Disampaikan oleh Feri Barkah, S.Pd. (Aktivis
HTI Kab. Sukabumi)[1]
Tahqîq
dan ta’lîq: Irfan Abu Naveed, M.Pd.I (LTS DPD II HTI Kab. Sukabumi)
Download: Link Internet Archive
Download: Link Internet Archive
A.
Muqaddimah
Sebagaimana
diberitakan oleh banyak media belakangan ini, khususnya media sosial, Ahok
dituding telah menistakan al-Qur’an. Hal itu ia lakukan di hadapan masyarakat
saat kunjungannya ke Kepulauan Seribu. Saat itu, sebagaimana bisa disaksikan di
Youtube, Ahok menyatakan, “Jadi jangan percaya sama orang. Kan bisa aja dalam hati
kecil bapak ibu enggak bisa pilih saya, karena dibohongin pake Surat al-Maidah
51 macem-macem itu. Itu hak bapak ibu ya. Jadi kalau bapak ibu perasaan
enggak bisa pilih nih, karena saya takut masuk neraka, dibodohin gitu ya,
enggak apa-apa.” (Republika.co.id,
10/10).
Pelecehan atau penghinaan, dalam bahasa arab dikenal
dalam istilah al-istihzâ’ (الاستهزاء). Istihzâ’ itu sendiri berasal
dari kata kerja (هَزَأَ -
يَهْزَأُ), yang berkonotasi sakhira (melecehkan).[2] Dimana
perbuatan istihzâ’ ini mengandung pelecehan atas pihak yang dilecehkan
disertai i’tiqad (keyakinan, maksud) atas pelecehannya
(الاستهزاء يَقْتَضِي تحقير المستهزإ بِهِ واعتقاد تحقيره).[3] Jika
diteliti, pernyataan Ahok ini jelas merupakan pelecehan dan
penghinaan terhadap keagungan dan kesucian al-Qur’an, yang dilakukan dengan sadar. Al-Qur’an adalah wahyu Allah SWT yang pasti benar
dan pasti akan menuntun manusia kepada petunjuk dan jalan kebaikan. Di sisi
lain menyampaikan kebenaran al-Qur’an, termasuk surat al-Mâ’idah ayat 51 sebagai
salah satu dasar haramnya menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, merupakan dakwah
yang termasuk ajaran Islam yang mulia, bahkan Allah Yang Maha Mulia pun memujinya
sebagai sebaik-baiknya perkataan. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
وَمَنْ
أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي
مِنَ الْمُسْلِمِينَ {٣٣}
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang
menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata:
"Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (QS. Fushshilat [41]: 33)
Lantas bagaimana bisa perbuatan mulia seperti ini, dikatakan
oleh Ahok sebagai pembodohan? Maka semakin nyata kebencian kaum
kuffar melecehkan ajaran Islam, yang sebenarnya menggambarkan apa yang Allah
firmankan:
قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي
صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ {١١٨}
“Telah
nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka
adalah lebih besar lagi.” (QS. Âli Imrân [3]: 118)
Ayat ini
menegaskan bahwa kebencian kaum kuffar itu nyata diucapkan oleh lisan-lisan
mereka, dan kebencian yang mereka sembunyikan lebih besar lagi. Maka
pelecehan-pelecehan yang mereka tampakkan sebenarnya sebagian kecil dari
kebenciannya, dan apa yang mereka sembunyikan lebih besar lagi, Imâm
al-Mufassirîn, al-Hafizh Ibn Jarir al-Thabari (w. 310 H), ketika
menafsirkan cuplikan ayat yang agung ini menjelaskan bahwa makna (من أفواههم) yakni dengan lisan-lisan mereka.[4] Al-Thabari pun menegaskan bahwa permusuhan mereka terhadap
siapa saja yang menyelisihi pijakan mereka berupa kesesatan, merupakan
sekuat-kuatnya sebab permusuhan mereka terhadap orang beriman, karena hal
tersebut merupakan permusuhan dengan motif agama.[5]
B. Membedah Sisi
Linguistik Kalimat Ahok
Orang kafir melecehkan al-Qur’an mungkin bukan
merupakan sesuatu yang baru. Tapi adalah sesuatu yang aneh ketika ada seseorang
yang mengaku muslim tapi membela orang kafir tersebut. Ia berdalih bahwa tidak ada yang salah dengan kalimat
Ahok. Salah satunya adalah pernyataan Nusron Wahid yang notabene adalah tokoh
NU. Baik, kita akan mencoba membedah sisi linguistik, sisi kaidah bahasa yang
Ahok gunakan saat memberikan pidatonya di kepulauan Seribu.
