
22 January 2017
Undangan Kajian Akidah & Ruqyah di Kendari (Bedah Buku)

Reactions: |

16 January 2017
Spirit Keimanan & Sinyalemen Persatuan Umat Menyongsong Tegaknya Al-Khilafah
Dipresentasikan Oleh:
Irfan Hilmy[1]
Tahqîq & Ta’lîq: Irfan
Abu Naveed, M.Pd.I
ksi 212 tanggal 2 Desember 2016, menjadi momen bersejarah bagi umat Islam, khususnya umat Islam di
Indonesia.
Inilah momen ketika terjadi pertemuan akbar umat Islam di jantung Ibukota Jakarta. Umat Islam tumpah ruah
menggitari Monumen Nasional (Monas Jakarta) dan wilayah-wilayah sekitarnya dari
berbagai penjuru wilayah di Indonesia. Bukan sekadar berjumpa untuk bertutur
sapa, mereka menuntut keadilan dalam kasus penistaan agama (al-Qur’an) yang
dilakukan Ahok, Basuki Tjahya Purnama.
Spirit keimanan kentara
melatarbelakangi aksi ini, tak sirna tersapu oleh guyuran air hujan. Bahkan air
hujan yang turun dari langit menjadi berkah tersendiri, terutama bagi sebagian
orang yang menggunakannya sebagai air bersuci (berwudhu) untuk menunaikan
ibadah shalat Jum’at. Mereka tetap bertahan, sebagaimana mereka pun mau
bersabar, melangkahkan kaki dari berbagai daerah, menempuh perjalanan untuk
satu tujuan dilatarbelakangi keimanan.
Upaya sistematis yang digawangi sebagian oknum,
untuk mencekal partisipasi massa dari berbagai daerah dalam aksi ini, tak mampu
menyurutkan semangat juang dan pengorbanan mereka. Bahkan semakin ditekan,
umat Islam semakin kokoh dalam perjuangan, ibarat bola dalam air yang semakin ditekan
ke bawah semakin terdorong ke atas. Karena sifat dorongan keimanan takkan goyah
oleh celaan orang-orang yang mencela. Bahkan ribuan umat Islam dari Ciamis, Jawa Barat, menjadi pendobrak
kebuntuan. Setelah tak bisa mendapatkan akses transportasi bus ke Jakarta, mereka mengambil keputusan di luar prediksi: berjalan kaki. Sikap ini, membungkam
upaya-upaya pencekalan, yang akhirnya berbalik merugikan para oknum ini,
kekalahan opini dan mengalirnya dukungan dari berbagai pihak atas umat Islam,
sekaligus mengobarkan spirit umat Islam lainnya dari berbagai daerah. Sehingga
menjadikan aksi 212, sebagai pertemuan akbar di luar prediksi.
Aksi 212, membuktikan
umat Islam mampu bersatu untuk satu tujuan, mereka berkumpul dan berbagi tanpa memandang siapa yang mereka beri. Mereka rela memungut sampah-
sampah orang lain. Di tengah lautan manusia, mereka saling menghormati dan
menjaga ketertiban dan kedamaian, sehingga tak bisa dipungkiri bahwa aksi 212
sekaligus membuktikan betapa umat Islam dalam sepak terjangnya mampu menjadi
umat yang damai, tertib, dan bermartabat, di tengah carut marut kehidupan umat
yang tertindas di negeri sendiri.
Poin ini sudah seharusnya semakin mendorong
para pengemban dakwah untuk bergerak, bahwa masih ada di antara umat Islam
(objek dakwah), di tengah-tengah kehidupan di bawah naungan kapitalisme yang
menyebarkan virus mematikan penyakit wahn (cinta dunia dan takut mati), yang
masih memiliki semangat dan tanggung jawab membela agamanya, untuk diseru
bersama-sama memperjuangkan penegakkan Islam secara totalitas dalam kehidupan. Dalam perinciannya,
ada poin-poin penting yang perlu diulas sebagai berikut:
A.
Pentingnya Spirit Keimanan
Umat Islam bisa bersatu, padahal selama ini seringkali distigma sebagai
umat yang berpecah
belah, karena ragam perbedaan yang melatarbelakanginya. Namun aksi 212 menguatkan bukti bahwa umat
Islam masih bisa dipersatukan, menepis batas-batas madzhab, kelompok dan
organisasi, seluruhnya bisa bersatu sebagai gerakan bersama. Dari seruan-seruan
yang digaungkan, lisan dan tulisan, serta peristiwa demi peristiwa yang terjadi
sebelum dan selama berlangsungnya aksi, serta kesudahannya, bisa disimpulkan
bahwa spirit yang menjadi arus utama dalam aksi 212 adalah spirit keimanan,
dorongan akidah Islam yang diwujudkan dalam bentuk tanggung jawab membela
al-Qur’an dan kecintaan terhadapnya.
Dorongan keimanan (akidah) dan kecintaan
mereka terhadap Islam adalah poin terpenting dalam upaya membangun kesadaran
politik umat. Dalam catatan sejarah keemasan Islam, dorongan akidah ini mampu
menggerakan seorang muslim, hingga rela mengorbankan jiwa, waktu dan harta
bendanya untuk berjuang di jalan Allah, kisah-kisah heroik dari zaman Nabi –shallallâhu ’alayhi wa sallam- dan para sahabatnya adalah bukti paling nyata atas kekuatan akidah yang agung
ini. Dari dorongan
keimanan dan kesadaran, akan lahir keta’atan dan pengorbanan,
dan dari keta’atan dan pengorbanan, akan turun pertolongan Allah ’Azza wa Jalla. Bukankah dalam shalat, kita berulang-ulang kali membaca
kalimat:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ
وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ {٥}
”Hanya
Engkaulah kami beribadah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.”
