Disampaikan dalam acara kajian tafsir tematik di KPP
Cianjur, 18 November 2016
A. Peringatan
Al-Qur’an atas Sistem Hukum Jahiliyyah (QS. Al-Mâ’idah [5]: 50)
Jika ditelusuri lebih jauh, tradisi jahiliyyah bukan
hanya menyembah berhala, tapi juga berhukum dengan selain hukum Allah. Hal itu
didasarkan pada pengertian jahiliyyah dalam al-Qur’an, yakni termasuk dalam
ruang lingkup: Melakukan suatu perbuatan yang
tidak sesuai dengan yang seharusnya ia lakukan, baik keyakinan dalam perbuatan
tersebut benar ataupun salah (فعل
الشيء بخلاف ما حقّه أن يفعل، سواء اعتقد فيه اعتقادا صحيحا أو فاسدا)[2]. Sebagaimana
disebutkan dalam QS. Al-Mâ’idah [5]:
50, untuk menyebut hukum yang tidak disandarkan kepada hukum Allah. Allah ’Azza wa Jalla berfirman:
أَفَحُكْمَ الْجاهِلِيَّةِ
يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْماً لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ {٥٠}
“Apakah hukum
Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada
(hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS.
Al-Mâ’idah [5]: 50)
Abu Ubaid al-Qasim bin Sallam (w. 224 H) menuturkan tafsir
ayat ini menurut para ulama ahli tafsir, bahwa siapa saja yang menghukumi
dengan selain apa yang Allah turunkan, yakni dengan selain Dinul Islam, maka
perbuatan tersebut merupakan perbuatan berhukum seperti kaum jahiliyyah, dimana
kaum jahiliyyah dahulu mereka berhukum dengan cara seperti itu.[3] Di sisi lain karakteristik penerapan hukum jahiliyyah adalah tumpul ke
atas dan tajam ke bawah, mereka tegakkan hukum bagi orang yang lemah, dan tidak
bagi orang yang kuat, sebagaimana disebutkan beberapa ulama tafsir, salah
satunya Imam Abu Bakar al-Jashshash (w. 370 H).[4]
A.1. Penjelasan Kosakata dan Kalimat
Huruf hamzah di awal kalimat ayat ini afahukma dan
kata man dalam kalimat wa man ahsanu, merupakan bentuk istifhâm,
yakni kata tanya. Namun maksudnya adalah pengingkaran (istifhâm inkâri).[5] Dalam disiplin ilmu
balaghah, ini merupakan bentuk kata tanya yang keluar dari konteks makna
aslinya, yakni mengandung maksud pengingkaran.
Pengingkaran pada dua sisi:
(1). Pada
kalimat (أَفَحُكْمَ الْجاهِلِيَّةِ
يَبْغُونَ) merupakan pengingkaran sekaligus bentuk keheranan serta celaan atas perbuatan mereka, karena berpaling dari
hukum Allah dan Rasul-Nya dan mencari hukum lain, dimana hal ini merupakan hal yang
ganjil dan mengherankan, yang mana perbuatan mencari hukum jahiliyyah merupakan
perkara yang paling tercela dan mengherankan. Karena perbuatan berhukum dengan hukum jahiliyyah, yang
mutlak kejahilannya dan jelas berasal dari hawa nafsu (mahdh al-jahl wa
sharîh al-hawâ’).[6]
(2). Pada
kalimat (وَمَنْ أَحْسَنُ
مِنَ اللَّهِ حُكْماً) merupakan pengingkaran atas adanya hukum yang lebih baik
daripada hukum Allah atau setara dengannya, sebagaimana penggunaan konteks kalimatnya.[7] Karena kata hukm dalam ayat ini pun berbentuk nakîrah
(tanpa alif lam) yang cakupannya umum (mubham) tidak
spesifik, sehingga bisa ditegaskan bahwa tidak ada hukum apapun yang lebih baik
daripada hukum Allah. Kata ahsanu (lebih baik) merupakan bentuk tafdhîl,
yang artinya menunjukkan bahwa tidak ada yang lebih baik atau menandingi
hukum Allah.
