Tahqiq & Ta'liq: Ust Irfan Abu Naveed, M.Pd.I [1]
Dosen Fikih Siyasah, Bahasa Arab
Penulis Buku "Konsep Baku Khilafah Islamiyyah"
Dosen Fikih Siyasah, Bahasa Arab
Penulis Buku "Konsep Baku Khilafah Islamiyyah"
Beberapa waktu yang lalu, kaum Muslim di Indonesia melakukan aksi massa
terbesar sepanjang sejarah perjalanan bangsa Indonesia, yakni Aksi Bela Quran
Jilid II dan III, dimana kedua aksi ini dipicu kasus penistaan Al-Qur’an yang
dilakukan oleh Gubernur Provinsi DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama alias Ahok.
Aksi ini bertujuan mulia, membela al-Qur’an yang disakralkan kaum Muslim, dan
menuntut penegakkan keadilan bagi orang yang terbukti melakukan tindak
penistaan agama.
Meskipun begitu, ada segelintir kaum Muslim yang tidak sepakat
dan tidak mendukung aksi ini. Sekalipun bertujuan mulia, aksi ini dinilai sebagai
aksi massa yang tidak boleh dilakukan, karena mengoreksi penguasa secara terang-terangan
di muka publik, sementara mereka berasumsi Islam melarang pemeluknya mengoreksi
penguasa secara terang-terangan dan terbuka, wajib empat mata. Sehingga
disimpulkan bahwa aksi ini dan yang semacamnya, merupakan aksi yang melanggar
syari’at, apapun tujuannya. Padahal perlu dipahami dua poin utama berikut ini:
Mengoreksi penguasa yang lalai, salah dan keliru,
termasuk perkara yang ma’lûm bagian dari agama ini. Salah
satu hadits yang mendorong untuk mengoreksi penguasa, menasihati mereka, adalah
hadits dari Tamim al-Dari –radhiyaLlâhu ’anhu-, bahwa Nabi Muhammad –shallaLlâhu
’alayhi wa sallam- bersabda:
«الدِّينُ النَّصِيحَةُ»
“Agama itu adalah nasihat”
Para sahabat bertanya: “Untuk siapa?” Nabi–shallaLlâhu
’alayhi wa sallam- bersabda:
«لِلّهِ، وَلِكِتَابِهِ، وَلِرَسُوْلِهِ،
وَلِأَئِمَّةِ المُسْلِمِيْنَ، وَعَامَتِهِمْ»
“Untuk Allah, kitab suci-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan kaum
muslimin pada umumnya.” (HR. Muslim, Abu Dawud, Ahmad. Lafal Muslim)
Dalam tinjauan
ilmu balaghah, hadits ini mengandung bentuk penambahan lafal yang memiliki
faidah tertentu, dinamakan al-ithnâb[3]. Yakni
dengan adanya penyebutan
kata “لِأَئِمَّةِ المُسْلِمِيْنَ” (untuk pemimpin-pemimpin
kaum Muslim) di depan kata “وَعَامَتِهِمْ” (kaum Muslim pada
umumnya), dimana kata “kaum Muslim” adalah lafal yang cakupannya umum (lafzhah
jâmi’ah), mencakup pemimpin dan manusia secara umum.[4] Sedangkan “pemimpin kaum Muslim” merupakan kata khusus
yang termasuk bagian dari kaum Muslim pada umumnya, namun dalam hadits ini
pemimpin disebutkan secara khusus sebelum kaum Muslim, ini yang dinamakan al-ithnâb
dengan pola dzikr al-‘âm ba’da al-khâsh (penyebutan kata yang umum
setelah kata yang khusus), dalam istilah lain yakni dzikr al-basth,
sebagaimana penjelasan Ibn Abi al-Ishba’ al-Baghdadi (w. 654 H)[5] dan Ibn Hujjah al-Hamawi (w. 837 H)[6], dengan menjadikan hadits ini sebagai salah satu
contohnya.
