Oleh: Irfan Abu Naveed, M.Pd.I
A. Mukadimah
Di zaman ini umat islam seringkali disuguhkan
dengan berbagai syubhat yang cukup mengkhawatirkan karena merusak pemahaman dan
lebih jauh lagi amal perbuatan. Dan di antara syubhat yang berbahaya dan nyata bahayanya
adalah kekeliruan memahami hadits-hadits yang mulia untuk menjustifikasi
pemahaman yang salah sehingga malah bertentangan dengan maksud dari
hadits-hadits itu sendiri, menjauhkan umat dari perjuangan menegakkan syari’at
Islam kâffah dalam kehidupan. Di antaranya hadits-hadits yang berkaitan dengan
diutusnya Rasulullah –shallallâhu ‘alayhi wa sallam- untuk menyempurnakan akhlak yang mulia:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاقِ
“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.”
Beberapa waktu yang lalu, dalam diskusi
mengenai kitab Nizham al-Islam salah satu panelis menjadikan hadits tentang
akhlak sebagai dalil untuk menolak wajibnya menegakkan Negara Islam, Khilafah
Islamiyyah. Bagaimana mendudukkan pemahaman yang benar?
B. Keterangan Hadits
Pertama, Hadits dengan Redaksi Shâlih al-Akhlâq.
Hadits dari Abu Hurairah r.a.,
ia berkata: Rasulullah –shallallâhu ‘alayhi wa sallam- bersabda:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ
صَالِحَ الْأَخْلَاقِ
“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan
keshalihan akhlak.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya (no. 8952),
Al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad (no. 273), al-Bayhaqi dalam Syu’ab
al-Îmân (no. 7609), al-Khara’ith dalam Makârim al-Akhlâq (no. 1),
dan lainnya)
Mengomentari
hadits dari Imam Ahmad di atas, Imam al-Haitsami (w. 807 H) menjelaskan:
رواه
أحمد ورجاله رجال الصحيح
“Imam Ahmad meriwayatkannya, dan para perawinya adalah
para perawi shahih” (Nuruddin ‘Ali al-Haitsami, Majma’ al-Zawâ’id wa Manba’
al-Fawâ’id, Beirut: Dar al-Fikr, 1412 H, juz VIII, hlm. 343)
Kedua, Hadits dengan Redaksi Makârim al-Akhlâq:
Hadits dari Abu Hurairah r.a.,
ia berkata: Rasulullah –shallallâhu ‘alayhi wa sallam- bersabda:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاقِ
“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan
keshalihan akhlak.” (HR. Al-Bayhaqi dalam al-Sunan al-Kubrâ’ (no. 20782),
al-Bazzar dalam Musnad-nya (no. 8949))
Al-Hafizh Ibnu Abd al-Barr al-Andalusi, sebagaimana
dinukil oleh al-Zurqani:
وَهُوَ حَدِيثٌ مَدَنِيٌّ
صَحِيحٌ مُتَّصِلٌ مِنْ وُجُوهٍ صِحَاحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَغَيْرِهِ
“Dan ini adalah hadits
shahih muttashil dari banyak jalurnya, shahih dari Abi Hurairah dan selainnya.”
(Muhammad bin ‘Abdul Baqi al-Zurqani, Syarh
al-Zurqaniy ‘Alâ Muwaththa’ al-Imâm Mâlik, Kairo: Maktabah al-Tsaqafah
al-Diniyyah, cet. I, 1424 H, juz IV, hlm. 404)
Setelah
menukil perkataan Ibn Abd al-Barr, al-Sakhawi (w. 902 H) merinci bahwa di
antaranya apa yang dikeluarkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya, dan
al-Khara’ithi di awal kitab al-Makârim-nya, dari hadits Muhammad bin
‘Ajlan, dari al-Qa’qa’ bin Hakim, dari Abi Shalih, dari Abu Hurairah r.a.
secara marfu’, dengan lafazh shâlih al-akhlâq, dan para perawinya adalah
perawi shahih. (Syamsuddin al-Sakhawi, al-Maqâshid al-Hasanah fî Bayân Katsîr
Min al-Ahâdîts al-Musytahirah ‘Alâ Alsinah, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi,
cet. I, 1405 H, hlm. 180)
C. Penjelasan Mufradat
Pertama, Makna Shâlih dan Makârim:
Kata shâlih
dan kata makârim yang melekat dengan kata al-akhlâq dalam
hadits-hadits di atas jelas mengkhususkan akhlak dan menautkannya dengan sifat
khusus dan tidak bisa dilepaskan darinya, yakni kebaikan, keshalihan dan
kemuliaan itu sendiri, yang tentunya menurut standar Islam.
