Editor: Irfan Abu Naveed, M.Pd.I
T
|
ahun
2017 adalah tahun dimana pilkada serentak jilid ke 2 akan dilaksanakan. Menurut
KPU ada 101 daerah yang akan mengikuti Pilkada serentak yang terdiri dari 7
Provinsi, 18 Kota dan 76 Kabupaten. Ketujuh provinsi tersebut yaitu Aceh,
Bangka Belitung, DKI Jakarta, Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Papua
Barat.[2] Dari ketujuh provinsi
tersebut, kondisi
politik DKI Jakarta yang paling disoroti dan panas.
Sebagaimana diketahui, kondisi politik DKI Jakarta bisa menjadi barometer
politik nasional. Selain itu Pilkada 2017 DKI akan diikuti oleh calon incumbent
sekarang yaitu Basuki Tjahaja Purnama/Ahok yang notabene Kafir dengan Teman
Ahok yang melakukan berbagai manuver, kontroversial. Berbagai isu-isu
penting pun mulai dimainkan di media sosial, dan yang tak kalah menarik
perhatian adalah terkait kepemimpinan[3] orang kafir terhadap kaum Muslim.
A. Memilih
Pemimpin Kafir, Haram!
Islam
telah menegaskan larangan menjadikan orang-orang kafir sebagai penguasa dengan
larangan yang tegas. Apakah sebagai pemimpin negara (penguasa tertinggi),
gubernur, bupati atau kepala daerah, meski negeri tersebut Darul Kufr. Imam al-Syafi’i (w. 204 H) menjelaskan:
وَمِمَّا يُوَافِقُ التَّنْزِيل وَالسُّنَّةَ وَيَعْقِلُهُ
الْمُسْلِمُونَ، وَيَجْتَمِعُونَ عَلَيْهِ، أَنَّ الْحَلَالَ فِي دَارِ
الْإِسْلَامِ حَلَالٌ فِي بِلَادِ الْكُفْرِ وَالْحَرَامَ فِي بِلَادِ
الْإِسْلَامِ حَرَامٌ فِي بِلَادِ الْكُفْرِ
”Dan di antara hal yang sejalan dengan al-Qur’an dan
al-Sunnah dan pemikiran kaum muslimin dan mereka semua bersepakat atasnya bahwa
yang halal di Dar al-Islam maka halal pula di negeri-negeri kufur (Dar
al-Kufr), dan yang haram di negeri-negeri Islam (Dar al-Islam) maka haram pula
di negeri-negeri kufur (Dar al-Kufr).”[4]
Konteks halal dan haram dalam maqâlah di atas
maksudnya tak terbatas pada hukum benda semata, sebagaimana Prof. Dr. Wahbah
Al-Zuhaili (w. 1436 H) pun menukil perkataan Imam al-Syafi’i di atas untuk
menegaskan keharaman bertransaksi riba di zaman ini –sama seperti dahulu- dan
ia mengatakan: ”Dan poin ini menjadi jelas bahwa suatu negara atau tempat
tidak bisa mengubah sifat keharaman perbuatan-perbuatan.”[5]
Keharaman
mengangkat orang kafir sebagai pemimpin negara—termasuk kepala daerah—merupakan
perkara ma’lûmun min al-dîn bi al-dharûrah
(yang sudah difahami secara umum dalam agama). Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai
masalah ini, baik dari kalangan salaf maupun khalaf. Banyak dalil seputar
larangan memilih orang kafir menjadi pemimpin, diantaranya:
Pertama,
Allah SWT melarang kaum muslim memberikan jalan bagi orang kafir untuk
menguasai kaum muslim:
{وَلَنْ
يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا}
“Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi
jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.” (QS. Al-Nisâ’ [4]: 141)
Dan jalan kekuasaan merupakan jalan paling kuat
bagi penguasa menguasai rakyat, dan ungkapan dengan kata lan berfaidah li
al-ta'bîd (untuk menunjukkan selama-lamanya) jelas merupakan indikasi atas
larangan yang tegas (qarînah jâzimah) menjadikan kaum kafir menguasai
orang-orang beriman secara mutlak, sama saja apakah kedudukan sebagai khalifah
atau yang selainnya. Dan sebagaimana Allah telah mengharamkan memberikan jalan bagi orang-orang
kafir atas orang-orang beriman, maka hal itu menunjukkan haram hukumnya bagi
kaum muslimin menjadikan orang kafir sebagai penguasa bagi mereka.[6]
Para ulama pun menjadikan
ayat ini sebagai salah satu dalil larangan menjadikan orang kafir sebagai
penguasa. Termasuk Imam Ibnu Hazm al-Andalusi (w. 456 H) dimana ia menyatakan
bahwa kekhilafahan merupakan sebesar-besarnya jalan kekuasaan.[7] Yakni
dalam urusan negara dan pemerintahan. Atas dasar itu, memberikan hak kepada orang kafir menduduki jabatan
kepala negara –termasuk kepala daerah--, sama artinya dengan memberikan jalan
kepada mereka untuk menguasai kaum Muslim. Padahal hal ini jelas-jelas dilarang syariat.
