Irfan
Abu Naveed
A.
Pengantar
Kandungan Balaghah Ayat
Ayat
al-Qur'an yang agung ini, salah satu ayat yang ringkas namun penuh makna:
{وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي
الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ}
“Dan dalam qishâsh itu ada
(jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu
bertakwa.” (QS.
Al-Baqarah [2]: 179)
Dalam ilmu balaghah, ia
termasuk al-îjâz bi al-qashr. Ini sebagaimana ditegaskan oleh ulama ahli
bahasa, Imam Abu Hilal al-‘Askari (w. 395 H)[1], dan disebutkan pula oleh
Imam al-Tsa’alabi (w. 429 H) dalam kitabnya, Al-I’jâz wa al-Îjâz.[2]
Yang dimaksud dengan al-îjâz
(الإيجاز), sebagaimana disebutkan dalam salah satu
referensi ilmu balaghah yaitu:
هو جمع المعاني
المتكاثرة تحت اللفظ القليل الوافي بالغرض مع الإبانة والإفصاح
“Bentuk ungkapan yang
mengumpulkan makna-makna yang berlimpah di bawah lafazh yang ringkas, padat
dengan suatu maksud disertai kejelasan dan ungkapan yang fasih.”
Seorang ahli sastra, Amru bin
Bahr Al-Jahizh (w. 255 H) pun menukil ayat di atas, lalu menguatkannya dengan menukil
perkataan sebagian hukama yang menuturkan:
«قتل البعض أحياء للجميع»
“Menghukum
mati sebagian, menjamin hidup bagi seluruhnya.”[3]
Yakni
menghukum mati orang yang semestinya dihukum dengan sanksi tersebut dalam
pandangan syari’at. Dan ia, menurut Imam Abu Hilal al-Askari, sesuai dengan
perkataan arab:
«القتل أنفى للقتل»
”Pembunuhan
berkonsekuensi pada hukuman mati.”[4]
Namun
ungkapan ayat agung di atas jauh lebih indah, agung daripada perkataan orang
arab ini, hal itu tergambar dalam ungkapan Imam Abu Hilal[5]:
فصار لفظ القرآن
فوق هذا القول لزيادته عليه فى الفائدة، وهو إبانة العدل لذكر القصاص وإظهار الغرض
المرغوب عنه فيه لذكر الحياة، واستدعاء الرّغبة والرّهبة لحكم الله به ولإيجازه فى
العبارة. فإنّ الذى هو نظير قولهم: «القتل أنفى للقتل» إنما هو: «القصاص حياة» وهذا
أقلّ حروفا من ذاك، ولبعده من الكلفة بالتكرير، وهو قولهم: «القتل أنفى للقتل» . ولفظ
القرآن برىء من ذلك، وبحسن التأليف وشدة التلاؤم المدرك بالحسّ؛ لأنّ الخروج من الفاء
إلى اللام أعدل من الخروج من اللام إلى الهمزة.
Yang intinya menegaskan bahwa
ungkapan ayat al-Qur’an di atas lebih kuat faidahnya, menunjukkan perhatian
pada aspek keadilan dengan penyebutan ungkapan al-qishâsh, menunjukkan maksud
yang disukai dalam ungkapan al-hayât. Di sisi
lain, ayat di atas lebih singkat hurufnya namun lebih kuat dan mendalam
maknanya dan lebih indah ungkapannya.
Dalam
bahasa kita yakni nyawa dibalas nyawa atau dalam bahasa daerah yakni pati
dibalas pati.
B.
Penegakkan
Hukum Qishash (Syari’at Islam) & Karakter Agung Ulul Albâb
Di sisi
lain, pengaitan ayat ini dengan frase ulul albâb, menunjukkan
karakteristik golongan tersebut. Dan menegakkan hukum (syari’at) Allah
merupakan salah satu karakteristik manusia terdidik atau berakal (ulul albâb),
hal itu diisyaratkan Allah ’Azza wa Jalla dalam ayat di atas.
Menafsirkan
ayat yang agung ini, Al-Hafizh Abu Ja’far ath-Thabari pun menjelaskan:
“Dan bagimu wahai orang-orang yang berakal (ada jaminan
kehidupan-pen.) dalam apa yang Aku fardhukan kepada kalian dan Aku wajibkan
kepada sebagian dari kalian atas sebagian yang lainnya, yakni hukum qishâsh
atas jiwa, luka dan asy-syajâj, yakni apa-apa yang dengannya menghalangi
sebagian dari kalian atas perbuatan membunuh dan mencegah (kezhaliman-pen.)
sebagian kalian atas sebagian lainnya, maka terjamin keberlangsungan hidup
kalian dengan hal tersebut, maka dalam keputusan hukum-Ku terdapat kehidupan
bagi kalian.”[6]
Syaikhul Ushul ’Atha bin Khalil ketika menafsirkan ayat
di atas menjelaskan bahwa yang menyadari keagungan hidup yang dihasilkan oleh
hukum qishash adalah golongan ulul albâb, yakni orang-orang berakal yang
berpikir dan mentadaburi ayat-ayat Allah, maka Allah mengkhususkan mereka dalam
seruan, dan mereka adalah ahlinya memahami maknanya.[7]
Hal serupa ditegaskan oleh beliau ketika menafsirkan QS.
