Oleh: Irfan Abu Naveed
al-Atsari, M.Pd.I
Dipresentasikan Oleh:
Rudi[1]
B
|

A.
Pengertian dan Karakteristik Al-Liwâ’ & Al-Râyah
Al-liwâ’ dan al-râyah
merupakan nama untuk bendera dan panji Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa
sallam-. Secara bahasa, keduanya berkonotasi al-’alam (bendera).[2]
Namun secara syar’i, al-liwâ’ (jamak: al-alwiyah) dinamakan pula al-râyah
al-’azhîmah (panji agung)[3],
dikenal sebagai bendera negara atau simbol kedudukan pemimpin,[4] yang tidak dipegang
kecuali oleh pemimpin tertinggi peperangan atau komandan brigade pasukan (amîr
al-jaisy) yakni Khalifah itu sendiri[5], atau
orang yang menerima mandat dari Khalifah, sebagai simbol kedudukan komandan pasukan.
Ia memiliki karakteristik berwarna putih, dengan khath berwarna hitam “lâ
ilâha illaLlâh Muhammad RasûluLlâh”, berjumlah satu.[6]
Sedangkan al-râyah (jamak:
al-râyât), ia adalah panji (al-’alam) berwarna hitam,
dengan khath berwarna putih “lâ ilâha illaLlâh Muhammad RasûluLlâh”,
dinamakan pula al-’uqâb. al-râyah berukuran lebih kecil daripada al-liwâ’,
dan digunakan sebagai panji jihad para pemimpin detasemen pasukan (satuan-satuan
pasukan (katâ’ib)), tersebar sesuai dengan jumlah pemimpin detasemen
dalam pasukan, sehingga berjumlah lebih dari satu.[7]
B. Dalil-Dalil Al-Liwâ’ & Al-Râyah
Banyak dalil-dalil
al-sunnah dan atsar yang menjelaskan tentang al-liwâ’ dan al-râyah, diantaranya
dari Ibn Abbas –radhiyaLlâhu ’anhu-:
«كَانَ لِوَاءُ -صلى
الله عليه وسلم- أَبْيَضَ، وَرَايَتُهُ سَوْدَاءَ»
“Bendera (liwâ’) Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- berwarna putih,
dan panjinya (râyah) berwarna hitam.” (HR. Al-Hakim, al-Baghawi,
al-Tirmidzi. Lafal al-Hakim)[8][*]
Dari
Jabir bin Abdullah –radhiyaLlâhu ’anhu-:
«أَنَّ
النبي -صلى الله عليه وسلم- كَانَ لِوَاؤُهُ يَوْمَ دَخَلَ مَكَّةَ
أَبْيَضَ»
“Bahwa Nabi –shallaLlâhu ’alayhi
wa sallam- liwa’-nya pada hari penaklukkan Kota Mekkah berwarna putih.” (HR. Ibn Majah, Al-Hakim, Ibn Hibban. Lafal al-Hakim)[10]
Dari
Yunus bin Ubaid mawla’ Muhammad bin al-Qasim, ia berkata: Muhammad bin al-Qasim
mengutusku kepada al-Bara’ bin ‘Azib, aku bertanya tentang râyah Rasulullah –shallaLlâhu
’alayhi wa sallam- seperti apa? Al-Bara’
bin ‘Azib menjawab:
«كَانَتْ سَوْدَاءَ مُرَبَّعَةً مِنْ نَمِرَةٍ»
”(Al-Râyah) ia berwarna
hitam, berbentuk persegi panjang terbuat dari kain wol.” (HR. Al-Tirmidzi, al-Baghawi,
al-Nasa’i)[11]
Dari al-Hasan –radhiyaLlâhu ’anhu-,
ia berkata:
«كَانَتْ رَايَةُ
النَّبِيِّ -صلى الله عليه وسلم- سَوْدَاءَ تُسَمَّى الْعُقَابَ»
“Râyah Nabi –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- berwarna hitam
disebut al-‘Uqab.” (HR. Ibn Abi Syaibah)[12]
Dalil-dalil
di atas secara sharîh menisbatkan bendera dan panji dengan
karakteristiknya yang istimewa kepada Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa
sallam-. Maka tidak mengherankan jika para ulama hadits bahkan menuliskan
satu subbab khusus berkenaan dengan al-liwâ’ dan al-râyah,
diantaranya: Al-Bukhari dalam Shahih-nya menuliskan subbab
(مَا قِيْلَ فِي لِوَاء النَّبِي صلى الله عليه و سلم), Ibn
Majah dalam Sunan-nya menuliskan subbab (باب الرَّايَات والأَلْوِيَّة),
Al-Tirmidzi dalam Sunan-nya menuliskan subbab (مَا جَاءَ فِيْ الرَّايَات),
Ibn Hibban dalam Shahih-nya menuliskan subbab (ذِكْرُ وَصْفِ لِوَاءِ الْمُصْطَفَى
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ دُخُولِهِ مَكَّةَ يَوْمَ الْفَتْحِ)
dan lainnya, yang cukup menunjukkan keberadaan bendera dan panji istimewa
Rasulullah –shallaLlâhu
’alayhi wa sallam-.