Faidah dari pola ini adalah untuk mencakup keumuman kata
dan memberikan perhatian kepada kata yang khusus (لِإِفَادَةِ العُمُوْمِ
وَالشُّمُوْلِ وَالعِنَايَةِ بِالخَاصِّ)[7] atau berfaidah melengkapi makna yang dimaksud setelah
menyebutkan sesuatu yang harus disebutkan secara khusus (ليفيد
تتميم المعنى بعد تخصيص من يجب تخصيصه بالذكر)[8]. Artinya hadits ini pun mengandung penekanan:
pentingnya menasihati penguasa atau pemimpin kaum Muslim, namun bukan
sembarang nasihat, melainkan nasihat dengan landasan Din ini, sebagaimana
permulaan kalimat hadits ini, al-dîn al-nashîhah.
Di sisi lain, Rasulullah–shallaLlâhu
’alayhi wa sallam- pun secara khusus telah memuji aktivitas mengoreksi
penguasa zhalim, untuk mengoreksi kesalahannya dan menyampaikan kebenaran kepadanya:
«أَفْضَلَ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ»
“Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang benar kepada
pemimpin yang zhalim.” (HR. Ahmad, Ibn Majah, Abu Dawud, al-Nasa’i, al-Hakim dan lainnya)
«سَيِّدُ الشُهَدَاءِ حَمْزَةُ
بْنُ عَبْدُ الْمُطَلِّبِ، وَرَجُلٌ قَامَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ
وَنَهَاهُ فَقَتَلَهُ»
“Penghulu
para syuhada’ adalah Hamzah bin ‘Abd al-Muthallib dan orang yang mendatangi
penguasa zhalim lalu memerintahkannya (kepada kebaikan) dan mencegahnya (dari
keburukan), kemudian ia (penguasa zhalim itu) membunuhnya.” (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak,
al-Thabrani dalam al-Mu’jam
al-Awsath)
Kalimat afdhal al-jihâd dalam hadits pertama merupakan
bentuk tafdhîl
(pengutamaan), yang menunjukkan
secara jelas keutamaan mengoreksi penguasa, menyampaikan kebenaran kepada
penguasa yang berbuat zhalim. Sedangkan dalam hadits yang kedua, orang yang
mengoreksi penguasa, lalu dibunuh, maka dinilai sebagai sayyid
al-syuhadâ (penghulu
mereka yang mati syahid). Kedua
kalimat ini jelas merupakan indikasi pujian atas perbuatan mengoreksi penguasa,
dalam bentuk ikhbâr
(pemberitahuan). Maka, pemberitahuan tersebut bermakna jâzim (tegas). Sebab, jika sesuatu
yang dipuji tersebut tidak dilakukan akan mengakibatkan terjadinya pelanggaran
dan runtuhnya pelaksanaan hukum Islam, dan sebaliknya hukum Islam akan dapat
terlaksana jika aktivitas tersebut dilaksanakan, maka aktivitas tersebut
hukumnya wajib.
B. Hukum Mengoreksi Penguasa Secara Terbuka
Perlu kami tegaskan bahwa hukum asal amar makruf nahi
mungkar harus dilakukan secara terang-terangan, dan tidak boleh disembunyikan.
Ini adalah pendapat mu’tabar dan perilaku generasi salafunâ al-shâlih.
Namun, sebagian orang berpendapat bahwa menasihati seorang penguasa haruslah
dengan cara sembunyi-sembunyi (empat mata). Menurut mereka, seorang Muslim
dilarang menasihati penguasa secara terang-terangan di depan umum, mengungkap
kesalahan mereka di muka publik, karena ada dalil yang mengkhususkan. Pendapat
semacam ini adalah pendapat batil, dan bertentangan dengan realitas muhâsabah
li al-hukkâm yang dilakukan oleh Nabi –shallaLlâhu ’alayhi
wa sallam-, para sahabat dan
generasi-generasi al-salaf al-shâlih sesudah mereka.