Kata al-makârim
itu sendiri adalah jamak dari kata al-makrumah. Ini sebagaimana
disebutkan oleh para ulama pakar bahasa dan adab, semisal Imam al-Jawhari (w.
393 H) dalam kitab Al-Shihâh (Abu Nashr Isma’il al-Jawhari, al-Shihâh
Tâj al-Lughah wa Shihâh al-‘Arabiyyah, Beirut: Dar al-‘Ilm, cet. IV, 1407
H, juz V, hlm. 2020), dan Nisywan al-Hamiri al-Yamani (w. 573 H) dalam kitab Syams
al-‘Ulûm (Nisywan bin Sa’id al-Hamiri, Syams al-‘Ulûm wa Dawâ’u
Kalâm al-‘Arab Min al-Kulûm, Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, cet. I, 1420
H, juz IX, hlm. 5801).
Apa maknanya? Maknanya adalah perbuatan mulia
(fi’l al-karam) sebagaimana diungkapkan Ibn Manzhur dalam Lisân
al-‘Arab (Ibnu Manzhur, Lisân al-’Arab, Kairo: Dar al-Ma’arif,
juz V, hlm. 3862)
Ketiga, Makna kata Akhlâq:
Akhlak (الأخلاق) adalah
jamak dari khuluq (الخُلُقُ). Khuluq itu sendiri sebagaimana
dijelaskan para ulama ahli bahasa:
Hal itu sebagaimana
diungkapkan Al-Azhari (w. 370 H):
والخُلُقُ:
الدِّينُ، والخُلُقُ: المروءةُ.
“Al-Khuluq: din, dan al-khuluq: muru’ah.”
(Muhammad bin Ahmad al-Azhariy, Tahdzîb al-Lughah, Beirut: Dar Ihya’
al-Turats al-‘Arabi, cet. I, 2001, juz VII, hlm. 18.)
Al-Qadhi
‘Iyadh (w. 544 H) menukil perkataan Ibnu al-‘Arabi:
قَالَ ابْن الْأَعرَابِي الْخلق الطَّبْع
والخلق الدّين والخلق الْمُرُوءَة
“Ibnu al-‘Arabi menuturkan: al-khuluq yakni
tabiat, al-khuluq yakni al-dîn, al-khuluq yakni muru’ah.” (‘Iyadh
bin Musa bin ‘Iyadh, Masyâriq al-Anwâr ‘Alâ Shihâh al-Âtsâr, Dar
al-Turats, juz I, hlm. 239)
Al-Hafizh
Ibnu al-Atsir (w. 606 H) pun menegaskan hal senada dalam Al-Nihâyah fî
Gharîb al-Hadîts. (Majduddin Abu al-Sa’adat Ibnu al-Atsir, Al-Nihâyah fî
Gharîb al-Hadîts wa al-Atsar, Beirut: Al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1399 H, juz
II, hlm. 70)
Ibn Manzhur (w. 711 H) dalam Lisân
al-‘Arab pun menjelaskan:
الخُلُقُ:
وهو الدِّين والطبْع والسجية
“Al-Khuluq: yakni din
(agama), tabi’at dan watak alami” (Ibnu Manzhur, Lisân al-’Arab, Kairo: Dar al-Ma’arif,
juz II, hlm. 1245)
Sehingga
bisa disimpulkan bahwa makna akhlak dalam hadits ini tidak bisa dipisahkan dari
konotasi Dinul Islam itu sendiri.
