Oleh:
Irfan Abu Naveed, M.Pd.I
Disampaikan dalam kajian rutin tafsir al-Qur'an di KPP Cianjur
Link Download Channel Telegram: Link
Link Download di FB: Link
Link Download Channel Telegram: Link
Link Download di FB: Link
B
|
erbicara mengenai
al-Qur’an dan sains, memang pembicaraan menarik, mengingat al-Qur’an merupakan
wahyu Allah ’Azza wa Jalla yang turun sempurna 1400 tahun yang lalu kepada
Rasul-Nya, Muhammad –shallallâhu
‘alayhi wa sallam-. Al-Qur’an itu sendiri bukan buku
sains yang memuat hasil-hasil penelitian sains yang bisa terus berkembang dan
diperbaharui. Namun tidak sedikit informasi yang disebutkan dalam al-Qur’an
yang kemudian bersesuaian dengan hasil penelitian saintis, dimana manusia baru
mengungkap itu semua belakangan setelah turunnya al-Qur’an.
Dan yang menjadi masalah ketika al-Qur’an dipertentangkan
dengan apa yang diklaim sebagai ilmu pengetahuan padahal bukan ilmu pengetahuan
itu sendiri, melainkan khurafat. Atau sebaliknya
yakni menjadikan ayat al-Qur’an sebagai dalih menjustifikasi hipotesa yang
bertentangan dengan ilmu pengetahuan umum, semisal kasus flat earth yang
belakangan ramai diperbincangkan di media sosial. Pertentangan di antara keduanya bisa jadi timbul dari
ketidakpahaman terhadap al-Qur’an, terhadap ilmu pengetahuan
dan sains atau sikap tajâhul (pura-pura
bodoh) terhadap keagungan informasi-informasi dalam al-Qur’an.
A.
Mendudukkan Persoalan Al-Qur’an & Sains
Al-Qur'an sebagai pedoman hidup yang utama bagi manusia, jelas
tidak seperti buku sains yang akan terus berkembang dan tidak mustahil
dikoreksi karena kekurangan-kekurangan yang ada di dalamnya sesuai dengan
perkembangan penelitian atasnya. Al-Qur’an, sebagaimana didefinisikan oleh para ulama,
salah satunya Dr.
Samih ’Athif Al-Zayn:
القرآن هو
الكتاب المنزل بلفظ عربي معجز، وحيًا تلقاه الرسول محمد-صلى الله عليه وسلم-. وهو
كلام الله تعالى، نزل به الروح الأمين جبريل -عليه السلام- بألفاظه العربية
ومعانيه الحقة، ليكون حجة لمحمد -صلى الله عليه وسلم-على أنه رسول الله، وليكون
مرجعًا للناس يهتدون بهداه، وقربة يتعبدون بتلاوته. وهو المدوَّن بين دفتَي
المصحف، المبدوء بسورة الفاتحة، المختوم بسورة الناس، المنقول إلينا نقلاً
متواترًا
“Al-Qur’an adalah
kitab yang diturunkan dengan bahasa arab yang unggul[1],
wahyu yang diterima oleh Rasulullah –shallallâhu ‘alayhi wa sallam-,
dan ia adalah firman Allah –Ta’âlâ-,
turun melalui perantaraan Ar-Rûh Al-Amîn Jibril –’alayhi al-salâm-
dengan lafazh berbahasa arab dan makna-makna yang sesuai, sebagai bukti
bahwa Muhammad –shallallâhu
‘alayhi wa sallam- adalah utusan Allah, dan
rujukan bagi manusia mengambil petunjuk dengan petunjuknya, dan mendekatkan
diri beribadah kepada Allah dengan membacanya, tersusun di antara
lembaran-lembaran mushhaf, diawali Surat al-Fâtihah, ditutup dengan Surat Al-Nâs, dan dinukil kepada kita
secara mutawatir.”[2]
Al-Qur’an sesungguhnya seperti apa yang digambarkan dalam
firman-Nya:
{وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ
شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ}
“Dan Kami turunkan al-Qur’an, apa-apa yang merupakan
penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Isrâ’ [17]: 82)
Dan ia sebagaimana dikatakan dalam sya’ir –bahkan lebih
dari apa yang diungkapkan-:
كالبدر من حيث
التَفَتَّ رأيتَه * يُهْدى إلى
عينَيك نورًا ثاقبًا
كالشمس في
كَبِدِ السماء وضوؤُها * يَغْشَى
البلادَ مَشَارِقًا ومغاربًا
“Bagaikan rembulan kemanapun kau berpaling memerhatikannya * memancarkan kepada kedua matamu cahaya yang kuat.”
