîfah, qadhi, dsb, semisal kitab Nail al-Authar yang
menukilnya dalam satu bab khusus (بَابُ وُجُوبِ نَصْبِ
وِلَايَةِ الْقَضَاءِ وَالْإِمَارَةِ وَغَيْرِهِمَا)[49],
hal itu karena keumuman khabar dan lafal dalam hadits ini.[50]
Sehingga
tidak mengherankan jika hadits ini pun dinukil oleh al-’Allamah Abdul Qadim Zallum,
untuk menegaskan kewajiban adanya pemimpin dalam dakwah.[51] Kalimat
lâ yahillu, menunjukkan larangan keras (qarînah jâzimah),
menunjukkan keharaman atas ketiadaan amîr (pemimpin).
Jika
dalam persoalan safar saja wajib ditunjuk salah seorang pemimpin (amîr
al-safar), maka perkara dakwah yang lebih kompleks persoalannya, lebih
utama (awlâ) membutuhkan adanya kepemimpinan, poin ini jelas sangat
relevan dalam kajian hukum Islam.
Hal itu
karena dakwah merupakan perkara serius, harus ditegakkan benar-benar sistematis
terencana, dimana hal itu tak mungkin bisa diwujudkan kecuali dengan adanya
pemimpin dakwah, yang memimpin aktivitas kelompok dakwah, yang mengarahkan
setiap aktivitas mereka senantiasa di atas rel Islam. Jika kefardhuan dakwah
yang menjadi aktivitas kelompok dakwah, tak bisa ditegakkan sempurna kecuali
dengan adanya pemimpin (amîr al-da’wah), maka pemimpin tersebut menjadi
wajib adanya, sebagaimana disebutkan dalam kaidah syar’iyyah:
مَا لاَ
يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Al-Qadhi Abu Ya’la al-Farra (w. 458 H) ketika menjelaskan
kaidah ini menuturkan, bahwa jika Allah sudah memerintahkan hamba-Nya untuk
menunaikan suatu perbuatan dan Allah mewajibkannya, di sisi lain apa yang
diperintahkan tersebut takkan tercapai sempurna kecuali dengan hal lainnya;
maka hal tersebut menjadi wajib adanya.[53] Hal ini sebagaimana diungkapkan Imam al-Qarafi (w. 684 H) yang berkata:
وُجُوْبُ الوَسَائِل تبِع لِوُجُوْبِ
المَقَاصِد
Sebagaimana hal ini pun ditunjukkan secara terang
benderang dalam sirah, manakala Rasulullah SAW dan para sahabatnya
berdakwah secara berjama’ah dan terorganisir. Di sisi lain, proyek
membangkitkan umat merupakan proyek besar yang membutuhkan kecakapan, kesabaran
dan pengorbanan, dan hal itu tidak bisa tidak kecuali dilakukan secara berjama’ah
(kolektif) dan bahu membahu terorganisir, dimana dalam banyak ayat al-Qur’an
pun menyifati orang-orang beriman sebagai kaum yang saling memberi taushiyyah (kata
tawashau dengan wazan tafa’ala, artinya interaksi dua sisi,
saling menasihati) dalam kebenaran dan kesabaran (QS.
Al-‘Ashr [103]: 1-3), dan juga saling
menolong, salah satunya dalam perkara yang Allah fardhukan yakni berdakwah:
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ
بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ
عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ
اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ أُولَٰئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ {٧١}
“Dan orang-orang yang
beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi
sebagian yang lain, mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari
yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan
Rasul-Nya, mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah, sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Taubah [9]: 71)
Maka terang benderang, penjelasan para ulama yang saling menguatkan di
atas, menjadi satu kesatuan yang menunjukkan wajibnya menata gerakan dakwah,
terorganisir secara mapan dan di-manage tidak asal-asalan.