Ini adalah
potongan kalimat Ahok: “Dibohongin pakai
surat Al-Mâ’idah 51
macam-macam......” Sengaja kita fokuskan pada kalimat yang menimbulkan
polemik ini karena memang masalahnya ada pada frasa ini (selain pada kalimat
yang terakhir (dibodohin gitu ya, enggak
apa-apa)).
Terjemahan
versi sebagian besar orang: “Ahok menistakan surat Al-Mâ’idah. Al-Mâ’idah 51 dibilang
bohong oleh Pak Basuki”. Terjemahan versi pembela Ahok: “Ahok tidak menistakan Al-Mâ’idah 51. Ia
menyoroti orang yang membawa surat Al-Mâ’idah 51 untuk berbohong.”
Jika pernyataan
Ahok dibedah dengan kepala dingin, dengan cara mengubah kalimat di atas dengan
struktur yang lengkap, maka ungkapannya, “Anda dibohongin orang pakai surat Al-Mâ’idah 51” – Ini adalah kalimat pasif. Anda (objek), Dibohongin (predikat), Orang (subjek),
Pakai surat Al-Mâ’idah 51 (keterangan alat). Dengan struktur kalimat seperti ini, jelas yang
disasar dalam kalimat Ahok adalah SUBYEK nya, yaitu “ORANG”. Dalam hal ini
orang yang menggunakan surat Al-Mâ’idah 51. Karena Surat Al-Mâ’idah 51 di sini hanya sebagai keterangan alat yang
sifatnya NETRAL.
Kita analogikan
dengan struktur kalimat yang sama seperti ini: “Anda dipukul orang pakai
penggaris.” Struktur kalimat di atas sama, yaitu : OPSK. Jenis kalimat pasif.
Subyek ada pada orang. Sedangkan penggaris merupakan keterangan alat yang
bersifat netral. Di sini menariknya. Penggaris memang bersifat netral. Bisa
dipakai menggaris, memukul dan yang lainnya tergantung predikatnya. Yang
menentukan apakah si penggaris ini fungsinya menjadi positif atau negatif
adalah predikatnya. Nah masalahnya adalah apakah Surat Al-Mâ’idah 51 bisa
digunakan sebagai alat untuk berbohong?
Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, bohong/bo·hong/ berarti tidak sesuai dengan hal
(keadaan dan sebagainya) yang sebenarnya; dusta. Allah berfirman dalam QS. Al-Mâ’idah [5]: 51:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ
بَعْضٍ ۚ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ
مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ {٥١}
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu);
sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa diantara
kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk
golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang zhalim.” (QS. Al-Mâ’idah [5]: 51)
Makna dari
surat Al-Mâ’idah 51 tersebut sudah sangat jelas. Bukan kalimat bersayap yang bisa
dimultitafsirkan. Tanpa dibacakan oleh orang lain, seseorang yang membaca
langsung Surat Al-Mâ’idah 51 pun mampu memahami artinya. Kesimpulan yang dapat diambil adalah dengan
makna sejelas ini surat Al-Mâ’idah 51 TIDAK BISA DIJADIKAN ALAT UNTUK BERBOHONG. Jadi
ketika Ahok berkata dengan kalimat seperti itu, sudah pasti ia menyakiti umat Islam
karena menempatkan Al-Mâ’idah 51 sebagai “keterangan alat” yang didahului oleh predikat bohong.
Menempelkan sesuatu yang suci dengan sebuah kata negatif, itulah kesalahannya.
Sebuah logika
yang sama dengan kasus seperti ini: Seorang Ustadz menghimbau jamaahnya:
"Jangan makan babi, Allah mengharamkannya dalam Surat Al-Mâ’idah ayat 3".
Pedagang babi lalu komplain. "Anda jangan mau dibohongi Ustadz pake Surat Al-Mâ’idah Ayat 3".
