
Soal Jawab Grup Forum Kajian Tsaqafah: Link
Soal
Afwan mau tanya ustadz, orang yang jualan makanan n
minuman pada siang hari saat bulan ramadhan apakah uang hasil jualan tersebut
halal? Dan yang membeli makan n minum itu kebanyakan orang yang meninggalkan
puasa tanpa sebab "laki-laki". (Randy Hermawan)
Jawaban (Irfan Abu Naveed)
الحمدلله والصلاة
والسلام على رسول الله وبعد
Pertama, Penjelasan Hukum Menurut Para Ulama
Jual beli makanan dan minuman yang ‘ain-nya atau dzatnya halal maka pada asalnya hukumnya jelas halal. Hanya saja yang menjadi masalah dalam hal ini adalah jual beli di pagi hari atau siang hari Ramadhan dimana kaum Muslim umumnya sedang ditaklif menunaikan shaum Ramadhan yang hukumnya fardhu.
Jual beli makanan dan minuman yang ‘ain-nya atau dzatnya halal maka pada asalnya hukumnya jelas halal. Hanya saja yang menjadi masalah dalam hal ini adalah jual beli di pagi hari atau siang hari Ramadhan dimana kaum Muslim umumnya sedang ditaklif menunaikan shaum Ramadhan yang hukumnya fardhu.
Maka para ulama menyoroti sisi dimana jual beli makanan
dan minuman “siap saji” (misalnya masakan) di pagi hari atau siang hari
Ramadhan dimana ghalibnya orang tidak membeli makanan dan minuman kecuali untuk
langsung dikonsumsi maka jual beli tersebut dianggap sebagai jual beli yang
mendukung kemaksiatan, yakni memberikan jalan bagi orang yang tidak
melaksanakan kefardhuan shaum tanpa ‘udzur syar’i.
Allah
SWT berfirman:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ
ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ
الْعِقَابِ
“Dan tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan takwa, dan janganlah
tolong menolong dalam dosa dan permusuhan, dan bertakwalah kalian kepada Allah,
sesungguhnya siksa Allah amat pedih.” (QS. Al-Mâ’idah [5]: 2)
Imam Abu Ishaq al-Tsa’labi (w. 427 H) menjelaskan:
وَلا تَعاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوانِ
يعني المعصية والظلم.
“Kalimat (dan janganlah tolong menolong dalam dosa dan permusuhan)
yakni kemaksiatan dan kezhaliman.” (Ahmad bin Muhammad Abu Ishaq al-Tsa’labi, Al-Kasyf
wa al-Bayân ‘an Tafsiir al-Qur’ân, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabi,
cet. I, 1422 H, juz IV, hlm. 11)
Dan menolong orang yang makan minum di pagi hari atau siang
hari Ramadhan tanpa ‘udzur syar’i jelas merupakan kemaksiatan, dan
hukumnya haram, dikecualikan dalam hal ini adalah makan dan minumnya orang yang
memang ada udzur syar’i untuk tidak shaum, misalnya seseorang yang sedang
safar jauh untuk hajat syar’i dan berbagai rukhshah lainnya yang
ditentukan oleh syari’ah.
Hal itu sebagaimana penjelasan dalam banyak kitab fikih
syafi’iyyah berkenaan dengan memberi makan seseorang (muslim atau kafir) pada
waktu pagi atau siang hari shaum Ramadhan, termasuk hukum jual beli makanan dan
minuman pada orang yang diketahui atau di duga kuat berbuka sebelum waktunya
pada waktu shaum Ramadhan di siang hari, dimana hukumnya disamakan seperti
kasus jual beli anggur untuk produsen khamr, atau jual beli parfum dengan orang
musyrik untuk dipakai mengharumkan patung sesembahannya yang dihukumi haram
dengan dalil di atas.
a.
Penjelasan
dalam Kutub Fikih Syafi’i
Ibarah
dalam kitab Nihâyat al-Muhtâj Ilâ Syarh al-Minhâj, karya Syaikh
Syamsuddin al-Ramli (w. 1004 H), yakni tentang setiap perbuatan yang
mengakibatkan kemaksiatan:
وَمِثْلُ ذَلِكَ إطْعَامُ مُسْلِمٍ مُكَلَّفٍ
كَافِرًا مُكَلَّفًا فِي نَهَارِ رَمَضَانَ، وَكَذَا بَيْعُهُ طَعَامًا عَلِمَ أَوْ
ظَنَّ أَنَّهُ يَأْكُلُهُ نَهَارًا....؛ لِأَنَّ كُلًّا مِنْ ذَلِكَ تَسَبُّبٌ فِي
الْمَعْصِيَةِ وَإِعَانَةٌ عَلَيْهَا
“…Seperti seorang
muslim mukallaf yang memberi makanan kepada orang kafir dewasa di siang hari
ramadhan, begitu pula menjual makanan jika mengetahui atau menduga kuat bahwa ia
akan memakannya disiang hari Ramadhan; karena seluruh perbuatan tersebut
menyebabkan kemaksiatan dan menyokongnya.” (Syamsuddin Muhammad bin Abi
al-‘Abbas al-Ramli, Nihâyat al-Muhtâj Ilâ Syarh al-Minhâj, Beirut: Dâr
al-Fikr, 1404 H, juz III, hlm. 471)
Jika
kepada orang kafir saja diharamkan, maka kepada sesama muslim perkaranya lebih
kuat, dengan kata lain pembahasan di atas berlaku umum pada orang-orang baik
muslim maupun kafir pada waktu-waktu shaum Ramadhan yang diduga kuat akan
mengkonsumsinya pada waktu shaum tanpa udzur syar’i.