D. Meluruskan Penyimpangan Memaknai Hadits
Perlu dipahami bahwa hadits di atas tidak
berbicara mengenai proses dakwah tapi tujuan di utusnya Nabi Muhammad –shallallâhu
‘alayhi wa sallam-. Yakni
tidak menunjukkan bahwa dakwah harus fokus pada akhlak semata dan mengabaikan
dakwah menyeru kepada pengamalan syari’at Islam secara umum, semisal penegakkan
Khilafah, penegakkan hukum-hukum syari’at Islam. Karena jika dipahami seperti itu maka jelas bertentangan dengan teladan dakwah Rasulullah –shallallâhu ‘alayhi wa sallam- sendiri yang menegakkan Islam keseluruhannya dan mendakwahkannya.
Adapun gambaran proses untuk menuju kemuliaan
dan keluhuran akhlak itu sendiri tergambar dalam al-Sunah, sîrah. Dimana
Rasulullah –shallallâhu ‘alayhi wa sallam- tidak semata-mata dakwah fokus membahas
akhlak dan mengabaikan lainnya, namun menjadikan akidah Islam sebagai asas
peradabannya dan penegakkan syari’at Islam kâffah sebagai bangunannya sehingga
membuahkan masyarakat yang berakhlak al-karîmah. Terlebih makna akhlak
itu sendiri berkonotasi Din. Hal ini sebagaimana penjelasan para ulama:
Imam Abu Ja’far al-Thahawiy (w. 321 H) meriwayatkan
hadits ini no. 4432 dan menjelaskan maknanya:
فَكَانَ مَعْنَى ذَلِكَ عِنْدَنَا
- وَاللهُ أَعْلَمُ - أَنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ إِنَّمَا بَعَثَهُ لِيُكْمِلَ لِلنَّاسِ
دِينَهُمْ، وَأَنْزَلَ عَلَيْهِ مِمَّا يَدْخُلُ فِي هَذَا الْمَعْنَى، وَهُوَ قَوْلُهُ
عَزَّ وَجَلَّ: {الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ} [المائدة: 3] ، فَكَانَتْ
بعْثَتُهُ إِيَّاهُ عَزَّ وَجَلَّ لِيُكْمِلَ لِلنَّاسِ أَدْيَانَهُمُ الَّتِي قَدْ
كَانَ تَعَبَّدَ مَنْ تَقَدَّمَهُ مِنْ أَنْبِيَائِهِ بِمَا تَعَبَّدَهُ بِهِ مِنْهَا،
ثُمَّ كَمَّلَهَا عَزَّ وَجَلَّ لَهُ بِقَوْلِهِ: {الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ}
[المائدة: 3] وَالْإِكْمَالُ: هُوَ الْإِتْمَامُ، فَهُوَ مَعْنَى قَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ "، أَيْ:
صَالِحَ الْأَدْيَانِ، وَهُوَ الْإِسْلَامُ، وَبِاللهِ التَّوْفِيقُ.
Artinya:
“Dan makna hadits ini menurut kami –wallâhu a’lam- bahwa
Allah ‘Azza wa Jalla mengutusnya –shallallâhu ‘alayhi wa sallam- untuk
menyempurnakan bagi manusia Din mereka, dan Allah menurunkan kepadanya dari apa
yang masuk dalam pemaknaan ini, yakni firman-Nya ‘Azza wa Jalla:
{الْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ}
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kamu Din-mu” (QS. Al-Mâ’idah [5]: 3)
Maka pengutusannya oleh Allah ‘Azza wa Jalla adalah untuk
menyempurnakan bagi manusia syari’at-syari’at beragama mereka dimana sungguh
telah ada syari’at beribadah nabi sebelum Rasulullah –shallallâhu
‘alayhi wa sallam-
dari para nabi dengan syari’at peribadahannya, kemudian Allah ‘Azza wa Jalla
menyempurnakannya berdasarkan informasi firman-Nya:
{الْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ}
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kamu Din-mu” (QS. Al-Mâ’idah [5]: 3)
Dan kata al-ikmâl semakna dengan al-itmâm, dan
ini menjadi makna dari sabda Rasulullah –shallallâhu ‘alayhi
wa sallam-:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ
صَالِحَ الْأَخْلَاقِ
“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan
keshalihan akhlak.”
