Oleh: Irfan Abu Naveed al-Atsari, M.Pd.I
(Pengajar Bahasa Arab, Pengisi Kajian Rutin Tafsir &
Balaghah Al-Qur’an di KPP Cianjur)
Al-Sunnah: Mengandung Bahasa Arab yang Unggul dengan Jawâmi’
al-Kalim

«بُعِثْتُ بِجَوَامِعِ الْكَلِمِ، وَنُصِرْتُ بِالرُّعْبِ، وَبَيْنَا أَنَا
نَائِمٌ أُتِيتُ بِمَفَاتِيحِ خَزَائِنِ الأَرْضِ، فَوُضِعَتْ فِي يَدَيَّ»
“Aku diutus dengan
jawâmi’ al-kalim, dan ditolong dengan adanya rasa takut (pada musuh), dan
ketika aku tertidur didatangkan kepadaku kunci-kunci pembendaharaan bumi, dan
diletakkan pada kedua tanganku.” (HR. Muslim,
al-Bukhari dll)[1]
Yang dimaksud dengan jawâmi’ al-kalim bahwa Allah mengumpulkan bagi
beliau –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- banyak hal yang tertulis dalam
kitab-kitab sebelumnya dalam satu atau dua hal saja.[2] Yakni sabda beliau –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- sedikit
kata-katanya namun sarat dengan makna.[3] Artinya, ringkas padat makna dan faidah, serta kaya dengan keindahan gaya
bahasa.
Hal itu didukung dengan kenyataan bahwa masa kecil Rasulullah –shallaLlâhu
’alayhi wa sallam-, dihabiskan dalam lingkungan yang memelihara kefasihan
berbahasa, yakni berada dalam didikan lingkungan terpilih -Bani Sa’ad-, yakni
selama lima tahun pertama masa kecilnya, Bani Sa’ad adalah salah satu suku di
tengah Jazirah Arab yang terpelihara -lingkungannya- dari pengaruh suku-suku
lainnya yang tinggal di tepi-tepi Jazirah Arab, dan Rasulullah –shallaLlâhu
’alayhi wa sallam- menghabiskan periode pertama kehidupannya di
tengah-tengah mereka, dididik dengan kefashihan berbahasa.[4]
Sehingga benar apa yang terkandung dalam bait sya’ir Syaikh Syarfuddin
Yahya bin Nuruddin al-’Imrithi (w. 989 H), yang memuji Rasulullah –shallaLlâhu
’alayhi wa sallam- sebagai makhluk-Nya yang paling fashih berbahasa:
ثُمَّ الصَّلاَةُ مَع سَلاَمٍ لاَئِقِ * عَلَى النَّبِيِّ
أَفْصَحِ الْخَلاَئِقِ
“Kemudian
shalawat serta salam yang layak # atas Nabi –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam-,
sefasih-fasihnya makhluk.”[5]
Menjelaskan
bait sya’ir ini, Syaikh Ibrahim al-Baijuri menguraikan yakni sosok yang paling
fashih, dalam arti memiliki kemampuan untuk bertutur kata secara fashih[6], artinya
ungkapannya secara bahasa benar dan tidak mengandung kesalahan. Maka jelas
bahwa bahasa Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- pun unggul, luhur
kandungannya dan tinggi nilai bahasanya, bagaikan pembendaharaan harta yang tak
ternilai harganya, dan bisa diterus digali untuk diambil intisarinya dengan
menggunakan berbagai perangkat terkait. Salah satunya, ilmu bahasa arab
(diantaranya ilmu nahwu, sharf dan balaghah).