Penjelasan
di atas pun banyak dinukil dalam kitab fikih syafi’iyyah: Syaikh Sulaiman
al-Jamal (w. 1204 H) dalam kitab fikih Hâsyiyat al-Jamal ‘alâ Syarh al-Minhâj
(III/92), Syaikh Sulaiman al-Bujairami al-Syafi’i (w. 1224 H) dalam kitab Hâsyiyat
al-Bujayrami ‘alâ Syarh al-Minhâj (II/224), Syaikh al-Bakri al-Dimyathiy
al-Syafi’i (w. 1310 H) dalam kitab I’ânat al-Thâlibiin ‘alâ Hall Alfâzh
Fat-h al-Mu’iin (III/30).
b.
Penjelasan dalam Soal Jawab Fatwa Kuwait
Dalam Fatâwâ Qithâ’ al-Iftâ’ bi al-Kuwayt disebutkan
soal jawab:
·
هل يجوز بيع الطعام لمن
يتناوله بالنهار في رمضان للمسلمين أو غير المسلمين؟
أجابت اللجنة بما يلي:
لا يجوز بيع الطعام لمن يعلم أنه يتناوله في
نهار رمضان من المسلمين إلا أن يكون له عذر يبيح له الفطر كأن يكون مسافراً أو مريضاً
أما بيعه لغير المسلمين فجائز. والله أعلم.
Soal:
“Bolehkah jual beli makanan bagi seseorang yang
mengkonsumsinya pada siang hari Ramadhan bagi orang-orang muslim atau non
muslim?”
Jawaban
Lajnah:
“Tidak
boleh hukumnya menjual makanan kepada seseorang dari kaum muslimin yang
diketahui bahwa ia akan mengkonsumsinya pada siang hari Ramadhan kecuali jika
ada padanya ‘udzur yang memperbolehkan baginya untuk berbuka, misalnya
kondisinya sebagai seorang musafir (melakukan safar) atau sakit. Adapun menjual makanan kepada non muslim (pada siang hari
Ramadhan) maka hukumnya boleh, wallâhu a’lam.”
(Lihat: Majmu’atul Ulama, Fatâwâ Qithâ’ al-Iftâ’ bi al-Kuwayt, Wizârat al-Awqâf wa al-Syu’ûn al-Islâmiyyah, cet. I, 1417 H, juz V, hlm. 122)
(Lihat: Majmu’atul Ulama, Fatâwâ Qithâ’ al-Iftâ’ bi al-Kuwayt, Wizârat al-Awqâf wa al-Syu’ûn al-Islâmiyyah, cet. I, 1417 H, juz V, hlm. 122)
c.
Penjelasan
dalam Soal Jawab Situs Dr. Shalih al-Munajjid
Dalam
situs tanya jawab yang diasuh Dr. Shalih al-Munajjid, islamqa, pun
ditegaskan bahwa tidak diperbolehkan menghidangkan makanan bagi seseorang pada
siang hari di bulan ramadhan, kecuali bagi orang-orang yang memang dibolehkan
untuk tidak berpuasa, seperti: orang sakit, musafir, dan lain-lain. Dan tidak ada bedanya dalam masalah ini antara muslim dan
kafir. Seorang muslim yang tidak berpuasa berarti ia durhaka kepada peritah
Allah. Menyediakan makanan dan minuman baginya berarti membantunya dalam hal
dosa dan pelanggaran. Orang kafir pun sebenarnya juga diperintah untuk berpuasa
dan hukum-hukum Islam yang lain, namun sebelumnya ia harus masuk islam terlebih
dahulu dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Pada hari kiamat orang kafir
akan disiksa karena kekafirannya, dan karena syariat Islam tidak diterapkan,
maka bertambahlah siksa bagi mereka.
Di samping persoalan hukum, mereka yang berjual beli makanan dan minuman
“siap saji” pada jam-jam siang Ramadhan pun sudah semestinya mempertimbangkan
dan memerhatikan adab menghormati kaum Muslim yang sedang menunaikan ibadah
shaum Ramadhan, karena pemandangan berjual beli makanan dan minuman pada bulan
Ramadhan ghalib-nya atau umumnya dilakukan pada waktu menjelang berbuka
shaum, dimana orang-orang sedang mempersiapkan makanan dan minuman untuk
berbuka.
Permasalahan di atas, sebenarnya bisa diatur secara
tertib dalam Dawlah al-Khilafah yang menjadikan akidah Islam sebagai
pondasi bernegara dan pondasi kehidupan bermasyarakat, dimana negara menanamkan
pendidikan berasaskan akidah Islam yang membentuk kepribadian Islam dalam diri
individu-individu masyarakat dan menjaga penerapan Islam di tengah-tengah
kehidupan mereka sehingga menciptakan keshalihan sosial, dan menegakkan hukuman
sanksi Islam yang adil kepada mereka yang melanggar hukum syara’ yang dengannya
dicegah adanya kemaksiatan serupa terulang kembali. Allâh
al-Musta’ân
Wallâhu
a’lam bi al-shawâb.
Comments
Post a Comment