Kata hukma dibaca manshûb,
dalam ayat ini fathah, pada kalimat afahukma (bukan afahukmu),
karena kedudukannya sebagai objek (maf’ûl bihi) yang dikedepankan[8], diletakkan di depan subjek dan
kata kerja (yabghûna = mereka mencari), sebagai pengkhususan (takhshîsh)
yang fungsinya menekankan, menguatkan pengingkaran dan celaan atas perbuatan berhukum dengan hukum jahiliyyah (تقديم المفعول للتخصيص المفيد لتأكيد الإنكار والتعجيب).[9] Faidah pengkhususan dengan mengedepankan objek (maf’ûl)
di depan kata kerja (al-fi’lu) ini merupakan pendapat mayoritas ulama.[10]
Adapun kata al-jâhiliyyah
merupakan bentuk mashdar shinâ’î (المصدر الصناعي) dari kata jâhil. Mashdar shinâ’î adalah kata benda
yang diiringi dengan yâ nisbah dan
ditambahkan tâ untuk menunjukkan
sifat yang melekat padanya.[11] Silahkan
tela’ah penjelasan selengkapnya disini: Link Artikel
A.2. Penjelasan Tafsir
Abu Ubaid dalam penjelasan di atas, menegaskan penjelasan
para ulama ahli tafsir yang menggolongkan perbuatan berhukum dengan selain
hukum Allah, sebagai tradisi jahiliyyah, dimana ayat ini pun menyifati selain
hukum Allah sebagai hukum jahiliyyah, yang mengandung mafhûm, larangan
berhukum kepada hukum jahiliyyah. Imam Abu al-Muzhaffar al-Sam’ani (w. 489 H)
menjelaskan bahwa mereka tidak ridha terhadap hukum Allah dan menghendaki hukum
yang menyelisihi hukum Allah, maka sungguh mereka sebenarnya telah mencari
hukum jahiliyyah.[12] Al-Hafizh Ibn Katsir (w. 774
H) pun merinci:
ينكر تعالى على من خرج
عن حكم الله المحكم المشتمل على كل خير، الناهي عن كل شر وعدل إلى ما سواه من الآراء
والأهواء والاصطلاحات، التي وضعها الرجال بلا مستند من شريعة الله، كما كان أهل الجاهلية
يحكمون به من الضلالات والجهالات
Allah mengingkari siapa saja yang keluar dari hukum Allah
yang jelas mencakup seluruh kebaikan, mencegah dari segala keburukan, serta
mengandung keadilan (bersih) dari segala hal selain al-Qur’an, berupa
pandangan-pandangan pribadi, hawa nafsu serta istilah-istilah
(menyesatkan-pen.) yang dibuat-buat oleh orang-orang tanpa mengaitkannya dengan
syari’at Allah, sebagaimana kaum Jahiliyyah dahulu berhukum dengannya berupa
kesesatan-kesesatan dan kejahilan-kejahilan.[13]
Padahal tidak ada hukum yang lebih adil daripada hukum
Allah, dan tidak ada yang lebih baik penjelasannya daripada hukum Allah.[14] Ibn Katsir pun menuturkan
bahwa siapakah yang lebih adil hukumnya daripada hukum Allah bagi orang yang
berpikir mengenai syari’at Allah, dan beriman kepadanya, meyakini dan
mengetahui bahwa Allah SWT adalah Dzat yang Maha Bijak dari Pembuat Keputusan,
dan Maha Penyayang atas makhluk ciptaan-Nya lebih daripada kasih sayang seorang
Ibu kepada anaknya, karena sesungguhnya Allah SWT adalah Dzat Yang Maha
Mengetahui atas segala sesuatu, Yang Maha Kuasa atas segala hal, dan Maha Adil
dalam segala hal.[15]
B. Peringatan
Al-Qur’an atas Kepemimpinan Jahiliyyah (QS. Al-Mâ’idah [5]: 51)
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ
ۘ بَعْضُهُمْ
أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ
وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ
الظَّالِمِينَ
{٥١}
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan
Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi
sebagian yang lain. Barangsiapa
diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka sesungguhnya orang itu
termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang zhalim.” (QS. Al-Mâ’idah [5]: 51)
Ayat ini merupakan salah satu dalil keharaman menjadikan
orang kafir sebagai pemimpin, disamping dalil-dalil lainnya. Meski para ulama
berselisih pendapat mengenai sebab turunnya ayat ini (sabab al-nuzûl),
namun mereka semua bersepakat bahwa ayat ini berlaku umum untuk seluruh orang
beriman di setiap waktu dan tempat (fî kulli zamân[in] wa makân[in]),
hal ini sebagaimana ditegaskan Imam al-Tsa’labi (w. 427 H) dalam kitab
tafsirnya[16],
sesuai kaidah yang dinukil Prof. Dr. Fahd bin Abdurrahman al-Rumi (Dekan
Fakultas Dirâsât Qur’âniyyah di Riyadh) ketika menjelaskan keumuman ayat ini:
العبرة بعموم اللفظ
لا بخصوص السبب
“Hukum itu diambil dari keumuman lafalnya, bukan dari
kekhususan sebabnya.”[17]
B.1. Penjelasan Kosakata dan Kalimat
1.
Kedudukan
Seruan Yâ Ayyuhalladzîna Âmanû (يا
أيها الذين آمنوا).
Kalimat يا
أيها الذين آمنوا merupakan kalimat seruan dari Allah SWT kepada orang-orang yang
beriman. Ini merupakan seruan agung yang menuntut untuk diperhatikan, karena
seruan yang berasal dari Allah Yang Maha Agung, Pencipta dan Penguasa Alam
Semesta. Maka jika ada orang kafir yang menistakannya, dengan menuduh ayat yang
agung ini sebagai alat berbohong serta mengandung ajaran kebohongan merupakan
perkara besar, kejahatan yang keji dan rendah, sehingga jelas termasuk tindak
kriminalitas yang harus dikenai sanksi hukum Islam.