Frase (shâlih al-akhlâq) yakni shâlih al-adyân,
yakni Dinul Islam, wa billâhi al-tawfîq.” (Abu Ja’far Ahmad bin
Muhammad al-Thahawi, Syarh Musykil al-Âtsâr, Beirut: Mu’assasat
al-Risalah, cet. I, 1415 H, juz XI, hlm. 262)
Imam
al-Baji, sebagaimana dinukil oleh Imam Abdul Baqi al-Zurqani (w. 1122 H)
menuturkan:
كَانَتِ الْعَرَبُ أَحْسَنَ
النَّاسِ أَخْلَاقًا بِمَا بَقِيَ عِنْدَهُمْ مِنْ شَرِيعَةِ إِبْرَاهِيمَ، وَكَانُوا
ضَلُّوا بِالْكُفْرِ عَنْ كَثِيرٍ مِنْهَا فَبُعِثَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لِيُتَمِّمَ مَحَاسِنَ الْأَخْلَاقِ بِبَيَانِ مَا ضَلُّوا عَنْهُ وَبِمَا خُصَّ بِهِ
فِي شَرْعِهِ.
“Dahulu orang Arab dikenal sebagai sebaik-baiknya manusia
dari akhlaknya karena apa yang tersisa di sisi mereka dari syari’at ajaran Nabi
Ibrahim a.s., mereka pun tersesat dari sebagian besar di antaranya maka diutus
Rasulullahh –shallallâhu ‘alayhi wa sallam- untuk menyempurnakan mahâsin al-akhlâq dengan
menjelaskan kesesatannya dan dengan pengkhususan dalam syari’atnya.” (Muhammad
bin ‘Abdul Baqi al-Zurqani, Syarh al-Zurqaniy ‘Alâ Muwaththa’ al-Imâm Mâlik,
Kairo: Maktabah al-Tsaqafah al-Diniyyah, cet. I, 1424 H, juz IV, hlm. 404)
Al-Hafizh
Ibnu Abdil Barr al-Andalusi sebagaimana dinukil oleh al-Zurqani menjelaskan bahwa masuk didalamnya
keshalihan, dan kebaikan seluruhnya, Din ini, keutamaan, kehormatan, kebajikan
(al-ihsân) dan keadilan, dan oleh karena itulah diutusnya Rasulullah –shallallâhu ‘alayhi wa sallam- untuk menyempurnakannya. (Muhammad bin ‘Abdul Baqi al-Zurqani, Syarh
al-Zurqaniy ‘Alâ Muwaththa’ al-Imâm Mâlik, juz IV, hlm. 404)
Maka
bisa disimpulkan bahwa memahami makna akhlak dalam hadits di atas tak
bisa dilepaskan dari konotasi Dinul Islam itu sendiri, dan ini diperkuat dengan
penafsiran atas frase khuluq ‘azhiim dalam firman Allah ‘Azza wa
Jalla:
وَإِنَّكَ
لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan sesungguhnya engkau
benar-benar memiliki khuluq yang agung.” (QS. Al-Qalam
[68]: 4)
Dan tentang tafsir ayat ini, in syâ Allah akan penulis jelaskan kemudian pada bagian selanjutnya, bi fadhliLlâhi Ta'âlâ.
E. Akhlak dalam Islam
Dan tentang tafsir ayat ini, in syâ Allah akan penulis jelaskan kemudian pada bagian selanjutnya, bi fadhliLlâhi Ta'âlâ.
E. Akhlak dalam Islam
Islam merupakan din,
manhaj kehidupan yang mengatur segala aspek kehidupan manusia. Al-Qadhi
Taqiyuddin al-Nabhani menjelaskan: “Islam didefinisikan sebagai agama yang
diturunkan Allah SWT kepada junjungan kita Nabi Muhammad –shallallâhu ‘alayhi wa sallam-, untuk mengatur
hubungan manusia dengan Khaliq-nya, dirinya, dan dengan sesamanya. Hubungan
manusia dengan Khaliq-nya mencakup urusan aqidah dan ibadah. Hubungan manusia
dengan dirinya mencakup akhlak, makanan/minuman dan pakaian. Sedangkan hubungan
manusia dengan sesamanya mencakup mu'amalat dan uqubat/sanksi.”