Kedua, Allah
melarang kaum muslimin menjadikan orang kafir memimpin mereka:
{يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ
الْمُؤْمِنِينَ }
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu menjadikan orang-orang Kafir sebagai pelindung [pemimpin] selain
orang Mukmin.” (QS. Al-Nisâ’ [4]: 144)
Lihat pula: QS. Ali ‘Imrân
[3]: 118, QS. Al-Mâ’idah [5]: 57.
Al-Hafizh Ibn Katsir (w. 774 H)
menafsirkan QS. Al-Nisâ’: 144 di atas berkata, “Allah SWT. melarang
hamba-Nya yang beriman untuk menjadikan orang-orang Kafir sebagai pelindung
[pemimpin], selain orang Mukmin. Artinya, Allah melarang mereka untuk dijadikan
sahabat, teman dekat, penasehat, dicintai serta tempat menyampaikan rahasia
orang Mukmin.”[8]
Ketiga,
Allah SWT mewajibkan ta’at
kepada ulil Amri dari kalangan orang-orang beriman sebagaimana teruang dalam QS. Al-Nisâ’:
59:
{يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ
مِنْكُمْ}
”Wahai orang-orang yang
beriman ta’atilah Allah, ta’atilah Rasul dan ulil Amri di antara kalian.”
(QS. Al-Nisâ’ [4]: 59)
Dan
frasa, “minkum”
[di antara kalian], sebagaimana ditegaskan KH. Hafidz Abdurrahman, MA,
menunjukkan bahwa pemimpin tersebut wajib dari kalangan umat Islam yang
beriman. Karena seruannya dari permulaan ayat tersebut diarahkan kepada mereka.
Keempat, Hadits-hadits
shahih mengariskan kewajiban memisahkan diri dan memerangi pemimpin-pemimpin
yang telah terjatuh kepada kekufuran yang nyata dan tidak menegakkan Islam
dalam Dar al-Islam:
Imam Bukhari meriwayatkan sebuat hadits dari
‘Ubadah bin Shamit r.a., ia berkata:
«دَعَانَا
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ، فَقَالَ فِيْمَا
أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، فِي مَنْشَطِنَا
وَمَكْرَهِنَا، وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا، وَأَنْ لاَ
نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ، إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا، عِنْدَكُمْ
مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ»
“Nabi –shallallâhu ’alayhi
wa sallam- mengundang kami, lalu kami mengucapkan baiat
kepada beliau, beliau –shallallâhu ’alayhi wa sallam- bersabda yakni dalam segala hal yang diwajibkan kepada kami bahwa kami berbaiat
kepada beliau untuk selalu mendengarkan dan taat (kepada Allah dan Rasul-NYA), baik dalam kesenangan dan kebencian kami,
kesulitan dan kemudahan kami dan beliau juga menandaskan kepada kami untuk
tidak mencabut suatu urusan dari ahlinya kecuali jika kalian (kita) melihat
kekufuran secara nyata (dan) memiliki bukti yang kuat dari Allah.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, hadits no.
