
Soal
Apa makna sulthan? Apakah ia mengandung makna syar’i? Dan
apa makna Khalifah dalam QS. Al-Naml [27]: 62? (Peserta
program bahasa arab online Ma’had Du’at al-Furqan)
Jawaban
الحمدلله رب العالمين
والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه أجمعين وبعد
A. Definisi Khalifah Secara Bahasa (Etimologi)
Al-Khalîfah (الخليفة)
secara bahasa berasal dari kata khalafa, yang secara harfiah
bermakna ”pengganti”, adapaun perincian mengenai pemaknaan bentuk-bentuk
turunan dari kata kerja khalafa, sudah dijelaskan oleh ulama
pakar bahasa, Imam al-Azhari (w. 370 H) dalam Tahdzîb al-Lughah.[1]
Istilah ini disebutkan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, secara gamblang misalnya
dalam QS. Al-Baqarah [2]: 30:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ
إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً {٣٠}
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (QS. Al-Baqarah [2]: 30)
Jamak
dari kata khalîfah adalah khulafâ’, atau khalâ’if, hal itu dirinci oleh Imam al-Azhari.[2] Imam
al-Farra berkata ketika menafsirkan firman-Nya QS. Al-An’âm [6]: 165:
وَهُوَ الَّذِي
جعلكُمْ خلائف الأَرْض
{١٦٥}
“Dan Dia lah yang menjadikan kamu
penguasa-penguasa di bumi.” (QS. Al-An’âm [6]: 165)
Yakni:
”umat Muhammad –shallaLlâhu
’alayhi wa sallam- dijadikan khalâ’if (pengganti)
setiap umat-umat.”[3]
Tak hanya khalâ’if, jamak dari kata khalîfah pun yakni khulafâ’.
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Dalam
al-Qur’an, Allah SWT berfirman:
وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ
الْأَرْضِ {٦٢}
”Dan siapa yang menjadikan kamu (manusia) sebagai
khalifah-khalifah di bumi?” (QS. Al-Naml [27]: 62)
Kata khalâ’if dalam ayat ini, berkonotasi sebagai
pemimpin yang menggantikan pemimpin sebelumnya dalam konotasi umum. Ia jamak
dari kata khalîfah, yang berkonotasi pemimpin pengganti. Al-Hafizh Ibn
Jarir al-Thabari (w. 310 H) menjelaskan:
ويستخلف بعد
أمرائكم في الأرض منكم خلفاء أحياء يخلفونهم
Dan Dia menjadikan di antara kalian sebagai
pemimpin-pemimpin yang hidup setelah masa kepemimpinan pemimpin kalian (sebelumnya)
di muka bumi, yang menggantikan mereka.[4]
Penjelasan senada diuraikan oleh Imam
al-Sam’ani (w. 489 H):
أَي: يَجْعَل بَعْضكُم خلفاء بعض، وَقيل: يَجْعَل أَوْلَادكُم
خلفاءكم، وَقَالَ بَعضهم مَعْنَاهُ: يجعلكم خلفاء الْجِنّ فِي الأَرْض.
Yakni: Dia
menjadikan sebagian kalian sebagai pemimpin-pemimpin pengganti untuk sebagian
lainnya, dikatakan: Dia menjadikan generasi-generasi penerus kalian sebagai
pengganti kalian, dan sebagian ulama lainnya mengatakan maknanya: Dia
menjadikan kalian sebagai pemimpin pengganti Bangsa Jin di muka bumi.[5]
Meskipun
begitu, pembahasan ini pun cukup menguatkan topik pembahasan khilafah dalam
konotasi syar’i, mengingat kata khalîfah dengan jamaknya khalâif dan
khulafâ’ yang digunakan al-Qur’an, tak bisa dilepaskan dari makna
kepemimpinan di muka bumi. Topik ini relevan dengan topik kepemimpinan dalam persepektif
politik Islam, sehingga al-Hafizh al-Qurthubi menguraikan wajibnya mengangkat
khalifah (nashb al-khalifah) ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah [2]: 30 dalam kitab tafsirnya (I/264):
![]() |
Data: Ulasan Al-Hafizh al-Qurthubi dalam tafsirnya |
Pemimpin
tersebut diistilahkan khalîfah, sebagaimana disebut-sebut dalam
dalil-dalil al-Sunnah, dirinci penjelasan para fuqaha’, mufassir, muhaddits,
para pemikir dan lain sebagainya.