Pasalnya, pendapat tersebut (keharusan mengoreksi
penguasa dengan sembunyi-sembunyi/empat mata) bertentangan dengan point-point
berikut ini:
Pertama, Teladan Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi
wa sallam- yang Mengoreksi
Pejabatnya Terang-Terangan
Perilaku Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi
wa sallam- dalam mengoreksi pejabat yang diserahi tugas
mengatur urusan rakyat (pemerintahan). Beliau SAW tidak segan-segan mengumumkan
perbuatan buruk yang dilakukan oleh pejabatnya di depan kaum Muslim, dengan
tujuan agar pelakunya bertaubat dan agar pejabat-pejabat lain tidak melakukan
perbuatan serupa. Imam Bukhari dan Muslim menuturkan sebuah riwayat dari Abu
Humaid Al-Sa’idi bahwasanya ia berkata: “Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi
wa sallam- mengangkat seorang laki-laki menjadi amil
untuk menarik zakat dari Bani Sulaim. Laki-laki itu dipanggil dengan nama Ibnu
Luthbiyyah. Tatkala tugasnya telah usai, ia bergegas menghadap Nabi –shallaLlâhu
’alayhi wa sallam-; dan Nabi
Muhammad –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- menanyakan
tugas-tugas yang telah didelegasikan kepadanya. Ibnu Lutbiyah menjawab, ”Bagian
ini kuserahkan kepada anda, sedangkan yang ini adalah hadiah yang telah
diberikan orang-orang (Bani Sulaim) kepadaku.”
Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- berkata, ”Jika engkau memang jujur, mengapa
tidak sebaiknya engkau duduk-duduk di rumah ayah dan ibumu, hingga hadiah itu
datang sendiri kepadamu”. Beliau –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam-
pun berdiri, lalu berkhutbah di hadapan
khalayak ramai. Setelah memuji dan menyanjung Allah swt, beliau bersabda, ”’Amma
ba’du. Aku telah mengangkat seseorang di antara kalian untuk menjadi amil dalam
berbagai urusan yang diserahkan kepadaku. Lalu, ia datang dan berkata, ”Bagian
ini adalah untukmu, sedangkan bagian ini adalah milikku yang telah dihadiahkan
kepadaku. Apakah tidak sebaiknya ia duduk di rumah ayah dan ibunya, sampai
hadiahnya datang sendiri kepadanya, jika ia memang benar-benar jujur? Demi Allah,
salah seorang di antara kalian tidak akan memperoleh sesuatu yang bukan haknya,
kecuali ia akan menghadap kepada Allah swt dengan membawanya. Ketahuilah, aku
benar-benar tahu ada seseorang yang datang menghadap Allah swt dengan membawa
onta yang bersuara, atau sapi yang melenguh, atau kambing yang mengembik. Lalu,
Nabi –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- mengangkat kedua tangannya memohon kepada
Allah swt, hingga aku (perawi) melihat putih ketiaknya”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Hadits di atas adalah dalil sharih yang menunjukkan bahwa
Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- pernah menasihati salah seorang pejabatnya
dengan cara mengungkap keburukannya secara terang-terangan di depan publik.
Beliau tidak hanya menasihati Ibnu Luthbiyyah dengan sembunyi-sembunyi, akan
tetapi membeberkan kejahatannya di depan kaum Muslim. Lantas, bagaimana bisa
dinyatakan bahwa menasihati penguasa haruslah dengan sembunyi-sembunyi (empat
mata), sedangkan Nabi –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam-, manusia yang paling mulia akhlaknya,
justru menasihati salah satu pejabatnya (penguasa Islam) dengan
terangan-terangan, bahkan diungkap di depan khalayak ramai?
Kedua, Perintah Nabi –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- Agar Menasihati Penguasa Zhalim
Secara Mutlak
Ada perintah dari Nabi –shallaLlâhu ’alayhi
wa sallam- agar kaum Muslim memberi nasihat kepada para
penguasa fajir dan dzalim secara mutlak. Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi
wa sallam- bersabda:
«سَيِّدُ الشُهَدَاءِ حَمْزَةُ
بْنُ عَبْدُ الْمُطَلِّبِ، وَرَجُلٌ قَامَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ
وَنَهَاهُ فَقَتَلَهُ»
“Penghulu
para syuhada’ adalah Hamzah bin ‘Abd al-Muthallib dan orang yang mendatangi
penguasa zhalim lalu memerintahkannya (kepada kebaikan) dan mencegahnya (dari
keburukan), kemudian ia (penguasa zhalim itu) membunuhnya.” (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak,
al-Thabrani dalam al-Mu’jam
al-Awsath)
Hadits
ini datang dalam bentuk umum. Hadits ini tidak menjelaskan secara rinci
tatacara mengoreksi seorang penguasa; apakah harus dengan sembunyi-sembunyi
atau harus dengan terang-terangan. Atas
dasar itu, seorang Muslim diperbolehkan menasihati penguasa dengan
terang-terangan atau sembunyi-sembunyi (empat mata).
