Kritik Metodologis & Ideologis
A. Pengantar
Di antara
tantangan yang dihadapi umat Islam kini adalah beragam kekufuran dan
penyimpangan dari ajaran Islam yang dikamuflasekan dalam wujud rupa kebaikan
sehingga menjadi tipu daya, dan kondisinya kian memperihatinkan ketika
syi’ar-syi’ar dari kekufuran dan penyimpangan tersebut dalam kehidupan yang
rusak di bawah naungan sistem Demokrasi, bisa tersiar di tengah-tengah kaum
muslimin. Itu semua, sebenarnya bagian dari visi misi Iblis dan bala
tentaranya, syaithan golongan jin dan manusia yang berjanji menghiasi keburukan
dengan wajah kebaikan dan menyesatkan manusia dari jalan kebenaran, sebagaimana
diinformasikan dalam ayat:
{قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي
لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ}
“Iblis berkata: "Ya Rabb-ku, oleh
sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka
memandang baik (perbuatan ma'siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan
mereka semuanya.” (QS. Al-Hijr [15]: 39)
Allah
menginformasikan dalam ayat ini bahwa Iblis mengungkapkan berbagai pernyataan
visi misi jahatnya dengan kata-kata yang diperkuat, yakni menggunakan
lâm al-ibtidâ’ dan nûn al-tawkîd al-tsaqîlah (لام الابتداء ونون التوكيد), dalam kata lauzayyinanna dan laughwiyanna. Fungsi penegasan-penegasan
ini memberi arti sangat serius dan menuntut keseriusan, dimana dalam ilmu
balaghah dua bentuk penegasan ini menafikan adanya keraguan dan pengingkaran
atas kebenaran informasi di dalamnya.[2] Artinya jelas mengandung ancaman yang nyata.
Al-Hafizh Ibn al-Jawzi –rahimahullâh- menegaskan: “Maka wajib bagi
orang yang berakal untuk mawas diri terhadap musuh yang satu ini (Iblis,
syaithan-pen.) yang telah menyatakan permusuhannya semenjak masa Adam a.s. dan
ia bersungguh-sungguh mengerahkan segenap waktunya, jiwanya untuk merusak Bani
Adam dan Allah telah memperingatkan kita darinya.”[3]
Dan kata kerja (زَيَّنَ),
sebagaimana dijelaskan oleh Imam al-Raghib al-Ashfahani (w. 502 H) bermakna
jika menampakkan kebaikannya, baik dalam bentuk perbuatan maupun perkataan[4], jika keburukan maka
kebaikan yang ditampakkan tersebut merupakan kedustaan yang bisa mengelabui
mereka yang lalai. Dan ketika kedustaan tersebut diyakini, maka jadilah ia
khurafat yang berbahaya yang bisa menjerumuskan seseorang kepada kesesatan. Dan
salah satu khurafat yang disebarkan kaum liberal baru-baru ini adalah penyematan
Kota Denpasar sebagai kota paling islami, sedangkan Makassar pada indeks
terbawah. Bagaimana menakar hal tersebut dengan sudut pandang Islam?
B. Ma’arif Institute: Denpasar Kota Islami
Dalam laman resmi Ma’arif Institute (MI) dirilis
pemberitaan berbahasa Inggris mengenai hasil penelitian IKI (Indeks Kota
Islami). Penelitian tersebut diklaim oleh Direktur Penelitian MI, Ahmad Imam
Mujadid Rais, dalam presentasinya di Hotel Alia Cikini, Jakarta Pusat
(17/5/2016) dilakukan selama satu tahun dan mengambil sampel sebanyak 29 kota
di Indonesia.[5] Dalam
pemberitaan Republika disebutkan bahwa penelitian dilakukan pada awal Januari
2014 hingga Maret 2016.
Disebutkan,
“All 29 cities sampled secure variables assessed through a city, things to
note are the freedom of religion and belief, legal protection, kepemimpiman and
fulfillment of women’s political rights, the rights of children and the
handicapped.”[6] Yakni bahwa yang
menjadi poin penilaian di antaranya adalah mengenai kebebasan beragama dan
berkeyakinan, perlindungan hukum, kepemimpinan dan pemenuhan hak-hak politik
kaum wanita, hak-hak anak dan kaum yang berkebutuhan khusus. Dan dari hasil penelitian tersebut, disimpulkan bahwa
Denpasar termasuk jajaran kota paling Islami dengan hasil poin 80.64 sejajar
dengan Yogyakarta dan Bandung, meski kota Denpasar dihuni oleh mayoritas
penduduk beragama Hindu dengan tolak ukur dan indikator:
Pertama, Tingkat Keamanan.