2.
Makna Kata Kerja
Lâ Tattakhidzû
(لا
تتخذوا)
Kata kerja tattakhidzû
(تتخذوا) dalam kalimat (لا
تتخذوا) maknanya
adalah menjadikan (يجري مجرى الجعل), sebagaimana penjelasan Imam al-Raghib
al-Ashfahani (w. 502 H).[18]
Adapun keberadaan kata lâ di depan kata kerja ini menunjukkan bentuk
larangan tegas (nâhiyyah jâzimah), yakni larangan menjadikan kaum Yahudi
dan Nasrani sebagai awliyâ’. Apa konotasi awliyâ’?
3.
Makna Kata Awliyâ’ (أولياء)
Kata
awliyâ’ adalah bentuk plural dari waliy, ia termasuk kata yang mengandung konotasi makna lebih
dari satu (lafzh musytarak), yang setidaknya berkonotasi:
Pertama, Teman
Dekat/Kepercayaan
Kata awliyâ’ plural
dari kata wali, menurut al-Raghib al-Ashfahani lafal ini digunakan untuk
menggambarkan kedekatan (al-qurb), yakni kedekatan dari sisi tempat,
penisbatan, agama, pertemanan, dukungan dan keyakinan.[19] Al-Raghib pun menegaskan dengan menukil QS. Al-Mâ’idah
[5]: 51 ini:
ونفى الله تعالى الولاية بين المؤمنين والكافرين
في غير آية
“Allah
menafikan (melarang-pen.) adanya al-wilâyah antara orang-orang beriman
dan orang-orang kafir di lebih dari satu ayat-Nya.”[20]
Namun al-Raghib al-Ashfahani pun
merinci maknanya mencakup kepemimpinan, sehingga menunjukkan bahwa ayat ini pun
menjadi salah satu dalil keharaman loyal (walâ’) kepada kaum kafir, terlebih
menjadikannya sebagai pemimpin.
Benar bahwa ayat yang agung ini menjadi salah satu dalil
keharaman menjadikan kaum Kafir (Yahudi dan Nasrani) sebagai teman dekat
kepercayaan. Namun membatasi makna awliyā hanya pada makna khashah
(orang khusus) atau bithānah (teman dekat) adalah pembatasan atau pengkhususan
yang tanpa didasarkan pada dalil (takhshīsh bilā mukhashshis). Sebab
berdasarkan mafhūm muwāfaqah (penarikan makna implisit yang lebih besar
cakupannya daripada makna eksplisit), kata awliya` dapat juga diartikan
sebagai pemimpin (penguasa). Sebab jika mengangkat orang kafir sebagai teman
dekat saja sudah haram, apalagi mengangkatnya sebagai penguasa atas kaum
muslimin. Hal ini diperjelas oleh makna wali dalam konotasi pemegang
urusan, sebagaimana dipaparkan al-Raghib al-Ashfahani.
Kedua, Pemimpin/Penguasa.
Imam Al-Raghib al-Ashfahani menegaskan bahwa kedudukan
seorang wali, kaitannya dengan kedudukan al-wilâyah yang berkonotasi
al-nushrah (pemberi bantuan), dan al-walâyah yakni tawalli
al-amr (pemegang urusan/pemimpin), namun disebutkan pula bahwa sebenarnya
dua kata ini semakna, dan hakikatnya adalah menjadikannya sebagai pemegang
urusan (pemimpin).
Sudah maklum bahwa kedudukan pemimpin atau penguasa dengan kepemimpinannya
merupakan persoalan krusial, sehingga bisa disimpulkan bahwa jika menjadikan
sebagai teman dekat terlarang, maka urusan kepemimpinan lebih terlarang lagi, hal
itu setidaknya didasari poin-poin utama sebagai berikut:
(a). Al-Qur’an surat al-Mâ’idah [5]:
50 berbicara mengenai aspek hukum, begitu pula dalam ayat ke-44, 45, 47, 48, 49,
dimana aspek ini erat kaitannya dengan kedudukan seorang pemimpin. Meninjau
keterkaitan di antara ayat-ayat ini, maka kita bisa menyimpulkan bahwa QS. Al-Mâ’idah [5]: 50 ini pun menjadi salah satu
dalil keharaman menjadikan kaum Kafir sebagai pemimpin.