Ketiga, Perintah Nabi –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- Mengoreksi Penguasa yang Menegakkan
Kekufuran dengan Pedang
Ada perintah dari Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi
wa sallam- untuk mengoreksi (muhasabah) penguasa hingga
taraf memerangi penguasa yang melakukan kekufuran yang nyata. Nabi –shallaLlâhu
’alayhi wa sallam- memerintahkan para shahabat untuk mengoreksi
penguasa dengan pedang, jika telah tampak kekufuran yang nyata. Imam al-Bukhari meriwayatkan hadits dari ‘Ubadah bin
Shamit –radhiyaLlâhu ’anhu-, ia berkata:
«دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ، فَقَالَ فِيْمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا
عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا، وَعُسْرِنَا
وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا، وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ،
إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا، عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ»
“Nabi –shallallâhu ’alayhi wa
sallam- mengundang kami, lalu kami mengucapkan
baiat kepada beliau, beliau –shallallâhu
’alayhi wa sallam- bersabda yakni dalam
segala hal yang diwajibkan kepada kami bahwa kami berbaiat kepada beliau untuk
selalu mendengarkan dan taat (kepada Allah dan Rasul-Nya), baik dalam
kesenangan dan kebencian kami, kesulitan dan kemudahan kami dan beliau juga
menandaskan kepada kami untuk tidak mencabut suatu urusan dari ahlinya kecuali
jika kalian (kita) melihat kekufuran secara nyata (dan) memiliki bukti yang
kuat dari Allah.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahîh-nya
& Muslim dalam Shahih-nya. Lafal al-Bukhari)
Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya
Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- bersabda:
«سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ
وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ
وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا»
“Akan datang para
penguasa, lalu kalian akan mengetahui kemakrufan dan kemungkarannya, maka siapa
saja yang membencinya akan bebas (dari dosa), dan siapa saja yang mengingkarinya
dia akan selamat, tapi siapa saja yang rela dan mengikutinya (dia akan
celaka)”. Para shahabat bertanya, “Tidaklah
kita perangi mereka?” Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan
shalat” Jawab Rasul.” (HR. Muslim)
Tatkala berkomentar terhadap hadits ini, al-Hafizh al-Nawawi,
dalam Syarah Shahih Muslim menyatakan, “Di dalam hadits ini
terkandung mukjizat nyata mengenai kejadian yang akan terjadi di masa depan,
dan hal ini telah terjadi sebagaimana yang telah dikabarkan oleh Rasulullah –shallaLlâhu
’alayhi wa sallam-.
Sedangkan makna dari fragmen, “Tidaklah kita perangi mereka?” Beliau bersabda,
“Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat,” jawab Rasul; adalah
ketidakbolehan memisahkan diri dari para Khalifah, jika mereka sekedar
melakukan kedzaliman dan kefasikan, dan selama mereka tidak mengubah satupun
sendi-sendi dasar Islam.”[9]
Hadits di atas menunjukkan bahwa dalam kondisi-kondisi
tertentu seorang Muslim wajib mengoreksi penguasa dengan terang-terangan,
bahkan dengan pedang jika para penguasanya melakukan kekufuran yang nyata.
Hadits-hadits di atas juga menjelaskan bahwa seorang Muslim wajib memisahkan
diri dari penguasa-penguasa yang melakukan kekufuran yang nyata. Selain itu,
riwayat di atas juga menunjukkan bahwa menasihati penguasa boleh dilakukan
dengan pedang, jika penguasa tersebut telah menampakkan kekufuran yang nyata.
Lalu, bagaimana bisa dinyatakan bahwa menasihati penguasa harus dilakukan
dengan sembunyi-sembunyi (empat mata) dan tidak boleh dilakukan dengan
terang-terangan?