C.
Kedudukan dan Fungsi Al-Liwâ’ Al-Râyah
Berdasarkan dalil-dalil
al-sunnah dan atsar, tak dapat dipungkiri bahwa al-liwâ dan al-râyah,
merupakan simbol kenegaraan Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam-,
hal itu ditandai dengan praktik Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam-
sebagai kepala negara sekaligus komandan pasukan perang, yang menjadikan al-liwâ’
ditangannya semisal ketika Fathu Mekkah, atau diserahkan kepada
orang yang ditunjuknya secara resmi untuk memimpin pasukan perang, di antara
dalilnya adalah sabda Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- ketika
Perang Khaibar:
«لأُعْطِيَنَّ
الرَّايَةَ غَدًا رَجُلاً يُفْتَحُ عَلَى يَدَيْهِ، يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ، وَيُحِبُّهُ
اللَّهُ وَرَسُولُهُ»
”Sungguh aku akan
memberikan al-râyah kepada seseorang, ditaklukkan (benteng) melalui kedua
tangannya, ia mencintai Allah dan Rasul-Nya, Allah dan Rasul-Nya pun
mencintainya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim dan lainnya)[13]
Ketika bendera al-liwâ’
diserahkan Khalifah kepada pemimpin pasukan perang, maka ia menjadi simbol pemegang
komando peperangan, sekaligus pemersatu para komandan detasemen pemegang al-râyah
dan para pasukan itu sendiri. Ibn Bathal menjelaskan bahwa hadits di atas
menunjukkan bahwa tidak ada yang berhak memegang bendera dan panji ini (dalam
jihad) kecuali orang yang ditunjuk oleh al-Imam (Khalifah) saja, tidak
diemban seseorang pun kecuali dengan adanya mandat kekuasaan (kewenangan dan
kedudukan Khalifah-pen.).[14]
Ibn Bathal pun menukil
penuturan al-Muhallab bahwa dalam hadits al-Zubair –radhiyaLlâhu ’anhu-,
terdapat petunjuk bahwa al-râyah tidak diserahkan kecuali dengan izin
al-Imam (Khalifah); karena ia merupakan simbol kekuasaan Khalifah, dan
kedudukannya. Maka tidak boleh ada penyerahan mandat bendera dan panji ini
kecuali berdasarkan perintah Khalifah. Semua penjelasan tersebut, secara
spesifik dirinci oleh Ibn Bathal dalam satu bab khusus (مَا قِيلَ فِى لِوَاء النَّبِىِّ
(صلى الله عليه وسلم)).[15]
Hadits
ini merupakan nas yang menunjukkan mandat resmi tersebut.[16] Ibn
Hajar al-’Asqalani (w. 852 H) pun mencontohkan, bahwa Qais bin Sa’ad –radhiyaLlâhu
’anhu- adalah salah seorang yang pernah menerima mandat memegang bendera
Nabi –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam-[17], dan hal itu tidak
dilakukan kecuali berdasarkan perintah Nabi –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam-.[18] Sebagaimana
Ali bin Abi Thalib –radhiyaLlâhu ’anhu- dan Sa’ad bin Ubadah –radhiyaLlâhu
’anhu- yang juga pernah menerima mandat al-râyah dari Rasulullah –shallaLlâhu
’alayhi wa sallam-.[19]
Adanya mandat resmi