Bahkan setiap huruf dari al-Qur’an mengandung rahasia (hikmah dan
pelajaran), benar apa yang diungkapkan seorang doktor balaghah dari Al-Azhar Kairo, Dr. Hesham Mohamed Taha el-Shanshouri al-Mishri, ketika kami berdiskusi
mengenai tafsir al-Qur’an menuturkan:
لِكُلِّ حَرْفٍ مِنْ حُرُوْفِ
القُرْآنِ فِيْهِ أَسْرَارٌ
Prof. Dr. Fadhil
Shalih al-Samara’i pun dalam buku Balâghat al-Kalimah fî al-Ta’bîr
al-Qur’âniy menegaskan bahwa setiap kosakata (mufradat) dalam
al-Qur’an mengandung ilmu dan maksud yang sesuai dalam setiap tempatnya.[5]
Dimana keagungan al-Qur’an (i’jâz-nya) pun mencakup kandungan bahasa
dan ungkapannya, maka tak mengherankan jika para pakar sastra
arab, termasuk dari kalangan kaum kafirin salah satunya al-Walid bin
al-Mughirah dari kalangan musyrikin Quraisyi tak bisa memungkirinya. I’jaz
al-Qur’an itu terdapat dalam al-Qur’an itu sendiri. Orang yang
telah mendengarkan
Al-Qur’an, dan mendengarnya hingga hari kiamat akan terus merasa kagum dengan kekuatan daya
tarik dan balaghah-nya, walaupun hanya sekedar mendengar
satu kalimat saja dari al-Qur’an, sebagaimana ditegaskan
oleh al-’Allamah Taqiyuddin al-Nabhani.[6]
Namun, al-Qur’an bukan lah
kitab sastra yang cukup dinikmati
dengan sekedar dibaca, al-Qur’an
pun bukan buku sains yang akan terus berkembang, namun bagi mereka yang
memahami al-Qur’an, ia tidak bisa memungkiri bahwa al-Qur’an sebagai pedoman
hidup utama manusia telah menjelaskan hal-hal yang dibutuhkan oleh manusia, hal
ini sebagaimana penafsiran para ulama atas firman-Nya:
{وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ
تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ}
“Dan
Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) sebagai penjelasan atas segala
sesuatu, petunjuk dan rahmat serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah
diri.” (QS. Al-Nahl [16]:
89)
Makna frase (تبيانًا لكل شيء) adalah apa-apa yang dibutuhkan oleh umat; mengetahui halal haram, pahala
dan siksa, hukum-hukum serta dalil-dalil, sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh
Ibnu Jarir al-Thabari (w. 310 H)[7], Imam
al-Tsa’labi[8], Imam Abu Bakr
al-Jazairi[9] dan selain
mereka dalam kitab-kitab tafsir al-Qur’an.