Keempat, Realitas Muhâsabah yang Dilakukan Salafunâ al-Shâlih
Realitas muhasabah yang dilakukan oleh para shahabat ra
terhadap para penguasa. Apabila kita meneliti secara jernih dan mendalam
realitas koreksi terhadap penguasa yang dilakukan oleh shahabat ra dan para
ulama mu’tabar, dapat disimpulkan bahwa mereka melakukan muhasabah dengan
berbagai macam cara, termasuk terang-terangan di muka publik. Riwayat-riwayat
berikut ini menjelaskan kepada kita bagaimana cara-cara muhasabah yang mereka
lakukan.
·
Al-Husain bin ‘Ali –radhiyaLlâhu ’anhu-, pemimpin pemuda ahlul jannah, memisahkan diri
(khuruj) dari penguasa fajir Khalifah Yazid bin Mu’awiyyah. Al-Husain –radhiyaLlâhu ’anhu- dibai’at oleh penduduk Kufah pada tahun 61 H.
Beliau pun mengutus anak pamannya, Muslim bin ‘Aqil –radhiyaLlâhu ’anhu- untuk mengambil bai’at penduduk Kufah untuk dirinya. Dan
tidak kurang 18 ribu orang membai’at dirinya. Dan di dalam sejarah, tak seorang
pun menyatakan bahwa Al-Husain –radhiyaLlâhu ’anhu- dan penduduk Kufah pada saat itu termasuk firqah
(kelompok) yang sesat )”.[10] Ini
merupakan cara yang dilakukan oleh Imam al-Husain bin ‘Ali –radhiyaLlâhu ’anhu- untuk mengoreksi (muhasabah) kepemimpinan Yazid
bin Mu’awiyyah.
·
Sebelum Al-Husain bin ‘Ali –radhiyaLlâhu ’anhu-, kaum Muslim juga menyaksikan Ummul Mukminin ‘Aisyah ra
yang memimpin kaum Muslim untuk khuruj dari Khalifah Ali bin Abi Thalib –radhiyaLlâhu ’anhu-. Inilah cara Ummul Mukminin ‘Aisyah ra mengoreksi
Khalifah Ali bin Abi Thalib –radhiyaLlâhu ’anhu-. Hingga akhirnya, meletuslah peperangan yang
sangat besar dan terkenal dalam sejarah, Perang Jamal.
·
Ketika Umar bin Khaththab –radhiyaLlâhu ’anhu- berkhuthbah di hadapan kaum Muslim, setelah beliau
diangkat menjadi Amirul Mukminin, beliau berkata, “Barangsiapa di antara
kalian melihatku bengkok, maka hendaklah dia meluruskannya”. Seorang
laki-laki Arab berdiri dan berkata, “Demi Allah wahai Umar, jika kami
melihatmu bengkok, maka kami akan meluruskannya dengan tajamnya pedang kami”.
·
Pada saat Umar bin Khaththab –radhiyaLlâhu ’anhu- mengenakan baju dari kain Yaman yang diperoleh dari
harta ghanimah. Beliau kemudian berkhuthbah di hadapan para shahabat dengan
baju itu, dan berkata, “Wahai manusia dengarlah dan taatilah…” Salman Al-Farisi
–radhiyaLlâhu ’anhu-, seorang shahabat mulia berdiri seraya berkata
kepadanya, “Kami tidak akan mendengar dan mentaatimu”. Umar berkata, “Mengapa
demikian?” Salman menjawab, “Dari mana kamu mendapat pakaian itu, sedangkan
kamu hanya mendapat satu kain, sedangkan kamu bertubuh tinggi? Beliau menjawab,
“Jangan tergesa-gesa, lalu beliau memanggil, “Wahai ‘Abdullah”. Namun tidak
seorang pun menjawab. Lalu beliau berkata lagi, “Wahai ‘Abdullah bin Umar..”.