(QS, Al-Fâtihah [1]: 5)
Inti dua
kalimat ini, adalah kalimat tauhid, sebagaimana dijelaskan Ibn Abbas r.a. makna:
(إِيَّاكَ نَعْبُدُ)
yakni kami mentauhidkan-Mu dan mena’ati-Mu, dan makna (وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ) yakni kami
memohon pertolongan-Mu untuk beribadah kepada-Mu dan memohon sandaran untuk
senantiasa mena’ati-Mu.[2]
Terlebih jika
dirinci lebih jauh, kata al-’ibâdah berkonotasi keta’atan dan
ketundukan. Kata ibadah dan pertolongan dalam ayat ini, menunjukkan bahwa aspek
peribadatan, keta’atan dan ketundukan terhadap Allah (dalam kata na’budu),
lebih didahulukan daripada aspek meminta pertolongan (dalam kata nasta’în),
menurut Imam Dhiya’uddin bin al-Atsir al-Katib (w. 637 H), hal ini termasuk
bentuk taqdîm al-sabab ’alâ al-musabbab, yakni mengedepankan sebab
daripada akibat, hal itu karena ibadah (keta’atan dan ketundukan) merupakan
sebab turunnya pertolongan Allah. Sikap mendahulukan ibadah yang hakikatnya
mendekatkan diri pada Allah, dan menjadi perantara hubungan hamba dengan-Nya,
sebelum meminta apa yang dibutuhkan jelas lebih menjamin keberhasilan meraih
apa yang diminta, dan lebih cepat memperoleh pengabulan do’a.[3]
Bahkan potensi kekuatan
ini pula yang mampu merekatkan seluruh umat Islam, dimana Allah dan Rasul-Nya
mengaitkan antara keimanan dan persaudaraan di antara orang beriman, dengan
menyifatinya sebagai dasar ukhuwwah (persaudaraan) umat. Bukankah Allah berfirman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا
بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ
تُرْحَمُونَ {١٠}
”Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara, maka damaikanlah
(perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah,
supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujurât
[49]: 10)
Maka untuk
menyempurnakan spirit keimanan dalam aksi 212, umat harus didorong untuk
bersatu dengan spirit keimanan, akidah Islam untuk memperjuangkan penerapan
Islam dalam kehidupan. Ghîrah yang ditanamkan
dalam diri umat tak boleh berhenti dalam menghadapi penghinaan terhadap
al-Qur’an saja, tapi juga menyoal penegakkan hukum-hukum al-Qur’an, yang secara
sistematis disisihkan dalam pengaturan kehidupan saat ini yang sekularistik.
Maka peranan para ulama sangat dibutuhkan dalam membangun kesadaran politik
umat, membumikan al-Qur’an dalam kehidupan sebagai jawaban atas konsekuensi
keimanan. Ini merupakan tugas para ulama dan da’i sebagai bagian dari kesadaran
politik, dan sebagai pemegang peranan penting dalam proyek kebangkitan umat.
B.
Tak
Boleh Berhenti Pada Kasus Ahok
Kasus Ahok, sebenarnya
merupakan efek domino dari pengabaian hukum-hukum Islam dalam kehidupan. Ketika
umat Islam tidak memiliki pemimpin yang satu untuk seluruh dunia (Khalifah),
dan tidak tegak kepemimpinan umat yang menjadikan al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai
dasar negara (Khilafah), sehingga tegak sebagai penggantinya sistem dan
kepemimpinan jahiliyyah yang bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Sunnah.
Kenyataan pahit ini menjadikan umat Islam, bagaikan anak ayam kehilangan
induknya, besar namun tercerai berai dan tak memiliki sosok yang dipuji
Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa sallam- sebagai junnah, penjaga umat.
Apa yang diinformasikan
Allah ’Azza wa Jalla dalam al-Qur’an sebagai pengaduan Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa sallam- pun
terjadi, yakni pengabaian terhadap hukum-hukum al-Qur’an (hajr al-Qur’an)
sekaligus penistaan berupa verbal dan sikap terhadap al-Qur’an al-Karim (hujr
al-Qur’an), yang hakikatnya merupakan peringatan atas kedua bentuk
kemungkaran tersebut, sebagaimana Allah informasikan dalam firman-Nya:
وَقَالَ الرَّسُوْلُ يَا رَبِّ إِنَّ
قَوْمِي اتَّخَذُوْا هَذَا الْقُرْآنَ مَهْجُوْرًا {٣٠}
“Berkatalah
Rasul, “Wahai Rabb-ku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan al-Quran ini
sebagai sesuatu yang dicampakkan.” (QS. Al-Furqân [25]: 30)
Para ulama tafsir merinci
dua kemungkinan konotasi makna kata mahjûr[an], ia
berasal dari kata al-hajr, atau dari kata al-hujr. Kata al-hajr yakni al-tark (mencampakkan).
Jadi, mahjûr[an] berarti matrûk[an], sesuatu
yang dicampakkan, dengan tidak mengimaninya, tidak mau menerimanya, atau tidak
mengamalkan ajarannya.[4] Sedangkan kata al-hujr, yakni kata-kata keji.[5] Maksudnya, perkataan yang batil dan keji terhadap
al-Quran, seperti stigma sihir atau sya’ir.[6] Dalam perinciannya, para ulama merinci sikap dan
perilaku yang dikategorikan sebagai hajr al-Qur’ân (mencampakkan
al-Quran), di antaranya menolak untuk mengimani dan membenarkannya; tidak mau
men-tadaburi dan memahaminya; tidak mengamalkan dan
mematuhi perintah dan larangannya; berpaling darinya, di antaranya dengan
mengambil jalan hidup dari selainnya.[7]
Dalam kondisi saat ini, menegakkan sistem hukum
jahiliyyah yang menyalahi QS. Al-Mâ’idah [5]: 50, dan menyokong kepemimpinan
jahiliyyah yang menyalahi QS. Al-Mâ’idah [5]: 51, termasuk perbuatan
mengabaikan al-Qur’an yang wajib dihindari dengan segenap kemampuan. Tanpa menerapkan QS. Al-Mâ’idah [5]: 50-51 dalam konteks bernegara yang diatur dengan aturan Islam, maka akan
muncul Ahok-Ahok baru. Maka umat harus terus maju, dan bangkit untuk kemuliaan
Islam, spirit 212 harus diarahkan untuk melanjutkan perjuangan menegakkan
kembali kehidupan Islam.
Terlebih aksi 212,
menguatkan sinyalemen persatuan umat yang begitu kentara, didukung alasan bahwa
pelaku penistaan al-Qur’an ini masih bebas berkampanye, dan dapat dipastikan
takkan dihukum dengan sanksi yang adil dari Allah Yang Maha Adil, yakni sanksi
hukum Islam. Maka diperlukan upaya serius pengemban dakwah, untuk mengarahkan
spirit 212 agar berada pada jalur yang seharusnya, yakni spirit untuk
memperjuangkan kehidupan Islam, memperjuangkan penerapan hukum-hukum Islam
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
C.
Panji Ar-Rayah, Disambut Hangat Umat

«كَانَ لِوَاءُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبْيَضَ، وَرَايَتُهُ سَوْدَاءَ»
“Bendera
(liwâ’) Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa sallam- berwarna putih, dan panjinya (râyah) berwarna hitam.”
(HR. Al-Hakim dalam al-Mustadrak)
Dalam momen 212, panji hitam yang disambut berukuran
raksasa, 15 x 10,5 m bertuliskan kalimat syahadat: Lâ ilâha illaLlâh Muhammad RasûluLlâh,
berwarna putih diarak berkeliling diatas kepala massa yang memenuhi pelataran
Monumen Nasional Jakarta dalam aksi 212. Bendera produksi syabab Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Chapter Kampus
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini, bergerak bak gelombang dari tangan ke
tangan. Tak ada satu pun yang risih terhadap bendera tersebut. Semua saling
membantu membentangkan Ar-Raayah sampai akhirnya Ar-Raayah menjadi ikon foto di sejumlah media baik
dalam maupun luar negeri. Pengambilan gambar oleh drone tak hanya memfokuskan pada jumlah massa yang besar, tapi juga membidik Ar-Raayah yang terbentang di tengah-tengah massa.