Al-‘Allamah al-Qadhi
Taqiyuddin al-Nabhani menjelaskan bahwa akhlak merupakan bagian dari syari’at
Islam, ia terikat dengan perintah dan larangan Allah. Jika akhlak tak dipahami
sebagai sesuatu yang terikat dengan hukum syara’, bisa jadi seseorang akan
memuliakan dan menghormati penguasa kafir muharriban fi’lan yakni
penguasa kafir yang memerangi Islam dan kaum muslimin secara nyata. Contoh
kasus ketika Obama, dan sekutunya –la’natuLlaahi ‘alayhim- ketika mereka
berkunjung ke Indonesia. Bukankah mereka dihormati seakan-akan dihormati
sebagai tamu agung padahal tangan mereka masih basah dengan lumuran darah kaum
muslimin di Irak dan Afghanistan khususnya?!
Rasulullah –shallallâhu ‘alayhi wa sallam- diutus ke
muka bumi dengan mengemban risalah yang agung, Dinul Islam yang merupakan
manhaj bagi kehidupan. Rasulullah Muhammad –shallallâhu ‘alayhi wa sallam- sebelum menerima wahyu sudah dikenal
sebagai seorang pemuda yang jujur dan dapat dipercaya, maka beliau –shallallâhu ‘alayhi wa sallam- digelari
al-Amiiin, namun ketika berdakwah di tengah-tengah masyarakat Jahiliyyah
Quraisy, beliau menghadapi berbagai tantangan, mengapa? Karena dakwah yang
beliau sampaikan menyeru kepada akidah tauhid, penegakkan al-Islam di muka
bumi, tidak berfokus pada perbaikan moral seperti syubhat yang digaungkan di mana
di dalamnya ada pengabaian terhadap akidah dan penegakkan al-Islam kaaffah.
Jika seandainya beliau hanya berfokus pada perbaikan moral seperti yang
dikampanyekan dalam syubhat-syubhat tersebut, niscaya kaum kafir Quraisy tidak
akan memerangi dakwah beliau, karena sebelum diutus mengemban dakwah pun,
Muhammad –shallallâhu ‘alayhi wa sallam- sudah dipercaya sebagai orang yang jujur –sebagaimana diungkapkan dalam banyak kitab Sirah-.
Al-‘Allamah Taqiyuddin
al-Nabhani (w. 1977) dalam kitab Nizhâm al-Islâm menjelaskan: “Islam memecahkan problematika hidup manusia
secara keseluruhan dan memfokuskan perhatiannya pada umat manusia secara
integral bukan terhadap individu-individu atau umat tertentu. Oleh karena itu,
Islam memecahkan problematika manusia dengan cara yang sama dan tetap.
Peraturan Islam dibangun atas asas ruhiyyah, yakni akidah. Dengan demikian
aspek ruhiyyah dijadikan sebagai asas peradaban Islam, asas negara dan asas
syari'atnya.”
Akhlak dalam Islam pun tidak sekedar simbol, dan masyarakat yang berakhlak terwujud dari masyarakat yang perasaan dan pemikirannya islami, hal itu terwujud dengan penegakkan syari’at Islam kaaffah di tengah-tengah masyarakat. Bagaimana bisa dikatakan berakhlak? Padahal riba merajalela, pergaulan bebas dan angka kriminalitas lainnya tinggi di tengah-tengah masyarakat. Maka akhlak tidak bisa dipisahkan dari syari'at dan ia bagian dari syari'at Islam yang agung. []
Akhlak dalam Islam pun tidak sekedar simbol, dan masyarakat yang berakhlak terwujud dari masyarakat yang perasaan dan pemikirannya islami, hal itu terwujud dengan penegakkan syari’at Islam kaaffah di tengah-tengah masyarakat. Bagaimana bisa dikatakan berakhlak? Padahal riba merajalela, pergaulan bebas dan angka kriminalitas lainnya tinggi di tengah-tengah masyarakat. Maka akhlak tidak bisa dipisahkan dari syari'at dan ia bagian dari syari'at Islam yang agung. []
Comments
Post a Comment