Atau seorang Ustadz menghimbau jamaahnya, "Al-Qur’an mengharamkan khamr
dan judi dalam Surat Al-Mâ’idah ayat 90". Bandar judi dan produsen vodka pun protes, "Anda
jangan mau dibohongi Ustadz pakai Surat Al-Mâ’idah Ayat 90”. Jika Anda sudah membaca arti Surat Al-Mâ’idah Ayat 3 dan 90,
mana yang akan Anda percaya? Ustadz yang memberitahu Anda atau Pedagang Babi,
Khamr, dan Bandar Judinya? Tentu sebagai seorang muslim yang beriman, kita
pasti akan memilih dan tunduk kepada Al-Qur’an karena merupakan pedoman hidup
kita.
C. Sikap HTI & MUI
Sebagaimana
diketahui, Allah SWT di dalam QS. Al-Mâ’idah [5]: 51 memang secara tegas telah melarang kaum Muslim untuk
menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin mereka. Ayat inilah yang
dituding Ahok sering dijadikan alat untuk membohongi dan membodohi umat Islam
agar tidak mau memilih pemimpin kafir, seperti dirinya.
Kontan,
reaksi keras bermunculan dari berbagai komponen umat Islam terhadap sikap Ahok
yang telah menistakan al-Qur’an itu. Bahkan muncul petisi penolakan terhadap
Ahok di Change.org. Hingga 6 Oktober 2016 saja, petisi online yang
mengecam Ahok telah ditandatangani oleh 40.237 orang (Tempo.co, 6/10).
Hizbut
Tahrir Indonesia (HTI), dalam pernyataan resminya tanggal 7 Oktober 2016, juga
mengecam keras pelecehan al-Qur’an oleh Ahok ini sekaligus menuntut agar Ahok
dihukum berat. Puncaknya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Selasa
(11/10/2016) juga menyatakan sikap tegasnya, yang langsung ditandatangi oleh
Ketua Umum MUI, KH Ma’ruf Amin. Di dalam pernyataan sikapnya, MUI antara lain
menyatakan:
1)
Al-Qur’an
surah al-Maidah ayat 51 secara eksplisit berisi larangan menjadikan Yahudi dan
Nasrani sebagai pemimpin. Ayat ini menjadi salah satu dalil larangan menjadikan
non-Muslim sebagai pemimpin;
2)
Ulama
wajib menyampaikan isi surah al-Maidah ayat 51 kepada umat Islam bahwa memilih
pemimpin Muslim adalah wajib;
3)
Setiap
orang Islam wajib meyakini kebenaran isi surah al-Maidah ayat 51 sebagai panduan
dalam memilih pemimpin;
4)
Menyatakan
bahwa kandungan surah al-Maidah ayat 51 yang berisi larangan menjadikan Yahudi
dan Nasrani sebagai pemimpin adalah sebuah kebohongan, hukumnya haram dan
termasuk penodaan terhadap al-Qur’an;
5)
Menyatakan
bohong terhadap ulama yang menyampaikan dalil surah al-Maidah ayat 51 tentang
larangan menjadikan non-Muslim sebagai pemimpin adalah penghinaan terhadap
ulama dan umat Islam.
Berdasarkan hal di atas, demikian dinyatakan
MUI, maka pernyataan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dikategorikan: (1) Menghina
al-Qur’an dan atau (2) Menghina ulama yang memiliki konsekuensi hukum.
Menanggapi
tuduhan tersebut, Ahok berkilah, “Saya tidak menyatakan penghinaan al-Qur’an.
Saya tidak mengatakan Al-Qur’an bodoh. Saya hanya katakan kepada masyarakat di
Pulau Seribu, kalau kalian mau dibodohi oleh orang rasis pengecut menggunakan
ayat suci itu dengan tujuan tidak milih saya, silakan jangan milih,” ujar Ahok
(detik.com, 7/10).
Namun,
karena amat derasnya arus kecaman dari berbagai komponen umat Islam, Ahok
akhirnya meminta maaf. Menanggapi itu, MUI mendesak Kepolisian tetap
menindaklanjuti laporan dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok. Menurut
MUI, dengan ucapan permintaan maaf Ahok terkait ucapannya itu tidak berarti
masalah selesai. Ahok harus tetap mempertanggungjawabkan perbuatannya (Tempo.co,
10/10).
D. Ahok Minta
Maaf; Proses Hukum Harus Tetap Jalan
Meski Ahok
telah dianggap meminta maaf, namun proses hukum untuk mempidanakannya tetap harus
berjalan. “Ahok minta maaf? Hukum harus tetap berjalan!” tegas Juru Bicara
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Ust. Muhammad Ismail Yusanto, kepada mediaumat.com, Senin (10/10/2016). Sama seperti orang yang melanggar lalu lintas itu
tidak bisa sekadar meminta maaf kepada polisi lalu bebas tidak ditilang. Polisi
memaafkan tetapi tetap ditilang.