Sambutan massa yang luar biasa ini pun
mengisyaratkan bahwa stigmasisasi negatif terhadap bendera Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa sallam- oleh aparat kepolisian khususnya Densus 88 –selalu
berusaha mengidentikan bendera itu dengan bendera ISIS– tak berhasil. Umat
sangat memahami, panji itu bagian dari syi’ar Islam. Makanya, sebagaimana bisa dilihat dan
didengar di youtube, massa melafalkan kalimat tahmiid ketika memindahkan panji raksasa ini.
Penisbatan panji seperti ini dalam hadits-hadits sebagai
panji Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa sallam-, memperjelas kedudukannya sebagai bagian dari syi’ar
Islam. Terlebih konten dari panji tersebut adalah kalimat tauhid, lâ ilâha
illaLlâh, yang menjadi kalimat pemisah antara iman, Islam dan kekufuran. Maka
jelas bahwa bendera dan panji agung ini termasuk syi’ar Islam yang wajib
dijunjung tinggi, dibela dan dibersihkan dari berbagai stigma negatif kaum
Kafir dan sekutunya dari kaum Munafik, yang menstigmanya sebagai bendera
teroris, stigma tersebut jelas kebatilannya.
Seorang muslim wajib menjunjung tinggi panji ini di atas
panji-panji syi’ar jahiliyyah, yang menjadi simbol perpecahan dan simbol
paham-paham kufur, karena mengagungkan dan menjunjung tinggi syi’ar Islam
bagian dari apa yang Allah firmankan:
ذلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ
اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ {٣٢}
”Demikianlah (perintah Allah) dan siapa saja yang mengagungkan
syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan qalbu.” (QS. Al-Hajj [22]: 32)
Yakni sikap yang lahir dari ketakwaan kepada Allah,
Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani al-Syafi’i (w. 1316 H) pun menjelaskan di
antara sifat terpuji (الصفات
المحمودية) yang tentunya
melekat pada orang yang bertakwa adalah mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah (تعظيم شعائر الله) yakni
syi’ar-syi’ar Din-Nya.[8] Syi’ar ini pun menjadi simbol persatuan, mengingat
kalimat yang termaktub di dalamnya merupakan kalimat tauhid yang menyatukan
umat Islam.
D. Ayat Suci di Atas Ayat Konstitusi
Salah satu momen terpenting lain yang harus
diarahkand dan dikobarkan adalah materi khutbah shalat jumat, yang menekankan
pada aspek keluhuran ayat suci di atas “ayat konstitusi”, Habib Rizieq Shihab
mengingatkan, “Bagaimana Allah menyindir di Surat Al-Maidah ayat 50 terhadap
mereka yang tidak mau menggunakan hukum Allah, yang tidak mau tunduk kepada
hukum Allah. Apa yang Allah katakan untuk mereka? Apakah mereka menghendaki
hukum Jahiliyyah? Apakah mereka menghendaki ketetapan jahiliyah? Selanjutnya
Allah menyatakan, tidak ada satu pun hukum, dari makhluk manapun, yang lebih
baik dari hukum Allah, bagi mereka yang yakin beriman kepada Allah. Karena itu
kepada segenap kaum Muslimin Indonesia, tancapkan dalam sanubarimu yang paling
dalam, bahwa hukum Allah diatas segalanya. Bahwa ayat suci adalah diatas ayat konstitusi. Kenapa? Karena ayat suci adalah
kalam ilahi. Firman ilahi. Hingga menjadi harga mati untuk dipatuhi, untuk
ditaati. Tidak boleh diganti. Tidak boleh direvisi. Sedangkan konstitusi itu adalah produk akal
basyari (manusia –red), produk akal insani. Sehingga tidak boleh bertentangan
dengan ayat suci.”
Hal ini mengingatkan kita pada wasiat agung yang mulia Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa sallam-:
«يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ
فِيكُمْ مَا إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ فَلَنْ تَضِلُّوا أَبَدًا كِتَابَ اللَّهِ
وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ»
”Wahai umat manusia,
sesungguhnya aku telah meninggalkan bagi kalian apa-apa yang jika kalian
berpegang teguh pada keduanya, maka tidak akan tersesat selama-lamanya yaitu
Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.” (HR. Al-Hakim, al-Baihaqi dan lainnya)
Imam al-Munawi (w. 1031 H) menjelaskan bahwa al-Qur’an
dan al-Sunnah merupakan perkara prinsipil, dimana tidak ada seseorang pun yang
boleh berpaling dari keduanya, dan tidak ada yang bisa meraih petunjuk kecuali
dari petunjuk keduanya, dan terpeliharanya seseorang dari kemaksiatan serta
diraihnya keberhasilan adalah dengan berpegang teguh terhadap keduanya, maka
kewajiban kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, merupakan hal yang diketahui
bagian dari agama ini secara pasti.[9] Al-Hafizh Ibnu Hajar
al-’Asqalani (w. 852 H) pun mengisyaratkan hal yang sama yakni berpegang teguh
padanya dan mengamalkan tuntutan-tuntutan di dalamnya.[10] Maka dengan demikian kita
membutuhkan petunjuk, pedoman dan standar nilai dari al-Qur’an dan al-Sunnah
secara pasti.
Wasiat Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa sallam- terhadap umat manusia untuk
berpegang teguh terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah, mencakup kewajiban menjadikan
al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai dasar negara dan hukum perundang-undangan,
mencakup aspek politik dalam negeri maupun politik luar negeri. Kata yâ
ayyuhannâs (wahai manusia), dengan ungkapan seruan harf al-nidâ’ (kata
seru yâ ayyuha_) dengan objek seruan yakni al-nâs (bentuk plural
yang artinya manusia), menunjukkan bahwa wasiat Nabi –shallallâhu ’alayhi wa sallam- ini merupakan
wasiat agung yang ditujukan kepada umat manusia secara umum, termasuk pemimpin
kaum Muslim dan kaum Muslim pada umumnya.
Bahkan
wasiat Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa sallam- kepada pemimpin untuk menegakkan hukum al-Qur’an dan
al-Sunnah merupakan perkara yang sangat krusial, mengingat kedudukan pemimpin
yang menentukan arah kehidupan masyarakat luas, hal ini disaksikan oleh
hadits-hadits lainnya. Para ulama pun menjelaskan kewenangan penguasa menegakkan
hukum persanksian.
E. Mengembalikan Ayat Suci Ke Posisi Tertinggi
Sikap negara yang meletakan konstitusi di
atas ayat suci, menurut Ketua DPP HTI Shidiq Al-Jawi akibat penerapan prinsip demokrasi dalam
bernegara. Demokrasi, prinsip utamanya adalah kedaulatan di tangan rakyat, maknanya
manusia yang membuat hukum, bukan yang lain Penerapan demokrasi ini yang sebenarnya
menjungkirbalikan segala norma agama, yang kemudian menjadi subordinat atau
dtundukan di bawah hukum buatan manusia.
