Oleh: Yandi Hermawan[1]
Editor: Irfan Abu Naveed, M.Pd.I
D
|
inul Islam adalah mabdâ’ al-hayât, suatu sistem pemikiran serta
aturan kehidupan yang tinggi nan mulia. Ketinggiannya melebihi ide dan aturan
apapun di dunia ini, bahkan menjadi satu-satunya kebenaran mutlak.[2]
Sementara umat Islam adalah umat yang Allah SWT tinggikan derajatnya dan
tetapkan kemuliaannya, bahkan Allah SWT sematkan predikat sebagai umat terbaik,
selama mereka memahami serta menjadikan Islam sebagai satu-satunya pedoman
dalam kehidupan. Dr. Mushthafa al-Siba’i menegaskan bahwa jika kembali kepada pokok akidah kita, kita akan menemukan
bahwa Kitab Suci (al-Qur’an al-Karim) telah mengabarkan kabar gembira
keistimewaan umat ini dalam firman-Nya:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ
عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ {١١٠}
”Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah.” (QS. Âli Imrân [3]: 110)
Dimana ayat ini mengisyaratkan keunggulan akidah dan
ajaran akhlak Islam, sehingga menjadi umat terbaik yang dilahirkan untuk umat
manusia.[3] Islam
pun sebagai sebuah
sistem kehidupan bagi manusia, merupakan mabdâ’ (ideologi) yaitu akidah
yang menjadi landasan pemikiran serta melahirkan aturan-aturan kehidupan. Oleh
karenanya seorang muslim wajib menyelaraskan aspek pemikiran
maupun perilakunya dengan syari’ah Islam. Kesalahan mereduksi
ajaran Islam dan membatasinya pada tataran spiritual semata, tidak memahami
Islam sebagai sebuah mabdâ’ akan berdampak kepada kesalahan tidak mengamalkan
Islam secara praktis, dan menganggap Islam tidak aplikatif dalam realitas
kehidupan. Kesalahan fundamental ini pasti berdampak pada kesalahan-kesalahan
fatal berikutnya.[4]
Pemahaman
paling mendasar bagi kaum Muslim bahwa Islam (dengan segenap tsaqafahnya)
adalah mabdâ’ yang menjadi qâ’idah
fikriyyah yakni landasan pemikiran dan
pedoman perilaku yang tidak terbentuk secara tiba-tiba dalam diri seseorang, melainkan
terbentuk dengan proses pembinaan yang berorientasi tafaqquh fi al-dîn, mencakup
pengetahuan dan pengamalannya dengan metode yang benar sebagaimana teladan
Rasulullah SAW ketika membina para sahabatnya,[5]
proses ini bagian dari apa yang
dikabarkan dalam hadits dari Abu Hurairah r.a., ia berkata: “Aku mendengar Nabi
SAW bersabda:
«إِنَّمَا الْعِلْمُ
بِالتَّعَلُّمِ»
“Sesungguhnya ilmu hanya bisa diraih dengan cara
belajar.” (HR. Al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Awsath, al-Baihaqi dalam Al-Madkhal Ilâ
al-Sunan al-Kubrâ’)
Al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani (w. 852 H)
sendiri menyifatinya sebagai ilmu yang diraih dari Nabi SAW dan para
pewarisnya, yakni para ulama, dengan cara belajar.[6] Dengan proses inilah keluhuran tsaqafah
Islamiyyah sebagai bagian dari fikrah Islam akan dapat dipahami.
A. Tsaqafah Islam: Definisi dan Karakteristik
Saat ini telah terjadi kerancuan
dalam benak kaum Musim, ketika mempersepsikan makna hakiki tsaqafah, sehingga
tanpa sungkan mengadopsi tsaqafah Barat yang seharusnya dicampakkan. Banyak
yang tidak memahami dan salah memaknai, dan lebih jauh lagi tidak mampu
membedakan mana tsaqafah yang boleh diadopsi dan yang tidak boleh diadopsi
karena kerancuan mendefinisikan tsaqafah. Hal ini merupakan realitas yang
mengkhawatirkan, sebab dengan begitu bisa legowo dan tanpa sadar mengadopsi tsaqafah kufur Barat yang
dimurkai Allah SWT.