Setelah uraian ini, al-faqir berlepas diri dari segala
bentuk perkataan yang tidak adil, dan tidak pada tempatnya. Sesungguhnya
pelajaran dan peringatan, bermanfaat bagi mereka yang berpikir dan beriman, sebagaimana
digambarkan Allah SWT yang berfirman:
الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ
أَحْسَنَهُ ۚ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ
اللَّهُ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمْ أُولُو
الْأَلْبَابِ {١٨}
“Yang
mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya, mereka
itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk, dan mereka itulah
orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Zumar [39]: 18)
Allah al-Musta’ân, kepada Allah kita memohon pertolongan
dan kembali setiap urusan, semoga Allah SWT membalas setiap amal kebaikan, dan
mengampuni setiap kesalahan, menggolongkan kita termasuk mereka yang
dianugerahi predikat beruntung (al-muflihûn), dan diberikan
pertolongan dan keteguhan dalam Islam (al-thâ’ifah al-manshûrah), dengan
konsisten di atas Islam dan mendakwahkannya, Maha Suci Allah yang memberikan
ilmu dan pelajaran. []
نَسْأَلُ اللهَ
تَعَالى أَنْ يَجْعَلَ آخِرَ كَلَامِنَا مِنَ الدُّنْيَا عِنْدَ انْتِهَاءِ
أجَلِنَا:
«أشهد أن لا إله
إلا الله وأشهد أن مُحَمدًا رسُول الله»
والحمد لله رب العالمين
[1] Abdul Halim Muhammad Qunabis, Mu’jam al-Alfâzh al-Musytarakah fî
al-Lughah al-‘Arabiyyah, Beirut: Maktabah Lubnan, 1987, hlm. 18.
[2] Dalam kitab Mu’jam Lughat al-Fuqâhâ’ dijelaskan bahwa Al-Musytarak
itu adalah isim maf’ûl berasal dari kata isytaraka fî al-amr
(berserikat dalam suatu hal): yakni menjadi bagian darinya.
[3] Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji, Mu’jam Lughat al-Fuqâhâ’.
[4] Dr. Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi, Tafsîr al-Sya’rawi, jilid III,
hlm. 1663. Beliau pun merinci lebih jauh makna-makna kata ummah.
[5] Syihabuddin Ahmad bin Muhammad bin Imad (Ibn Haim), Al-Tibyân fî Tafsîr
Gharîb al-Qur’ân, Beirut: Dâr al-Gharb al-Islâmi, cet. I, 2003, hlm. 93, 96
dan 188.
[6] Syihabuddin al-Alusi, Rûh
al-Ma’âni fî Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, juz II, hlm. 237
[7] Hal senada dirinci oleh
para ulama dalam kamus-kamus arab maupun tafsir mereka.
[9] Abu Ja’far Muhammad bin
Jarir al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, juz VII, hlm. 90.
[10] Abu Bakr Muhammad bin Ibrahim bin Mundzir al-Naisaburi, Kitâb Tafsîr
al-Qur’ân, Al-Madinah al-Munawwarah: Dâr al-Mâtsir, cet. I, 1423 H/2002,
juz. I, hlm. 324.
[11] Abu Bakar Muhammad
bin al-Qasim al-Anbari, Al-Zâhir fî Ma’ânî Kalimât al-Nâs, Ed: Dr. Hatim
Shalih al-Dhamin, Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, cet. I, 1412 H/1992, juz I,
hlm. 149.
[12] Abu al-Mundzir Salmah
bin Muslim al-‘Autabi, Al-Ibânah fî al-Lughah al-‘Arabiyyah, Ed: Dr.
Abdul Karim Khalifah dkk, ‘Amman: Wizârat al-Turâts al-Qaumi wa al-Tsaqâfah,
cet. I, 1420 H/1999, juz II, hlm. 138.
[13] Syamsuddin Muhammad bin
Ahmad al-Khathib, Al-Sirâj al-Munîr fî al-I’ânah ’alâ Ma’rifat Ba’dh Ma’âni
Kalâmi Rabbinâ al-Hakîm al-Khabîr, Kairo: Mathba’at Bulaq, 1285 H,
juz I, hlm. 237.
[14] Syihabuddin al-Alusi, Rûh
al-Ma’âni fî Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhî, juz II, hlm. 237.
[15] Muhammad al-Thahir bin ‘Asyur, Tafsîr al-Tanwîr wa al-Tahrîr,
juz. IV, hlm. 37.