Dengan prinsip demokrasi ini, negara berusaha menempatkan ayat
konstitusi (hukum positif) di atas ayat suci (norma syariah Islam), “Jelas ini adalah pandangan yang bermasalah.
Bagi seorang Muslim, hukum Islam itu posisinya lebih tinggi daripada hukum
buatan manusia.” Bahkan merupakan masalah yang serius, karena sudah menyangkut urusan keimanan bagi
seorang Muslim.
Ketua Lajnah Siyasiyah DPP HTI Yahya
Abdurrahman menegaskan, hukum dan aturan Allah SWT pun harus ditempatkan di
atas hukum dan aturan buatan manusia. Apalagi hukum dan aturan Allah SWT yang
sempurna pasti membawa kemaslahatan bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun
di akhirat. Sehingga jelas bahwa tidak layak umat Islam berpijak pada paham Demokrasi
sekularistik yang sesat dan menyesatkan, yang telah merendahkan kedudukan Al-Qur’an
dibawah konstitusi.
Padahal Allah SWT telah berfirman:
وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ {٦١}
”Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi diatas semua
hamba-Nya (QS. Al-An’âm [6]: 61)
Kemudian firman allah SWT dalam QS. Al-Mâ’idah [5]: 49:
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ
أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ
{٤٩}
”Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan
berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari
sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (QS. Al-Mâ’idah [5]: 49)
Ayat itu, mengharuskan kaum Muslim tunduk dan
ridha terhadap syariah Allah SWT. Adapun langkah menuju upaya menjadikan ayat suci
sebagai konstitusi tertinggi bisa disimpulkan sebagai berikut:
Pertama, Harus ada dakwah Islam kepada publik yang
terus menerus untuk menjelaskan keunggulan dan keutamaan syariah Islam,
termasuk dakwah untuk menjelaskan kebatilan demokrasi yang menjadi sumber
penolakan keunggulan syariah islam.
Kedua, Harus ada formulasi syariah Islam yang
komprehensif dalam segala bidang kehidupan, yang terwujud dalam sebuah rancangan
konstitusi syariah islam.
Ketiga, Harus ada negara yang berkomitmen kuat untuk
menerima rancangan
konstitusi syariah islam tersebut. Dan tak ada negara yang paling layak untuk
menerapkan rancangan konstitusi syariah Islam itu, kecuali negara khilafah.
F. Khatimah
Berdasarkan pemaparan poin-poin penting di
atas, ghirah umat Islam dalam aksi 212, harus benar-benar diarahkan ke arah
perubahan hakiki, tak berhenti menyoal kasus penistaan al-Qur’an, tapi juga
harus sampai pada permasalahan inti, terabaikannya penerapan hukum-hukum
al-Qur’an dan al-Sunnah (syari’at Islam) dalam kehidupan, oleh sebab tiadanya
sistem Islam al-Khilafah, digantikan dengan sistem sekular Demokrasi. Umat
Islam harus disadarkan dan dibangunkan dari tidurnya yang panjang, untuk
bersegera menyongsong abad kebangkitan umat ini, dengan berjuang menegakkan
al-Khilafah ’ala Minhaj al-Nubuwwah, bi nashriLlaah.
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ
وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ
مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ
فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ {٥٥}
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu
dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan
mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang
sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang
telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan)
mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap
menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. dan
Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah
orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Nûr [24]: 55)
Wa biLlâhi al-Tawfîq. []
[1] Dikumpulkan dari berbagai sumber, berikut catatan-catatan tambahan
dari LTS DPD II HTI Kab. Sukabumi, disampaikan dalam Halqah Syahriyyah DPD
II HTI Kab. Sukabumi, 15 Januari 2017.
[2] Abdullah bin Abbas, Tanwîr al-Miqbâs Min Tafsîr Ibn
‘Abbâs, Lebanon: Dâr al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, t.t., hlm. 2.
[3] Dhiya’uddin bin al-Atsir al-Katib, Al-Mitsl al-Sâ’ir fî Adab al-Kâtib
wa al-Syâ’ir, Kairo: Dâr al-Nahdhah, juz II, hlm. 182.
[4] Abu Thayyib al-Qinuji, Fath al-Bayân fî Maqâshid al-Qur’ân,
Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah, 1412 H, juz IX, hlm. 305.
[5] Al-Raghib al-Ashfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, Beirut:
Dâr al-Qalam, cet. I, 1412 H, juz I, hlm. 833.
[6] Ibn Jarir al-Thabari, Tafsîr al-Thabarî, Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, cet. I,
1420 H, juz XIX, hlm. 264.
[7] Abu al-Fida’ Ibn Katsir, Tafsîr
al-Qur’ân al-‘Azhîm, Dâr Thayyibah, cet. II, 1420 H, juz VI, hlm. 108.
[8] Muhammad Nawawi bin Umar, Mirqât Shu’ûd al-Tashdîq fî Syarh Sullam
al-Tawfîq, Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, cet. I, 1431 H, hlm. 103.
[9] ‘Abdurra’uf bin Tajul ’Arifin al-Munawi, Al-Taysîr bi Syarh
al-Jâmi’ al-Shaghîr, Riyadh: Maktabat al-Imâm al-Syâfi’i, cet. III, 1408 H,
juz I, hlm. 447.
[10] Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bâri Syarh Shahîh
al-Bukhâri, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1379 H, juz V, hlm. 361.
Labels:
Tsaqafah
Reactions: |

12 January 2017
Mengoreksi Penguasa Secara Terbuka dalam Islam
Tahqiq & Ta'liq: Ust Irfan Abu Naveed, M.Pd.I [1]
Dosen Fikih Siyasah, Bahasa Arab
Penulis Buku "Konsep Baku Khilafah Islamiyyah"
Dosen Fikih Siyasah, Bahasa Arab
Penulis Buku "Konsep Baku Khilafah Islamiyyah"
Beberapa waktu yang lalu, kaum Muslim di Indonesia melakukan aksi massa
terbesar sepanjang sejarah perjalanan bangsa Indonesia, yakni Aksi Bela Quran
Jilid II dan III, dimana kedua aksi ini dipicu kasus penistaan Al-Qur’an yang
dilakukan oleh Gubernur Provinsi DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama alias Ahok.
Aksi ini bertujuan mulia, membela al-Qur’an yang disakralkan kaum Muslim, dan
menuntut penegakkan keadilan bagi orang yang terbukti melakukan tindak
penistaan agama.