B. Definisi Khalifah Secara Syar’i
Para ulama
mencirikan khalifah dalam pengertian syar’i sebagai pemegang tampuk
kepemimpinan agung, al-imâmah al-kubrâ’.
Prof. Dr.
Muhammad Rawwas Qal’ah Ji (w. 1435 H) dalam Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’, dan
sistem pemerintahan yang dipimpin oleh al-Khalifah adalah al-Khilâfah yang
disebut para ulama sebagai al-Imâmah al-Kubrâ’ (kepemimpinan agung)[6]:
الخليفة؛ من
ولي الإمامة العامة للمسلمين: الرئيس الاعلى للدولة الاسلامية
Al-Khalifah; seseorang yang memegang tampuk kepemimpinan
umum bagi kaum muslimin: pemimpin tertinggi bagi Negara Islam (al-Dawlah
al-Islâmiyyah).[7]
Dalam kitab Ajhizat Daulat al-Khilâfah disebutkan:
الخليفة هو الذي
ينوب عن الأمة في الحكم والسلطان، وفي تنفيذ أحكام الشرع
Khalifah adalah orang yang mewakili umat dalam hukum dan
pemerintahan, dan dalam menerapkan hukum-hukum syara’.[8]
Pengertian syar’i ini cukup mapan, memenuhi aspek mâni’
dan jâmi’, didasarkan pada hadits-hadits Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi
wa sallam-, salah satunya hadits dari Abu Sa’id al-Khudri r.a. ia berkata:
”Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- bersabda:
«إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ،
فَاقْتُلُوا الْآخَرَ مِنْهُمَا»
”Jika dibai’at dua orang khalifah, maka bunuhlah yang
terakhir di antara keduanya.” (HR. Muslim dalam Shahiih-nya, Abu ’Awanah
al-Isfaraini dalam Musnad-nya, al-Baihaqi Al-Sunan al-Kubrâ’, dan lainnya)
Hadits ini secara sharîh menggunakan lafal ”khalifah”,
maka jelas bahwa hadits ini menjadi salah satu dasar yang mendasari adanya
istilah khalifah dengan konotasi syar’i, khusus dan bukan umum seperti yang
diklaim kaum terpedaya. Konotasi tersebut bisa kita ketahui dari indikasi:
”jika dibai’at... maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.”
Adanya bai’at menunjukkan bahwa ia bukan sembarang
pemimpin, melainkan pemimpin umat yang dibai’at untuk menegakkan hukum
al-Qur’an dan al-Sunnah. Di sisi lain, konsekuensi hukuman mati bagi pemecah
belah kesatuan kaum Muslim dalam hadits ini bukan perkara sepele, menunjukkan
khalifah bukan sembarang pemimpin, melainkan pemimpin yang telah ditetapkan
syarat, karakteristik dan tupoksinya oleh Islam. Karakteristik istimewa ini yang membedakannya dengan
istilah-istilah penguasa dalam sistem pemerintahan lain selain Islam, seperti raja
dalam sistem monarki konstitusional, presiden dalam sistem republik, dan lain
sebagainya.
Dalam hadits-hadits lainnya:
أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ
الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Ketahuilah Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap
kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang di pimpin, penguasa yang
memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang
dipimpinnya..” (HR. al-Bukhârî, Muslim
& Lainnya)
Dari Abu
Hurairah –radhiyallâhu ’anhu-. bahwa Nabi Muhammad –shallallâhu
’alayhi wa sallam- bersabda:
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ
يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
”Sesungguhnya
al-imam (khalifah) itu perisai, dimana (orang-orang) akan berperang
mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Muttafaqun
’Alayh dll)
Dan
hadits-hadits lainnya, yang lalu dikumpulkan para ulama, termasuk para ulama
hadits dalam topik al-imâmah, yang saling menguatkan pembahasan ini.
