I
|
stilah jâhiliyyah merupakan istilah qur’ani[2], al-Qur’an al-Karim telah menyebutkannya dengan konotasi tertentu, dan
menggambarkan ruang lingkupnya yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu serta kaum
tertentu, dengan kata lain stigma jahiliyyah sebenarnya tidak melekat kepada
kaum Kafir Qurasyi semata, tapi bisa melekat kepada kaum selainnya dan bahkan kondisi
kekinian, dimana Allah ’Azza wa Jalla pun telah membimbing kita untuk
berlindung dari sifat jahiliyyah:
وَإِذْ قَالَ مُوسَىٰ
لِقَوْمِهِ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَذْبَحُوا بَقَرَةً ۖ قَالُوا أَتَتَّخِذُنَا هُزُوًا ۖ قَالَ أَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ أَكُونَ
مِنَ الْجَاهِلِينَ {٦٧}
“Dan
(ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina." Mereka berkata: "Apakah kamu hendak menjadikan kami
buah ejekan?" Musa menjawab: "Aku berlindung kepada Allah agar tidak
menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil.” (QS. Al-Baqarah [2]: 67)
Ayat yang agung ini menginformasikan bahwa Nabi Musa a.s.
berlindung kepada Allah dari sifat kaum jahiliyyah, yang menunjukkan betapa
bahayanya sifat jahiliyyah. Jika seorang nabiyullah saja berlindung kepada
Allah dari perkara tersebut, maka perkaranya lebih jelas lagi bagi manusia pada
umumnya. Hal ini sudah cukup menjadi alasan pentingnya berlindung kepada Allah
dari sifat jahiliyyah dan para pelakunya.
Ayat ini pun menunjukkan bahwa sifat jahiliyyah tidak
terbatas untuk kaum Musyrikin Arab sebelum turunnya risalah Nabi Muhammad –shallallâhu ‘alayhi wa sallam-, tapi juga berlaku bagi kaum yang ingkar di masa Nabi
Musa a.s., dan bagi kaum di setiap masa jika sifat jahiliyyah melekat pada kaum
tersebut. Maka penting memahami sifat-sifat jahiliyyah ini agar bisa
memproteksi diri darinya, sebagaimana dikatakan sya’ir yang dinukil Imam Abu
Hamid al-Ghazali (w. 505 H):
عرفتُ الشرّ لا للشرّ * لكن لتوقيه
ومن لا يعرف الشرّ * من الناس يقع
فيه
“Aku mengetahui
keburukan bukan untuk keburukan # Melainkan untuk menghindarkan diri darinya.”s
“Dan barangsiapa
tidak mengetahui keburukan # Di antara manusia maka akan terjerumus ke
dalamnya.”[3]
A. Makna Jahiliyyah & Ruang Lingkupnya dalam al-Qur’an
Istilah al-jâhiliyyah (الجاهلية), derivat dari
kata al-jahl (الجهل). Jika diteliti, dalam al-Qur’an
kata jahl dengan berbagai derivasinya
diungkap sebanyak 24 kali. Dalam bentuk isim
(kata benda) diulang
sebanyak 19 kali, dan dalam bentuk fi’il (kata
kerja) diulang sebanyak 5 kali, dan kata al-jâhiliyyah ( جاهلية
) dalam bentuk mashdar shinâ’î
diulang sebanyak empat kali, yakni dalam QS. Âli Imrân [3]: 154, QS. Al-Mâ’idah
[5]: 50, QS. Al-Ahzâb [33]: 33, dan QS. Al-Fath [48]: 26.[4]
Lalu apa makna al-jahl dan al-jâhiliyyah? Secara
etimologi, al-jahl disebutkan oleh Al-Khalil (w. 170 H) dalam Al-’Ayn:
“Al-Jahl (kebodohan): antonim dari kata al-‘ilm (ilmu). al-jahâlah:
melakukan suatu perbuatan tanpa ilmunya.”[5] Adapun kata al-jâhiliyyah adalah mashdar shinâ’î (المصدر الصناعي) dari
kata jâhil. Mashdar shinâ’î adalah
kata benda yang diiringi dengan yâ nisbah