Dulu juga
penistaan pernah dilakukan Arswendo Atmowiloto. "Arswendo dulu menghina
Rasul lalu meminta maaf tetap saja dipenjara,” ungkapnya. Di samping, itu Ismail
mempertanyakan permintaan maaf dari Ahok, “Kalau saya baca Ahok ini tidak
sungguh-sungguh meminta maaf,” tegasnya. Alasannya, tidak nyambung antara
kesalahannya dan permintaan maafnya. Ahok itu dikatakan dari pidatonya di
Kepulaun Seribu telah menghina Al-Qur’an. Menurut Ismail permintaan maafnya itu
tidak terkait Al-Qur’an, tetapi ia katakan terkait dengan kegaduhan yang telah
timbul. "Jadi tidak nyambung dengan persoalan yang timbul, apa masalahnya
kemudian ia minta maaf sebelah mana,” tambahnya.
Di samping itu,
Ismail pun mengingatkan bahwa permintaan maaf Ahok ini harus diwaspadai atau
dikritisi karena dari awal Ahok itu tidak ingin minta maaf. Kemudian dia
mengeluarkan penjelasan yang justru semakin menambah penghinaan dia. Ismail
mengungkap, "Kalau kemarin di Kepulauan Seribu dia menghina Al-Qur’an,
sekarang dia menghina para ulama, para ustadz dengan sebutan rasis, pengecut
segala macam itu”. Ismail juga menyatakan bahwa publik harus melihat Ahok ini
bukan hanya di dalam konteks satu peristiwa ini tetapi juga keseluruhan
peristiwa sebelumnya yang menghina Islam termasuk apa yang terjadi di Kepulauan
Seribu.
E. Menistakan Al-Qur’an:
Dosa Besar
Al-Qur’an
adalah kalam Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW Setiap Muslim
wajib memuliakan dan mensucikan al-Qur’an. Hal ini telah disepakati oleh para
ulama. Karena itu siapa saja yang berani menghina al-Qur’an berarti telah
melakukan dosa besar! Jika pelakunya Muslim, dia dihukumi murtad dari Islam.
Allah SWT berfirman:
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ
لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ ۚ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ
{٦٥} لَا تَعْتَذِرُوا
قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ ۚ إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً
بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ {٦٦}
“Jika
kamu bertanya kepada mereka, niscaya mereka akan menjawab, "Sungguh, kami
hanya bersenda-gurau dan bermain-main saja." Katakanlah, "Mengapa
kepada Allah, ayat-ayat-Nya serta Rasul-Nya kalian selalu menistakan? Kalian
tidak perlu meminta maaf karena kalian telah kafir setelah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka
taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah
orang-orang yang selalu berbuat dosa.” (QS. Al-Tawbah [9]: 65-66).
Terkait
ayat di atas, Imam Ibn Qudamah al-Maqdisi (w. 620 H) berkata, “Siapa saja
mencaci Allah SWT telah kafir, sama saja dilakukan dengan bercanda atau serius.
Begitu juga orang yang mengejek Allah, ayat-ayat-Nya, para rasul-Nya, atau
kitab-kitab-Nya.”[6]
Al-Hafizh
Abu Zakariya Yahya bin Syarf al-Nawawi (w. 676 H) pun tegas menyatakan, “Ragam
perbuatan yang menjatuhkan seseorang pada kekafiran adalah yang muncul dengan
sengaja dan menghina agama Islam secara terang-terangan.”[7]
Hal yang
sama ditegaskan oleh al-Qadhi Iyadh (w. 544 H), “Ketahuilah, siapa saja yang
meremehkan al-Qur’an, mushafnya atau bagian dari al-Qur’an, atau mencaci-maki al-Qur’an
dan mushafnya.. maka ia kafir (murtad) menurut ahli ilmu dengan konsensusnya.”[8]
Dalam
kitab Asnâ al-Mathâlib dinyatakan, Mazhab Syafi’i telah menegaskan bahwa
orang yang sengaja menghina—baik secara verbal, lisan maupun dalam hati—kitab
suci al-Qur’an atau hadits Nabi SAW dengan melempar mushaf atau kitab hadits di
tempat kotor, dia dihukumi murtad. Inilah hukum syariah yang juga
disepakati oleh para fukaha dari kalangan Hanafi, Maliki, Hanbali dan berbagai
mazhab lainnya.