Adapun
kaitannya dengan bahasa arab, Imam al-Ashma’i, dinukil oleh Syaikh Ibrahim
al-Baijuri, menuturkan bahwa di antara hal yang dikhawatirkannya atas penuntut
ilmu, adalah ketika ia tidak memahami ilmu nahwu, maka tergolong orang yang
disebutkan dalam hadits Nabi –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam-:
«مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا ، فَلْيَتَبَوَّأْ
مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ»
“Siapa saja yang berdusta atas namaku, maka hendaklah ia
mengambil tempat duduknya dari api neraka.” (HR. Al-Bukhari, Muslim dan lainnya)[7]
Mengapa? Syaikh Ibrahim menjelaskan, karena pada asalnya tidak ada
kesalahan (lahn) dari apa yang diriwayatkan dari Rasulullah –shallaLlâhu
’alayhi wa sallam-, maka ketika ada kesalahan, ia merupakan kedustaan
mengatasnamakan beliau –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam-.[8]
Keunggulan bahasa hadits pun ditandai oleh banyaknya sajian balaghah
terkait, yang disusun para ulama dan pakar balaghah, yang semakin menambah
khazanah peradaban kaum Muslim. Ia bagaikan air mengalir yang tiada henti, siap
sedia mengobati dahaga dan menajamkan pandangan mata. Dan hal tersebut tak bisa
diraih, dicicipi, kecuali dengan kembali kepada asasnya, yakni kemampuan
terhadap ilmu bahasa arab.
Sebagai penutup, penyusun mengingatkan diri sendiri dan
para pembaca dengan pesan yang dituturkan yang mulia Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- dalam khutbah
Haji Wada’:
«يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ
فِيكُمْ مَا إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ فَلَنْ تَضِلُّوا أَبَدًا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ
نَبِيِّهِ»
”Wahai umat manusia, sesungguhnya aku telah
meninggalkan bagi kalian apa-apa yang jika kalian berpegang teguh pada keduanya
maka kalian tidak akan tersesat selama-lamanya yaitu Kitabullah dan Sunnah
Nabi-Nya.” (HR. Al-Hakim dan al-Baihaqi dari Ibnu ’Abbas r.a.[9])
Pesan yang agung ini, jelas menjadi dorongan
untuk menjadikan al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai pedoman hidup, dimana hal
tersebut takkan terwujud kecuali dengan memahami keduanya, dan memahaminya
dengan benar takkan terwujud kecuali dengan memahami bahasa keduanya yang
diturunkan dengan bahasa arab. Maka tidak ada alasan untuk menunda mempelajari bahasa al-Qur’an dan
al-Sunnah, bahasa arab, yang diawali dengan mendalami nahwu-sharf dan balaghah.
[]
[1] HR. Muslim dalam Shahîh-nya (II/64, hadits 1104); al-Bukhari dalam Shahîh-nya
(III/1087, hadits 2815); Ibnu Hibban dalam Shahîh-nya (XIV/277, hadits
6363); dan lainnya.
[2] Ibnu Bathal Abu al-Hasan ’Ali bin Khalaf, Syarh Shahîh al-Bukhâri,
Riyadh: Maktabah al-Rusyd, Cet. II, 1423 H/2003, juz IX, hlm. 535.
[3] Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syarf al-Nawawi, Al-Minhâj Syarh
Shahîh Muslim, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-’Arabi, cet. II, 1392 H, juz
V, hlm. 5.
[4] Dr. Abdul Fattah Lasyin, Min Balâghat al-Hadîts al-Syarîf, Riyadh:
Syirkat Maktabât ‘Ukâzh, Cet. I, 1402 H/1982, hlm. 15.
[5] Ibrahim bin Muhammad
al-Baijuri, Fath Rabb al-Bariyyat ‘Alâ al-Durrat al-Bahiyyat Nazhm
al-Âjurrûmiyyah (Syarh ‘Imrîthi), hlm. 21-22.
[6] Ibid., hlm. 22.
[7] HR. al-Bukhari dalam Shahiih-nya (hadits no.
1229), Muslim dalam Shahiih-nya (hadits no. 5), Ahmad dalam Musnad-nya
(hadits no. 16916).
[8] Ibrahim bin Muhammad
al-Baijuri, Fath Rabb al-Bariyyat ‘Alâ al-Durrat al-Bahiyyat Nazhm
al-Âjurrûmiyyah (Syarh ‘Imrîthi), hlm. 25.
[9] HR. Al-Hakim dalam al-Mustadrak (I/171, hadits
no. 318) sanadnya shahih dan disetujui oleh al-Hafizh al-Dzahabi, Al-Baihaqi
dalam Al-Sunan al-Kubrâ’ (X/114,
hadits no. 20833)