Meskipun begitu, ada segelintir kaum Muslim yang tidak sepakat
dan tidak mendukung aksi ini. Sekalipun bertujuan mulia, aksi ini dinilai sebagai
aksi massa yang tidak boleh dilakukan, karena mengoreksi penguasa secara terang-terangan
di muka publik, sementara mereka berasumsi Islam melarang pemeluknya mengoreksi
penguasa secara terang-terangan dan terbuka, wajib empat mata. Sehingga
disimpulkan bahwa aksi ini dan yang semacamnya, merupakan aksi yang melanggar
syari’at, apapun tujuannya. Padahal perlu dipahami dua poin utama berikut ini:
Mengoreksi penguasa yang lalai, salah dan keliru,
termasuk perkara yang ma’lûm bagian dari agama ini. Salah
satu hadits yang mendorong untuk mengoreksi penguasa, menasihati mereka, adalah
hadits dari Tamim al-Dari –radhiyaLlâhu ’anhu-, bahwa Nabi Muhammad –shallaLlâhu
’alayhi wa sallam- bersabda:
«الدِّينُ النَّصِيحَةُ»
“Agama itu adalah nasihat”
Para sahabat bertanya: “Untuk siapa?” Nabi–shallaLlâhu
’alayhi wa sallam- bersabda:
«لِلّهِ، وَلِكِتَابِهِ، وَلِرَسُوْلِهِ،
وَلِأَئِمَّةِ المُسْلِمِيْنَ، وَعَامَتِهِمْ»
“Untuk Allah, kitab suci-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan kaum
muslimin pada umumnya.” (HR. Muslim, Abu Dawud, Ahmad. Lafal Muslim)
Dalam tinjauan
ilmu balaghah, hadits ini mengandung bentuk penambahan lafal yang memiliki
faidah tertentu, dinamakan al-ithnâb[3]. Yakni
dengan adanya penyebutan
kata “لِأَئِمَّةِ المُسْلِمِيْنَ” (untuk pemimpin-pemimpin
kaum Muslim) di depan kata “وَعَامَتِهِمْ” (kaum Muslim pada
umumnya), dimana kata “kaum Muslim” adalah lafal yang cakupannya umum (lafzhah
jâmi’ah), mencakup pemimpin dan manusia secara umum.[4] Sedangkan “pemimpin kaum Muslim” merupakan kata khusus
yang termasuk bagian dari kaum Muslim pada umumnya, namun dalam hadits ini
pemimpin disebutkan secara khusus sebelum kaum Muslim, ini yang dinamakan al-ithnâb
dengan pola dzikr al-‘âm ba’da al-khâsh (penyebutan kata yang umum
setelah kata yang khusus), dalam istilah lain yakni dzikr al-basth,
sebagaimana penjelasan Ibn Abi al-Ishba’ al-Baghdadi (w. 654 H)[5] dan Ibn Hujjah al-Hamawi (w. 837 H)[6], dengan menjadikan hadits ini sebagai salah satu
contohnya.
Faidah dari pola ini adalah untuk mencakup keumuman kata
dan memberikan perhatian kepada kata yang khusus (لِإِفَادَةِ العُمُوْمِ
وَالشُّمُوْلِ وَالعِنَايَةِ بِالخَاصِّ)[7] atau berfaidah melengkapi makna yang dimaksud setelah
menyebutkan sesuatu yang harus disebutkan secara khusus (ليفيد
تتميم المعنى بعد تخصيص من يجب تخصيصه بالذكر)[8]. Artinya hadits ini pun mengandung penekanan:
pentingnya menasihati penguasa atau pemimpin kaum Muslim, namun bukan
sembarang nasihat, melainkan nasihat dengan landasan Din ini, sebagaimana
permulaan kalimat hadits ini, al-dîn al-nashîhah.
Di sisi lain, Rasulullah–shallaLlâhu
’alayhi wa sallam- pun secara khusus telah memuji aktivitas mengoreksi
penguasa zhalim, untuk mengoreksi kesalahannya dan menyampaikan kebenaran kepadanya:
«أَفْضَلَ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ»
“Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang benar kepada
pemimpin yang zhalim.” (HR. Ahmad, Ibn Majah, Abu Dawud, al-Nasa’i, al-Hakim dan lainnya)
«سَيِّدُ الشُهَدَاءِ حَمْزَةُ
بْنُ عَبْدُ الْمُطَلِّبِ، وَرَجُلٌ قَامَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ
وَنَهَاهُ فَقَتَلَهُ»
“Penghulu
para syuhada’ adalah Hamzah bin ‘Abd al-Muthallib dan orang yang mendatangi
penguasa zhalim lalu memerintahkannya (kepada kebaikan) dan mencegahnya (dari
keburukan), kemudian ia (penguasa zhalim itu) membunuhnya.” (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak,
al-Thabrani dalam al-Mu’jam
al-Awsath)
Kalimat afdhal al-jihâd dalam hadits pertama merupakan
bentuk tafdhîl
(pengutamaan), yang menunjukkan
secara jelas keutamaan mengoreksi penguasa, menyampaikan kebenaran kepada
penguasa yang berbuat zhalim. Sedangkan dalam hadits yang kedua, orang yang
mengoreksi penguasa, lalu dibunuh, maka dinilai sebagai sayyid
al-syuhadâ (penghulu
mereka yang mati syahid). Kedua
kalimat ini jelas merupakan indikasi pujian atas perbuatan mengoreksi penguasa,
dalam bentuk ikhbâr
(pemberitahuan). Maka, pemberitahuan tersebut bermakna jâzim (tegas). Sebab, jika sesuatu
yang dipuji tersebut tidak dilakukan akan mengakibatkan terjadinya pelanggaran
dan runtuhnya pelaksanaan hukum Islam, dan sebaliknya hukum Islam akan dapat
terlaksana jika aktivitas tersebut dilaksanakan, maka aktivitas tersebut
hukumnya wajib.
B. Hukum Mengoreksi Penguasa Secara Terbuka
Perlu kami tegaskan bahwa hukum asal amar makruf nahi
mungkar harus dilakukan secara terang-terangan, dan tidak boleh disembunyikan.
Ini adalah pendapat mu’tabar dan perilaku generasi salafunâ al-shâlih.
Namun, sebagian orang berpendapat bahwa menasihati seorang penguasa haruslah
dengan cara sembunyi-sembunyi (empat mata). Menurut mereka, seorang Muslim
dilarang menasihati penguasa secara terang-terangan di depan umum, mengungkap
kesalahan mereka di muka publik, karena ada dalil yang mengkhususkan. Pendapat
semacam ini adalah pendapat batil, dan bertentangan dengan realitas muhâsabah
li al-hukkâm yang dilakukan oleh Nabi –shallaLlâhu ’alayhi
wa sallam-, para sahabat dan
generasi-generasi al-salaf al-shâlih sesudah mereka.