Kata tsaqafah berasal dari kata tsaqifa
tsaqâfatan, artinya menjadi mahir atau piawai. Pelakunya disebut tsaqifun
dan tsaqîfun.[7]
Seorang yang tsaqif berarti (حاذِقٌ فَهِم) seorang yang cepat dalam memahami.
Juga berarti (سُرعةُ التَّعَلُّمِ)
cepat dalam mempelajari.[8]
Al-Khalil (w.
170 H) dalam al-‘Ayn pun
menjelaskan makna tsaqiftu al-syay-a yakni cepat memahaminya (سرعة
تعلمه).[9]
Selain penjelasan al-‘Allamah Taqiyuddin
al-Nabhani, Al-’Amiri dalam kitab Adhwâ’ ’Alâ al-Tsaqâfah al-Islâmiyyah,
seperti yang dikutip Handoyo (2014)
juga menjelaskan bahwa tsaqafah berarti (الظفر بالشيء والتغلب عليه) mengalahkan dan mendominasi, (التقويم والتهذيب)
membentuk dan memperbaiki. Dalam al-Qur’an
bentukan kata tsaqifa digunakan dalam 6 tempat.[10] Sebagai contoh dalam QS. Al-Anfâl [8]: 57, Allah SWT berfirman:
فَإِمَّا
تَثْقَفَنَّهُمْ فِي الْحَرْبِ فَشَرِّدْ بِهِمْ مَنْ خَلْفَهُمْ لَعَلَّهُمْ
يَذَّكَّرُونَ {٥٧}
“Jika kamu menghadapi mereka dalam peperangan, maka cerai-beraikanlah orang-orang yang di belakang mereka dengan (menumpas)
mereka, supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al-Anfâl [8]: 57)
Pemakaian kata (تثقفنهم) dalam ayat ini menurut al-Hafizh al-Qurthubi memiliki arti,
تأسر هم وتجعلهم في ثقاف، أو تلقا هم
بِحَالِ ضَعْفٍ، تَقْدِرُ عَلَيْهِمْ فِيهَا وَتَغْلِبُهُمْ
“Menahan
mereka dalam peperangan, atau menjadikan mereka dalam keadaan yang sempit atau
dalam keadaan lemah, menguasai mereka serta mengalahkannya dalam peperangan.”[11]
Pengertian di atas merupakan pengertian
secara bahasa (etimologi), Namun secara istilah,
tsaqafah menggambarkan pengetahuan yang sangat erat kaitannya dengan
pandangan dasar (akidah) dan ideologi tertentu. Al-‘Allamah Taqiyuddin al-Nabhani menjelaskan dengan sangat brilliant
perbedaan makna ilmu dan tsaqafah. Beliau menyebutkan bahwa ilmu
adalah pengetahuan yang diambil melalui cara penelaahan, eksperimen dan kesimpulan. Misalnya
ilmu fisika, ilmu kimia dan berbagai ilmu eksperimental lainnya. Sedangkan tsaqafah adalah
pengetahuan yang diambil melalui berita-berita (pengkabaran), talaqqi (pertemuan secara langsung) dan istinbâth
(penggalian/penarikan kesimpulan). Misalnya sejarah, bahasa, fiqih, filsafat dan
seluruh pengetahuan non eksperimental lainnya.[12]
Menurut Al-Wasyli, menyimpulkan
penjelasan Hasan al-Banna
bahwa tsaqafah bangsa manapun didasarkan kepada nilai-nilai yang
mendominasi masyarakatnya, yaitu nilai-nilai yang berhubungan erat dengan ideologi,
pemikiran, perilaku dan gaya hidup, orientasi gerak, dan penentuan tujuan. Di samping itu ia
juga merupakan tonggak warisan semangat, pemikiran, dan budaya; poros sejarah dengan
berbagai aspeknya, tokoh-tokohnya yang terkemuka, dan sikap-sikapnya yang tegas.[13]
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan
bahwa tsaqafah Islam adalah pengetahuan
yang bersumber dari nilai yang paling
luhur dan keyakinan yang tertinggi yaitu iman dan takwa, bersandar pada sistem yang unik lagi
istimewa yaitu Islam, yang dibangun di atas prinsip menolak semua sistem pemikiran yang
bertentangan dengannya. Tsaqafah Islam adalah tsaqafah yang berdiri sendiri dengan asasnya
sendiri, khas dengan karakteristiknya, mempunyai nilai-nilai, dan prinsip-prinsip yang luhur.