dalam mengemban al-liwâ’ dan al-râyah ini, menunjukkan bahwa ia
adalah simbol negara, sehingga memperjelas kedudukan Rasulullah –shallaLlâhu
’alayhi wa sallam- sebagai pemimpin suatu negara, yakni Negara Islam (al-Dawlah
al-Islâmiyyah). Hal ini
semakin menguatkan bukti otentik, historis dan yuridis, adanya konsep negara
dalam Islam, sekaligus meruntuhkan khurafat bahwa Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam-
bukan kepala negara dan tidak mengatur urusan kenegaraan. Namun bukan sembarang
negara, melainkan negara yang berasaskan tauhid (akidah Islam), sebagaimana
termaktub pada al-liwâ’ dan al-râyah, yang menunjukkan filosofi
asas negara yang dibangun Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam-. Negara wajib berasaskan
akidah Islam, kaum Muslim tidak boleh mengadopsi selain akidah Islam sebagai
asasnya. Konsekuensinya, wajib menjadikan hukum Allah dan Rasul-Nya sebagai
hukum positif yang diterapkan negara, bukan hukum jahiliyyah (lihat: QS.
Al-Mâ’idah [5]: 50) yang mengundang malapetaka (lihat: QS. Thâhâ [20]: 124).
Penisbatan al-liwâ’ dan al-râyah dalam
hadits dan atsar sebagai bendera dan panji Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- pun
memperjelas kedudukannya sebagai syi’ar Islam. Terlebih kalimat tauhid yang
menjadi ciri khas keduanya, merupakan kalimat pemisah antara iman dan
kekufuran, kalimat yang menyatukan kaum Muslim dalam ikatan yang hakiki, ikatan
akidah Islam. Maka jelas bahwa keduanya termasuk syi’ar Islam yang wajib
diagungkan dan dijunjung tinggi, menggantikan syi’ar-syi’ar jahiliyyah yang
menceraiberaikan kaum Muslim dalam sekat-sekat imperialistik. Mengagungkan dan
menjunjung tinggi syi’ar Islam, sesungguhnya bagian dari apa yang Allah
firmankan:
ذلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ
اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ {٣٢}
”Demikianlah (perintah Allah) dan siapa saja yang
mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan
qalbu.” (QS. Al-Hajj [22]: 32)
Yakni sikap yang lahir dari ketakwaan kepada Allah,
Syaikh Nawawi al-Bantani (w. 1316 H) pun menjelaskan bahwa di antara
sifat terpuji yang
melekat pada orang yang bertakwa adalah mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, yakni
syi’ar-syi’ar Din-Nya.[20] Sifat takwa ini,
ditunjukkan oleh sikap para sahabat, dari Anas bin Malik –radhiyaLlâhu ’anhu-,
bahwa Rasulullah –shallaLlâhu
’alayhi wa sallam- bersabda:
«أَخَذَ الرَّايَةَ زَيْدٌ فَأُصِيْبَ، ثُمَّ
أَخَذَ جَعْفَرٌ فَأُصِيْبَ، ثُمَّ أَخَذَ اِبْنُ رَوَاحَةٍ فَأُصِيْبَ»
“Zaid
mengambil al-Râyah lalu ia gugur, kemudian Ja’far mengambil (al-Râyah) lalu ia
gugur, kemudian Ibn Rawahah mengambil (al-Râyah) lalu ia gugur.” (HR. Al-Bukhari & Ahmad)[21]
D.