(b). Kedudukan pemimpin adalah
kedudukan seseorang yang harus didengar dan dita’ati perintahnya. Padahal fungsi
kepemimpinan dalam Islam setidaknya tercakup dalam dua garis besar berikut ini,
(1) Fungsi ri’âyah, yakni mengatur
urusan umat dengan hukum syari’at, menjunjung
tinggi kalimat-Nya, mengurus kehidupan dunia dengan syari’at, menjaga penerapan
hukum Allah, serta hak-hak rakyatnya dengan hukum Allah. Hal itu sebagaimana
ditunjukkan dalam hadits-hadits, diantaranya:
أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ
مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ
مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Ketahuilah setiap kalian
adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas pihak
yang dipimpinnya, penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai
pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. al-Bukhârî, Muslim dll)[21]
Imam
al-Baghawi (w. 516 H) menjelaskan makna al-ri’âyah, yakni memelihara
sesuatu dan baiknya pengurusan.[22] Dimana di antara bentuknya adalah pemeliharaan atas
urusan-urusan rakyat dan perlindungan atas mereka.[23] Jelas bahwa fungsi ini takkan mungkin terwujud sesuai
dengan syari’at kecuali mengatur dengan hukum syari’ah itu sendiri, dan hal itu
tidak mungkin bisa ditunaikan oleh seseorang yang mengingkari Allah dan
Rasul-Nya. Karena istilah politik yang diwakili kata siyâsah dalam
bahasa arab, secara syar’i telah diisyaratkan dalam dalil-dalil al-Sunnah.
Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji (w. 1435 H) berkata:
رِعَايَةُ شُؤُوْنِ الأُمَّةِ
بِالدَّاخِلِ وَالخَارِجِ وَفْقَ الشَّرِيْعَةِ الإِسْلاَمِيَّةِ
“Pemeliharaan urusan umat baik di dalam dan luar negeri yang sejalan
dengan syari’ah Islam.”[24]
(2) Fungsi junnah (penjaga umat), berdasarkan hadits dari Abu Hurairah –radhiyallâhu
’anhu-. bahwa Nabi Muhammad –shallallâhu ’alayhi wa sallam-
bersabda:
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ
يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِه
“Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai, dimana
(orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan
(kekuasaan) nya.” (HR. Muttafaqun ’Alayh)
Diperkuat dengan penjelasan
para ulama, al-Syafi’i, sebagaimana dinukil oleh Ibn Qayyim al-Jawziyyah (w.
751 H) dalam sejumlah kitabnya, salah satunya Badâi’i al-Fawâ’id:
لَا سِيَاسَةَ
إلَّا مَا وَافَقَ الشَّرْعَ
”Tidak ada politik kecuali
apa-apa yang sejalan dengan hukum syara'.”[25]
Ditegaskan pula oleh al-Hafizh al-Nawawi (w. 676 H) dalam
perkataannya:
لَا بُدَّ لِلْأُمَّةِ مِنْ إِمَامٍ يُقِيمُ الدِّينَ، وَيَنْصُرُ السُّنَّةَ،
وَيَنْتَصِفُ لِلْمَظْلُومِينَ، وَيَسْتَوْفِي الْحُقُوقَ وَيَضَعُهَا
مَوَاضِعَهَا
Merupakan suatu keharusan bagi umat adanya imam yang
menegakkan agama, menolong sunnah, memberikan hak bagi orang yang didzalimi
serta menunaikan hak dan menempatkan hal tersebut pada tempatnya.[26]
Lalu bagaimana
mungkin hal itu terwujud jika dipimpin oleh orang yang tidak memahami syari’at,
bahkan mengingkarinya?!
4.
Makna Kalimat Ba’dhuhum Awliyâ’
Ba’dh[in] (بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ)
Yahudi dan Nasrani satu sama lain
adalah awliyâ’ (teman loyal, pemimpin), Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili
menjelaskan maknanya bahwa kaum Yahudi sebagian mereka adalah penolong bagi
sebagian lainnya, dan kaum Nasrani sebagian mereka adalah penolong bagi
sebagian lainnya, dimana sungguh kaum Yahudi telah membatalkan
perjanjian-perjanjian mereka, namun seluruhnya bersepakat dalam memusuhi dan
membenci kalian (kaum Muslim).[27]
5.
Kedudukan Kalimat Wa Man
Yatawallahum Minkum Fa Innahu Minhum (وَمَنْ
يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ)
Kalimat wa
man yatawallahum, yakni siapa saja yang memberikan loyalitas dan
kepemimpinan kepada mereka (kaum Kafir), maka diperingatkan dengan peringatan
keras “fa innahu minhum”, dengan adanya stigma status minhum (dari
golongan mereka), yakni dari golongan kaum Kafir (Yahudi dan Nasrani). Al-Tsa’labi
menjelaskan artinya, bahwa ia akan menyetujui agama mereka dan menyokongnya.[28]
Penilaian yang
benar dari Allah ‘Azza wa Jalla dalam ayat ini pun diawali lafal inna
yang merupakan lafal penegasan (tawkîd), dalam disiplin ilmu
balaghah, penegasan ini menafikan keraguan terhadap kebenaran dari apa yang
diinformasikan, yakni ancaman dari Allah ‘Azza wa Jalla orang tersebut
termasuk golongan/sekutu kaum kafir. Ibn Abbas mereka.[29] Imam
Fakhruddin al-Razi pun menjelaskan bahwa kalimat ini merupakan r.a. menafsirkan
kalimat fa innahu minhum yakni maksudnya seakan-akan ia termasuk
golongan peringatan keras dari Allah dan penguatan atas wajibnya memisahkan
diri dari pihak yang menyimpang dari Din ini.[30] Bukan
sikap tunduk dan loyal (walâ’) kepada mereka, namun mendakwahinya.