dan ditambahkan tâ untuk menunjukkan
sifat yang melekat padanya.[6]
Menariknya al-Qur’an menyebutkan istilah jahiliyyah ini
dengan konotasi tertentu, Syaikh Muhammad Quthb menjelaskan:
Bahwa lafal al-Jâhiliyyah merupakan istilah
qur’ani. Lafal ini pada asalnya -shighat al-fâ’iliyyah- tidak pernah
digunakan orang-orang arab sebelum turunnya Al-Qur’an Al-Karim. Orang-orang
arab hanya menggunakan kata kerja jahila berikut ragam perubahan bentuk
katanya, dan mereka menggunakan mashdar al-jahl dan al-jahâlah,
namun orang-orang arab tidak menggunakan shighat al-faa’iliyyah yakni al-jâhiliyyah,
dan mereka pun tidak pernah menyifati diri mereka sendiri dan selainnya bahwa
mereka kaum jahiliyyah. Sesungguhnya penyifatan bagi mereka dengan sifat ini
berdasarkan al-Qur’an al-Karim dan Sunnah Rasulullah –shallallâhu ‘alayhi wa sallam-.[7]
Istilah jâhiliyyah ini pertama kali disebutkan
dalam QS. Âli Imrân [3]: 154 yakni berkenaan dengan sifat akidah kufur, Allah ’Azza wa Jalla berfirman:
يَظُنُّونَ
بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ
“Mereka
menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyah.” (QS. Âli Imrân
[3]: 154)
Allah sifati pula sifat angkuh kaum Kafir dalam QS.
Al-Fath [48]: 26:
إِذْ
جَعَلَ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي قُلُوبِهِمُ الْحَمِيَّةَ حَمِيَّةَ الْجاهِلِيَّةِ
“Ketika
orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan
jahiliyah.” (QS. Al-Fath [48]: 26)
Istilah jâhiliyyah pun disebutkan dalam QS. Al-Mâ’idah [5]: 50, untuk menyebut hukum
yang tidak disandarkan kepada hukum Allah. Allah ’Azza wa Jalla berfirman:
أَفَحُكْمَ
الْجاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْماً لِقَوْمٍ
يُوقِنُونَ {٥٠}
“Apakah hukum
Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada
(hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Mâ’idah
[5]: 50)
Maka meskipun istilah al-jâhiliyyah melekat kepada
masa fatrah[8] sebelum turunnya risalah Islam.[9] Namun istilah al-jâhiliyyah
ini jika diteliti lebih jauh disebutkan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah dengan
konotasi tertentu yang tidak dibatasi oleh kaum tertentu. Abu al-Qasim al-Râghib
al-Ashfahânî (w. 502 H) dalam Al-Mufradât
fî Gharîb al-Qur’ân, menjelaskan bahwa kata jahl yang merupakan bentuk
asal dari istilah jahiliyyah memiliki tiga konotasi, yaitu:[10]
Pertama, Tidak adanya ilmu pada diri seseorang (خلوّ النفس من العلم). Inilah makna asalnya. Makna ini disebut
juga sebagai kebodohan ringan (الجهل
البسيط).
Kedua, Meyakini sesuatu yang
tidak sesuai dengan hakikatnya (اعتقاد
الشيء بخلاف ما هو عليه). Ia meyakini kebenaran sebagai kebatilan,
dan kebatilan sebagai kebenaran. Ini disebut juga sebagai kebodohan besar (الجهل المُرَكَّب ). Sebagaimana firman Allah ’Azza wa
Jalla:
يَظُنُّونَ
بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ
“Mereka
menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyah.” (QS. Âli Imrân
[3]: 154)
Persangkaan (zhann) terhadap Allah dalam ayat
ini yakni keyakinan yang batil, tidak benar mengenai Allah ’Azza
wa Jalla, Allah sifati
sebagai persangkaan jahiliyyah.