Kriminalisasi Al-Liwâ’ & Al-Râyah
Salah
satu ancaman yang wajib diwaspadai kaum Muslim saat ini, adalah stigmatisasi negatif terhadap panji al-râyah
sebagai bendera teroris (irhâbiyyah), dan adanya upaya kriminalisasi
terhadap para pengembannya. Misalnya kasus panji al-râyah yang dijadikan
barang bukti terorisme bom bekasi (news.detik.com,15/12/2016). Padahal tidak
ada relevansi sama sekali antara tindak kejahatan terorisme yang dikecam Islam,
dan panji al-râyah sebagai syi’ar Islam yang justru dijadikan barang
bukti tindak kejahatan.
Upaya
stigmatisasi dan kriminalisasi terhadap simbol dan ajaran Islam, hakikatnya
bagian dari penyesatan opini, yang menjadi bagian dari visi misi Iblis dan
sekutunya yang benar-benar berjanji akan menghiasi perbuatan buruk manusia, dan
menyesatkan mereka semua dari kebenaran (QS. Al-Hijr [15]: 39). Dalam
sirah, kejahatan ini telah dipraktikkan kaum Kuffar yang menstigma negatif
wahyu Allah sebagai sihir dan dongeng-dongeng orang terdahulu, dan Rasul-Nya
sebagai orang yang hilang akal, dukun, dan penyair[22]. Itu
semua dilakukan demi menghalang-halangi manusia dari jalan Allah.
Kebatilan
tersebut, kini tampil dalam kemasan baru, menstigma negatif simbol dan ajaran
Islam sebagai simbol terorisme dan ajaran radikalisme. Termasuk dari apa yang
Allah peringatkan:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ
الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا
ۚ أُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ
{٦}
“Dan di antara manusia (ada) orang yang menggunakan
perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa
ilmu, dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh
azab yang menghinakan.” (QS. Luqmân [31]: 6)
Frase
lahw al-hadits, mencakup perkara-perkara kebatilan yang disuarakan,
dituliskan untuk menyesatkan manusia, menyimpangkan mereka dari jalan Allah
(Islam). Al-Hafizh Ibn Jarir al-Thabari (w. 310 H) menuturkan, “Cakupannya
(lahw al-hadits) segala hal berupa ucapan yang menyimpangkan (manusia) dari
jalan Allah, berupa hal-hal yang Allah dan Rasul-Nya larang untuk
mendengarkannya, karena Allah SWT mengungkapkan keumuman dalam firman-Nya:
(lahw al-hadits), dan Dia tidak mengkhususkannya. Oleh karena itu, ia tetap
dalam keumumannya hingga ada dalil yang mengkhususkannya.” [23]
Kebatilan
tersebut merupakan syubhat dan khurafat yang wajib diwaspadai, dihadapi dan
diluruskan. Karena dalam Islam,
stigmatisasi negatif dan kriminalisasi terhadap simbol dan ajaran Islam
merupakan kemungkaran, sehingga termasuk tindak kriminal yang wajib dicegah dan
dikenai sanksi hukuman. Kondisi dan bahayanya, sebagaimana peringatan
al-’Allamah Taqiyuddin al-Nabhani, “Imperialisme tak sekedar
menggunakan tsaqafah ini, bahkan
meracuni kaum Muslim dengan beragam pemikiran dan pandangan di bidang politik
dan falsafah, yang merusak paradigma kaum Muslim yang lurus. Dengannya rusak
suasana Islami yang ada, serta mengacaukan pemikiran kaum Muslim dalam segala
aspek kehidupan. Dengan semua itu, hilanglah benteng pertahanan kaum Muslim...”[24]
Tuduhan keji atas
bendera dan panji tauhid ini, bisa jadi menggambarkan apa yang Allah firmankan:
قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي
صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ {١١٨}
“Sungguh telah nyata
kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah
lebih besar lagi.” (QS. Âli Imrân [3]: 118)
Dalam Islam, stigmatisasi
negatif dan kriminalisasi terhadap simbol Islam merupakan kemungkaran, sehingga
termasuk tindakan kriminal yang wajib dicegah dan dikenai sanksi hukuman.
E.