Ibn al-Jazi al-Gharnati
(w. 741 H) menjelaskan makna fa innahu minhum, bahwa ia merupakan
penguatan atas peringatan keras, maka siapa saja yang meyakini seperti akidah
mereka maka ia termasuk golongan mereka dari setiap sisinya, dan siapa saja yang
menyelisihi keyakinan mereka tapi mencintai mereka (dengan keburukannya-pen.),
maka ia pun termasuk golongan mereka dalam kemurkaan Allah, dan layak
mendapatkan siksa-Nya.[31]
Dalam disiplin
ilmu ushul fikih, kalimat ini termasuk indikasi tegas yang menunjukkan
kejelasan status hukumnya, yakni kejelasan keharaman menjadikan orang kafir
sebagai teman kepercayaan terlebih dijadikan sebagai pemimpin.
6.
Kedudukan Kalimat InnaLlâha Lâ
Yahdî al-Qawm al-Zhâlimîn (إِنَّ
اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ)
Kalimat ini pun merupakan ancaman, yang
mana Allah menyifati perbuatan menjadikan kaum Kafir sebagai awliyâ’ sebagai
perbuatan zhalim, dan ini sudah cukup menunjukkan indikasi tegas keharaman
perbuatan tersebut. Ditambah dengan adanya penegasan (tawkîd) lafal inna
(sesungguhnya).
B.2. Penjelasan Tafsir
Para ulama,
termasuk al-Hafizh al-Dzahabi (w. 748 H) menjelaskan bahwa ayat ini melarang sikap
loyal terhadap kaum Yahudi dan Nasrani.[32] Dirinci
oleh Imam Fakhruddin al-Razi (w. 606 H) diantaranya yakni larangan bergantung
kepada pertolongan mereka.[33]
Larangan menjadikan orang-orang
kafir sebagai penguasa pun sebagaimana pelajaran dari atsar dialog
antara Abu Musa al-Asy’ari r.a. (gubernur Syam pada masa kekhilafahan ’Umar bin
al-Khaththab r.a.) dengan Khalifah Umar bin al-Khaththab r.a., dengan redaksi
yang beragam, salah satunya dalam tafsir al-Razi, disebutkan riwayat dari Abu
Musa al-Asy’ari r.a., bahwa ia berkata kepada Umar bin al-Khaththab r.a.: “Saya
memiliki juru tulis pemerintahan seorang Nasrani”, Umar berkata, “Ada
apa dengan anda, celakalah anda, mengapa anda tidak mengangkat seseorang yang
hanif (beragama Islam)? Bukankah anda mendengar firman Allah:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu).” (QS. Al-Mâ’idah [5]: 51)[34]
Penjelasan ‘Umar bin al-Khaththab
r.a. dalam atsar di atas, menggambarkan sikap al-walâ’ wa al-bara’
(loyal pada Islam, berlepas diri dari kekufuran), yang sudah seharusnya
dimiliki oleh setiap muslim, termasuk dalam konteks kepemimpinan kaum Kafir
atas orang beriman.
C. Dalil-Dalil
Pendukung
Allah
’Azza wa Jalla pun mengharamkan penguasaan kaum kafir atas orang-orang
beriman, di antara dalil yang digunakan para ulama adalah firman Allah ’Azza wa
Jalla:
وَلَنْ
يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا {١٤١}
“Dan sekali-sekali Allah tidak akan pernah memberikan jalan kepada kaum
kafir untuk menguasai orang-orang beriman.” (QS. Al-Nisâ’ [4]: 141)
Kata lan, sebagaimana
diungkapkan Imam al-Jauhari (w. 393 H) merupakan kata penafian untuk
kata kerja yang akan datang (حرفٌ لنفي
الاستقبال)[35],
atau kata
penafian untuk hal yang akan terjadi di masa mendatang
(حرف نفي لما يأتي) sebagaimana
disebutkan Ibn Faris (w. 395 H)[36]
yang bermakna ”tidak akan pernah” yakni li ta'bîd (selama-lamanya), perinciannya
bisa dirujuk dalam kamus-kamus arab.[37] Dalam
ayat yang agung di atas, kata lan berada di depan kata kerja "yaj'alu"
yang bisa dimaknai tidak akan pernah menjadikan. Namun faidah dari penafian kata
lan ini lebih kuat maknanya daripada kata lâ, hal itu
sebagaimana penjelasan para ulama pakar bahasa. Al-Khalil (w. 170 H)
dalam Kitab al-’Ain menyatakan:
أَلا تَرى أَنَّهَا تُشبه فِي
المَعْنى (لَا) وَلكنهَا أَوْكد
“Bukankah engkau melihat bahwa kata lan menyerupai
kata lâ dalam pemaknaannya, akan tetapi kata lan lebih
kuat maknanya.”[38]
Kata kerja yaj’alu (يجعل) dalam ayat ini, yakni adanya kondisi berupa jalan peluang (وَأَنْ يَكُونَ
حَالًا مِنْ سَبِيلٍ), sebagaimana
dijelaskan oleh Imam Abul Baqa’ al-’Akbari (w. 616 H).[39]
Maka tepat memaknainya bahwa Allah tidak akan pernah
memberikan jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang beriman.