F. Sanksi Hukum Islam Bagi Orang yang Menghina dan Melecehkan Al-Qur’an
Hukuman bagi orang yang menghina dan melecehkan al-Qur’an menurut para ulama yakni:
Pertama, Jika pelakunya Muslim, maka dengan tindakannya itu ia dinyatakan kafir
(murtad).
Kedua, Jika ia orang
kafir, dan menjadi ahl al-dzimmah, maka ia dianggap menodai dzimmah-nya,
dan bisa dijatuhi sanksi yang keras oleh negara. Jika ia kafir dan bukan ahl
al-dzimmah, tetapi kafir mu’ahid, maka tindakannya bisa merusak mu’ahadah-nya,
dan negara bisa mengambil tindakan tegas kepadanya dan negaranya. Jika ia kafir harbi, maka
tindakannya itu bisa menjadi alasan bagi negara untuk memaklumkan perang
terhadapnya dan negaranya.
Karena itu,
sanksinya pun berat. Orang Muslim yang menghina al-Qur’an akan dihukum mati, karena telah
dinyatakan murtad. Jika ia kafir ahl al-dzimmah, maka ia harus dikenai ta’zir
yang sangat berat, bisa dicabut dzimmah-nya, hingga sanksi hukuman mati.
Bagi kafir selain ahl a-dzimmah, maka Khilafah akan membuat perhitungan
dengan negaranya, bahkan bisa dijadikan alasan Khalifah untuk memerangi
negaranya, dengan alasan menjaga kehormatan dan kepentingan Islam dan kaum
Muslim.
G.
Tindak Tegas Penista Al-Qur’an
Allah SWT berfirman:
وَإِنْ نَكَثُوا
أَيْمَانَهُمْ مِنْ بَعْدِ عَهْدِهِمْ وَطَعَنُوا فِي دِينِكُمْ فَقَاتِلُوا أَئِمَّةَ
الْكُفْرِ ۙ إِنَّهُمْ لَا
أَيْمَانَ لَهُمْ لَعَلَّهُمْ يَنْتَهُونَ {١٢}
“Jika mereka
merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu,
maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena Sesungguhnya
mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya, agar supaya
mereka berhenti.” (QS. Al-Tawbah [9]: 12)
Dalam
ayat yang mulia ini, Allah SWT menyebut orang kafir yang mencerca dan
melecehkan agama Islam sebagai gembong kafir, alias
bukan sekedar kafir biasa. Menurut al-Hafizh al-Qurthubi (w. 676 H), sebagian
ulama berdalil dengan ayat ini mengenai kewajiban menghukum mati setiap orang
yang mencerca Dinul Islam karena ia telah kafir.[9]
Karena itu
segala bentuk penistaan terhadap Islam dan syiar-syiarnya sama saja dengan
ajakan berperang. Pelakunya akan ditindak tegas oleh Khilafah. Seorang Muslim
yang melakukan penistaan dihukumi murtad dan ia akan dihukum mati. Jika pelakunya kafir
ahl al-dzimmah, ia bisa dikenai ta’zîr yang sangat berat; bisa
sampai dihukum mati. Jika pelakunya kafir yang tinggal di negara kufur seperti
AS, Eropa dan sebagainya, maka Khilafah akan memaklumkan perang terhadap mereka
untuk menindak dan membungkam mereka. Dengan begitu, siapapun tidak akan berani
melakukan penodaan terhadap kesucian Islam.
Rasulullah
SAW sebagai kepala Negara Islam pun pernah memaklumkan perang terhadap
Yahudi Bani Qainuqa’—karena telah menodai kehormatan seorang Muslimah—dan
mengusir mereka dari Madinah, karena dianggap menodai perjanjian mereka dengan
negara. Khalifah al-Mu’tashim pun pernah mengerahkan puluhan ribu pasukan
Muslim untuk menindak tegas orang Kristen Romawi yang telah menodai seorang
Muslimah. Mereka diperangi hingga sekitar 30 ribu pasukan Kristen tewas dan 30
ribu lainnya berhasil ditawan. Selain itu, wilayah Amuriyah yang sebelumnya
dikuasai Romawi jatuh ke tangan kaum Muslim. Tindakan tegas juga ditunjukkan
oleh Khilafah Utsmani saat merespon penghinaan kepada Nabi SAW oleh seniman
Inggris. Saat itu Khilafah Utsmani mengancam Inggris dengan perang jihad.