Kota aman diukur dari indikator kebebasan beragama dan
berkeyakinan, perlindungan hukum, kepemimpinan, pemenuhan hak politik
perempuan, hak anak, dan hak difabel.
Kedua, Tingkat Kesejahteraan.
Indikator sejahtera diukur dari pendidikan, pekerjaan, pendapatan
dan kesehatan.
Ketiga, Tingkat Kebahagiaan Warga.
Tolak ukur bahagia diukur dari indikator berbagi dan
kesetiakawanan serta harmoni dengan alam.
Sementara itu, kota yang paling rendah nilai indeks kota
Islaminya adalah Makassar dengan skor 51,28 disusul Padang sebagai kota
peringkat kedua terendah yaitu 58,37. Selengkapnya berdasarkan informasi dari twitter
MI[7]
C. Kritik Metodologis
Salah satu elemen penting dalam
pengujian atas suatu hasil penelitian adalah menguji metodologi penelitian
tersebut. Validitas dari metodologi ini menjadi ukuran valid tidaknya hasil
penelitian tersebut. Dan jika ditelusuri hasil penelitian ini menunjukkan hasil
yang ganjil, ketika suatu Kota yang sarat dengan hal-hal yang bertentangan
dengan akidah dan syari’at Islam justru dinilai paling Islami. Maka yang perlu
dikritisi secara asasi adalah metodologi penelitian tersebut. Dengan sudut
pandang sebagai berikut:
Pertama, Menakar
Paradigma Kata ”Islami”
Kata islami (Islam
ditambah akhiran i) maknanya adalah sifat dari kata Islam, yakni bersifat
Islam. Dalam bahasa arab diungkapkan dengan istilah ” الإسلامي” untuk menyifati kata benda mudzakkar atau ”
الإسلامية”
untuk menyifati kata benda mu’annats. Dimana bentuk kata sifat ini tak
bisa dipisahkan dari asal katanya, yakni Islam itu sendiri, misalnya tolak ukur
Islam dalam istilah al-Dawlah al-Islâmiyyah, atau al-nafsiyyah al-Islâmiyyah.
Dan siapapun yang benar-benar mempelajari ilmu bahasa mudah memahami poin
prinsipil ini. Sehingga penilaian Islami tidaknya suatu kota jelas tidak bisa
dipisahkan dari paradigma Islam itu sendiri. Sedangkan Islam itu sendiri adalah
Din (manhaj al-hayât). Allah ’Azza wa
Jalla berfirman:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلامُ
“Sesungguhnya agama di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Al-Mâ’idah
[5]: 3)
Allah menyebut Islam sebagai dîn dan menegaskan bahwa dînuLlâh itu
satu, dan ia adalah Islam yang Allah sifati dalam ayat di atas.[8]
Dimana
konsekuensi kedudukan Islam sebagai dîn ini, tergambar dalam
pengertian Islam[9] sebagai berikut:
الإسلام هو الدين الذي أنزله الله
على سيدنا محمد -صلى الله عليه وسلم- بتنظيم علاقة الإنسان بخالقه، وبنفسه، وبغيره
من بني الإنسان
“Al-Islam adalah din yang Allah turunkan kepada sayyidinaa Muhammad
S.A.W untuk mengatur hubungan manusia dengan Penciptanya, dengan dirinya
sendiri dan dengan sesamanya.”[10]
Pengertian
Islam sebagai dîn di atas, memperjelas kedudukan Islam sebagai ideologi,
worldview yang khas mengatur segala aspek kehidupan manusia dengan
al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai dua pedoman utamanya. Artinya logika mendasar
dalam penelitian yang menggunakan kata Islami sebagai penilaiannya mesti
didasarkan pada tolak ukur penerapan Islam itu sendiri, sejauh mana penerapan
akidah dan syari’ah dalam kehidupan atau dengan kata lain kesesuaian kehidupan dengan
penegakkan ajaran-ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah. Dimana antara akidah dan penerapan syari’ah tidak bisa dipisahkan (lihat
petunjuk dalam QS. Al-‘Ashr). Sebelumnya, Ketua Dewan Pertimbangan (Wantim)
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin menilai keislaman sebuah kota
harusnya dilihat dari penerapan nilai-nilai Islam dalam kehidupan masyarakat.