Lebih jauh Syaikh Taqiyuddin al-Nabhani
menjelaskan bahwa tsaqafah Islam adalah pengetahuan-pengetahuan yang menjadikan aqidah
Islam sebagai sebab dalam pembahasannya. Pengetahuan tersebut bisa mengandung akidah Islam dan membahas tentang akidah, seperti ilmu tauhid. Bisa juga pengetahuan yang bertumpu
kepada akidah Islam, seperti fiqih, tafsir
dan hadits. Juga pengetahuan
yang terkait dengan pemahaman yang terpancar dari aqidah Islam berupa hukum-hukum, seperti
pengetahuan-pengetahuan yang mengharuskan ijtihad dalam Islam, seperti ilmu-ilmu bahasa Arab, musthalah hadits
dan ilmu ushul. Semuanya termasuk tsaqafah Islam, karena aqidah Islam menjadi sebab dalam
pembahasannya. Tsaqafah Islam seluruhnya kembali kepada al-Quran dan Sunnah. Dari keduanya,
dengan memahami keduanya, dan yang mengharuskan keduanya, muncul seluruh cabang
tsaqafah Islam. Keduanya termasuk juga dalam tsaqafah Islam, karena aqidah Islam mengharuskan
mengambil keduanya, dan terikat dengan apa yang dibawa oleh keduanya.[14]
Adapun tujuan penguasaan tsaqafah Islam
oleh kaum Muslim adalah agar kaum Muslim memiliki kekuatan, daya tahan dan
penguasaan atas musuh-musuh Islam baik dalam hal kecerdasan maupun integritas.
Tsaqafah Islamiyyah memiliki karakteristik yang istimewa, membentuk kepribadian yang luhur,
merdeka, dan berintegritas, serta watak yang unik. Karakteristik tersebut meliputi :
1.
Ilahiyyah
Sumber dan pedoman utama tsaqafah Islam adalah wahyu Ilahiyyah yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah, karena kedudukan
keduanya sebagai pedoman dan sumber ilmu dalam Islam (epistemologi Islam), Allah SWT berfirman tentang al-Qur’an:
وَنَزَّلْنَا
عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ
لِلْمُسْلِمِينَ
{٨٩}
“Dan Kami turunkan
kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) sebagai penjelasan atas segala sesuatu, petunjuk
dan rahmat serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. Al-Nahl
[16]: 89)
Kata tibyân[an] (penjelasan) dan
hud[an] (petunjuk) dalam ayat ini diungkapkan dalam bentuk nakîrah
(tanpa alim lâm ta’rîf), sudah cukup menunjukkan kedudukan al-Qur’an
sebagai sumber epistemologi (sumber ilmu/tsaqafah). Para ulama ketika menafsirkan
ayat di atas pun menjelaskan bahwa frase (تِبْيَانًا
لِكُلِّ شَيْءٍ) bermakna apa-apa
yang dibutuhkan umat manusia dalam kehidupannya. Al-Hafizh Ibn Jarir al-Thabari
(w. 310 H) menjelaskan bahwa al-Qur’an ini sebagai penjelasan atas apa-apa yang
dibutuhkan oleh umat manusia; mengetahui halal dan haram, pahala dan siksa (sebagai
petunjuk) dari kesesatan (dan rahmat) bagi orang yang membenarkan
dan mengamalkan hukum-hukum Allah di dalamnya, perintah dan larangan-Nya.[15]
2.
Sejalan dengan Fitrah
Tsaqafah Islam bersumber dari
Allah SWT, dan risalah tersebut disampaikan seorang manusia mulia yaitu Muhammad
SAW kepada sesamanya. Sehingga melalui
perantaraannya hidayah Allah SWT sampai kepada
kita, sehingga
dengannya kita memperbaiki invividu (diri
sendiri), menyusun pola hubungan antar sesama
manusia, membangun masyarakat dan negara.