Salah satunya memberikan petunjuk mengenai epistemologi
(sumber ilmu), memberikan motivasi kuat untuk menuntut ilmu dan melakukan
penelitian terhadap hal-hal yang empiris, sehingga menghasilkan apa yang
disebut sebagai sains, hal itu berkenaan dengan tugas manusia di muka Bumi yang
Allah jadikan sebagai pemimpin (khalifah) yang bertugas memakmurkan bumi dan
menebarkan kebaikan di dalamnya yang tentu membutuhkan ilmu, salah satunya ilmu
sains, Allah berfirman:
{وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ
لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً}
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para
Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi.” (QS. Al-Baqarah [2]: 30)
Istilah khalifah, jelas mengandung konotasi pemimpin
sebagaimana disebutkan dalam kamus-kamus arab. Dan ini menjadi tambahan
anugerah bagi umat manusia, dimana dalam ayat setelahnya pun Allah melebihkan
Adam –’alayhi al-salâm- sebagai nenek moyang manusia dengan ilmu, sebagaimana dijelaskan oleh
Syaikhul Ushul ’Atha bin Khalil Abu al-Rasytah dalam kitab tafsirnya.[10] Syaikh Abdullah M
al-Ruhaili pun menegaskan bahwa menurut al-Quran Nabi Adam –’alayhi
al-salâm- diistimewakan
melebihi malaikat dengan kebaikan pengetahuan yang diberikan Allah kepadanya.[11] Menurut al-Quran,
kenyataan bahwa Nabi Adam diberi pengetahuan adalah sebuah tanda kehormatan.[12]
Banyak pula dalil-dalil Al-Qur’an yang mendorong manusia
untuk berilmu dan berpikir mengenai alam semesta (hal yang memang terindera),
dimana alam semesta semisal objek langit
dan bumi merupakan aspek fisik yang bisa diteliti dengan kajian empiris. Allah ’Azza
wa Jalla berfirman:
{إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ}
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan
pergantian malam dan siang benar-benar terdapat ayat-ayat bagi
ulil albâb.” (QS. Âli Imrân [3]: 190)
Ada dua kata kunci
dalam ayat di atas yang berkaitan dengan aspek epistemologi (sumber ilmu);
yakni kata âyât yang bisa diartikan tanda, pelajaran dan dikatakan pula
yakni petunjuk kepada dalil sebagaimana disebutkan Imam Al-Raghib al-Ashfahani[13]. Prof.
Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji (w. 1435 H) mengatakan:
الآية : ج
آيات، ومنه آيات العلامة,العبرة
“Al-Âyat,
jamaknya âyât, diantara maknanya adalah tanda, pelajaran.”[14]
Di sisi lain ayat ini mengandung isyarat bahwa ilmu
pengetahuan atau sains sudah semestinya menguatkan keimanannya kepada
keberadaan dan keagungan Sang Pencipta, yakni Allah ’Azza wa Jalla, hal yang
bertentangan dengan paradigma sains Barat. Hal itu digambarkan pula dalam
ayat-ayat yang agung dalam QS. Al-Ghâsyiyyah [88]: 17-26:
أَفَلَا يَنْظُرُونَ
إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ {١٧} وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ {١٨} وَإِلَى
الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ {١٩} وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ {٢٠} فَذَكِّرْ
إِنَّمَا أَنْتَ مُذَكِّرٌ {٢١} لَسْتَ عَلَيْهِمْ بِمُصَيْطِرٍ {٢٢} إِلَّا مَنْ تَوَلَّىٰ
وَكَفَرَ {٢٣} فَيُعَذِّبُهُ اللَّهُ الْعَذَابَ الْأَكْبَرَ
{٢٤} إِنَّ إِلَيْنَا إِيَابَهُمْ {٢٥} ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا حِسَابَهُمْ {٢٦}
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana ia
diciptakan, dan langit,
bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi
bagaimana ia dihamparkan? Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu
hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas
mereka, tetapi siapa yang berpaling dan kafir, maka Allah akan mengazabnya
dengan azab yang besar. Sesungguhnya kepada Kami-lah kembali mereka, kemudian sesungguhnya
kewajiban Kami-lah menghisab mereka.” (QS. Al-Ghâsyiyyah [88]: 17-26)
Syaikh Abdullah M. al-Ruhaili pun dalam buku This is
The Truth: Newly Discovered Scientific Facts Revealed in the Quran &
Authentic Sunnah menegaskan bahwa Islam menjunjung tinggi status ilmu pengetahuan dan orang
yang berilmu, menghormati mereka sebagai saksi setelah malaikat yang
berhubungan dengan fakta baru tiada Tuhan selain Allah, sebagaimana yang telah
Allah firmankan kepada kita:
{شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا
إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ}
”Allah menyatakan bahwasanya
tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan.
Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu).” (QS. ÂIi Imrân
[3]: 18)[15]
Maka tidak mengherankan jika kaum muslimin memiliki
dorongan yang kuat untuk berilmu dan menyebarkan ilmunya, hal ini pun dibuktikan
oleh banyaknya para ulama Islam -selama kurun waktu berabad-abad dalam naungan
al-Khilafah al-Islamiyyah- yang menguasai berbagai disiplin ilmu syari’ah
maupun ilmu sains secara bersamaan, dimana akidah Islam menjadi landasan kuat
untuk meraih ilmu, sekaligus kerangka dan kaidah berpikir itu sendiri, atau
dalam istilah al-Qadhi Taqiyuddin bin Ibrahim al-Nabhani yakni al-qiyâdah wa
al-qâ’idah al-fikriyyah.[16] Hal yang tidak dimiliki
oleh dunia Barat.