Lebih jauh, penerapan nilai-nilai islami juga harus dijabarkan dalam hubungan
antar rakyat dan pemimpin. “Penilaian itu kan relatif. Jika orang lain
mengadakan penelitian mungkin akan lain lagi hasilnya,” ujar Din di kantor
pusat MUI, Rabu (18/5).[11]
Jika tolak
ukurnya bertentangan dengan poin prinsipil di atas, maka jelas cacat dari
asasnya, yakni cacat metodologinya. Dan itulah yang kita dapati dari penelitian
IKI Ma’arif Institute ini, karena mendasarkan pada tolak ukur keamanan,
kesejahteraan dan kebahagiaan warga yang bersifat materialistik semata, dengan
paradigma liberalistik, bukan didasarkan pada paradigma Islam, yakni bukan
makna hakiki keamanan, kesejahteraan dan kebahagian dalam sudut pandang Islam. Tentu
mengherankan jika penilaian menggunakan kata "Islami" tapi tolak
ukurnya sendiri bertentangan dengan sudut pandang akidah dan syari'at Islam!
Kecacatan tersebut
sangat jelas ketika "penelitian" ini menjadikan Kota Denpasar yang dihuni
mayoritas kaum musyrikin, dimana di dalamnya daging babi dijadikan pangan
disyi'arkan bebas, "wisata syari'ah” ditolak, kehidupan bercorak liberal
dengan dunia pariwisatanya yang dikenal dengan aurat terbuka bebas dinilai
sebagai kota paling Islami. Bahkan tak perlu jauh-jauh menilai hingga ke
pelosok daerahnya, pertama kali menjambangi kota ini saja, di bandara kita akan
disambut dengan banyaknya syi'ar-syi'ar kesyirikan khas agama Hindu: patung
sesembahan kaum musyrikin, jimat janur kuning dan kain catur yang dipajang di
tiang-tiang penyangga bangunan, berada di tempat publik yang semestinya bersih
dari itu semua.
Padahal Khalifah ’Umar bin al-Khaththab r.a., sebagaimana
disebutkan oleh al-Hafizh al-Suyuthi, memberikan syarat kepada mereka –kafir
ahludz dzimmah- untuk tidak menampakkan syi’ar perayaan-perayaan agama mereka
di negeri-negeri kaum muslimin.[12] Realitas ini merupakan
ironi di negeri mayoritas negeri kaum muslimin, yang semakin menunjukkan
pentingnya tegaknya Khilafah untuk membersihkan negeri ini dari syi'ar-syi'ar
jahiliyyah di ruang-ruang publik.
Kedua, Paradigma Islam
Dalam paradigma
Islam, ketiga tolak ukur yang digunakan oleh MI harus dipahami dengan benar
sebagai berikut:
a.
Tingkat Keamanan
Allah 'Azza wa Jalla menegaskan standarisasi ukuran
keamanan dengan indikator keimanan dan menafikan kesyirikan di dalamnya:
الَّذِينَ آمَنُواْ وَلَمْ يَلْبِسُواْ إِيمَانَهُم بِظُلْمٍ
أُوْلَـئِكَ لَهُمُ الأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ
”Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan
keimanan mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan
dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’ām [6] : 82)
Sedangkan kesyirikan
adalah kezhaliman terbesar. Lihat: QS. Luqmân [31]: 13. Al-’Alim Syaikhul Ushul
’Atha bin Khalil –hafizhahullâh- menjelaskan bahwa kesyirikan yakni
menempatkan makhluk pada kedudukan Sang Pencipta, yakni menempatkan makhluk
tidak pada tempatnya dan siapa saja yang meletakkan sesuatu tidak pada
tempatnya telah berbuat zhalim.[13] Dan mereka yang berbuat
kezhaliman berbuat kesyirikan hakikatnya tidak mendapat keamanan hakiki
selama-lamanya. Lalu bagaimana mungkin suatu kota yang mayoritas dihuni oleh
kaum musyrikin, dimana syi’ar-syi’ar kesyirikan mereka tampakkan secara nyata
di ruang-ruang publik sebagai kota paling Islami?! Maka paradigma apa yang
dijadikan standar ukuran keamanan tersebut kalau bukan paradigma liberal yang
bercorak materialistik?!
b.