C. Khalîfat[un] Bentuk Mubâlaghah (Penguatan/Superlatif)
dari Khalîf[un]
Istilah
khalifah, menurut Ibnu Sikkit, berlaku bagi kaum pria semata khususnya, meski
terdapat tambahan huruf al-hâ’ (tâ’ marbûthah).[9] Karena
tambahan ini sebenarnya merupakan bentuk mubâlaghah (superlatif/penguatan
makna).
Kata khalîfah merupakan
bentuk mubâlaghah (penguatan) atas pujian terhadapnya, hal itu
sebagaimana penjelasan Imam Abu Bakr al-Anbari (w. 328 H) yang menjelaskan:
سمي الخليفة خليفة في الأصل، لخلافته رسول
الله، والأصل فيه: خَلِيفٌ، بغير هاء، فدخلت " الهاء " للمبالغة في مدحه
بهذا الوصف، كما قالوا: رجل علاّمة نسّابة راوية، لما أرادوا أن يبالغوا في المدح،
ولو لم يريدوا المبالغة لقالوا: رجل راوٍ، وعلاّمٌ، ونسّابٌ
”Dinamakan
al-khalifah, yakni khalifah pada asal katanya, karena kedudukannya sebagai
pengganti Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa
sallam-, asal katanya adalah: khalîf, tanpa ada tambahan
huruf hâ’ (tâ’ marbûthah), maka ditambahkan al-hâ’
(tâ’ marbûthah) sebagai bentuk penguatan atas pujian terhadapnya
dengan penyifatan tersebut, sebagaimana orang-orang berkata: laki-laki ’allâmah (sangat
berilmu), nassâbah, râwiyyah, dimana hal itu karena mereka
hendak menguatkan pujiannya, karena jika tak hendak menguatkan pujian maka
mereka mengatakan: laki-laki râwin, ’allâm, nassâb.[10]
Maka
jelas bahwa khalîfah merupakan bentuk mubâlaghah (superlatif/penguatan)
atas pujian terhadapnya.
D. Istilah Lain dari Khalifah (Sulthan, Amir al-Mu'minin, al-Imam al-A'zham)
Dalam
khazanah turats, kita temukan pula penyebutan lain dari istilah khalifah yang
disebutkan para ulama: al-imam, amîr al-mu’minîn, al-sulthân, al-imâm
al-a’zhâm. Semua istilah tersebut merupakan bentuk sinonim dari
istilah khalifah (mutarâdif), dimana istilah-istilah tersebut disebutkan
dalam banyak hadits, atsar dan maqalah ulama:
Pertama,
Istilah al-Imâm, disebutkan dalam
hadits-hadits:
أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ
الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Ketahuilah Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap
kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang di pimpin, penguasa yang
memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang
dipimpinnya..” (HR. al-Bukhârî, Muslim
& Lainnya)
Dari Abu
Hurairah –radhiyallâhu ’anhu-. bahwa Nabi Muhammad –shallallâhu
’alayhi wa sallam- bersabda:
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ
يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
”Sesungguhnya
al-imam (khalifah) itu perisai, dimana (orang-orang) akan berperang
mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Muttafaqun
’Alayh dll)
Kata ini mengandung konotasi al-Khalifah atau al-Imâm
al-A’zham yang mengurusi urusan manusia. Al-Mulla al-Qari (w. 1041 H)
secara gamblang menyatakan:
(فَإِنَّمَا
الْإِمَامُ) أَيِ الْخَلِيفَةُ أَوْ أَمِيرُهُ
Imam al-Munawi
al-Qahiri (w. 1031 H) pun menegaskan bahwa al-Imam dalam hadits ini yakni al-Imâm
al-A’zham[12],
istilah yang sama diungkapkan oleh ulama mujtahid penulis kitab Subul
al-Salâm, Imam al-Shan’ani (w. 1182 H).[13]
Salah seorang ulama pakar bahasa, Imam Ibnu Faris (w. 395
H) pun menjelaskan bahwa Al-Imam: siapa saja yang diikuti perintahnya dan
dikedepankan dalam memutuskan berbagai perkara, dan Nabi –shallallâhu ’alayhi wa sallam- adalah pemimpin para pemimpin, dan Khalifah adalah