7055-7056 & Muslim dalam Shahih-nya no. 4799. Lafazh al-Bukhari)
Meski
hadits di atas berlaku dalam konteks muhasabah kepada penguasa dalam Dar
al-Islam, yakni penguasa yang kufur atau menegakkan kekufuran yang nyata, namun
al-Qadhi ‘Iyadh sebagaimana dinukil al-Hafizh al-Nawawi (w. 676 H) menjelaskan:
“Ulama’ kaum muslim sepakat, bahwa kepemimpinan tidak akan diberikan kepada
orang Kafir. Jika
kemudian tampak kekufuran padanya, maka dengan sendirinya diberhentikan. Begitu
juga kalau meninggalkan kewajiban mendirikan shalat dan mengajak untuk
mendirikan shalat.”[9]
Artinya jika pemimpin muslim dalam Dar al-Islam murtad
atau menegakkan kekufuran di tengah-tengah kaum muslim saja wajib dilengserkan,
maka perkara kekufuran seseorang merupakan penghalang mutlak baginya untuk
menjadi penguasa.
B. Mewaspadai
Tipu Daya Kaum Kafir Untuk Menguasai Kaum Muslim
Untuk
mencapai tujuannya memimpin kaum muslim, kaum kafir dan para pendukungnya
berupaya menghalalkan segala cara mencari simpati kaum muslimin dan berharap
suara kaum muslimin bisa mengangkatnya menjadi pemimpin di negeri muslim.
Berbagai cara di tempuh walaupun hingga “menyamar” jadi kaum muslim. Bisa kita
lihat sekarang bahkan terlihat jelas, betapa ironis ketika pesantren menerima
kunjungan seorang tokoh kafir yang merupakan seorang ketua umum partai politik
nasional dan menyambutnya bagaikan kyai besar dan ulama yang dihormati. Lebih
ironis lagi diberikan kesempatan untuk berceramah dan berdandan ala ulama dihadapan kaum muslimin.[10]
Hal
yang juga mesti di waspadai adalah upaya untuk merusak pemikiran dan pemahaman
kaum muslimin agar tidak menjadikan isu agama sebagai hal yang sensitif dalam
memilih pemimpin, dengan kata lain merusak standar, pola pikir. Al-’Allamah
Taqiyuddin bin Ibrahim al-Nabhani memperingatkan: “Tsaqafah asing (termasuk
liberalisme-pen.) memiliki pengaruh yang besar dalam menyebarkan kekufuran dan
imperialisme, tidak adanya keberhasilan dalam meraih kebangkitan, kegagalan
gerakan-gerakan terorganisir, sama saja apakah gerakan sosial maupun politik,
karena tsaqafah memiliki pengaruh yang besar terhadap pemikiran manusia, yang
berpengaruh terhadap jalannya kehidupan.”[11]
Dalam
masalah kepemimpinan ini tergambar dalam penyesatan salah seseorang yang ditokohkan
di salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia mengatakan pemimpin yang adil,
meski non-muslim (baca: kafir) lebih baik dari pada pemimpin muslim tapi zhalim.[12]
Harus
diketahui bahwa muslim yang zhalim (fasik) atau kafir yang adil dua-duanya
tidak memenuhi syarat sebagai pemimpin. Bahkan dalam Islam syarat muslim dan
adil menjadi syarat legal bagi seseorang yang akan diangkat menjadi seorang
pemimpin/penguasa.[13] Seorang yang zhalim (fasik)
tidak bisa menjadi pemimpin negara ataupun kepala daerah, begitu pula orang
kafir tidak boleh diangkat sebagai penguasa atas kaum muslimin.