Ketiga,
Melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan
yang seharusnya ia lakukan, baik keyakinannya itu benar ataupun salah (فعل الشيء بخلاف ما حقّه أن يفعل، سواء اعتقد فيه اعتقادا صحيحا أو
فاسدا ). Seperti meninggalkan shalat dengan sengaja, disebut jâhil. Ia disebut jâhil karena
tidak melakukan perbuatan yang seharusnya ia lakukan, yaitu shalat. Setiap
orang wajib melakukan ketaatan, jika tidak melakukannya ia telah melakukan
maksiat. Jadi, setiap orang yang terjerumus dalam maksiat dinamakan jâhil. Sebagaimana firman Allah ’Azza wa Jalla:
أَتَتَّخِذُنا هُزُواً؟ قالَ: أَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ أَكُونَ مِنَ
الْجاهِلِينَ {٦٧}
”Apakah kamu hendak menjadikan kami bahan
ejekan? Musa menjawab: Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah
seorang dari orang-orang yang jahil.”
(QS. Al-Baqarah [2]: 67).
Dalam ayat ini Allah menginformasikan penilaian terhadap orang
yang “mengolok-olok” syari’at Allah sebagai orang jâhil, karena ia telah melakukan suatu perbuatan yang seharusnya
tidak ia lakukan, yaitu perbuatan mengolok-olok syari’at tersebut. Maka bisa
disimpulkan bahwa karakteristik jahiliyyah yang disebutkan al-Qur’an mencakup
dua hal –sebagaimana disimpulkan oleh Muhammad Quthb-:
a.
Kejahilan dari segi keyakinan, yakni meyakini akidah yang menyelisihi hakikat
tauhid atau akidah Islam.
b.
Kejahilan dari segi amal perbuatan, yakni perbuatan menyalahi syari’at
Islam.
Oleh karena itu, berdasarkan pemahaman terhadap makna al-jâhiliyyah,
kita bisa menilai jenis-jenis perbuatan yang termasuk perbuatan jahiliyyah,
salah satunya terkait isu yang sedang ramai jadi bahan pembicaraan di media
massa dan media sosial, yakni kasus-kasus perdukunan berkedok kegiatan
keagamaan yang mengaku bisa menggandakan harta benda (uang kertas dan batangan
emas), yang mana kasus ini pun mengandung syubhat yang harus diluruskan. Bagaimana
kita mendudukkan persoalan-persoalan ini dari sudut pandang Islam?
B. Tradisi Jahiliyyah: Berhukum dengan Selain Hukum Allah
Jika ditelusuri lebih jauh, tradisi jahiliyyah bukan
hanya menyembah berhala, tapi termasuk juga berhukum dengan selain hukum Allah.
Hal itu didasarkan pada pengertian jahiliyyah dalam al-Qur’an sebagaimana telah
dijelaskan di awal, yakni termasuk dalam ruang lingkup: Melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan yang seharusnya ia
lakukan, baik keyakinannya itu benar ataupun salah (فعل
الشيء بخلاف ما حقّه أن يفعل، سواء اعتقد فيه اعتقادا صحيحا أو فاسدا ).
Dimana istilah jâhiliyyah pun disebutkan
dalam QS. Al-Mâ’idah [5]: 50, untuk menyebut hukum yang tidak disandarkan
kepada hukum Allah. Allah ’Azza wa Jalla berfirman:
أَفَحُكْمَ
الْجاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْماً لِقَوْمٍ
يُوقِنُونَ {٥٠}
“Apakah hukum
Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada
(hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Mâ’idah
[5]: 50)
Abu Ubaid al-Qasim bin Sallam (w. 224 H) menjelaskan ayat
ini menuturkan:
تَأْوِيلُهُ
عِنْدَ أَهْلِ التَّفْسِيرِ أَنَّ مَن حَكَمَ بِغَيْرِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَهُوَ
عَلَى مِلَّةِ الْإِسْلَامِ كَانَ بِذَلِكَ الْحُكْمِ كَأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ, إِنَّمَا
هُوَ أَنَّ أَهْلَ الْجَاهِلِيَّةِ كَذَلِكَ كَانُوا يَحْكُمُونَ.