pemimpin rakyatnya, dan al-Qur’an adalah pemimpin kaum muslimin.[14]
Imam Ibnu Bathal (w. 449 H) pun mengisyaratkan bahwa yang
dimaksud dari al-Imam dalam hadits ini adalah al-Khalifah, ia menjelaskan di
antara penakwilan (يقاتل من ورائه) yakni dengan
al-Imam yang adil khususnya, dan siapa saja yang memberontak al-Imam maka
seluruh kaum muslimin wajib memeranginya bersama al-Imâm al-’Adl
tersebut.[15]
Penjelasan serupa diungkapkan oleh al-Qadhi ’Iyadh (w. 544 H) dalam kitab
syarh-nya atas Shahîh Muslim.[16]
Imam Ibnu Bathal (w. 449 H) mengatakan:
وكذلك الإمام الذى هو خليفة الرسول ينبغى أن يكون من
أشرف قومه
Begitu pula al-Imâm yang merupakan Khalîfatur
Rasûl –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- haruslah seseorang yang paling mulia dari kaumnya.[17]
Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) pun tak ragu untuk
berkata:
والفتنة:
إذا لم يكن إمام يقوم بأمر الناس
Fitnah terjadi
jika tidak ada Imam (Khalifah) yang berdiri untuk mengatur manusia (dengan
hukum-hukum Islam-pen.).[18]
Kedua, Istilah Amîr al-Mu’minîn
Menurut
Al-Anbari, khalifah pun dijuluki Amîr al-Mu’minîn, karena
khalifah berhak memerintah mereka, hingga mereka mendengar perintahnya dan
sejalan dengan perkataannya. Dan yang pertama kali dijuluki Amîr
al-Mu’minîn adalah ‘Umar bin al-Khaththab r.a, Al-Khawarizmi (w. 387
H) pun menegaskan hal tersebut.[19] Hal
itu sebagaimana ditegaskan dalam banyak riwayat.
Ketiga, Istilah al-Sulthân
Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa
sallam- bersabda:
«أَفْضَلَ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ»
“Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang haq pada
pemimpin yang zhalim.” (HR. Ahmad, Ibn Majah, Abu Dawud, al-Nasa’i, al-Hakim dan lainnya)
Dalam atsar al-Hasan
al-Bashri (w. 110 H):
ولولا
السلطان لأكل الناس بعضهم بعضاً
“Jika
seandainya tiada al-sulthân (al-khalifah) maka sungguh
manusia akan menzhalimi satu sama lain.”[20]
Keempat, Istilah al-Imâm
al-A’zham
Dan terkadang untuk menyebut istilah khalifah, para ulama
menggunakan istilah al-Imâm al-A’zham yang juga berkonotasi Imâm
al-Muslimîn, dan Imâm al-Muslimîn adalah al-Khalifah, sebagaimana disebutkan
Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji (w. 1435 H) dalam Mu’jam Lughat
al-Fuqahâ’, dan sistem pemerintahan yang dipimpin oleh al-Khalifah adalah al-Khilâfah
yang disebut para ulama sebagai al-Imâmah al-Kubrâ’ (kepemimpinan
agung)[21]:
الخليفة؛ من
ولي الإمامة العامة للمسلمين: الرئيس الاعلى للدولة الاسلامية
Al-Khalifah; seseorang yang memegang tampuk kepemimpinan
umum bagi kaum muslimin: pemimpin tertinggi bagi Negara Islam (al-Daulah
al-Islâmiyyah).[22]
Penjelasan
di atas, sebagian kecil dari apa yang sudah diuraikan para ulama mu’tabar dalam
turats mereka yang berharga. []
وفقنا الله وإياكم فيما يرضاه ربنا ويحبه
[1] Abu Manshur Muhammad bin Ahmad bin al-Azhari, Tahdzîb
al-Lughah, Ed: Muhammad ‘Audh, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabi, cet.
I, 2001, juz VII, hlm. 168-174.
[3] Ibid.
[4] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jâmi’
al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, Ed: Ahmad Muhammad Syakir, Mu’assasat al-Risâlah,
cet. I, 1420 H/2000, juz ke-19, hlm. 485.
[5] Manshur
bin Muhammad Abu al-Muzhaffar al-Sam’ani
al-Syafi’i, Tafsîr al-Qur’ân, Riyadh: Dar al-Wathan, Cet. I, 1418 H, juz
III, hlm. 370.