Ilmu sains dalam Islam diraih dengan motivasi agung untuk
menebarkan kebaikan bagi manusia dengan menyokong dakwah Islam dan menebarkan
rahmat bagi semesta alam dengan tersebarnya Islam ke seluruh penjuru dunia. Buktinya,
kaum muslimin pernah menjadi mercusuar ilmu sains dimana peradaban Barat banyak
mengambil manfaat yang besar darinya dan ini dibuktikan dalam catatan sejarah. Para
ulama pun ketika merinci klasifikasi ilmu, menggolongkan ilmu yang dibutuhkan
oleh umat semisal ilmu sains di bidang kesehatan, pangan dan militer (i’dâd
jihâd) dan lain sebagainya yang dibutuhkan oleh umat sebagai ilmu yang
hukumnya fardhu kifayah. Artinya wajib ada di antara umat ini yang melakukan
penelitian dan menguasai sains di bidang-bidang tersebut. Ini satu pembahasan
yang bisa kita rinci kembali. Artinya ilmu sains bisa menempati posisi
yang tinggi dan krusial dalam Islam ketika ilmu itu benar asasnya dan benar
aplikasinya.
Lalu bagaimana mendudukkan Al-Qur’an dan sains itu
sendiri? Sudah saya tegaskan bahwa al-Qur’an bukan buku sains yang memuat
hasil-hasil penelitian sains yang bisa terus berkembang dan diperbaharui. Namun
tidak sedikit informasi yang disebutkan dalam al-Qur’an yang kemudian bersesuaian
dengan hasil penelitian saintis. Misalnya mengenai proses kejadian manusia dalam
al-Qur’an (salah satunya dalam QS. Al-‘Alaq), dimana ilmu sains dengan
penelitian ilmiah yang dilakukan manusia bisa dikatakan baru mengetahui detail informasi
mengenai proses ini belakangan setelah turunnya al-Qur’an seiring sejalan
dengan perkembangan instrumen penelitian, termasuk mengenai proses kejadian
alam semesta ini.
Syaikh Abdullah M. Al-Ruhaili menyebutkan:
Kami menghadirkan Profesor Emeritus Keith Moore, salah
satu dari ilmuwan dunia yang terkemuka dalam bidang Anatomi dan Embriologi.
Kami bertanya kepada Profesor Moore untuk memberikan analisis ilmiah dari
beberapa versi al-Quran secara spesifik kepada kita dan hadis mengenai
lapangannya secara khusus.
Profesor Moore adalah penulis buku yang berjudul "The Development Human". Dia
adalah Profiesor Emeritus ahli Anatomi dan Sel Biologi Universitas Toronto,
Kanada, di mana dia Ketua Jurusan Basic Sciences, Fakultas Kesehatan, dan
selama 8 tahun Ketua Jurusan Anatomi. Prof. Moore
sebelumnya juga mengabdi pada Universitas Winndipeg, Kanada, selama sebelas
tahun. Dia mengepalai beberapa Internasional Associations of Anatomist and the
Counalofthe Union of Biological Science. Profesor Moore juga terpilih anggota
Royal Medical Associations of Canada, the Intemational Academy of Cytology, the
Union of American Anatomist dan the Union of North dan South American
Anatomist, dan pada tahun 1984 menerima penghargaan yang terkenal dalam bidang
anatomi di Kanada, JCB Grant Award dari the Canadian Association of Anatomist.
Dia menerbitkan beberapa buku di klinik Anatomi dan Embriologi, delapan dari
buku ini digunakan sebagai referensi di sekolah medis dan talah diterjemahkaii
ke dalam enam bahasa.