“Tafsir
ayat ini menurut para ulama ahli tafsir, bahwa siapa saja yang menghukumi
dengan selain apa yang Allah turunkan, yakni Dinul Islam, maka perbuatan
tersebut merupakan perbuatan berhukum seperti kaum jahiliyyah, dimana kaum
jahiliyyah dahulu mereka berhukum dengan cara seperti itu.”[11]
Abu Ubaid dalam penjelasan di atas, menegaskan
penjelasan para ulama ahli tafsir yang menggolongkan perbuatan berhukum dengan
selain hukum Allah sebagai perbuatan jahiliyyah, tradisi jahiliyyah, dimana ayat
ini pun menegaskan selain hukum Allah sebagai hukum jahiliyyah.
Link Kajian Terkait:
Link Kajian Terkait:
- Penjelasan Para Ulama Atas Perintah Allah Untuk Menegakkan Islam Totalitas
- Keagungan Al-Qur’an & Pentingnya Membumikannya dalam Kehidupan
- Pengantar Memahami Keagungan Di Balik Perintah Syariat dalam Perintah Qishash (QS. Al-Baqarah: 179)
- Makna “Islam Rahmatan lil Alamin” Menurut Penjelasan Para Ulama Mu’tabar
[1] Penulis Buku Menyingkap Jin dan Dukun Hitam Putih Indonesia.
[2] Muhammad Quthub, Ru’yatun Islâmiyyatun Li Ahwâl al-‘Âlam
al-Mu’âshir, Maktabat al-Sunnah, cet. I, 1411 H/1991, hlm. 13.
[3] Abu Hamid al-Ghazali, Ihyâ’ ’Ulûm al-Dîn, Beirut: Dâr al-Ma’rifah,
juz I, hlm. 77.
[4] Abdul Rahman Umar, “Konsep Jahl dalam Al-Qur’an”, Jurnal Râyah
al-Islâm, Vol. I, No. 01, April 2016, hlm. 53-54 (dengan penyesuaian bahasa).
[5] Al-Khalil bin Ahmad bin ‘Amru al-Farahidi, Kitâb
al-Ayn, Ed: Dr. Mahdi al-Makhzumi, Dâr wa Maktabat al-Hilâl, juz IV, hlm.
47.
[6] Mushthafâ bin Muhammad
Salîm al-Ghulâyainî, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyyah, Beirut: Maktabat
al-‘Ashriyyah, 1993, Jilid 1, hlm. 177.
[7] Muhammad Quthub, Ru’yatun Islâmiyyatun Li Ahwâl al-‘Âlam al-Mu’âshir, hlm.
14.
[8] Jeda setelah berakhirnya masa Nabi ‘Isa a.s dan sebelum tibanya masa Nabi
Muhammad SAW, lihat: Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji, Mu’jam Lughat
al-Fuqahaa’, Beirut: Dâr al-Nafâ’is, cet. II, 1408 H/1988, hlm. 159.
[9] Al-Khalil bin Ahmad bin ‘Amru al-Farahidi, Kitâb
al-Ayn, Ed: Dr. Mahdi al-Makhzumi, Dâr wa Maktabat al-Hilâl, juz IV, hlm.
47.
[10] Abu al-Qâsim al-Husain bin
Muhammad al-Râghib al-Ashfahânî, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, Beirut:
Dâr al-Qalam, cet. I, 1412 H, hlm. 209.
[11] Abu Ubaid al-Qasim bin Sallam bin Abdullah al-Baghdadi, Kitâb al-Îmân, Maktabat
al-Ma’ârif, cet. I, 1421 H/2000, hlm. 90.
Comments
Post a Comment