
Afwan ustadz, mhn penjelasan pertanyaan sy... tentang sematan gelar
ra(radhiallahu anhu) apakah gelar tsb khusus utk para shahabat rasul saw atau
bgmn..krn pernah dlm tulisan media sematan gelar tsb ada di belakang nama
syaikh HT (afwan ini pertanyaan tmn sy, sdh lama dan sy lupa syaikh siapa yg
dituliskan ustadz, mhn maaf...)..jazakalloh atas penjelasannya. Umi Ghofaz, [17.06.16 12:27]
Jawaban
إن الحمد لله نستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له وأشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن محمدا عبده ورسوله والصّلاة والسّلام على رسول الله، وعلى آله وصحبه ومن والاه، وبعد
Sahabat digelari do'a radhiyallâhu ‘anhu (untuk laki-laki)/ ‘anhâ (untuk
perempuan atau shahabiyyah) dan ‘anhum (untuk jamak), berdasarkan ayat:
{وَالسَّابِقُونَ
الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا
الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ
ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ}
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk
Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan
Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di
dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah
kemenangan yang besar.” (QS. Al-Tawbah [9]: 100)
Ayat di atas jelas konteksnya
berbicara mengenai sahabat, namun jika kita menilik ayat:
{جَزَاؤُهُمْ عِنْدَ
رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا
أَبَدًا ۖ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ
ذَٰلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ}
“Balasan mereka di
sisi Tuhan mereka ialah syurga 'Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai;
mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha
kepadaNya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada
Rabb-nya.” (QS. Al-Bayyinah
[98]: 8)
Dimana sebelumnya ayat ini berbicara mengenai orang-orang yang beriman dan beramal
shalih:
{إِنَّ الَّذِينَ
آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَٰئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ}
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal saleh, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk.” (QS. Al-Bayyinah [98]: 7)
Padahal orang-orang yang beriman dan beramal shalih sudah tentu bukan hanya
sahabat. Dalam ayat ke-8 di atas pun terdapat kalimat (ذَٰلِكَ
لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ) yang
menunjukkan sifat dari orang-orang yang beriman dan beramal shalih ini, yang
maknanya memperjelas maksud ayat:
{إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ}
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari
hamba-hamba-Nya adalah ulama.” (QS. Fâthir [35]: 28)
Menggabungkan kedua ayat di atas, Abu Bakar al-Jashshash lalu menuturkan
bahwa informasi bahwa sebaik-baiknya makhluk adalah ia yang takut terhadap
Rabb-nya, dan Allah menginformasikan dalam ayat-Nya bahwa orang-orang yang
berilmu di sisi Allah mereka lah yang takut terhadap-Nya, maka hasil dari
dikumpulkannya dua ayat ini bahwa orang berilmu mereka adalah sebaik-baiknya
makhluk Allah. (Ahmad bin ‘Ali Abu Bakar al-Râzi al-Jashshash al-Hanafi, Ahkâm
al-Qur’ân, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabi, 1405 H, juz. V, hlm. 247)
Kesimpulan ayat-ayat di atas mengandung petunjuk bahwa Allah meridhai para
ulama, maka berdasarkan ayat-ayat di atas pula bisa ditarik simpulan kebolehan
menyematkan do’a –radhiyallâhu ‘anhu- kepada para ulama selain sahabat,
bahkan hukumnya dianjurkan atau sunnah, dan ini merupakan pendapat mayoritas
ulama.