Akhirnya, mereka pun tak berani berbuat lancang.
H.
Apa Yang Harus Kita Lakukan??
Para ulama
mengatakan bahwa jika ada yang menghina Al-Qur’an, dan tidak ada perasaan marah
terhadap orang yang menghina tersebut, maka perlu dipertanyakan keimanannya.
Hal senada disampaikan oleh Ketua DPP HTI Ustadz Rokhmat S. Labib terhadap para
pendukung Ahok: “Wahai para pendukung Ahok, tidak adakah rasa marah ketika Al-Qur’an
dihina dan dinista? Tidakkah anda merasa harga diri kalian telah diinjak-injak
ketika para ulama dilecehkan dan direndahkan? Jika perasaan itu tidak ada,
bersiaplah untuk menjadi penghuni neraka.”
Tentu
kita tidak ingin terkategori orang yang disebutkan di atas. Oleh sebab itu,
kita harus melakukan sebagaimana yang diserukan oleh Hizbut Tahrir Indonesia
dalam pernyataan resminya, yaitu:
1.
Mengutuk dengan
keras pelecehan terhadap al-Qur’an yang dilakukan oleh Ahok sebagai tindakan
yang sama sekali tidak bisa diterima. Ahok secara sadar telah menyatakan bahwa
orang yang tidak memilih dirinya oleh karena dasar surah al-Mâ’idah ayat 51
sebagai telah dibodohi. Itu artinya, Ahok telah secara nyata menyebut al-Qur’an
sebagai sumber kebodohan, dan siapa saja yang menyampaikan haramnya memilih
pemimpin kafir dengan dasar ayat itu juga disebut oleh Ahok sebagai telah
melakukan pembodohan.
2.
Menuntut kepada
aparat yang berwenang untuk segera bertindak mengusut tindakan penghinaan
terhadap al-Qur’an yang telah dilakukan oleh Ahok ini, serta menindak lanjuti
laporan mengenai hal ini yang telah banyak dilakukan oleh berbagai komponen
masyarakat, dalam kasus hukum pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama,
dimana perbuatan Ahok ini secara sah dan meyakinkan telah melanggar hukum sehingga
harus ditindak.
3.
Dengan
penghinaan terhadap al-Qur’an yang telah dilakukan oleh Ahok, semakin jelas
siapa Ahok sebenarnya, dan ini menambah bukti-bukti yang sudah ada tentang
tidak pantasnya Ahok memimpin Propinsi DKI Jakarta yang berpenduduk mayoritas
muslim ini.
4.
Menyerukan
kepada umat Islam di Jakarta khususnya, untuk dengan tegas menolak Ahok untuk
menjadi gubernur mendatang. Dan bagi yang masih mendukung, untuk segera
menghentikan dukungan itu, karena sebagai muslim seharusnya berpedoman kepada al-Qur’an
yang telah dengan jelas melarang memilih pemimpin kafir. Maka tak sepantasnya seorang muslim mendukung calon pemimpin
kafir, apalagi yang bersangkutan telah terbukti menghina al-Qur’an.
Tak berhenti
sampai disana, sesungguhnya jelas bagi mereka yang berakal untuk menolak sistem
Demokrasi yang memberikan peluang kepada kaum Kafir menguasai kaum Muslim,
dimana mereka diberikan jalan yang lapang untuk menguasai kaum Muslim, serta
menolak setiap pemimpin yang diangkat untuk menegakkan sistem hukum jahiliyyah.
Dimana itu semua bisa diatasi
dengan mengganti sistem Demokrasi dengan sistem Islam, al-Khilafah, dengan
meneladani metode dakwah Rasulullah SAW.
I.