Pasalnya, pendapat tersebut (keharusan mengoreksi
penguasa dengan sembunyi-sembunyi/empat mata) bertentangan dengan point-point
berikut ini:
Pertama, Teladan Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi
wa sallam- yang Mengoreksi
Pejabatnya Terang-Terangan
Perilaku Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi
wa sallam- dalam mengoreksi pejabat yang diserahi tugas
mengatur urusan rakyat (pemerintahan). Beliau SAW tidak segan-segan mengumumkan
perbuatan buruk yang dilakukan oleh pejabatnya di depan kaum Muslim, dengan
tujuan agar pelakunya bertaubat dan agar pejabat-pejabat lain tidak melakukan
perbuatan serupa. Imam Bukhari dan Muslim menuturkan sebuah riwayat dari Abu
Humaid Al-Sa’idi bahwasanya ia berkata: “Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi
wa sallam- mengangkat seorang laki-laki menjadi amil
untuk menarik zakat dari Bani Sulaim. Laki-laki itu dipanggil dengan nama Ibnu
Luthbiyyah. Tatkala tugasnya telah usai, ia bergegas menghadap Nabi –shallaLlâhu
’alayhi wa sallam-; dan Nabi
Muhammad –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- menanyakan
tugas-tugas yang telah didelegasikan kepadanya. Ibnu Lutbiyah menjawab, ”Bagian
ini kuserahkan kepada anda, sedangkan yang ini adalah hadiah yang telah
diberikan orang-orang (Bani Sulaim) kepadaku.”
Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- berkata, ”Jika engkau memang jujur, mengapa
tidak sebaiknya engkau duduk-duduk di rumah ayah dan ibumu, hingga hadiah itu
datang sendiri kepadamu”. Beliau –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam-
pun berdiri, lalu berkhutbah di hadapan
khalayak ramai. Setelah memuji dan menyanjung Allah swt, beliau bersabda, ”’Amma
ba’du. Aku telah mengangkat seseorang di antara kalian untuk menjadi amil dalam
berbagai urusan yang diserahkan kepadaku. Lalu, ia datang dan berkata, ”Bagian
ini adalah untukmu, sedangkan bagian ini adalah milikku yang telah dihadiahkan
kepadaku. Apakah tidak sebaiknya ia duduk di rumah ayah dan ibunya, sampai
hadiahnya datang sendiri kepadanya, jika ia memang benar-benar jujur? Demi Allah,
salah seorang di antara kalian tidak akan memperoleh sesuatu yang bukan haknya,
kecuali ia akan menghadap kepada Allah swt dengan membawanya. Ketahuilah, aku
benar-benar tahu ada seseorang yang datang menghadap Allah swt dengan membawa
onta yang bersuara, atau sapi yang melenguh, atau kambing yang mengembik. Lalu,
Nabi –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- mengangkat kedua tangannya memohon kepada
Allah swt, hingga aku (perawi) melihat putih ketiaknya”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Hadits di atas adalah dalil sharih yang menunjukkan bahwa
Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- pernah menasihati salah seorang pejabatnya
dengan cara mengungkap keburukannya secara terang-terangan di depan publik.
Beliau tidak hanya menasihati Ibnu Luthbiyyah dengan sembunyi-sembunyi, akan
tetapi membeberkan kejahatannya di depan kaum Muslim. Lantas, bagaimana bisa
dinyatakan bahwa menasihati penguasa haruslah dengan sembunyi-sembunyi (empat
mata), sedangkan Nabi –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam-, manusia yang paling mulia akhlaknya,
justru menasihati salah satu pejabatnya (penguasa Islam) dengan
terangan-terangan, bahkan diungkap di depan khalayak ramai?
Kedua, Perintah Nabi –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- Agar Menasihati Penguasa Zhalim
Secara Mutlak
Ada perintah dari Nabi –shallaLlâhu ’alayhi
wa sallam- agar kaum Muslim memberi nasihat kepada para
penguasa fajir dan dzalim secara mutlak. Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi
wa sallam- bersabda:
«سَيِّدُ الشُهَدَاءِ حَمْزَةُ
بْنُ عَبْدُ الْمُطَلِّبِ، وَرَجُلٌ قَامَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ
وَنَهَاهُ فَقَتَلَهُ»
“Penghulu
para syuhada’ adalah Hamzah bin ‘Abd al-Muthallib dan orang yang mendatangi
penguasa zhalim lalu memerintahkannya (kepada kebaikan) dan mencegahnya (dari
keburukan), kemudian ia (penguasa zhalim itu) membunuhnya.” (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak,
al-Thabrani dalam al-Mu’jam
al-Awsath)
Hadits
ini datang dalam bentuk umum. Hadits ini tidak menjelaskan secara rinci
tatacara mengoreksi seorang penguasa; apakah harus dengan sembunyi-sembunyi
atau harus dengan terang-terangan. Atas
dasar itu, seorang Muslim diperbolehkan menasihati penguasa dengan
terang-terangan atau sembunyi-sembunyi (empat mata).
Ketiga, Perintah Nabi –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- Mengoreksi Penguasa yang Menegakkan
Kekufuran dengan Pedang
Ada perintah dari Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi
wa sallam- untuk mengoreksi (muhasabah) penguasa hingga
taraf memerangi penguasa yang melakukan kekufuran yang nyata. Nabi –shallaLlâhu
’alayhi wa sallam- memerintahkan para shahabat untuk mengoreksi
penguasa dengan pedang, jika telah tampak kekufuran yang nyata. Imam al-Bukhari meriwayatkan hadits dari ‘Ubadah bin
Shamit –radhiyaLlâhu ’anhu-, ia berkata:
«دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ، فَقَالَ فِيْمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا
عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا، وَعُسْرِنَا
وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا، وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ،
إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا، عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ»
“Nabi –shallallâhu ’alayhi wa
sallam- mengundang kami, lalu kami mengucapkan
baiat kepada beliau, beliau –shallallâhu
’alayhi wa sallam- bersabda yakni dalam
segala hal yang diwajibkan kepada kami bahwa kami berbaiat kepada beliau untuk
selalu mendengarkan dan taat (kepada Allah dan Rasul-Nya), baik dalam
kesenangan dan kebencian kami, kesulitan dan kemudahan kami dan beliau juga
menandaskan kepada kami untuk tidak mencabut suatu urusan dari ahlinya kecuali
jika kalian (kita) melihat kekufuran secara nyata (dan) memiliki bukti yang
kuat dari Allah.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahîh-nya
& Muslim dalam Shahih-nya. Lafal al-Bukhari)
Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya
Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- bersabda:
«سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ
وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ
وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا»
“Akan datang para
penguasa, lalu kalian akan mengetahui kemakrufan dan kemungkarannya, maka siapa
saja yang membencinya akan bebas (dari dosa), dan siapa saja yang mengingkarinya
dia akan selamat, tapi siapa saja yang rela dan mengikutinya (dia akan
celaka)”. Para shahabat bertanya, “Tidaklah
kita perangi mereka?” Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan
shalat” Jawab Rasul.” (HR. Muslim)
Tatkala berkomentar terhadap hadits ini, al-Hafizh al-Nawawi,
dalam Syarah Shahih Muslim menyatakan, “Di dalam hadits ini
terkandung mukjizat nyata mengenai kejadian yang akan terjadi di masa depan,
dan hal ini telah terjadi sebagaimana yang telah dikabarkan oleh Rasulullah –shallaLlâhu
’alayhi wa sallam-.