Al-Hafizh Abu Zakariya Yahya bin Syarf al-Nawawi (w. 676 H) menegaskan:
يُسْتَحَبُّ التَّرَضِّي وَالتَّرَحُّمُ
عَلَى الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ فَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنْ الْعُلَمَاءِ وَالْعُبَّادِ
وَسَائِرِ الْأَخْيَارِ فَيُقَالُ رَضِيَ اللَّه عَنْهُ أَوْ رَحْمَةُ اللَّهِ عَلَيْهِ
أَوْ رَحِمَهُ اللَّه وَنَحْوُ ذَلِكَ
“Disunnahkan
mengucapkan al-taradhdhiy (do’a radhiyallâhu ‘anhu) dan al-tarahhum
(do’a rahimahullâh) untuk para sahabat, tabi’in, dan generasi
setelah mereka dari para ulama, ahli ibadah dan orang-orang pilihan yang baik
(shalih), maka diungkapkan radhiyallâhu ‘anhu atau rahmatullâhi
‘alayhi atau rahimahullâh dan yang semisalnya.” (Abu Zakariya Yahya
bin Syarf al-Nawawi, Al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab, Beirut: Dâr al-Fikr,
juz VI, hlm. 172)
Imam al-Nawawi pun
dalam al-Majmû’ ini melemahkan pendapat yang mengkhususkan do’a radhiyallâhu
‘anhu hanya untuk sahabat semata, dan menguatkan pendapat jumhur ulama yang
menganjurkannya, dan menurutnya dalil-dalilnya banyak.
Hal itu pun
tergambar dari al-Hafih Abu Zakariya al-Nawawi yang menyematkan radhiyallâhu
‘anhum kepada para ulama selain sahabat dibanyak tempat dalam kitabnya, Syarh
Shahih Muslim, di antaranya:
·
وَالْعُلَمَاءُ كَافَّةً مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ
فَمَنْ بَعْدَهُمْ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ
/ قَوْلُ أَكْثَرِ
الْعُلَمَاءِ مِنَ الصَّحَابَةِ فَمَنْ بَعْدَهُمْ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ
Dimana fatwa Imam
al-Nawawi di atas pun banyak dinukil oleh para ulama setelahnya, di antaranya
dalam kitab al-Mawsû’ah al-Kuwaitiyyah (juz XI/hlm. 185). Dan ini pula
yang disebutkan Imam Ibnu Hajar al-Haitami (w. 979 H) dalam kitab Tuhfat
al-Muhtâj:
وَيُسَنُّ التَّرَضِّي وَالتَّرَحُّمُ
عَلَى كُلِّ خَيِّرٍ وَلَوْ غَيْرَ صَحَابِيٍّ خِلَافًا لِمَنْ خَصَّ التَّرَضِّيَ
بِالصَّحَابَةِ
“Disunnahkan
mengucapkan do’a radhiyallâhu ‘anhu dan do’a rahimahullâh untuk orang
pilihan yang melakukan kebaikan selain sahabat berbeda dengan pendapat ulama
yang mengkhususkan do’a radhiyallâhu ‘anhu untuk sahabat semata.” (Ahmad
bin Muhammad al-Haitami, Tuhfat al-Muhtâj fî Syarh al-Minhâj, Mesir:
al-Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra, 1357 H, juz III, hlm. 239)
Dalam kitab al-Mawsû’ah
al-Kuwaitiyyah pun dinukilkan pendapat dalam ‘Umdah al-Abrâr:
يَجُوزُ التَّرَضِّي عَنِ السَّلَفِ مِنَ الْمَشَايِخِ وَالْعُلَمَاءِ
“Boleh hukumnya mendo’akan radhiyallaahu ‘anhu untuk para ulama
salaf dari kalangan para syaikh, para ulama.”
Yakni berdasarkan dalil ayat QS. Al-Bayyinah: 7-8 di atas. Dan di dalam
ayat yang mulia ini pun terdapat penyebutan untuk orang-orang beriman dari
kalangan sahabat dan selain mereka. (al-Mawsû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaytiyyah
(Kuwait: Dâr al-Salâsil, juz X, hlm. 196))
Pendapat para ulama yang memperbolehkan ini pun disebutkan para ulama dalam
kutub mereka di antaranya Syaikh Syihabuddin al-Nafrawi al-Maliki (w. 1126 H)
yakni dari madzhab Maliki dalam kitab Al-Fawâkih al-Dawâniy ‘alâ Risâlat Ibn
Abi Zayd al-Qirwaniy (Beirut: Dâr al-Fikr, 1415 H, juz II, hlm. 360)
Wallâhu a’lam bi al-shawâb.
Comments
Post a Comment