Kata fithrah
dalam terminologi al-Qur’an merujuk kepada ungkapan yang menggambarkan asal
penciptaan (ashl al-khalq), hal ini sebagaimana diisyaratkan dalam
ulasan Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili (w. 1436 H) dalam tafsirnya, Al-Munîr.[16] Namun
topik inti dalam pembahasan fitrah manusia yang kita temukan dalam penjelasan
para ulama mu'tabar berdasarkan nas-nas al-Qur'an dan al-Sunnah, bahwa fitrah
manusia adalah memeluk Dînul Islâm, meyakini akidah Islam dan
mengamalkan syari’atnya yang memang dîn al-fithrah wa al-‘aql yakni
sejalan dengan fitrah dan akal manusia.[17] Hal ini ditunjukkan oleh nas-nas al-Qur’an dan al-Sunnah:
فَأَقِمْ
وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ
لَا يَعْلَمُونَ {٣٠}
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah;
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Al-Rûm [30]: 30)
Para ulama tafsir memandang bahwa kata fithrah dalam
ayat di atas berkonotasi Islam. Al-Hafizh Ibn ’Abdil Barr
(w. 463 H) menuturkan bahwa konsensus yang diakui oleh ulama salaf pada
umumnya, mereka memandang bahwa yang dimaksud kata fithrah dalam QS. Al-Rûm [30]: 30 (فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا) adalah Islam.[18]
Maka jelas bahwa tsaqafah Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan
al-Sunnah sejalan dengan
fitrah manusia. Sebagai contoh Islam
mengatur hubungan antar lawan jenis (pernikahan), serta mengarahkan kecenderungan manusia
kepada jalan
yang benar, bukan mematikannya.
3.
Rasional dan Aplikatif
Islam adalah agama tanpa
mitos-mitos. Secara mutlak menegasikan segala bentuk takhayul, khurafat ataupun kisah-kisah
israilliyat. Hal ini menegaskan bahwa Islam itu mudah dan masuk akal, serta bebas dari segala bentuk
takhayul dan
khurafat. Kejelasan konsep tentang keesaan Allah SWT, kebenaran al-Qur’an, kerasulan Muhammad SAW serta kehidupan setelah kematian merupakan dasar-dasar
keimanan yang memudahkan manusia untuk beramal. Dalam petunjuk al-Qur’an, kita
bisa menarik kesimpulan pemahaman (mafhûm) bahwa al-Qur’an itu sendiri
merupakan pedoman hidup yang rasional (bisa dipahami dengan akal dengan metode
rasional), Allah SWT berfirman:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ {٨٢}
“Maka apakah mereka tidak memikirkan al-Qur’an?” (QS. Al-Nisâ’ [4]: 82)
Kata
kunci dalam ayat ini yang menunjukkan al-Qur'an sebagai sumber ilmu yang bisa
dipahami secara rasional adalah kata kerja tadabbara-yatadabbaru, dimana
pokok kata ini mengandung konotasi al-tafakkur yakni berpikir mengenai
sesuatu, dan aktivitas tadabbur al-Qur’ân tidak akan terwujud kecuali
dengan menghadirkan kalbu dan memfokuskan perhatian terhadapnya.[19] Menafsirkan ayat yang agung ini, al-Hafizh Ibn Katsir
(w. 774 H) menjelaskan bahwa Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk
memikirkan al-Qur’an, dan melarang mereka berpaling darinya.[20] Tuntutan ini semakin jelas dengan memperhatikan
permulaan ayat ini yang diawali dengan tanda tanya (afalâ) yang
maksudnya mengingkari (istifhâm inkâri).[21]
4.