‘Abdullah menjawab, “Saya wahai Amirul Mukminin”. Beliau berkata, “Bersumpahlah
demi Allah, apakah kain yang aku pakai ini kainmu? Abdullah bin Umar –radhiyaLlâhu ’anhu- menjawab, “Demi Allah, ya”. Salman berkata,
“Sekarang perintahlah kami, maka kami akan mendengar dan taat”.[11]
·
Amirul Mukminin Mu’awiyyah –radhiyaLlâhu ’anhu- berdiri di atas mimbar setelah memotong jatah harta
beberapa kaum Muslim, lalu ia berkata, “Dengarlah dan taatilah..”. Lalu,
berdirilah Abu Muslim Al Khulani mengkritik tindakannya yang salah, “Kami tidak
akan mendengar dan taat wahai Mu’awiyyah!”. Mu’awiyyah berkata, “Mengapa wahai
Abu Muslim?”. Abu Muslim menjawab, “Wahai Mu’awiyyah, mengapa engkau memotong
jatah itu, padahal jatah itu bukan hasil jerih payahmu dan bukan pula jerih
payah ibu bapakmu? Mu’awiyyah marah dan turun dari mimbar seraya berkata kepada
hadirin, “Tetaplah kalian di tempat”. Lalu, dia menghilang sebentar dari
pandangan mereka, lalu keluar dan dia sudah mandi. Mu’awiyyah berkata,
“Sesungguhnya Abu Muslim telah berkata kepadaku dengan perkataan yang membuatku
marah. Saya mendengar Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- bersabda, “Kemarahan itu termasuk perbuatan
setan, dan setan diciptakan dari api yang bisa dipadamkan dengan air. Maka jika
salah seorang di antara kalian marah, hendaklah ia mandi”. Sebenarnya saya
masuk untuk mandi. Abu Muslim berkata benar bahwa harta itu bukan hasil jerih
payahku dan bukan pula jerih payah ayahku, maka ambillah jatah kalian”.[12]
·
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani berdiri di atas mimbar
untuk mengkritik dan memberikan nasihat kepada Gubernur Yahya bin Sa’id yang
terkenal dengan julukan Ibnu Mazâhim Al-Dzâlim Al-Qadha. Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
berkata, “Semoga orang Islam tidak dipimpin oleh orang yang paling dzalim; maka
apa jawabanmu kelak ketika menghadap Tuhan semesta alam yang paling pengasih?
Gubernur itu gemetar dan langsung meninggalkan apa yang dinasihatkan
kepadanya”.[13]
Dalam keterangan lainnya, beliau mengoreksi Khalifah al-Muqtafi terang-terangan
di atas mimbar masjid karena mengamanahkan jabatan hakim peradilan kepada orang
yang berbuat kezhaliman-kezhaliman.[14]
·
Sulthan al-‘Ulama, Imam Al-‘Izz bin Abdus Salam telah
mengkritik Sulthan Ismail yang telah bersekongkol dengan orang-orang Eropa
Kristen untuk memerangi Najmuddin bin Ayyub. Ulama besar ini tidak hanya
membuat fatwa, tetapi juga mengkritik tindakan Ismail di atas mimbar Jum’at di
hadapan penduduk Damaskus. Saat itu Ismail tidak ada di Damaskus. Akibat fatwa
dan khuthbahnya yang tegas dan lurus, Al-’Izz bin ‘Abdus Salam dipecat dari
jabatannya dan dipenjara di rumahnya.[15]
Kisah-kisah di atas menunjukkan bagaimana cara para ulama
shalih dan mukhlish menasihati penguasa-penguasanya. Kisah-kisah semacam ini
sangat banyak disebut di dalam kitab-kitab tarikh. Mereka tidak segan-segan
untuk menasihati para penguasa menyimpang dan dzalim secara terang-terangan,
mengkritik kebijakannya di mimbar-mimbar terbuka, maupun fatwa-fatwanya. Lalu,
bagaimana bisa dinyatakan bahwa menasihati penguasa haruslah dengan empat mata
saja, sementara ulama-ulama yang memiliki ilmu dan ketaqwaannya justru memilih
melakukannya dengan terang-terangan dan terbuka?
Kelima, Kelemahan Dalil Hadits yang Dijadikan Sandaran Wajibnya Mengoreksi Penguasa
Secara Empat Mata
Kelemahan
hadits riwayat Imam Ahmad. Sebagian
ulama mengharamkan mengkritik pemimpin secara terbuka berdasar hadits Iyadh bin
Ghanam, bahwa Nabi –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- bersabda:
«مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ،
فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً، وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ، فَيَخْلُوَ بِهِ، فَإِنْ
قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ، وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ»
"Barangsiapa hendak menasihati penguasa akan suatu perkara, janganlah
dia menampakkan perkara itu secara terang-terangan, tapi peganglah tangan
penguasa itu dan pergilah berduaan dengannya. Jika dia menerima nasihatnya, itu
baik, kalau tidak, orang itu telah menunaikan kewajibannya pada penguasa
itu." (HR Ahmad).