Khatimah
Alhasil,
keberadaan Khilafah untuk melindungi kesucian dan kehormatan Islam, termasuk
kitab suci dan nabinya, mutlak diperlukan. Bahkan para ulama
menyebutkannya sebagai saudara kembar (الدّين
وَالسُّلْطَان توأمان)[10],
dan ia sebagaimana disebutkan Imam Abu Hamid al-Ghazali (w.505 H) dan lainnya:
الدِّيْنُ
أُسٌّ وَالسُّلْطَانُ حَارِسٌ فَمَا لَا أُسَّ لَهُ فَمَهْدُوْمٌ وَمَا لَا حَارِسَ
لَهُ فَضَائِعٌ
“Al-Dîn
itu asas dan penguasa itu penjaganya, maka apa-apa yang tidak ada asasnya maka
ia akan roboh dan apa-apa yang tidak ada penjaganya maka ia akan hilang.”[11]
Karena itu
jika saat ini umat Islam tidak memiliki Khilafah, sementara para penguasa
mereka saat ini tidak melakukan tugas dan tanggung jawab untuk membela agama
Allah SWT, bahkan berlomba memerangi Allah dan Rasul-Nya demi kerelaan kaum
kafir, maka kewajiban umat Islam saat ini adalah menegakkan kembali Khilafah
dengan membaiat seorang khalifah. Khilafah yang akan menerapkan al-Qur’an dan al-Sunnah,
menegakkan syari’ah sekaligus menjaga kehormatan dan kemuliaan umat Islam
sehingga mereka tidak akan pernah dihinakan lagi. Rasul SAW bersabda:
إِنَّمَا ﺍﻹِﻣَﺎﻡُ
ﺟُﻨَّﺔٌ ﻳُﻘََﺎﺗَﻞُ ﻣِﻦْ ﻭَﺭَﺍﺋِﻪِ ﻭَﻳُﺘَّﻘَﻰ ﺑِﻪِ
“Sesungguhnya Imam (Khalifah) adalah perisai; rakyat akan berperang di
belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, dan lainnya)
Tanpa
Khilafah, al-Qur’an tidak ada yang melindungi. Penistaan terhadap kitab suci
itu akan terus berulang, bahkan di negeri kaum Muslim sendiri, sebagaimana
terjadi saat ini. Andai saja Khilafah ada, niscaya penistaan demi penistaan
seperti ini tidak akan terjadi. Karena itu sejatinya kita segera bergerak untuk
secara bersama-sama mewujudkan kembali perisai/pelindung Islam dan kaum Muslim,
yakni Khilafah ‘alâ minhâj al-nubuwwah. Wallâhu a’lam bi al-shawâb. []
[2] Muhammad bin Ahmad al-Azhari, Tahdzîb al-Lughah, Beirut:
Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-’Arabi, cet. I, 2001, juz VI, hlm. 196; Abu Nashr
Isma’il bin Hammad al-Jawhari, Al-Shihâh Tâj al-Lughah wa Shihâh
al-’Arabiyyah, Beirut: Dâr al-’Ilm li al-Malâyîn, cet. IV, 1407 H, juz I,
hlm. 82-83; Abu al-Fadhl Jamaluddin Ibn Manzhur, Lisân al-’Arab, Beirut:
Dâr Shâdir, cet. III, 1414 H, juz I, hlm. 183.
[3] Abu Hilal al-‘Askari, Al-Furûq al-Lughawiyyah, Kairo: Dâr
al-‘Ilm wa al-Tsaqâfah, t.t., hlm. 254.
[4] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, Ed: Ahmad
Muhammad Syakir, Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, cet. I, 1420 H/2000, juz VII, hlm. 145.
[6] Abdullah bin Ahmad Ibnu Qudamah al-Maqdisi, Al-Mughni fî Fiqh al-Imâm
Ahmad bin Hanbal al-Syaibani, Beirut: Dâr al-Fikr, cet. I, 1405 H, juz X,
hlm. 103.
[7] Abu Zakariya Yahya bin Syarf al-Nawawi, Rawdhat al-Thâlibîn wa ‘Umdat al-Muftîn, Beirut:
Al-Maktab al-Islâmi, cet. III, 1412 H/1991, juz X, hlm. 64.
[8] Abu al-Fadhl ‘Iyadh bin Musa, Al-Syifâ bi Ta’rîf Huqûq al-Mushthafâ, Amman: Dâr al-Fuyahâ’, cet. II, 1407 H, juz II, hlm. 646.
[9] Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li
Ahkâm al-Qur’ân, Kairo: Dâr al-Kutub al-Mishriyyah, cet. II, 1384 H/1964, juz VIII, hlm. 82.
[10] Abu Hamid
al-Ghazali, Al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
cet. I, 1424 H, hlm. 128.
[11] Ibid.
Comments
Post a Comment