Menyeluruh dan Sempurna
Tsaqafah Islam bersifat menyeluruh
dan sempurna, tidak ada sesuatu pembahasan pun yang luput darinya. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Mâ’idah
ayat 3:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ
لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ
دِينًا {٣}
“…Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan
telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama
bagimu…” (QS. Al-Mâ’idah [5]: 3)
B. Metode Transfer dan Kristalisasi Tsaqafah Islam
Al-Quran diturunkan kepada
Rasulullah SAW agar Beliau menjelaskannya kepada manusia. Allah Swt berfirman:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ
الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
{٤٤}
“Dan Kami turunkan kepada (Muhammad SAW) al-Qur'an agar kamu menerangkan kepada manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka, dan agar supaya mereka berpikir.” (QS. Al-Nahl
[16]: 44)
Didalam Al-Quran juga menegaskan
pada kaum Muslim agar mereka mengambil apa yang telah dibawa oleh Rasul SAW. Allah Swt
berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ
الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا {٧}
“Dan apa-apa yang diberikan Rasul
kepadamu maka
terimalah dia. Dan apa-apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr [59]: 7)
Mengambil apa yang dibawa oleh Rasulullah
SAW, yaitu Islam (dengan segenap tsaqafahnya) tidak mungkin bisa terwujud kecuali
setelah memahami dan mempelajarinya. Adapun metode pembelajaran untuk meraih tsaqafah Islam adalah sebagai berikut:
Pertama, Mempelajari materi-materinya secara
mendalam agar mencapai pemahaman yang benar dan sempurna terhadap hakekatnya. Mengadopsi
tsaqafah Islam, baik itu seorang mujtahid ataupun ‘âmi (awam)
penerimaannya harus melalui talaqqiyan fikriyyan (pemikiran yang disampaikan melalui perjumpaan), dan
tidak mungkin mengambil (hukum)nya kecuali dengan aktifitas berfikir dan pengerahan
seluruh upaya.
Kedua, Orang yang mempelajarinya harus meyakini dengan penuh
keyakinan terhadap materi yang dipelajari sehingga terdorong untuk
mengamalkannya.
Ketiga, Mempelajari materi-materinya secara
praktis sehingga siap digunakan untuk menyelesaikan problematika-problematika yang dihadapi
dalam kehidupan nyata.
Ketika metode ini dijalankan dalam
proses pembelajaran maka seorang muslim yang memiliki tsaqafah Islam akan mendalam
pemikirannya, peka perasaannya dan mampu memecahkan segala problematika kehidupan. Pada dirinya
terbentuk ‘aqliyyah Islâmiyyah (pola pikir) yang memuaskan akal
dan menentramkan jiwa. Terbentuk pula
dalam dirinya nafsiyah Islâmiyyah (pola sikap yang Islam) yang dipenuhi dengan keimanan yang
sempurna. Dengan ‘aqliyyah dan nafsiyyah Islâmiyyah yang telah mengkristal ini seseorang akan
memiliki kepribadian yang mengagumkan yang sudah seharusnya dimiliki oleh
setiap muslim yaitu syakhsiyyah Islâmiyyah.
C. Tatsqîf dan Takwîn: dari Gerakan
Tsaqafah Menuju Tegaknya Khilafah
Dahulu, kaum Muslim menaklukkan
berbagai negeri dalam rangka mengemban dakwah Islam dan menyebarkannya kepada penduduk negeri tersebut. Tabiat pengembanan dakwah Islam
mengharuskan adanya gerakan tsaqafah, karena Islam adalah risalah yang harus dipelajari,
dibahas dan dibaca, juga karena tabi’at risalah ini mengharuskan untuk dipelajari
dan dipahami serta mengharuskan agar pemeluknya mempelajari segala sesuatu yang
berpengaruh (turut andil) dalam meningkatkan kehidupan.[22]
Dimana hal ini sudah dilakukan oleh Rasulullah SAW sejak awal
kerasulannya.
Sejak beliau mendapatkan wahyu,
beliau diperintahkan untuk menyampaikannya kepada masyarakat. Misalnya, ketika Allah
SWT menurunkan QS Al-Muddatsir ayat 1-2, bersegeralah sang Nabi terakhir itu mengajak
masyarakat untuk memeluk Islam. Beliau menyampaikan Islam kepada istrinya, Khadijah ra. Kemudian,
disampaikan pula kepada sepupunya Ali bin Abi Thalib ra., maulanya Zaid, sahabat beliau Abu
Bakar ash-Shiddiq ra., dan masyarakat secara umum.