Ketika kami bertanya kepada Profesor Moore untuk
memberikan analisis kepada kami tentang ayat al-Quran dan sabda nabi, maka dia terkejut. Dia heran
bagaimana Nabi Muhammad -shallallâhu 'alayhi wa sallam- pada 14 abad
yang lalu dapat mendeskripsikan embrio dan fase perkembangannya secara detail
dan akurat, yang mana para ilmuwan untuk mengetahui hal itu baru tiga puluh
tahun terakhir. Akan tetapi, keterkejutan Profesor Moore itu berkembang begitu
cepat menjadi kekaguman terhadap wahyu dan petunjuk ini. Dia memperkenalkan
sudut pandang ini secara intelektual dan lingkungan ilmiah. Dia juga memberi sebuah surat pada kesesuaian
embriologi modern dengan al-Quran dan Sunnah, di mana dia menyatakan sebagai
berikut: "Ini merupakan kesenangan yang besar bagi saya untuk membantu
mengklarifikasi pernyataan di dalam al-Quran tentang perkembangan manusia.
Telah jelas bagi saya bahwa pernyataan yang datang kepada Nabi Muhammad pasti
dari Allah atau Tuhan sebab hampir semua pengetahuan tidak ditemukan sampai
beberapa abad terakhir. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan
Allah. "
Pertimbangan yang terkenal dan dihormati ilmuwan
embriologi ini dinyatakan atas pembelajaran ayat al-Quran sesuai dengan
disiplinnya. Dan kesimpulannya bahwa Nabi Muhammad -shallallâhu 'alayhi wa
sallam- adalah utusan Allah.[17]
Fungsi informasi seperti ini sebenarnya menjadi salah
satu bukti keagungan kandungan al-Qur’an sebagai wahyu dari Allah ‘Azza wa
Jalla yang turun kepada Rasul-Nya sekitar 1400 tahun lalu, yang sampai kepada
kita dengan jalan periwayatan yang bisa dipastikan kebenarannya (qath’iy)
yakni secara mutawatir.[18] Sehingga
jelas bagi mereka yang menggunakan akalnya untuk berpikir untuk sampai kepada
keyakinan kebenaran al-Qur’an dan keyakinan terhadap keberadaan Allah ’Azza wa
Jalla dan mentauhidkan-Nya.
Banyak pula ilmuwan barat yang tidak bisa menafikan
kebenaran informasi-informasi sainstis yang telah diungkapkan dalam al-Qur’an
1400 tahun yang lalu dimana alat-alat penelitian ilmiah di masa itu belum
seperti saat ini, penjelasan lebih mapan bisa dirujuk dalam pemaparan al-Qur’an
dan sains yang dikompilasikan oleh Syaikh Abdullah M. Al-Ruhaili dalam buku This
is The Truth, Newly Discovered Scientific Focts Revealed in the Quran &
Authentic Sunnah (Wolrd Supreme Council for Mosques Affairs Commission on
Scientific Sign of Qur'an and Sunnah at Muslim World League Makkah alMukarramah
and Alharamain Islamic Foundation, Third Edition, Riyadh, 1999).[19] Link download buku:
B.
Bagaimana Sikap & Pemahaman Umat Islam Terhadap Hasil
Penelitian Sains Orang Barat?
Mengenai pemahaman mengadopsi penemuan-penemuan saintis
yang ditemukan oleh orang-orang Barat yang berbasis empiris dan bersifat
universal atau tidak terkait
dengan worldview atau paradigma yang lahir dari akidah tertentu, semisal ilmu
teknologi pangan atau teknologi-teknologi kekinian yang terus berkembang
seperti elektronik, maka hukumnya boleh kita adopsi. Hal itu sebagaimana
dijelaskan para ulama, di antaranya al-Qadi Taqiyuddin bin Ibrahim (w. 1977) dalam kitab Nizhâm
al-Islâm, bab. Al-Hadhârah al-Islâmiyyah:
والأشكال
المدنية التي تنتج عن العلم وتقدمه، والصناعة ورقيها، تكون عامة، ولا تختص بها أمة
من الأمم، بل تكون عالمية
”Bentuk-bentuk produk (madaniyyah) yang dihasilkan dari sains dan
perkembangannya, industri dan kemajuannya, bersifat umum, tidak dikhususkan
untuk umat tertentu dari umat manusia, akan tetapi bersifat universal.”[20]
Maka dari itu, Imam Taqiyuddin bin Ibrahim pun menegaskan
bahwa menggunakan bentuk-bentuk produk (madaniyyah) dari Barat yang
dihasilkan dari sains atau industri tidak ada halangan bagi kita untuk
menggunakannya[21],
hal itu berbeda dengan bentuk-bentuk madaniyyah yang dihasilkan dari
akidah atau paradigma khas peradaban Barat, ia tidak boleh diadopsi misalnya
lukisan yang mengandung pornografi yang dianggap dalam peradaban Barat sebagai
karya seni.