C. Demokrasi,
Biang Keladi Penguasaan Kaum Kafir Atas Ummat Islam
Dalam
Demokrasi, agama direduksi hanya menjadi urusan pribadi. Agama harus dipisahkan
dalam mengatur urusan kehidupan. Sehingga standar benar atau salah dalam
demokrasi bukan aturan agama, tetapi suara mayoritas manusia. Terkait
kepemimpinan, dalam demokrasi tidak masalah siapapun jadi pemimpin, baik dia
muslim atau kafir, adil atau zalim bahkan korup sekalipun, asalkan suara
mayoritas mendukungnya untuk menjadi pemimpin. Dalam sebuah negeri yang
mayoritas muslim tapi menerapkan demokrasi, kaum minoritas kafir—dengan
berdalih pada aturan demokrasi, tidak ada larangan dalam undang-undang bahwa
seorang penguasa harus muslim—bisa memimpin dan menguasai kaum muslim. Sebaliknya,
bagi daerah yang mayoritas kafir, mereka akan selalu menjaga agar orang Muslim
tidak bisa berkuasa ditengah mereka. Contoh seperti ini terjadi di Jakarta dan
Papua. Di Papua bahkan ada syarat untuk menjadi Gubernur di sana haruslah orang
Papua asli.
Dan poin ini kian membuktikan bahwa sistem politik
Demokrasi yang menghalalkan apa-apa yang dilarang oleh Islam menjadi salah satu
bukti mendasar bahwa sistem Demokrasi bertentangan dengan sistem politik dalam
Islam (al-siyâsah al-syar’iyyah), dimana boleh tidaknya sesuatu pun
ditentukan oleh manusia –diantaranya atas nama wakil rakyat-, sedangkan dalam
sistem politik Islam, boleh tidaknya sesuatu wajib sejalan dengan prinsip halal
dan haram dalam syari’ah. Dan dalam sistem
demokrasi, para penguasa itu memerintah tidak terikat dengan aturan agama dan menjunjung tinggi konstitusi hukum positif meski itu
menyalahi hukum syari’ah yang agung.
Selama kaum muslimin ridha atas sistem kufur Demokrasi,
bermaksiat dengan mengabaikan perjuangan penegakkan syari’at Islam dalam
kehidupan, maka selama itu pula kaum kafir memiliki peluang menguasai
orang-orang beriman. Al-Hafizh al-Qurthubi (w. 671 H) ketika memaparkan perincian
penafsiran QS. Al-Nisâ’: 144, di antaranya beliau mengingatkan bahwa
sesungguhnya Allah SWT tidak akan memberikan jalan bagi kaum kafir untuk
menguasai orang-orang beriman kecuali
jika mereka saling mendorong kepada kebatilan, tidak melarang dari kemungkaran
dan menolak bertaubat maka terjadilah penguasaan musuh.[14] Berdasarkan ’ibrah dari
firman-Nya:
{وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ}
”Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka ia
disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.” (QS. Al-Syûrâ [42]: 30)[15]
Menafsirkan ayat ini dan menggunakan dalil yang sama,
Imam Muhammad bin ’Ali al-Syawkani (w. 1250 H) pun menyampaikan peringatan
senada: ”Sesungguhnya Allah SWT tidak memberikan jalan bagi orang-orang
kafir untuk menguasai orang-orang beriman, selama orang-orang beriman mengemban
kebenaran, tidak ridha terhadap kebatilan dan tidak meninggalkan perbuatan
melarang dari kemungkaran.”[16]
D. Menutup Rapat Celah Penguasaan Orang Kafir: Campakkan
Demokrasi!
Kaum
muslimin sudah paham bahwa haram hukumnya mengangkat pemimpin dari golongan
orang-orang kafir. Maka kaum muslimin harus mampu menutup rapat-rapat celah yang
memberikan peluang kepada
orang kafir untuk menguasai kaum muslimin. Dan celah tersebut ternyata dibuka
lebar-lebar oleh Sistem Kufur Demokrasi, maka sudah saatnya kaum muslimin
mencampakkan demokrasi sebagai biang keladi penguasaan kaum kafir atas kaum
muslimin.