Beliau bukan sekadar mengajak mereka
masuk Islam, melainkan ditindaklanjuti dengan membinanya. Beliau membina kaum
Mukmin di rumah Arqam bin Abi al-Arqam (Dâr al-Arqâm). Di rumah Arqam itulah Rasulullah saw.
menempa para Sahabat, mengajarkan Islam kepada mereka, membacakan al-Quran kepada mereka,
menjelaskannya, memerintahkan mereka untuk menghapal dan memahami al-Quran. Setiap kali
ada yang masuk Islam, langsung digabungkan ke Darul Arqam.
Di sinilah Nabi saw. melakukan dua
hal. Pertama, Pembinaan akidah dan syariah hingga terbentuk para kader berkepribadian
Islam. Kedua, Pengorganisasian para sahabat sehingga membentuk kelompok dakwah yang secara solid dan berjamaah
bergerak di tengah masyarakat. Bukan hanya Rasulullah SAW seorang
diri yang melakukan pembinaan, para sahabat
pun mencari dan membina orang yang baru masuk
Islam. Sebagai contoh, beliau pernah meminta Khubbab bin al-Arts r.a. untuk mengajarkan
al-Quran kepada Zaenab binti al-Khaththab r.a. dan suaminya, Said r.a., di rumahnya.
Bila dilihat dari kacamata modern, apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW ini merupakan pembinaan intensif (tatsqîf murakkaz).
Pembinaan intensif ini dilakukan untuk membentuk kader yang berkepribadian Islam dan siap
berjuang. Secara praktis pembinaan intensif ini diawali dengan melakukan kontak individual.
Dulu, Abu Bakar Shiddiq r.a. mengontak keluarga dan kawan-kawannya, di antaranya Utsman
bin Affan r.a.. Lalu disampaikan Islam kepadanya.
Begitu juga setiap orang harus melakukan kontak
individual untuk menyampaikan dakwah. Setiap aktivis dakwah sejatinya mempunyai daftar
nama mulai dari kerabat, kawan dan tetangga untuk dikontak dan disampaikan Islam kepada mereka.
Materi yang disampaikan tentu bergantung pada kontakan; bisa akidah, syariah,
akhlak atau perkembangan terkini dilihat dari kacamata Islam.
Selain itu, Nabi saw. pernah
menyampaikan Islam dengan cara mengumpulkan masyarakat di Bukit Shafa, juga mengundang makan
bersama; dalam konteks sekarang ini merupakan pembinaan umum (tatsqîf jamâ’i).
Kalau dulu di Bukit Safa’ atau di kebun kurma, maka saat ini tatsqîf
jamâ’i dilakukan dengan seminar, kajian di masjid, kuliah
zuhur, pesantren Ramadhan, training, pengajian perkantoran, dll.
Sebagaimana gambaran dari teladan
pembinaan Rasulullah SAW, pembinaan yang dikehendaki pun tidak cukup menjadikan
seseorang menerima Islam sebagai pedoman hidupnya, tapi juga mendorongnya menjadi
pengemban dakwah. Umumnya,
pengkaderan (takwîn) yang demikian itu efektif dijalankan dalam bentuk halqah. Di dalam halqah
dilakukan pembinaan dengan kurikulum yang jelas, buku-buku kajian tertentu yang ditetapkan,
serta metode talaqqi sehingga kesinambungan gagasan terjaga. Di sinilah setiap kader ditempa
pemahaman Islam dan kepribadian Islamnya, ibadah dan keta’atannya,
serta kedisiplinan dan pengorbanannya dalam jama’ah.
Dari keseluruhan aktivitas tatsqîf
dan takwîn inilah adanya harapan lahir dan terpilihnya orang-orang yang bertekad kuat aktif dalam
pembinaan intensif dan menjadi kader dakwah unggulan, kader yang mukhlis dengan mental mujâhid
(pejuang) sekaligus muta’abbid (ahli ibadah), mufakkir (pemikir)
sekaligus siyâsiyyun (politisi). Mereka adalah para penjaga Islam yang terpercaya yang melalui
tangan-tangan mereka dengan izin Allah SWT- kemenangan Islam dengan tegaknya Khilafah akan diraih. Wallâhu
a’lam bi al-shawâb.