Imam Ibnu Hazm al-Andalusi
(w. 456 H) pun menjadikan ayat ini dalil sebagai syarat penguasa dalam Islam,
yaitu wajib seorang muslim. Dan kekhilafahan merupakan sebesar-besarnya jalan
kekuasaan.[40] Imam Bahraq al-Yamani (w.
930 H) pun menukil dalil di atas untuk menegaskan salah satu syarat al-Imam
adalah seorang muslim.[41]
Imam al-Syawkani (w. 1250 H)
menegaskan:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَجْعَلُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى
الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا شَرْعًا، فَإِنْ وُجِدَ فَبِخِلَافِ الشَّرْعِ. هَذَا
خُلَاصَةُ مَا قَالَهُ أَهْلُ الْعِلْمِ فِي هَذِهِ الْآيَةِ، وَهِيَ صَالِحَةٌ
لِلِاحْتِجَاجِ بِهَا عَلَى كَثِيرٍ مِنَ الْمَسَائِلِ
Sesungguhnya Allah tidak memberikan jalan syar’i (jalan
yang bisa dibenarkan-pen.) kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang
beriman, maka jika ditemukan hal tersebut (kekuasaan tersebut) maka ia
menyalahi hukum syara’. Ini merupakan kesimpulan dari apa yang disebutkan oleh
para ulama atas ayat ini, dan ayat ini cocok digunakan sebagai hujjah dalam
banyak kasus permasalahan.[42]
Jika dirinci, para ulama pun
menjadikan ayat ini sebagai dalil keharaman menjual budak muslim kepada orang
kafir dimana hal tersebut menyebabkan penguasaan dan penghinaan orang kafir
atasnya, sebagaimana disebutkan oleh al-Hafizh Ibn Katsir (w. 774 H) dalam
kitab tafsirnya.[43] Karena di antara wajah
penafsiran ayat ini, sebagaimana dirinci oleh Imam Fakhruddin al-Razi (w. 606
H), yakni umum dalam setiap perkara (yang berkaitan-pen.) kecuali apa-apa yang
dikhususkan oleh dalil tertentu, al-Razi pun menukil pendalilan Imam al-Syafi’i
dengan ayat ini.[44] Dan di antara bentuk
pendalilan tersebut berkenaan dengan penguasaan orang kafir. Padahal kursi
kekuasaan jelas merupakan jalan leluasa dalam upaya menguasai kaum muslimin
dalam berbagai urusan kehidupan mereka.[45]
Diperkuat dalil lainnya,
firman Allah ’Azza wa Jalla:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ
مِنْكُمْ {٥٩}
“Wahai orang-orang yang beriman ta’atilah Allah, ta’atilah Rasul dan ulil
Amri di antara kalian.” (QS. Al-Nisâ’ [4]: 59)
Para ulama berbeda pendapat
menafsirkan kata ulil amri dalam ayat ini, namun yang dipilih oleh Abu
Hurairah r.a., Zaid r.a., dan al-Hafizh al-Thabari (w. 310 H) berkonotasi
penguasa dan pemegang urusan kaum Muslim (al-umarâ’ dan al-salâthîn).
Dimana ayat ini menurut Ibn Abbas r.a. turun berkenaan dengan orang yang diutus
oleh Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa
sallam- kepada pasukan sariyah.[46]
Allah memerintahkan mena’ati
para penguasa dari kaum muslimin karena makna (وأولي الأمر منكم) yakni (dari) kaum Muslim, adapun orang-orang kafir maka bagi kaum muslimin tidak
ada keta’atan baginya, berdasarkan dalil QS. Al-Nisâ’ [4]: 141 di atas.