[6] Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah
Ji dkk, Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’, Beirut: Dâr al-Nafâ’is, cet. II, 1408
H/1988, hlm. 88.
[7] Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah
Ji dkk, Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’, hlm. 200.
[8] Atha bin Khalil Abu
al-Rasytah, Ajhizat Dawlat al-Khilâfah fî al-Hukm wa al-Idârah, Beirut:
Dâr al-Ummah, Cet. I, 1426 H/2005, hlm. 20.
[9] Abu Manshur Muhammad bin Ahmad
bin al-Azhari, Tahdzîb al-Lughah, juz VII, hlm. 168-174.
[10] Abu Bakar al-Anbari, Al-Zâhir fî
Ma’ânî Kalimât al-Nâs, Ed: Dr. Hatim Shalih al-Dhamin, Beirut: Mu’assasat
al-Risâlah, cet. I, 1412 H/1992, juz II, hlm. 229.
[11] ‘Ali bin Sulthan Muhammad Abu
al-Hasan al-Mala al-Qari, Mirqât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, juz
VI, hlm. 2391.
[12] Abdurra’uf bin Tajul Arifin bin
Ali al-Manawi, Faydh al-Qadîr Syarh al-Jâmi’ al-Shaghîr, Mesir:
Al-Maktabah al-Tijâriyyah al-Kubrâ’, cet. I, 1356 H, juz II, hlm. 559.
[13] Muhammad bin Isma’il al-Kahlani
al-Shan’ani, Al-Tanwîr Syarh al-Jâmi’ al-Shaghîr, Ed: Dr. Muhammad
Ishaq, Riyadh: Maktabat Dâr al-Salâm, cet. I, 1432 H/2011, juz IV, hlm. 166.
[14] Ahmad bin Faris al-Qazwaini
al-Razi, Mu’jam Maqâyîs al-Lughah, Ed: ‘Abdussalam Muhammad Harun,
Beirut: Dâr al-Fikr, 1399 H/1979, juz I, hlm. 28.
[15] Abu al-Husain ‘Ali bin Khalaf
(Ibnu Bathal), Syarh Shahîh al-Bukhâri, Ed: Abu Tamim Yasir, Riyadh:
Maktabat al-Rusyd, cet. II, 1423 H/2003, juz V, hlm. 127.
[16] ‘Iyadh bin Musa bin ‘Iyadh
al-Sabati, Ikmâl al-Mu’lim bi Fawâ’id Muslim: Syarh Shahîh Muslim, Ed:
Dr. Yahya Isma’il, Mesir: Dâr al-Wafâ’, cet. I, 1419 H/1998, juz VI, hlm. 249.
[17] Ibnu Bathal Abu al-Hasan ‘Ali bin
Khalaf bin ‘Abdul Malik, Syarh Shahîh al-Bukhârî, Ed: Abu Tamim Yasir
bin Ibrahim, Riyadh: Maktabah al-Rusyd, cet. II, 1423 H/2003.
[18] Abu Bakr Ahmad bin Muhammad al-Khallal, Al-Sunnah, Ed: Dr.
‘Athiyyah al-Zahrani, Riyadh: Dâr al-Râyah, Cet. I, 1410 H, juz
III, hlm. 81. Dalam catatan kaki kitab ini disebutkan bahwa atsar ini sanadnya
shahih dan madzhab ahlus sunnah memandang wajibnya mengangkat Imam (khalifah)
yang memelihara kemaslahatan masyarakat.
[19] Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad
al-Khawarizmi, Mafâtîh al-‘Ulûm, Ed: Ibrahim al-Abyari, Dâr al-Kutub al-‘Arabi,
cet. II, t.t., juz I, hlm. 126.
[20] Abu al-Faraj Ibn al-Jawzi, Âdâb
al-Hasan al-Bashri, Dâr al-Nawâdir, Cet. III, 1428 H, (I/58)
[21] Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah
Ji dkk, Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’, Beirut: Dâr al-Nafâ’is, cet. II, 1408
H/1988, hlm. 88.
[22] Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah
Ji dkk, Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’, hlm. 200.
Comments
Post a Comment