Peringatan Atas Bahaya Kejahilan & Prasangka Buruk
Penolakan
terhadap al-liwâ’ dan al-râyah, bisa terjadi karena
ketidakpahaman terhadap hakikat keduanya dalam Islam, namun mengedepankan
kecurigaan dan prasangka buruk, ini tergambar dalam ungkapan Imam Abu Hamid
al-Ghazali (w. 505 H):
النَّاسُ
أَعدَاء مَا جَهِلُوْا
Hal ini tercela, karena
penolakan yang didasari oleh ketidaktahuan, pasti dilatarbelakangi oleh
prasangka buruk, dan prasangka buruk itu tercela sebagaimana firman-Nya:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ
الظَّنِّ إِثْمٌ {١٢}
“Wahai orang-orang
yang beriman jauhilah oleh kalian sebagian besar dari prasangka, karena
sebagian darinya merupakan perbuatan dosa.” (QS. Al-Hujurât [49]: 12)
Ayat ini menyeru
orang-orang yang beriman, dengan perintah menggunakan kata ijtanib yang
lebih mendalam dan kuat
maknanya daripada kata utruk, yang maknanya adalah “jauhilah”, artinya
ayat yang agung ini mengandung larangan atas prasangka buruk. Dan kalimat (إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ) yang menyifati prasangka buruk
sebagai perbuatan dosa, menjadi indikasi tegas atas larangan dalam ayat ini,
sehingga larangan dalam ayat ini merupakan tuntutan tegas untuk meninggalkan
prasangka buruk, yang menunjukkan bahwa hukumnya haram.
Imam al-Raghib
al-Ashfahani (w. 502 H) ketika menjelaskan kata ijtanibû menegaskan
bahwa ia merupakan ungkapan tentang perkara yang harus mereka tinggalkan, dan
maknanya lebih kuat (ablagh) daripada kata utruk (tinggalkanlah)
(وَذلِكَ
أَبْلَغ مِنْ قَوْلِهِمْ: اُتْرُكُوْهُ).[26] Karena kata ijtanib tak
sekedar perintah untuk meninggalkan melainkan perintah untuk meninggalkan dan menjauhinya
(meninggalkan sejauh-jauhnya). Dan Allah ‘Azza wa Jalla menggunakan kata
ijtanib dalam ayat yang agung di atas untuk melarang prasangka buruk,
maka sudah seharusnya kita menjauhinya.
Kesalahpahaman terhadap al-liwâ’
dan al-râyah, bisa juga lahir karena tersebarnya syubhat, dan tidak mau
ber-tabayyun (cek ulang, mengkaji faktanya), mengedepankan kepercayaan
terhadap syubhat dan khurafat yang tersebar. Maka dalam kasus ini, Allah –Ta’âlâ-
memperingatkan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ
بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا
فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ{٦}
”Wahai orang-orang yang
beriman, jika datang kepada kamu seseorang yang fasik membawa berita maka
periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu
kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas
perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurât [49]: 6)
Ayat ini menyeru
orang-orang beriman untuk melakukan konfirmasi terhadap kebenaran suatu
informasi, yang datang dari orang yang fasik, yang tidak bisa dipercaya. Karena
makna tabayyun itu mendekati makna tatsabbut (mencari kebenaran),
yakni tidak tergesa-gesa hingga benar-benar mengetahui, sebagaimana disebutkan
oleh Imam al-Farra (w. 207 H)[27],
atau dalam penjelasan al-Hafizh Ibn Jarir al-Thabari yakni tidak tergesa-gesa
hingga mengetahui kebenarannya, dan tidak tergesa-gesa menerima berita
tersebut.[28]
Atau sebagaimana
disebutkan Imam Abu al-Muzhaffar al-Sam’ani (w. 489 H) yakni meninggalkan
ketergesa-gesaan, merenungkan dan menyikapinya dengan hati-hati dalam urusan
tersebut.[29]
Karena ketergesaan bisa jadi timbul dari kebodohan dan kebingungan, dari Ibn
Wahb, ia mengatakan telah mendengar Imam Malik –radhiyaLlâhu ’anhu- berkata:
الْعَجَلَةُ
فِي الْفَتْوَى نَوْعٌ مِنَ الْجَهْلِ وَالْخُرْقِ
”Ketergesa-gesaan dalam
berfatwa merupakan jenis kebodohan dan keraguan.”[30]
Maka menjadi tugas para
ulama dan da’i yang paham, memahamkan masyarakat awam terhadap hakikat al-liwâ’
dan al-râyah ini, agar mereka tidak bersikap kecuali sebagaimana sikap
Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- dan para sahabatnya. Tugas
ini menjadi semakin menantang, di zaman ketika tersebarnya syubhat di
tengah-tengah masyarakat, dan syi’ar Islam digantikan oleh syi’ar-syi’ar ’ashabiyyah
jâhiliyyah. Hal itu karena peringatan, bermanfaat bagi orang-orang yang masih
memiliki akal sehat dan keimanan:
الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ
أَحْسَنَهُ ۚ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ
هَدَاهُمُ اللَّهُ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمْ
أُولُو الْأَلْبَابِ {١٨}
“Yang mendengarkan
perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya, mereka Itulah
orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang
mempunyai akal.” (QS. Al-Zumar [39]: 18)
Inilah sifat mereka yang
dipuji Allah dengan istilah, ulul albâb, dan peringatan bermanfaat bagi
mereka yang beriman:
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَىٰ تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ {٥٥}
“Dan berilah peringatan,
karena peringatan bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Dzâriyât [51]:
55)
F.
Teladan Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam-
& Para Sahabat
Lalu bagaimana sikap
Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- dan para sahabat terhadap al-liwâ’ dan al-râyah? Hal itu terjawab
dengan menilik sikap Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- dan para
sahabat yang memberikan keteladanan dalam mengemban keduanya,
menjadikannya sebagai tugas
kenegaraan yang sangat mulia, yang tidak diemban kecuali oleh orang yang mulia.
Hal itu sebagaimana penyifatan Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- kepada pemegang panji al-râyah
ketika Perang Khaibar:
«لأُعْطِيَنَّ
الرَّايَةَ غَدًا رَجُلاً يُفْتَحُ عَلَى يَدَيْهِ، يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ، وَيُحِبُّهُ
اللَّهُ وَرَسُولُهُ»
”Sungguh aku akan
memberikan al-râyah kepada seseorang yang, ditaklukkan (benteng) melalui kedua
tangannya, ia mencintai Allah dan Rasul-Nya, Allah dan Rasul-Nya pun
mencintainya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim dan lainnya)[31]
Kalimat (يُفْتَحُ عَلَى يَدَيْهِ،
يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ، وَيُحِبُّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ), merupakan sifat mulia dari lelaki (رَجُلاً) yang disebutkan oleh Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- dalam hadits. Hal ini sesuai kaidah:
الجُمَلُ
بَعْدَ النَّكِرَاتِ صِفَاتٌ
”Kalimat-kalimat setelah kata-kata benda nakirah itu sifat-sifatnya.”[32]
Rasulullah –shallaLlâhu
’alayhi wa sallam- pun mengawali informasi penting dalam hadits tersebut
dengan lâm al-tawkîd dan nûn al-tawkîd al-tsaqîlah[33],
keduanya termasuk bentuk tawkid (penegasan). Dalam tinjauan disiplin ilmu
balaghah, ia dinamakan al-khabar al-inkâri,[34] atau meminjam istilah
Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, yakni al-ta’kîd al-inkâri. Apa faidahnya? Keberadaan kata-kata
penegasan seperti ini, berfungsi menegaskan kebenaran informasi di dalamnya, menafikan segala bentuk
pengingkaran atau
keraguan terhadap kebenarannya.