Bahkan dalam Islam, sebagaimana dirinci oleh al-Qadhi
Taqiyuddin al-Nabhani, mengenai pengambilan keputusan dalam perkara-perkara
yang membutuhkan keahlian dan pengetahuan, dikembalikan kepada orang yang
memang ahli dalam masalah ini. Untuk mengungkap obat apa yang paling mujarab
untuk suatu penyakit misalnya, kita harus bertanya kepada dokter ahli. Pendapat
dokter harus diutamakan dibandingkan dengan pendapat-pendapat orang yang tidak
ahli. Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- pernah menganulir
pendapat beliau sendiri dan mengikuti pendapat Khabab bin Mundzir. Sebab,
Khubab adalah orang yang lebih ahli dalam menetapkan di posisi mana kaum
muslimin harus bertahan. Maka dalam perkara-perkara semacam ini pengambilan
keputusan dikembalikan kepada orang yang ahli. Prinsip suara mayoritas
sebagaimana yang diberlakukan pada sistem demokrasi, tidak boleh diberlakukan
dalam perkara-perkara semacam ini.[22]
Mengenai ilmu sains yang didasarkan pada pembuktian
empiris, kita pun menemukan pembahasannya dalam hadits yang berbicara mengenai
ilmu penyerbukan, yang sebenarnya mengandung dorongan pula untuk meraih ilmu
tersebut: dalam hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a.:
أَنّ النَّبِيَّ -صلى الله عليه وسلم- مَرَّ بِقَوْمٍ
يُلَقِّحُونَ، فَقَالَ : لَوْ لَمْ تَفْعَلُوا لَصَلُحَ، قَالَ: فَخَرَجَ شِيصًا،
فَمَرَّ بِهِمْ، فَقَالَ : مَا لِنَخْلِكُمْ، قَالُوا : قُلْتَ كَذَا وَكَذَا،
قَالَ : أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ
”Bahwa Nabi –shallallâhu ‘alayhi wa sallam- pernah melewati suatu kaum yang sedang mengawinkan pohon
kurma lalu beliau bersabda: ”Sekiranya mereka tidak melakukannya, kurma itu
akan (tetap) baik.” Tapi setelah itu, ternyata kurma tersebut tumbuh dalam
keadaan rusak. Hingga suatu saat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melewati
mereka lagi dan melihat hal itu beliau bertanya: ”Ada apa dengan pohon kurma
kalian?” Mereka menjawab: ”Bukankah anda telah mengatakan hal ini dan hal itu?”
Beliau –shallallâhu ‘alayhi wa sallam- lalu bersabda: ”Kalian lebih mengetahui urusan dunia
kalian.” (HR. Muslim[23])
Yang dimaksud dengan ”urusan dunia kalian” dalam hadits
di atas di antaranya ilmu teknologi. Ini satu
pembahasan yang bisa kita rinci. Lalu bagaimana dengan pembahasan menyikapi
teori-teori ”sains” Barat yang bertentangan dengan akidah Islam itu sendiri?
C.
Memahami Asas Kritik Para Ulama Terhadap Dunia Barat
Pembahasan mengenai al-Qur'an dan sains berkaitan pula
dengan sumber epistemologi dalam Islam, struktur epistemologi Islam dan Barat
jelas berbeda, jika Barat menolak al-Khabar al-Shâdiq (al-wahyu) sebagai
sumber ilmu, dan hanya berkutat pada pembuktian empiris dan hal-hal yang materialistik
(materialisme) belaka, maka berbeda dengan Islam yang menjadikan hal-hal yang empiris
(terindera) dan al-khabar al-shâdiq (al-wahyu) sebagai sumber ilmu
(epistemologi).