Tingkat Kesejahteraan & Kebahagiaan Warga
Kesejahteraan hakiki dan
kebahagian sejati bagi seorang muslim dalam Islam adalah meraih keridhaan Allah
dalam kehidupan dunia dengan menegakkan ajaran Ilam dalam kehidupan: akidah
maupun syari’ah, dimana kelak di akhirat mereka akan diganjar dengan kebaikan
abadi di jannah-Nya. Hal itu sejalan dengan isyarat dalam ayat-ayat
al-Qur’an:
وَعَدَ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَمَسَاكِنَ طَيِّبَةً
فِي جَنَّاتِ عَدْنٍ ۚ وَرِضْوَانٌ مِنَ اللَّهِ أَكْبَرُ ۚ
ذَٰلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Allah menjanjikan
kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang
dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat)
tempat-tempat yang bagus di surga 'Adn. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah
keberuntungan yang besar.” (QS. Al-Tawbah [9]: 72)
Dimana keridhaan Allah
terwujud dengan menunaikan ajaran Allah dan Rasul-Nya yang menjamin kehidupan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah
seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang
memberi kehidupan kepada kamu.” (QS. Al-Anfâl [8]: 24)
Menurut al-Hafizh Ibnu Jarir
al-Thabari (w. 310 H), para ulama berselisih pendapat dalam menakwilkan kalimat (إذا
دعاكم لما يحييكم),
al-Saddiy menyebutkan yakni kepada al-Islam, Imam Mujahid menyebutkan yakni
kepada
kebenaran, ada pula yang menakwilkan yakni kepada al-Qur’an, sebagaimana
perkataan Imam Qatadah yang mengungkapkan:
هو هذا القرآن، فيه الحياة والثقة
والنجاة والعصمة في الدنيا والآخرة
“Yakni al-Qur’an
ini, di dalamnya terdapat kehidupan, keyakinan,
keberhasilan dan keterjagaan di dunia dan akhirat.”[14]
Jelas bahwa dengan menerapkan ajaran
Allah dan Rasul-Nya, ia merupakan sebab adanya keridhaan Allah, dan itu
merupakan sebab meraih kebahagiaan hakiki.
D. Kritik Ideologis
Terlepas
apa motif di balik penelitian tersebut, kita patut mengevaluasi penelitian ini
yang menggunakan penilaian “Islami” tapi tidak berpijak pada tolak ukur dan
standar nilai Islam itu sendiri, bahkan kesimpulannya diarahkan berkorelasi
negatif dengan penerapan syari’at Islam itu sendiri, yang memperjelas bahwa
tolak ukurnya bukan paradigma Islam itu sendiri, melainkan paradigma moderat
(baca: liberal). Duduk
persoalannya menjadi jelas dengan kesimpulan hasil menjadikan Denpasar sebagai
kota paling Islami dan adanya kritik terhadap formalisasi syari’at Islam dalam
kehidupan bernegara.
Disimpulkan bahwa kota yang telah menerapkan peraturan
daerah syari’ah (Perda Syari’ah) justru mendapatkan skor terendah sebagai kota
Islami. Bahkan tidak masuk dalam peringkat 10 besar. ”Pembentukan regulasi
berbasis syari’ah di beberapa kota tidak menjamin kota tersebut lebih tinggi
tingkat ke-Islamannya dibandingkan yang tidak menerapkan,” kata Rais (17/5).