[1]
Disampaikan oleh Yandi Hermawan dalam Halqah Syahriyyah, Ahad 18 September 2016. Tahqîq dan ta’lîq: Irfan Abu
Naveed, M.Pd.I (Lajnah Tsaqafiyyah DPD II HTI Kab. Sukabumi).
[3] Dr.
Mushthafa al-Siba’i, Min Rawâi’i Hadhâratinâ, Beirut: Dâr al-Warrâq, cet. I, 1420 H/1999, hlm.
22.
[4] Hal itu sebagaimana teori yang dipaparkan oleh Al-‘Allamah Taqiyuddin
al-Nabhani tentang pengaruh pemahaman terhadap perilaku seseorang.
[5] Hal ini sebagai konsekuensi logis dari upaya meniti jalan Rasulullah
SAW, meneladani beliau SAW mencakup metode pembinaannya, hal ini bagian dari tuntutan
dalam QS. Al-Ahzâb [33]: 21
[6] Ahmad
bin ‘Ali bin Hajar Abu al-Fadhl al-‘Asqalani, Fat-h al-Bâri Syarh Shahîh al-Bukhâri, Ed: Muhammad Fu’ad ‘Abdul Baqi dkk,
Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1379 H, juz I, hlm. 161.
[7] Taqiyuddin
al-Nabhani, Al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, (Edisi terjemahan Indonesia,
Jakarta: HTI Press, 1424/2003 Penerjemah: Zakia
Ahmad), juz 1, hlm.382
[9] Abu ’Abdurrahman al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi, Kitâb Al-’Ain,
Ed: Dr. Mahdi al-Makhzumi dkk, Dâr wa Maktabah al-Hilâl, juz VIII, hlm. 350.
[10] Muhammad
Fu’ad Abdul Baqi, Mu’jam Mufahras li Alfâzh al-Qur’ân, Beirut: Dâr
al Fikr, 1407 H, hlm 159.
[11] Syamsuddin
al Qurthuby, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Kairo: Dâr al-Kutub al-Mishriyah,
1384 H, vol 8, hlm 30.
[13] Abdullah
bin Qasim Al-Wasyli, Al-Nahj al-Mubîn Li Syarhi
al-Ushûl al-Isyrîn, (Edisi terjemahan Indonesia, Solo : Era Intermedia, 2001,
Penerjemah Jasman dkk)
[15]
Muhammad bin Jarir Abu Ja’far al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl
al-Qur’ân, Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, cet. I, 1420 H,
jilid XVII, hlm. 278; Irfan Rhamdan Wijaya,
“Konsep Manusia Menurut Al-Qur’an Surat al-‘Ashr” (Tesis), 2016, hlm. 14-15.
[16] Wahbah bin Mushthafa al-Zuhaili, Al-Tafsîr
al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj, Damaskus: Dâr al-Fikr,
cet. II, 1418 H, juz ke-21, hlm. 82-83; Irfan Rhamdan Wijaya,
“Konsep Manusia Menurut Al-Qur’an Surat al-‘Ashr” (Tesis), hlm. 45-46.
[17] Ibid.
[18] Ahmad
bin ‘Ali bin Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bâri Syarh Shahîh al-Bukhâri,
Beirut: Dâr al-Ma’rifat, 1379 H, juz III, hlm. 248.
[19] Muhammad Shiddiq Khan bin Hasan al-Husaini, Fath
al-Bayân fî Maqâshid al-Qur’ân, Beirut: Al-Maktabah
al-’Ashriyyah, 1412 H/1992, juz XIII, hlm. 71; Irfan
Rhamdan Wijaya, “Konsep Manusia Menurut Al-Qur’an Surat al-‘Ashr” (Tesis),
2016, hlm. 14-15.
[20] Abu al-Fida’ Isma’il bin ‘Umar Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm, Dâr
al-Thayyibah, cet. II, 1420 H/1999, juz VIII, hlm. 480.
Comments
Post a Comment