Lantas, siapa lelaki
yang dimaksud Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam-? Dalam
perincian haditsnya, Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- akhirnya
menyerahkan panji tauhid ini kepada ’Ali bin Abi Thalib –radhiyaLlâhu ’anhu-
Bagaimana sikap para sahabat? Digambarkan bahwa mereka mengharapkan kemuliaan tersebut,
yang juga menunjukkan agungnya kedudukan al-liwâ’ dan al-râyah
dalam Islam. Ibn Bathal (w. 449 H) bahkan menegaskan bahwa mandat resmi dalam
serah terima al-liwâ’ dan al-râyah termasuk sunnah Rasulullah –shallaLlâhu
’alayhi wa sallam- yang sudah semestinya diteladani oleh kaum Muslim, Ibn
Bathal menuturkan:
(لَأُعْطِيَّنَّ الرَايَةَ) فَعَرَّفَهَا بِالأَلِفِ وَاللامِ يَدُلُّ
أَنَّهَا كَانَتْ مِنْ سُنَّتِهِ -صلى
الله عليه وسلم- فِيْ
حُرُوْبِهِ فَيَنْبَغِيْ أَنْ يُسَارَ بِسِيْرَتِهِ فِيْ ذلِكَ.
Rasulullah –shallaLlâhu
’alayhi wa sallam- bersabda, “Sungguh aku akan menyerahkan al-râyah”,
Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- mengungkapkan kata al-râyah
dalam bentuk ma’rifat (dengan alif lâm, yakni sudah dikenal secara
spesifik) menunjukkan bahwa ia merupakan sunnah Rasulullah –shallaLlâhu
’alayhi wa sallam- dalam berbagai peperangannya, maka sudah seharusnya hal
tersebut diikuti (oleh kaum Muslim).[35]
Maka setiap syubhat dan
khurafat, mencakup stigmatisasi negatif dan kriminalisasi atas al-liwâ’
dan al-râyah, hakikatnya merupakan makar terhadap Allah dan Rasul-Nya –shallaLlâhu
’alayhi wa sallam-. Ia merupakan kemungkaran yang harus diwaspadai kaum
Muslim, wajib disingkap dan diluruskan, sehingga kaum Muslim tidak memandang al-liwâ’
dan al-râyah kecuali dengan pandangan Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi
wa sallam- dan para sahabatnya, dan tergerak untuk mengibarkannya kembali,
dengan berjuang menegakkan kehidupan Islam, dalam naungan al-Khilâfah ’alâ
Minhâj al-Nubuwwah yang berdiri di atas asas tauhid, dan kita sebagaimana sya’ir:
نَبْنِي كَمَا كَانَتْ أَوَائِلُنَا
* تَبْنِي، وَنَفْعَلُ مِثْلَ مَا فَعَلُوْا
“Kami membangun sebagaimana
generasi pendahulu kami membangun”
“Dan kami berbuat sebagaimana mereka telah berbuat.”[36]
“Dan kami berbuat sebagaimana mereka telah berbuat.”[36]
[]
[1] Disampaikan dalam Halqah Syahriyyah DPD II HTI
Kab. Sukabumi, 12 Februari 2017.
[3] Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syarf Al-Nawawi, Syarh
Shahîh Muslim, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turats al-‘Arabi, cet.
II, 1392 H, juz XII, hlm. 43.
[5] Ibid.
[6] Berdasarkan dalil-dalil al-sunnah dan atsar.
[7] Berdasarkan dalil-dalil al-sunnah dan atsar.
[8] HR. Al-Hakim dalam al-Mustadrak (2506), Al-Baghawi
dalam Syarh al-Sunnah (2663), al-Tirmidzi dalam Sunan-nya
(1681): “Hadits hasan gharib”.
[10] HR. Ibn Majah dalam Sunan-nya (2817), Al-Hakim dalam al-Mustadrak
(2505): “Hadits shahih memenuhi syarat syaikhayn (al-Bukhari dan
Muslim) meski keduanya tidak meriwayatkannya”, Ibn Hibban dalam Shahîh-nya (4743) dengan sedikit perbedaan redaksi.
[11] HR. Al-Tirmidzi dalam Sunan-nya (1680): “Hadits
hasan gharib.”, Al-Baghawi dalam Syarh al-Sunnah (2663),
al-Nasa’i dalam Sunan-nya (8552).
[12] HR. Ibn Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya (33604).