Adapun jika kebolehan orang kafir menguasai orang beriman dengan menjadi
pemimpin dimaksudkan untuk
mengakomodasi aturan konstitusi dalam politik Demokrasi, sehingga melibas batas
aturan syari’at, maka wajib kami ingatkan bahwa apa-apa yang diharamkan oleh
syari’at Islam ketika di Dâr al-Islâm maka diharamkan pula di Dâr al-Kufr, Imam
al-Syafi’i (w. 204 H) menjelaskan:
وَمِمَّا يُوَافِقُ التَّنْزِيل وَالسُّنَّةَ وَيَعْقِلُهُ
الْمُسْلِمُونَ، وَيَجْتَمِعُونَ عَلَيْهِ، أَنَّ الْحَلَالَ فِي دَارِ
الْإِسْلَامِ حَلَالٌ فِي بِلَادِ الْكُفْرِ وَالْحَرَامَ فِي بِلَادِ
الْإِسْلَامِ حَرَامٌ فِي بِلَادِ الْكُفْرِ
Dan di antara hal yang sejalan dengan al-Qur’an dan
al-Sunnah dan pemikiran kaum muslimin dan mereka semua bersepakat atasnya bahwa
yang halal di Dâr al-Islâm maka halal pula
di negeri-negeri kufur (Dâr al-Kufr), dan yang
haram di negeri-negeri Islam (Dâr al-Islâm) maka haram
pula di negeri-negeri kufur (Dâr al-Kufr).[47]
Poin ini membuktikan bahwa sistem politik Demokrasi yang
menghalalkan apa-apa yang dilarang oleh Islam, menjadi salah satu bukti
mendasar bahwa sistem Demokrasi bertentangan dengan sistem politik dalam Islam
(al-siyâsah al-syar’iyyah), dimana dalam sistem politik Islam, boleh
tidaknya sesuatu wajib sejalan dengan prinsip halal dan haram dalam syari’ah. Syari’at Islam
itulah kebaikan hakiki dari Allah Yang Maha Mengetahui kebaikan hamba-hamba-Nya.
Hal itu sebagaimana diisyaratkan dalam firman-Nya:
وَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
”Dan bisa jadi kalian membenci sesuatu padahal itu baik
bagi kalian, dan bisa jadi kalian mencintai sesuatu padahal itu buruk bagi
kalian, dan Allah Maha Mengetahui sedangkan kalian tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 216) []
[1] Penulis Buku Menyingkap Jin dan Dukun Hitam Putih Indonesia.
[2] Abu al-Qâsim al-Husain bin
Muhammad al-Râghib al-Ashfahânî, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, Beirut:
Dâr al-Qalam, cet. I, 1412 H, hlm. 209.
[3] Abu Ubaid al-Qasim bin Sallam, Kitâb al-Îmân, Maktabat al-Ma’ârif,
cet. I, 1421 H/2000, hlm. 90.
[4] Ahmad bin ‘Ali al-Jashshash al-Hanafi, Ahkâm al-Qur’ân, Beirut: Dâr
Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabi, 1405 H, juz IV, hlm. 99.
[5] Mahmud bin Abdurrahim Shafi, Al-Jadwal fî I’râb
al-Qur’ân, Damaskus: Dâr al-Rasyîd, cet. IV, 1418 H, juz VI, hlm. 375.
[6] Muhammad bin Umar Fakhruddin al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, Beirut: Dâr
Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabi, cet. III, 1420 H, juz XII, hlm. 375.
[10] Abdurrahman bin Abu Bakr Jalaluddin al-Suyuthi, Ham’u al-Hawaami’ fii
Syarh Jam’i al-Jawaami’, Mesir: Al-Maktabah al-Tawfiiqiyyah, juz II, hlm.
10. Lain halnya dengan pendapat Ibn Hajib dan sejalan
dengannya Abu Hayyan.
[11] Mushthafâ bin Muhammad
Salîm al-Ghulâyainî, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyyah, Beirut: Maktabat
al-‘Ashriyyah, 1993, Jilid 1, hlm. 177.
[12] Manshur bin Muhammad al-Sam’ani, Tafsîr al-Qur’ân, Riyadh: Dâr
al-Wathan, cet. I, 1418 H, juz II, hlm. 44.
[13] Abu al-Fida’ Isma’il Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm, Dâr
Thayyibah, cet. II, 1420 H, juz III, hlm. 131.
[14] Muhammad bin Umar Fakhruddin al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, juz XII,
hlm. 375.
[15] Abu al-Fida’ Isma’il Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm, juz
III, hlm. 131.
[16] Ahmad bin Muhammad al-Tsa’labi, Al-Kasyf wa al-Bayân ‘an Tafsîr
al-Qur’ân, Beirut: Dâr Ihyâ’ at-Turâts al-‘Arabi, cet. I, 1422 H, juz IV,
hlm. 75.
[17] Prof. Dr. Fahd bin Abdurrahman al-Rumi, Ittijâhât al-Tafsîr fî al-Qurn
al-Râbi’ ‘Asyara, KSA: Ri’âsat Idârât al-Buhûts al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1407
H, juz I, hlm. 109.
[19] Ibid, hlm. 885.
[20] Ibid, hlm. 885.
