Tuesday, 24 May 2016 14:32
Mediaumat.com - Dijadikannya Denpasar sebagai peraih
predikat kota paling Islami oleh kelompok liberal menurut aktivis Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI) Irvan Abu Naveed jelas cacat dari asasnya.
“Jelas cacat dari asasnya, yakni cacat metodologinya
karena mendasarkan pada tolak ukur umum, materi semata, tidak berdasarkan asas
Islam itu sendiri, kan aneh jika penilaian menggunakan kata "Islami"
tapi tolak ukurnya sendiri tidak berdasarkan sudut pandangan akidah dan
syari'at Islam!” tegasnya kepada mediaumat.com, Senin (23/5) melalui surat
elektronik.
Daging babi yang jelas-jelas diharamkan dalam ajaran
Islam, di Denpasar menjadi pangan yang disyi’arkan bebas, wisata syariah
ditolak dan lain sebagainya.
“Bahkan tak perlu jauh-jauh mengukurnya, lihat saja bandaranya,
antum yang punya ghirah Islam kuat sepertinya akan sesak menyaksikan banyaknya
syi'ar-syi'ar kemusyrikan: patung sesembahan kaum musyrikin, jimat janur kuning
dan kain catur yang dipajang di tiang-tiang, dan lain sebagainya berada di
tempat publik yang semestinya bersih dari itu semua!” tegasnya.
Irvan juga mengutip Al-Qur’an untuk menjelaskan siapa
yang berhak mendapatkan keamanan dalam kota yang islami. “Orang-orang yang
beriman dan tidak mencampuradukkan keimanan mereka dengan kezaliman (syirik),
mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang
mendapat petunjuk,” tegasnya mengutip terjemah Surat Al-An’am Ayat 82.
Kota Islami juga ditunjukkan oleh Khilafah Rasyidah. Di
era Khalifah ’Umar bin al-Khaththab ra., sebagaimana disebutkan oleh al-Hafizh
al-Suyuthi, memberikan syarat kepada mereka –kafir ahludz dzimmah- untuk tidak
menampakkan syi’ar perayaan-perayaan agama mereka di negeri-negeri kaum
Muslimin.
“Inilah ironi di negeri mayoritas negeri kaum Muslimin!
Kita butuh Khilafah untuk membersihkan negeri ini dari syi'ar-syi'ar jahiliyyah
di ruang-ruang publik!” tegas Irvan.
Dan jika diperhatikan seksama, maka perkaranya semakin
terang benerang bahwa di balik isu ini.
“Jelas adanya upaya stigmatisasi negatif terhadap syariat
Islam itu sendiri, menggiring opini kepada keyakinan tidak perlunya penerapan
syariat Islam, cukup simbol nilai semata,” pungkasnya.[] Joko Prasetyo
Berita: Link
Comments
Post a Comment