Sedangkan makna dari fragmen, “Tidaklah kita perangi mereka?” Beliau bersabda,
“Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat,” jawab Rasul; adalah
ketidakbolehan memisahkan diri dari para Khalifah, jika mereka sekedar
melakukan kedzaliman dan kefasikan, dan selama mereka tidak mengubah satupun
sendi-sendi dasar Islam.”[9]
Hadits di atas menunjukkan bahwa dalam kondisi-kondisi
tertentu seorang Muslim wajib mengoreksi penguasa dengan terang-terangan,
bahkan dengan pedang jika para penguasanya melakukan kekufuran yang nyata.
Hadits-hadits di atas juga menjelaskan bahwa seorang Muslim wajib memisahkan
diri dari penguasa-penguasa yang melakukan kekufuran yang nyata. Selain itu,
riwayat di atas juga menunjukkan bahwa menasihati penguasa boleh dilakukan
dengan pedang, jika penguasa tersebut telah menampakkan kekufuran yang nyata.
Lalu, bagaimana bisa dinyatakan bahwa menasihati penguasa harus dilakukan
dengan sembunyi-sembunyi (empat mata) dan tidak boleh dilakukan dengan
terang-terangan?
Keempat, Realitas Muhâsabah yang Dilakukan Salafunâ al-Shâlih
Realitas muhasabah yang dilakukan oleh para shahabat ra
terhadap para penguasa. Apabila kita meneliti secara jernih dan mendalam
realitas koreksi terhadap penguasa yang dilakukan oleh shahabat ra dan para
ulama mu’tabar, dapat disimpulkan bahwa mereka melakukan muhasabah dengan
berbagai macam cara, termasuk terang-terangan di muka publik. Riwayat-riwayat
berikut ini menjelaskan kepada kita bagaimana cara-cara muhasabah yang mereka
lakukan.
·
Al-Husain bin ‘Ali –radhiyaLlâhu ’anhu-, pemimpin pemuda ahlul jannah, memisahkan diri
(khuruj) dari penguasa fajir Khalifah Yazid bin Mu’awiyyah. Al-Husain –radhiyaLlâhu ’anhu- dibai’at oleh penduduk Kufah pada tahun 61 H.
Beliau pun mengutus anak pamannya, Muslim bin ‘Aqil –radhiyaLlâhu ’anhu- untuk mengambil bai’at penduduk Kufah untuk dirinya. Dan
tidak kurang 18 ribu orang membai’at dirinya. Dan di dalam sejarah, tak seorang
pun menyatakan bahwa Al-Husain –radhiyaLlâhu ’anhu- dan penduduk Kufah pada saat itu termasuk firqah
(kelompok) yang sesat )”.[10] Ini
merupakan cara yang dilakukan oleh Imam al-Husain bin ‘Ali –radhiyaLlâhu ’anhu- untuk mengoreksi (muhasabah) kepemimpinan Yazid
bin Mu’awiyyah.
·
Sebelum Al-Husain bin ‘Ali –radhiyaLlâhu ’anhu-, kaum Muslim juga menyaksikan Ummul Mukminin ‘Aisyah ra
yang memimpin kaum Muslim untuk khuruj dari Khalifah Ali bin Abi Thalib –radhiyaLlâhu ’anhu-. Inilah cara Ummul Mukminin ‘Aisyah ra mengoreksi
Khalifah Ali bin Abi Thalib –radhiyaLlâhu ’anhu-. Hingga akhirnya, meletuslah peperangan yang
sangat besar dan terkenal dalam sejarah, Perang Jamal.
·
Ketika Umar bin Khaththab –radhiyaLlâhu ’anhu- berkhuthbah di hadapan kaum Muslim, setelah beliau
diangkat menjadi Amirul Mukminin, beliau berkata, “Barangsiapa di antara
kalian melihatku bengkok, maka hendaklah dia meluruskannya”. Seorang
laki-laki Arab berdiri dan berkata, “Demi Allah wahai Umar, jika kami
melihatmu bengkok, maka kami akan meluruskannya dengan tajamnya pedang kami”.
·
Pada saat Umar bin Khaththab –radhiyaLlâhu ’anhu- mengenakan baju dari kain Yaman yang diperoleh dari
harta ghanimah. Beliau kemudian berkhuthbah di hadapan para shahabat dengan
baju itu, dan berkata, “Wahai manusia dengarlah dan taatilah…” Salman Al-Farisi
–radhiyaLlâhu ’anhu-, seorang shahabat mulia berdiri seraya berkata
kepadanya, “Kami tidak akan mendengar dan mentaatimu”. Umar berkata, “Mengapa
demikian?” Salman menjawab, “Dari mana kamu mendapat pakaian itu, sedangkan
kamu hanya mendapat satu kain, sedangkan kamu bertubuh tinggi? Beliau menjawab,
“Jangan tergesa-gesa, lalu beliau memanggil, “Wahai ‘Abdullah”. Namun tidak
seorang pun menjawab. Lalu beliau berkata lagi, “Wahai ‘Abdullah bin Umar..”.
‘Abdullah menjawab, “Saya wahai Amirul Mukminin”. Beliau berkata, “Bersumpahlah
demi Allah, apakah kain yang aku pakai ini kainmu? Abdullah bin Umar –radhiyaLlâhu ’anhu- menjawab, “Demi Allah, ya”. Salman berkata,
“Sekarang perintahlah kami, maka kami akan mendengar dan taat”.[11]
·
Amirul Mukminin Mu’awiyyah –radhiyaLlâhu ’anhu- berdiri di atas mimbar setelah memotong jatah harta
beberapa kaum Muslim, lalu ia berkata, “Dengarlah dan taatilah..”. Lalu,
berdirilah Abu Muslim Al Khulani mengkritik tindakannya yang salah, “Kami tidak
akan mendengar dan taat wahai Mu’awiyyah!”. Mu’awiyyah berkata, “Mengapa wahai
Abu Muslim?”. Abu Muslim menjawab, “Wahai Mu’awiyyah, mengapa engkau memotong
jatah itu, padahal jatah itu bukan hasil jerih payahmu dan bukan pula jerih
payah ibu bapakmu? Mu’awiyyah marah dan turun dari mimbar seraya berkata kepada
hadirin, “Tetaplah kalian di tempat”. Lalu, dia menghilang sebentar dari
pandangan mereka, lalu keluar dan dia sudah mandi. Mu’awiyyah berkata,
“Sesungguhnya Abu Muslim telah berkata kepadaku dengan perkataan yang membuatku
marah. Saya mendengar Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- bersabda, “Kemarahan itu termasuk perbuatan
setan, dan setan diciptakan dari api yang bisa dipadamkan dengan air. Maka jika
salah seorang di antara kalian marah, hendaklah ia mandi”. Sebenarnya saya
masuk untuk mandi. Abu Muslim berkata benar bahwa harta itu bukan hasil jerih
payahku dan bukan pula jerih payah ayahku, maka ambillah jatah kalian”.[12]
·
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani berdiri di atas mimbar
untuk mengkritik dan memberikan nasihat kepada Gubernur Yahya bin Sa’id yang
terkenal dengan julukan Ibnu Mazâhim Al-Dzâlim Al-Qadha. Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
berkata, “Semoga orang Islam tidak dipimpin oleh orang yang paling dzalim; maka
apa jawabanmu kelak ketika menghadap Tuhan semesta alam yang paling pengasih?