Menurut sebagian ulama, hadits ini dha’if karena sanadnya
terputus (inqitha’) dan ada periwayat hadits yang lemah, yaitu seorang perawi
bernama Muhammad bin Ismail bin ‘Iyasy[16],
tentang masalah ini bisa dirujuk lebih mendalam dalam kutayb berjudul Al-Jahr
wa al-I’lân bi Dha’f Hadîts al-Kitmân fî Munâshahat al-Sulthân karya Abu
Marwan al-Sudani. []
[1] Diadaptasi dari tulisan Ust. Syamsuddin Ramadhan yang
menjelaskan hukum mengoreksi penguasa terbuka di dalam Islam, dengan tahqiq dan
catatan tambahan dari pen-tahqiq, disampaikan dalam pengajian 18 Desember 2016, dipresentasikan oleh: al-Akh Harry Rachmatulah
[2] Catatan tambahan Irfan Abu Naveed, M.Pd.I.
[3] Mushthafa Amin dkk, Al-Balâghah al-Wâdhihah: al-Bayân wa al-Ma’ânî wa
al-Badî’, Dâr al-Ma’ârif, 1999, hlm. 206; Dr. Abdul Aziz bin Ali
al-Harbi, Al-Balâghah al-Muyassarah, Beirut: Dâr Ibn Hazm, cet. II, 1432
H/2011, hlm. 52.
[4] Abdul ‘Azhim Ibn Abi al-Ishba’ al-Baghdadi, Tahrîr al-Tahbîr fî
Shinâ’at al-Syi’r wa al-Natsr wa Bayân I’jâz al-Qur’ân, UEA: Al-Majlis
al-A’lâ li al-Syu’ûn al-Islâmiyyah, hlm. 548.
[5] Ibid.
[6] Taqiyuddin Abu Bakr bin Ali Ibn Hujjah al-Hamawi, Khizânat al-Adab wa
Ghâyat al-Arab, Beirut: Dâr wa Maktabat al-Hilâl, 2004, juz II, hlm. 401.
[7] Tim Pakar, Al-Balâghah wa al-Naqd, Riyâdh: Universitas Muhammad bin
Su’ud, cet. II, 1425 H, hlm. 94.
[8] Abdul ‘Azhim Ibn Abi al-Ishba’, Tahrîr al-Tahbîr fî Shinâ’at al-Syi’r
wa al-Natsr wa Bayân I’jâz al-Qur’ân, hlm. 548.
[9] Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syarf al-Nawawi, Al-Minhâj Syarh Shahîh
Muslim, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabi, cet. II, 1392 H, juz XII,
hlm. 242.
[10] Lihat: Al-Bidâyah wa Al-Nihâyah, juz 8, hlm. 217
[11] ‘Abdul ‘Aziz Al Badri, Al-Islâm bayna al-‘Ulamâ’ wa al-Hukkâm
(Terjemah: Hitam Putih Wajah Ulama dan Penguasa), hlm. 70-71.
[12] Hadits ini dituturkan oleh Abu Nu’aim dalam Kitab Al-Hilyah, dan
diceritakan kembali oleh Imam Al Ghazali dalam Kitab Al-Ihyâ’, juz 7, hlm.
70.
[13] Qalâ’id Al-Jawâhir, hlm. 8.
[14] Dr. Ali Muhammad al-Shallabi, Al-'Âlim al-Kabîr wa al-Murabbi al-Syahîr
al-Syaikh ’Abd al-Qadir al-Jaylani, Kairo: Mu’assasat Iqra’, cet. I, 1428 H, hlm.
85.
[15] Al-Subki, Al-Thabaqat,
dan lain-lain.
[16] Silahkan lihat
Kitab Muhâsabah al-Hukkâm, hlm. 41-43.
Comments
Post a Comment