Mencampakkan
Demokrasi dan menggantinya dengan sistem Islam, yakni sistem khilafah merupakan
cara secara sistemik mampu
menutup rapat-rapat penguasaan orang-orang kafir
atas kaum muslimin.
Sistem Islam juga melahirkan pemimpin muslim yang adil dan amanah. Karena dalam
Islam, seorang pemimpin terikat dengan aturan-aturan syari’ah dan dituntut
untuk menunaikan amanah dalam hadits-hadits Rasulullah
–shallallâhu ’alayhi wa sallam-:
أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ
مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ
مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Ketahuilah
setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai
pertanggungjawaban atas pihak yang dipimpinnya, penguasa yang memimpin rakyat
banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. Muttafaqun
‘Alayh, dll)
Dan
sabda Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa sallam-:
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ
يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِه
“Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai, dimana
(orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan
(kekuasaan) nya.” (HR. Muttafaqun ’Alayh,
dll)
Dan dengan tuntutan keterikatan
terhadap syari’ah Islam, dimana seorang penguasa (khalifah) dibai’at untuk
menegakkan hukum Islam, seorang penguasa
tidak akan menjadi kepanjangan tangan para pemilik modal sebagaimana terjadi
dalam sistem kufur Demokrasi. Dalam konteks kepala daerah dalam sistem Islam,
bila mereka melanggar sedikit saja dari aturan syariah, mereka bisa di
makzulkan oleh Khalifah.
Wallâhu
a’lam bi al-shawâb.
Ahad,
12 Syawal 1437 H/ 17 Juli 2016.
[3] Maksud
kepemimpinan/pemimpin disini adalah kepemimpinan terkait jabatan pemerintahan
bukan jabatan administratif, seperti kepala negara, pembantu kepala negara
(wazir) juga termasuk kepala daerah.
[4] Muhammad bin
Idris al-Syafi’i, Al-Umm, Ed: Rafa’at Fauzi ’Abdul Muthallib, Dar
al-Wafa’ al-Manshûrah, cet. I, 2001, juz IX, hlm. 237.
[5] Prof. Dr.
Wahbah bin Mushthafa al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, Damaskus:
Dâr al-Fikr, cet. IV, juz VIII, hlm. 5978.
[6] Hizbut Tahrir,
Ajhizah fî Dawlat al-Khilâfah fî al-Hukm wa al-Idârah, Beirut: Dâr
al-Ummah, cet. I, 1426 H, hlm. 22.
[7] ‘Ali bin Ahmad
bin Sa’id bin Hazm al-Andalusi, Al-Fashl fî al-Milal wa al-Ahwâ’ wa
al-Nihal, Kairo: Maktabah al-Khanji, t.t., juz IV, hlm. 128.
[8] Abu al-Fida
Isma’il bin Umar bin Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, Dar Thayyibah,
cet. II, 1420 H, juz II, hlm. 441.
[9] Abu Zakariya
Muhyiddin Yahya bin Syarf al-Nawawi, Al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim, Beirut:
Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, cet. II, 1392 H, juz XII, hlm. 228.
[10] Lihat:
Kraksaan-online.com: http://www.kraksaan-online.com/2016/05/berkunjung-ke-2-ponpes-besar-di.html
[11]
Taqiyuddin bin Ibrahim al-Nabhani, Al-Takattul Al-Hizbiy, Beirut: Dâr
al-Ummah, cet. IV, hlm. 5
[13] Hizbut Tahrir, Struktur Negara Khilafah
(Pemerintahan dan
Administrasi),
HTI Press, cet.1, 2005, hlm. 35
dan 39.
[14] Muhammad bin
Ahmad bin Abi Bakr Syamsuddin al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Riyadh:
Dar ‘Alam al-Kutub, 1423 H, juz V, hlm. 417.
[15] Ibid.
[16] Muhammad bin
‘Ali al-Syawkani al-Yamani, Fat-h al-Qadîr, Damaskus: Dâr Ibn Katsîr,
cet. I, 1414 H, hlm. 609.
Comments
Post a Comment