[13] HR. Al-Bukhari dalam Shahîh-nya
(2847), Muslim dalam Shahîh-nya (6299), Ahmad dalam Musnad-nya
(1608), Ibn Majah dalam Sunan-nya (121), lafal al-Bukhari.
[14] Ibn Bathal, Syarh Shahîh al-Bukhâri,
Riyadh: Maktabat al-Rusyd, cet. II, 1423 H/2003, juz V, hlm. 141.
[16] Ibid.
[17] HR. Al-Bukhari dalam Shahîh-nya
(2811).
[18] Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bâri Syarh
Shahîh al-Bukhâri, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1379, juz VI,
hlm. 127.
[19] Ibid.
[20] Nawawi al-Bantani, Syarh Sullam al-Tawfîq, Jakarta: Dâr
al-Kutub al-Islâmiyyah, cet. I, 1431 H, hlm. 103.
[22] Diinformasikan dalam ayat-ayat al-Qur’an.
[23] Muhammad bin Jarîr Abu Ja’far al-Thabari, Jâmi’
al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, cet. I, 1420
H, juz ke-20, hlm. 130.
[25] Abu Hamid al-Ghazali, Qawâ’id al-‘Aqâ’id, Lebanon:
‘Âlam al-Kutub, cet. II, 1405 H, hlm. 101.
[26] Abu al-Qasim al-Husain bin Muhammad al-Raghib
al-Ashfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, Damaskus: Dâr al-Qalam,
cet. I, 1412 H, juz I, hlm. 206.
[27] Yahya bin Ziyad al-Farra’, Ma’âni al-Qur’ân, Mesir:
Dâr al-Mishriyyah, cet. I, t.t., juz III, hlm. 31.
[28] Muhammad bin Jarîr Abu Ja’far al-Thabari, Jâmi’
al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, juz ke-22, hlm. 286.
[29] Abu al-Muzhaffar Manshur bin Muhammad al-Sam’ani, Tafsîr
al-Qur’ân, Riyadh: Dâr al-Wathan, cet. I, 1418 H, juz V, hlm. 217.
[30] Ahmad bin al-Husain Abu Bakr al-Baihaqi, Al-Madkhal
ilâ al-Sunan al-Kubrâ’, Kuwait: Dâr al-Khulafâ’, hlm. 437, atsar no. 817;
Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Syarh al-Sunnah, Damaskus:
al-Maktab al-Islâmi, cet. II, 1403 H, juz
I, hlm. 306.
[31] HR. Al-Bukhari dalam Shahîh-nya
(2847), Muslim dalam Shahîh-nya (6299), Ahmad dalam Musnad-nya
(1608), Ibn Majah dalam Sunan-nya (121), lafal al-Bukhari.
[32] Sebagaimana disebutkan doktor balaghah dari Al-Azhar
Kairo, Dr. Hesham el-Shanshouri al-Mishri dalam diskusi empat mata selepas
shalat isya’ pada bulan September 2015. Lihat pula: Jamaluddin bin Hisyam, Mughnî
al-Labîb ‘an Kutub al-A’ârîb, Damaskus: Dâr al-Fikr, cet. VI, 1985, hlm.
560.
[33] Abu al-Hasan Nuruddin al-Sindi, Kifâyat al-Hâjat fî
Syarh Sunan Ibn Mâjah, Beirut: Dâr al-Jîl, hlm. 58.
[34] Tim Pakar, Al-Balâghah wa al-Naqd, Riyâdh:
Jâmi’atul Imâm Muhammad bin Su’ud al-Islâmiyyah, cet. II, 1425 H, hlm. 38-39;
Muhammad ’Ali al-Sarraj, Al-Lubâb fî Qawâ’id al-Lughah al-’Arabiyyah wa Âlât
al-Adab al-Nahw wa al-Sharf wa al-Balâghah wa al-‘Arûdh wa al-Lughah wa
al-Mitsl, Damaskus: Dâr al-Fikr, cet. I, 1403 H/1983, hlm. 161.
[36] Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Asybâh
wa al-Nazhâ’ir, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1411 H, (I/6).
No comments :
Post a comment