Ini penting dipahami agar
kita memahami asas kritik para ulama yang mengkritisi keras konsep
materialisme, dimana para ulama ini menghadapi langsung para penganut materialisme, maupun
para atheis dari kalangan orientalis pada masanya (misalnya pengalaman Dr.
Mushthafa al-Siba’i yang beliau paparkan dalam buku-bukunya), perinciannya bisa
kita cek dalam kritik-kritik mereka, misalnya kritik al-'Allamah Taqiyuddin
al-Nabhani terhadap asas materialisme dan ideologi komunisme salah satunya
dalam kitab Nizhâm al-Islâm, Dr. Mushthafa al-Siba'i dalam kitab Min
Rawâi’i Hadhâratinâ dan Syaikhul Azhar al-'Allamah Muhammad al-Khudhari
Husain, ia pun menegaskan: “Adapun
orang-orang yang berpegangteguh pada al-Qur’an dan as-Sunnah, maka wajib bagi
mereka memperingatkan (umat manusia) dari meridhai ajaran atheisme (termasuk
liberalisme-pen.) dimanapun berada, meski kaum atheis tersebut adalah
bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara dan kerabat-kerabat mereka.”[24]
Dan banyak para ulama
lainnya yang juga gencar mengkritisi konsep materialisme, komunisme dan yang
semisalnya sebagai perwujudan sikap mencegah keburukan sampai kepada kaum
muslimin. Imam Abu Hamid
al-Ghazali (w. 505 H) menegaskan bahwa (salah satu) pokok agama adalah mencegah
dari keburukan, mereka pun menyebutkan sya’ir:
عرفتُ الشرّ لا
للشرّ * لكن لتوقيه
ومن لا يعرف
الشرّ * من الناس يقع فيه
“Aku mengetahui
keburukan bukan untuk keburukan # Melainkan untuk menghindarkan diri darinya.”
“Dan barangsiapa tidak
mengetahui keburukan # Di antara manusia maka akan terjerumus ke dalamnya.”[25]
Salah satu hipotes yang
dikritisi para ilmuwan dan ulama muslim adalah hipotesa mengenai teori evolusi ”Teori Darwin” yang digagas oleh seorang naturalis
(aliran filsafat naturalisme), Charles Darwin[26] yang sampai saat ini
sepertinya masih diajarkan di tingkat Sekolah Menengah khususnya dalam bidang
studi Biologi, yang ujung-ujungnya bisa mengarahkan pada keyakinan kufur menolak
keberadaan penciptaan dan Sang Pencipta, yang bertolak belakang dengan akidah Islam yang agung. Sehingga menuai
banyak kritik dan bantahan dari para ulama dan ilmuwan muslim dimana mereka
memang menghadapi langsung paham-paham materialisme, komunisme dan para
penganutnya seperti yang tergambar dalam penjelasan para ulama abad ke-19 dalam
buku-buku mereka. []
[1] Yakni mampu mengalahkan bantahan-bantahan atau tantangan-tantangan kaum
penentang (kuffar) atasnya.
[2] Dr. Samih ‘Athif al-Zayn, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh al-Muyassar, Mesir:
Dâr al-Kitâb al-Mishri, Cet. I, 1410 H, hlm. 308.
[3] Abu al-Qâsim bin Muhammad al-Râghib al-Ashfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân,
Maktabah Nazâr Mushthafa al-Bâz, juz I, hlm. 3.
[4] Salah seorang Dosen Tafsir (seorang doktor di bidang ilmu balaghah dari
salah satu Universitas Islam terkemuka di dunia, Universitas al-Azhar) di
tempat penyusun bekerja di Kuliyyatusy-Syarî’ah wad-Dirâsât Al-Islâmiyyah –
Jâmi’atur-Râyah.
[5] Prof. Dr. Fadhil Shalih al-Samara’i, Balâghat
al-Kalimah fî al-Ta’bîr al-Qur’âniy, Kairo: Syirkat al-‘Aatik, cet. II,
1427 H/ 2006, hlm. 4.
[6] Ibid.
[7] Muhammad bin Jarîr bin Yazîd bin Katsîr Abu Ja’far al-Thabari, Jâmi’
al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, cet. I, 1420
H, juz XVII, hlm. 278.