[16] Bentuk al-îjâz merupakan
pengungkapan makna-makna dengan lafal yang ringkas dan cukup menyampaikan
pada maksud yang dituju (Dr. Abdullah al-Hamid dkk, Al-Balâghah wa al-Naqd, hlm. 92), baik berupa
pengungkapan makna-makna dengan lafal yang ringkas tanpa ada bagian yang
dihilangkan namun cukup menyampaikan pada maksud
(îjâz qishar), atau dengan menghilangkan pengungkapan sesuatu
baik satu kata, kalimat atau lebih (îjâz hadzf) disertai adanya petunjuk yang
memperjelas bentuk ungkapan yang dihilangkan tersebut (Dr. Abdul Aziz bin Ali
al-Harbi, Al-Balâghah al-Muyassarah, hlm. 50; Dr. Abdullah
al-Hamid dkk, Al-Balâghah wa al-Naqd, hlm. 92)
[17] Dr. Abdul Aziz bin Ali
al-Harbi, Al-Balâghah al-Muyassarah, hlm. 51.
[18] Dr. Muhammad bin Sa’ad
al-Dabl, Dalîl al-Balâghah al-Qur’âniyyah, juz I, hlm. 506.
[19] Abu al-Su’ud al-‘Imadi,
Irsyâd al-‘Aql al-Salîm, juz II, hlm. 67.
[20] Abu ‘Abdullah al-Razi, Mafâtîh
al-Ghaib (al-Tafsîr al-Kabîr), juz VIII, hlm. 314.
[21] Muhammad al-Thahir bin ‘Asyur, Tafsîr al-Tanwîr wa al-Tahrîr, juz.
IV, hlm. 38.
[22] Abu Bakr Ahmad bin Ali al-Razi al-Jashshash, Ahkâm al-Qur’ân, Ed:
Muhammad Shadiq Qamhawi, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabi, 1412 H,
juz. II, hlm. 315.
[23] Abu ‘Abdullah al-Razi, Mafâtîh
al-Ghaib (Al-Tafsîr al-Kabîr), juz VIII, hlm. 314-315
[25] Situs Amir HT:
http://www.hizb-ut-tahrir.info/arabic/index.php/HTAmeer/QAsingle/2861/
[26] Dr. Abdurrahman
al-Baghdadi, Al-Hizb aw al-Jamâ’ah al-Islâmiyyah, t.t.
[27] Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, Al-Tafsîr al-Munîr, juz. IV, hlm.
32.
[28] Abdurrahman bin Abu
Bakr Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Durr al-Mantsûr, Beirut: Dâr al-Fikr,
t.t., juz II, hlm. 289.
[29] Dr. Shalah Abdul Fattah al-Khalidi, Tashwîbât fî Fahm Ba’dhi al-Âyât, Damaskus:
Dâr al-Qalam, cet. I, 1407 H/1987, hlm. 195.
[30] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl
al-Qur’ân, juz VII, hlm. 90-91.
[31] Abu Abdullah Muhammad al-Qurthubi, Al-Jâmi li Ahkâm al-Qur’ân,
juz. IV, hlm. 165.
[32] Abu Bakr Ahmad bin Ali al-Razi al-Jashshash, Ahkâm al-Qur’ân, juz.
II, hlm. 315
[33] Muhammad al-Thahir bin ‘Asyur, Tafsîr al-Tanwîr wa al-Tahrîr.
juz IV, hlm. 38.
[34] Al-Râghib al-Ashfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, juz. I,
hlm. 86.
[35] Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, Al-Tafsîr al-Munîr, juz. IV, hlm. 35.
[36] Abdul Qadim Zallum, Afkâr
Siyâsiyyah, hlm. 56.
[37] Prof. Dr. Wahbah
al-Zuhaili, Al-Tafsîr al-Munîr, juz. IV, hlm. 32.
[38] Ibid.
[39] Ahmad bin Faris
al-Qazwaini al-Razi, Mu’jam Maqâyîs al-Lughah, Ed: ‘Abdussalam Muhammad
Harun, Beirut: Dâr al-Fikr, 1399 H/1979, juz I, hlm. 28.