[21] HR. Al-Bukhari
dalam Shahîh-nya (VI/2611, hadits 6719); Muslim
dalam Shahîh-nya (VI/7, hadits 4751); Abu Dawud
dalam Sunan-nya (III/91, hadits 2930); Ibnu Hibban dalam Shahîh-nya (X/342, no. 4490).
[22] Ibnu Mas’ud
al-Baghawi, Syarh al-Sunnah, Beirut: Al-Maktab al-Islami, Cet. II, 1403
H, juz X, hlm. 61.
[24] Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji dkk, Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’,
Beirut: Dâr al-Nafâ’is, cet. II, 1988, juz I, hal. 252.
[25] Muhammad bin Abi Bakr Syamsuddin Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Badâ'i
al-Fawâ'id, Beirut: Dâr al-Kitâb al-'Arabi, juz III, hlm. 152.
[26] Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syarf al-Nawawi, Rawdhat al-Thâlibîn
wa ‘Umdat al-Muftîn, Beirut: al-Maktab al-Islâmi, cet. III, 1412 H, juz X,
hlm. 42.
[27] Prof. Dr. Wahbah bin Mushthafa
al-Zuhaili, Al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj, Damaskus: Dâr al-Fikr al-Mu’âshir,
cet. II, 1418 H, juz VI, hlm. 225.
[28] Ahmad bin Muhammad al-Tsa’labi, Al-Kasyf wa al-Bayân ‘an Tafsîr
al-Qur’ân, juz IV, hlm. 76.
[29] Muhammad bin Umar Fakhruddin al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, juz XII,
hlm. 375.
[30] Ibid.
[31] Muhammad bin Ahmad Ibn Jazi al-Gharnathi, Al-Tashîl li ‘Ulûm al-Tanzîl,
Beirut: Syirkat Dâr al-Arqam, cet. I, 1416 H, juz I, hlm. 234-235.
[32] Syamsuddin Abu ‘Abdullah al-Dzahabi, al-Muntaqâ Min Minhaj al-I’tidâl, t.t.,
hlm. 420.
[33] Muhammad bin Umar Fakhruddin al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, juz XII,
hlm. 375.
[34] Ibid.
[35] Abu Nashr Isma’il bin Hamad al-Jauhari al-Farabi, Al-Shihâh Tâj
al-Lughah wa Shihâh al-’Arabiyyah, Beirut: Dâr al-’Ilm li al-Malâyiin, cet.
IV, 1407 H/1987, juz VI,
hlm. 2197.
[36] Ahmad bin Faris al-Qazwaini al-Razi, Majmal al-Lughah, Beirut:
Mu’assasat al-Risâlah, cet. II, 1406 H/1986, juz I, hlm. 790.
[37] Abu al-Hasan ‘Ali bin Isma’il, Al-Muhkam wa al-Muhîth al-A’zham, Ed:
‘Abdul Hamid Handawi, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1421 H/2000,
juz X, hlm. 361.
[38] Al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi, Kitâb Al-’Ain, Dâr wa Maktabah
al-Hilâl, juz VIII, hlm. 350; Abu Manshur Muhammad al-Azhari, Tahdzîb
al-Lughah, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-’Arabi, cet. I, 2001, juz XV,
hlm. 239.
[39] Abu al-Baqa’ ‘Abdullah bin al-Husain al-‘Akbari, Al-Tibyân fii I’râb
al-Qur’ân, ‘Isa al-Bâbi al-Halabi wa Syirkahu, juz I, hlm. 399.
[40] ‘Ali bin Ahmad Ibn Hazm al-Andalusi, Al-Fashl fî al-Milal wa al-Ahwâ’
wa al-Nihal, Kairo: Maktabah al-Khanji, t.t., juz IV, hlm. 128.
[41] Muhammad bin ‘Umar al-Syafi’i (Bahraq al-Yamani), Al-Husâm al-Maslûl
‘alâ Muntaqishi Ashhâb al-Rasûl, Mesir: Mathba’ah al-Madani, 1386 H, hlm.
54.
[42] Muhammad bin ‘Ali al-Syawkani, Fat-h al-Qadîr, Damaskus: Dâr Ibn
Katsîr, cet. I, 1414 H, hlm. 609.
[43] Abu al-Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm,
juz II, hlm. 437; Ahmad bin ‘Ali al-Jashshash al-Hanafi, Ahkâm al-Qur’ân, juz
III, hlm. 279.
[44] Muhammad bin Umar Fakhruddin al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, juz XI,
hlm. 248.
[45] ‘Atha bin Khalil Abu al-Rasytah, Ajhizah fî Dawlat al-Khilâfah fî
al-Hukm wa al-Idârah, Beirut: Dâr al-Ummah, cet. I, 1426 H, hlm. 22.
[46] Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl
al-Qur’ân, Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, cet. I, 1420 H, juz VIII, hlm.
497-498.
[47] Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Al-Umm, Dâr al-Wafâ’ al-Manshûrah,
cet. I, 2001, juz IX, hlm. 237.
Comments
Post a Comment