[8] Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim al-Tsa’labi, Al-Kasyf wa al-Bayân ‘an
Tafsîr al-Qur’ân, Beirut: Dâr Ihyâ’ at-Turâts al-‘Arabi, Cet. I, 1422 H,
jilid VI, hlm. 37
[9] Jabir bin Musa bin ‘Abdul Qadir bin Jabir Abu Bakr Al-Jaza’iri, Aysar
at-Tafâsîr li Kalâm al-‘Ulya al-Kabîr, Madinah: Maktabah al-‘Ulûm wa
al-Hikam, Cet. V, 1424 H, jilid III, hlm. 138-139.
[10] ‘Atha’ bin Khalil Abu al-Rasytah, Al-Taysîr fî Ushûl
Al-Tafsîr (Sûrah Al-Baqarah), Beirut: Dâr al-Ummah, cet. II, 1427 H/ 2006,
hlm. 66.
[11] Abdullah
M. Al-Ruhaili, This is The Truth: Newly Discovered Scientific Focts Revealed
in the Quran & Authentic Sunnah, Wolrd Supreme Council for Mosques
Affairs Commission on Scientific Sign of Qur'an and Sunnah at Muslim World
League Makkah alMukarramah and Al-Haramain Islamic Foundation, Riyadh, ed.
III, 1999, hlm. 3.
[12] Ibid.
[13] Abu al-Qâsim al-Husain bin Muhammad al-Râghib al-Ashfahani, Al-Mufradât
fî Gharîb al-Qur’ân, Damaskus: Daar al-Qalam, cet. I, 1412 H, hlm. 102.
[14] Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji, Mu’jam Lughatil Fuqahâ, Beirut:
Dar al-Nafa’is, Cet. II, 1408 H.
[15] Abdullah
M. Al-Ruhaili, This is The Truth: Newly Discovered Scientific Focts Revealed
in the Quran & Authentic Sunnah, Wolrd Supreme Council for Mosques
Affairs Commission on Scientific Sign of Qur'an and Sunnah at Muslim World
League Makkah alMukarramah and Al-Haramain Islamic Foundation, Riyadh, ed. III,
1999, hlm. 3.
[16] Lihat ulasan mengenai ini dalam kitab Nizhâm al-Islâm karya
al-Qadhi Taqiyuddin al-Nabhani, hlm. 11-29.
[17] Abdullah M. Al-Rehaili, Bukti Kebenaran al-Qur’an, Yogyakarta:
Tajidu Press, cet. I, 1424 H/2003.
[18] Dr. Samih ‘Athif al-Zayn, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh al-Muyassar, hlm. 308.
[19] Abdullah
M. Al-Ruhaili, This is The Truth: Newly Discovered Scientific Focts Revealed
in the Quran & Authentic Sunnah, Wolrd Supreme Council for Mosques
Affairs Commission on Scientific Sign of Qur'an and Sunnah at Muslim World
League Makkah alMukarramah and Al-Haramain Islamic Foundation, Riyadh, ed.
III, 1999. Versi terjemah: Abdullah M.
Al-Rehaili, Bukti Kebenaran al-Qur’an, Yogyakarta: Tajidu Press, cet. I,
1424 H/2003.
[20] Taqiyuddin bin Ibrahim al-Nabhani, Nizhâm al-Islâm, Beirut: Daar
al-Ummah, Cet. VII, 1372 H/ 1953, Bab. Al-Hadhârah al-Islâmiyyah, hlm.
31.
[21] Ibid, hlm. 32.
[22] Taqiyuddin bin Ibrahim al-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islâmiyyah,
Beirut: Dâr al-Ummah, 1994, juz. I, hlm. 247-248.
[23] HR. Muslim dalam Shahîh-nya (IV/1836, hadits no. 141, Bab. Wujûb
Imtitsâli Mâ Qâlahu Syar’an Dûna Mâ Dzakarahu Min Ma’âyisy al-Dunyâ’).
[24] Muhammad al-Khudhari Husain, Silsilatu Milal wa Nihal [3]: Al-Ilhâd, Kuwait:
Maktabah Ibn Taimiyyah, cet. I, 1406 H, hlm. 3-4.
[25] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali al-Thusi, Ihyâ’ ’Ulûm
al-Dîn, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, juz I, hlm. 77.
Comments
Post a Comment