Al-Baqarah [2]: 197, Syaikhul Ushul ’Atha bin Khalil Abu ar-Rasythah
menjelaskan bahwa Allah mengarahkan seruan kepada golongan ulul albâb
karena mereka adalah golongan yang memahami kebaikan dan keburukan, rahmat
Allah dari siksa-Nya, dan memahami apa-apa yang bermanfaat bagi kehidupan
mereka dan apa-apa yang membahayakan, dan oleh karena itulah mereka menjauhi
kemaksiatan kepada Allah, serta mendekatkan diri kepada-Nya dengan
keta’atan-keta’atan sehingga jadilah mereka menjadi golongan yang bertakwa.[8]
Dimana seluruh penjelasan itu menunjukkan keutamaan
golongan ulul albâb. Imam
Ar-Raghib al-Ashfahani pun menjelaskan bahwa Allah menyematkan hukum-hukum yang
tidak akan dipahami kecuali oleh akal-akal yang lurus yang disebut ulul
albâb.[9] Dan
berakal menjadi salah satu poin dalam taklif syari’at, Rasulullah –shallallâhu
’alayhi wa sallam- bersabda:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاثٍ، عَنِ الْمَجْنُونِ الْمَغْلُوبِ عَلَى
عَقْلِهِ، وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى
يَحْتَلِمَ
“Diangkat pena (penghisaban-pen.) dari tiga hal: dari
orang yang gila kehilangan akalnya, dan dari orang yang tidur hingga ia bangun
dari tidurnya, dan dari seorang anak hingga ia bermimpi (mimpi
basah-pen.).” (HR. Al-Hakim[10], Ibn
Hibban, Khuzaimah, Ahmad, at-Tirmidzi dan lainnya[11])
Akal yang difungsikan dengan benar pun adalah potensi
utama kehidupan (thâqah hayawiyyah) yang membedakan manusia dengan
binatang. Lalu bagaimana mungkin mereka yang berakal tidak mau tunduk dan patuh
pada syari’at Allah?! Bukankah Allah sudah mengumpamakan orang yang ingkar
bagaikan binatang ternak bahkan lebih sesat?!
{وَلَقَدْ ذَرَأْنَا
لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا
يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ
بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ}
“Dan Sesungguhnya Kami
jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka
mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah)
dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat
(tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu bagaikan binatang
ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’râf [7]: 179)
أَرَأَيْتَ مَنِ
اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا {٤٣} أَمْ تَحْسَبُ
أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ ۚ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ ۖ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا {٤٤}
“Terangkanlah kepadaku
tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka Apakah kamu
dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau Apakah kamu mengira bahwa kebanyakan
mereka itu mendengar atau memahami. mereka itu tidak lain, hanyalah seperti
binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak
itu).” (QS. Al-Furqân [25]: 43-44)
Maka sudah jelas bahwa golongan ulul albâb, adalah
golongan yang memahami hukum Allah dan menegakkannya dalam kehidupan. []
[1] Abu Hilal al-Hasan bin
Abdullah al-Askari, Al-Shinâ’atayn, Ed: Ali Mahmud dkk, Beirut:
al-Maktabah al-‘Unshuriyyah, 1419 H, hlm. 175.
[2] Abdul Malik bin Muhammad
Abu Manshur al-Tsa’alabi, Al-I’jâz wa al-Îjâz, Kairo: Maktabat al-Qur’ân,
hlm. 17.
[3] Amru bin Bahr al-Kannani
al-Jahizh, Al-Bayân wa al-Tabyiin, Beirut: Dâr wa Maktabat al-Hilâl,
1423 H, juz II, hlm. 216. Sya’ir ini pun dinukil al-Jahizh dalam sejumlah
kitabnya, al-Hayawân dan al-Rasâ’il al-Siyâsiyyah.
[4] Abu Hilal al-Hasan bin
Abdullah al-Askari, Al-Shinâ’atayn, hlm. 175.
[5] Ibid.
[6] Muhammad bin Jarîr bin Yazîd bin Katsîr Abu
Ja’far ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, Beirut:
Mu’assasatur Risâlah, Cet. I, 1420 H, jilid III, hlm. 381.
[7] ‘Atha bin Khalil Abu ar-Rasythah, At-Taysîr fî Ushûl
at-Tafsîr: Sûratul Baqarah, Beirut: Dâr al-Ummah, Cet. II, 2006, hlm. 208
[8] Ibid, hlm. 249.
[9] Abu al-Qâsim al-Husain bin Muhammad al-Râghib al-Ashfahani, Al-Mufradât
fî Gharîb al-Qur’ân, Maktabah Nazâr Mushthafa al-Bâz, Kitâb (اللام),
juz. II, hlm. 575.
[10] Al-Hakim, Al-Mustadrak ‘alâ al-Shahîhayn, No. 894, hlm. 364. Al-Hakim
menuturkan bahwa hadits ini shahih memenuhi syarat Al-Bukhari dan Muslim, meski
keduanya tidak meriwayatkan hadits ini.
[11] Lihat: Khuzaimah dalam Shahîh-nya, Ibn
Hibban dalam Shahîh-nya, at-Tirmidzi dalam Jâmi’-nya, dan
lainnya.
Comments
Post a Comment