Gubernur itu gemetar dan langsung meninggalkan apa yang dinasihatkan
kepadanya”.[13]
Dalam keterangan lainnya, beliau mengoreksi Khalifah al-Muqtafi terang-terangan
di atas mimbar masjid karena mengamanahkan jabatan hakim peradilan kepada orang
yang berbuat kezhaliman-kezhaliman.[14]
·
Sulthan al-‘Ulama, Imam Al-‘Izz bin Abdus Salam telah
mengkritik Sulthan Ismail yang telah bersekongkol dengan orang-orang Eropa
Kristen untuk memerangi Najmuddin bin Ayyub. Ulama besar ini tidak hanya
membuat fatwa, tetapi juga mengkritik tindakan Ismail di atas mimbar Jum’at di
hadapan penduduk Damaskus. Saat itu Ismail tidak ada di Damaskus. Akibat fatwa
dan khuthbahnya yang tegas dan lurus, Al-’Izz bin ‘Abdus Salam dipecat dari
jabatannya dan dipenjara di rumahnya.[15]
Kisah-kisah di atas menunjukkan bagaimana cara para ulama
shalih dan mukhlish menasihati penguasa-penguasanya. Kisah-kisah semacam ini
sangat banyak disebut di dalam kitab-kitab tarikh. Mereka tidak segan-segan
untuk menasihati para penguasa menyimpang dan dzalim secara terang-terangan,
mengkritik kebijakannya di mimbar-mimbar terbuka, maupun fatwa-fatwanya. Lalu,
bagaimana bisa dinyatakan bahwa menasihati penguasa haruslah dengan empat mata
saja, sementara ulama-ulama yang memiliki ilmu dan ketaqwaannya justru memilih
melakukannya dengan terang-terangan dan terbuka?
Kelima, Kelemahan Dalil Hadits yang Dijadikan Sandaran Wajibnya Mengoreksi Penguasa
Secara Empat Mata
Kelemahan
hadits riwayat Imam Ahmad. Sebagian
ulama mengharamkan mengkritik pemimpin secara terbuka berdasar hadits Iyadh bin
Ghanam, bahwa Nabi –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- bersabda:
«مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ،
فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً، وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ، فَيَخْلُوَ بِهِ، فَإِنْ
قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ، وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ»
"Barangsiapa hendak menasihati penguasa akan suatu perkara, janganlah
dia menampakkan perkara itu secara terang-terangan, tapi peganglah tangan
penguasa itu dan pergilah berduaan dengannya. Jika dia menerima nasihatnya, itu
baik, kalau tidak, orang itu telah menunaikan kewajibannya pada penguasa
itu." (HR Ahmad).
Menurut sebagian ulama, hadits ini dha’if karena sanadnya
terputus (inqitha’) dan ada periwayat hadits yang lemah, yaitu seorang perawi
bernama Muhammad bin Ismail bin ‘Iyasy[16],
tentang masalah ini bisa dirujuk lebih mendalam dalam kutayb berjudul Al-Jahr
wa al-I’lân bi Dha’f Hadîts al-Kitmân fî Munâshahat al-Sulthân karya Abu
Marwan al-Sudani. []
[1] Diadaptasi dari tulisan Ust. Syamsuddin Ramadhan yang
menjelaskan hukum mengoreksi penguasa terbuka di dalam Islam, dengan tahqiq dan
catatan tambahan dari pen-tahqiq, disampaikan dalam pengajian 18 Desember 2016, dipresentasikan oleh: al-Akh Harry Rachmatulah
[2] Catatan tambahan Irfan Abu Naveed, M.Pd.I.
[3] Mushthafa Amin dkk, Al-Balâghah al-Wâdhihah: al-Bayân wa al-Ma’ânî wa
al-Badî’, Dâr al-Ma’ârif, 1999, hlm. 206; Dr. Abdul Aziz bin Ali
al-Harbi, Al-Balâghah al-Muyassarah, Beirut: Dâr Ibn Hazm, cet. II, 1432
H/2011, hlm. 52.
[4] Abdul ‘Azhim Ibn Abi al-Ishba’ al-Baghdadi, Tahrîr al-Tahbîr fî
Shinâ’at al-Syi’r wa al-Natsr wa Bayân I’jâz al-Qur’ân, UEA: Al-Majlis
al-A’lâ li al-Syu’ûn al-Islâmiyyah, hlm. 548.
[5] Ibid.
[6] Taqiyuddin Abu Bakr bin Ali Ibn Hujjah al-Hamawi, Khizânat al-Adab wa
Ghâyat al-Arab, Beirut: Dâr wa Maktabat al-Hilâl, 2004, juz II, hlm. 401.
[7] Tim Pakar, Al-Balâghah wa al-Naqd, Riyâdh: Universitas Muhammad bin
Su’ud, cet. II, 1425 H, hlm. 94.
[8] Abdul ‘Azhim Ibn Abi al-Ishba’, Tahrîr al-Tahbîr fî Shinâ’at al-Syi’r
wa al-Natsr wa Bayân I’jâz al-Qur’ân, hlm. 548.
[9] Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syarf al-Nawawi, Al-Minhâj Syarh Shahîh
Muslim, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabi, cet. II, 1392 H, juz XII,
hlm. 242.
[10] Lihat: Al-Bidâyah wa Al-Nihâyah, juz 8, hlm. 217
[11] ‘Abdul ‘Aziz Al Badri, Al-Islâm bayna al-‘Ulamâ’ wa al-Hukkâm
(Terjemah: Hitam Putih Wajah Ulama dan Penguasa), hlm. 70-71.
[12] Hadits ini dituturkan oleh Abu Nu’aim dalam Kitab Al-Hilyah, dan
diceritakan kembali oleh Imam Al Ghazali dalam Kitab Al-Ihyâ’, juz 7, hlm.
70.
[13] Qalâ’id Al-Jawâhir, hlm. 8.
[14] Dr. Ali Muhammad al-Shallabi, Al-'Âlim al-Kabîr wa al-Murabbi al-Syahîr
al-Syaikh ’Abd al-Qadir al-Jaylani, Kairo: Mu’assasat Iqra’, cet. I, 1428 H, hlm.
85.
[15] Al-Subki, Al-Thabaqat,
dan lain-lain.
[16] Silahkan lihat
Kitab Muhâsabah al-Hukkâm, hlm. 41-43.
Labels:
Catatan Dakwah
,
Hadits
,
Siyâsah
,
Tsaqafah
Reactions: |

Subscribe to:
Posts
(
Atom
)