[40] Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, Al-Tafsîr
al-Munîr, juz. IV, hlm. 35.
[41] Prof. Dr. Wahbah
al-Zuhaili, Al-Tafsîr al-Munîr, juz. IV, hlm. 33.
[42] Abu al-Hasan Sa’id bin Mas’adah al-Akhfasy al-Awsath, Ma’ânî al-Qur’ân,
juz. I, hlm. 228.
[43] Ahmad Syauqi Abdus
Salam Dhaif, Al-Madâris al-Nahwiyyah, Dâr al-Ma’ârif, hlm. 197.
[44] Abdul Qadim Zallum, Afkâr
Siyâsiyyah, hlm. 56.
[45] Syihabuddin al-Alusi, Rûh
al-Ma’âni fî Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, juz II, hlm. 237; Abu Ja’far
al-Nahhas Ahmad bin Muhammad al-Nahwi, I’râb al-Qur’ân, juz I, hlm. 174.
[46] Sebagaimana disebutkan
doktor balaghah dari Al-Azhar Kairo, Dr. Hesham el-Shanshouri al-Mishri dalam
diskusi empat mata selepas shalat isya’ pada bulan September 2015. Lihat pula:
Abu Muhammad Jamaluddin bin Hisyam, Mughnî al-Labîb ‘an Kutub al-A’ârîb, Damaskus:
Dâr al-Fikr, cet. VI, 1985, hlm. 560.
[47] Syihabuddin al-Alusi, Rûh
al-Ma’âni fî Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, juz II, hlm. 237; Abu Ja’far al-Nahhas Ahmad bin
Muhammad al-Nahwi, I’râb al-Qur’ân, juz I, hlm. 174.
[48] HR. Ahmad dalam Musnad-nya
(no. 6647), Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari: “Shahih li ghairihi
kecuali hadits al-imârat maka derajatnya hasan.”; HR. Al-Thabrani dalam al-Mu’jam
al-Kabîr (no. 14723).
[49] Muhammad bin Ali
al-Syaukani, Nail al-Authâr, Mesir: Dâr al-Hadîts, cet. I, 1413 H/1993,
juz VIII, hlm. 294.
[50] Hal ini sebagaimana mafhum yang dibangun oleh Imam
Ibn al-Arabi ketika memahami keumuman dalil larangan berbisik-bisik di antara
dua orang tanpa orang ketiga di sisi mereka (ولا يحل لثلاثة نفر، يكونون بأرض فلان
أن يتناجى اثنان، دون صاحبهما), dimana Ibn al-Arabi menjelaskan bahwa hadits ini, khabarnya
umum, makna dan lafalnya, dan alasannya karena bisa menimbulkan kesedihan (pada
orang yang tidak diajak bicara-pen.), dimana hal tersebut bisa terjadi baik
dalam safar maupun ketika diam di suatu tempat, maka larangan tersebut harus
mencakup kedua kondisi tersebut. (Prof. Dr. Musa Syahin Lasyin, Fath
al-Mun’im Syarh Shahîh Muslim, Dâr al-Syurûq, cet. I,
1423 H/2002, juz VIII, hlm. 531)
[51] Abdul Qadim Zallum, Afkâr
Siyâsiyyah, hlm. 56.
[52] Al-Qadhi Abu Ya’la
al-Farra, Al-‘Iddat fî Ushûl al-Fiqh, Ed: Dr. Ahmad
bin ‘Ali, Cet. II, Tahun 1410 H, juz. II, hlm. 419; Sulaiman bin ‘Abdul Qawi
Najmud Din, Syarh Mukhtashar al-Raudhah, Beirut: Mu’assasat al-Risalah,
cet. I, 1407 H, juz I, hlm. 314; Tajuddin ‘Abdul Wahhab bin Taqiyyuddin
al-Subki, Al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1411 H, juz. II, hlm. 88.
[53] Ibid.
[54] Abu al-‘Abbas
Syihabuddin Ahmad al-Qarafi, Al-Furûq: Anwâr al-Burûq fî Anwâ’i al-Furûq,
Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1418 H/1998, juz I, hlm. 302.
Comments
Post a Comment