Kaum muslimin harus senantiasa waspada terhadap
upaya-upaya stigma negatif terhadap penegakkan syari’at Islam dalam kehidupan
bernegara, mengingat Islam itu sendiri merupakan dîn yang mengatur
segala aspek kehidupan manusia, wajib ditegakan totalitas dalam kehidupan. Dan
jika kita perhatikan seksama, maka perkaranya semakin jelas bahwa isu ini
menggiring opini publik kepada keyakinan tidak perlunya penerapan syari'at
Islam, cukup simbol nilai semata, yakni nilai-nilai yang pada akhirnya pun
direduksi pada paradigma materialitik Barat. Yakni liberalisasi pemikiran yang merusak standar nilai dan pemahaman
seseorang. Liberalisme itu sendiri merupakan
paradigma khas peradaban Barat dalam kehidupan atau dalam istilah lainnya yakni
the system of thought[15],
sebagaimana ditegaskan Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, liberalisme merupakan sistem,
pandangan hidup atau ideologi Barat, maka Islam bagi Barat merupakan tantangan
bagi liberalisme. Sudah tentu sebaliknya liberalisme juga merupakan tantangan
bagi Islam.[16]
Pengaruhnya di dunia Islam bagaikan racun ular berbisa yang mengalir dalam darah dan cepat merusak tubuh manusia
hingga menyebabkan kematian atau kelumpuhannya, hilanglah kemuliaannya,
sirnalah kekuatannya. Padahal kekuatan dan kelemahan tubuh sangat dipengaruhi
oleh darahnya. Jika darahnya bersih, tubuh akan menjadi sehat. Sebaliknya jika
darahnya kotor, atau tidak sesuai, tubuh itu akan mengalami gangguan dan
menyebabkan sakit, demikian juga umat, Jika pemikiran ideologinya kotor atau
pun hilang, umat ini akan menjadi lemah dan tidak berdaya.[17]
Maka mesti ada upaya serius untuk membina umat ini,
menanamkan pemikiran Islam yang mustanir dan menjaganya dari berbagai bentuk
pemikiran liberal.
Dan tak berhenti di sana, sesungguhnya tersebarnya
pemikiran liberal dan sepak terjang kaum liberal di negeri ini merupakan buah
dari tegaknya sistem jahiliyyah Demokrasi dengan prinsip kebebasan yang
menyuburkannya. Maka semakin menunjukkan pentingnya mengupayakan tegaknya
syari’at Islam kâffah dengan thariqah menegakkan al-Khilafah ’ala Minhaj
al-Nubuwwah, membai’at khalifah untuk menjalankan fungsi ri’âyah (pengaturan
urusan umat) dengan hukum syari’ah kâffah, dan menegakkan fungsi junnah
sebagaimana sabda yang mulia Rasulullah –shallallâhu ’alayhi wa sallam-:
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ
وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِه
“Sesungguhnya
al-imam (khalifah) itu perisai, dimana (orang-orang) akan berperang
mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Muttafaqun
’Alayh) []
[1] Lulusan Pascasarjana Pendidikan & Pemikiran
Islam UIKA Bogor.
[2] Tim Pakar, Al-Balâghah
wa al-Naqd, Riyâdh: Jâmi’atul Imâm Muhammad bin Su’ud al-Islâmiyyah, Cet.
II, 1425 H, hlm. 38-39.
[3] Al-Hafizh Ibn Al-Jawzi,
Talbîs Iblîs, Dâr al-Wathan, jilid I, hlm. 203-204.
[4] Abu al-Qasim al-Husain
bin Muhammad al-Raghib al-Ashfahani, Al-Mufradât fii Ghariib al-Qur’ân, Ed:
Shafwan Adnan, Damaskus: Dâr al-Qalam, cet. I, 1412 H, hlm. 389.
[6] Ibid.
[8] Al-Husain bin al-Hasan
Abu Abdullah al-Halimi, Al-Minhâj fii Sya’b al-Îmân, Ed: Hilmi Muhammad,
Daar al-Fikr, cet. I, 1399 H/1979, juz I, hlm. 86.
[9] Definisi itu sendiri
merupakan deskripsi realitas yang bersifat Jâmi’ (komprehensif) dan Mâni’
(protektif). Artinya, definisi itu harus menyeluruh meliputi seluruh aspek yang
dideskripsikan, dan memproteksi sifat-sifat di luar substansi yang
dideskripsikan. Inilah gambaran mengenai definisi yang benar.
[10] Taqiyuddin bin Ibrahim
Al-Nabhani, Nizhâm Al-Islâm, Beirut: Daar al-Ummah, cet. VII, hlm. 34.
[11] Lihat:
muslimbandung.id, 26/05/2016.
[12]
’Abdurrahman bin Abi Bakr Jalaluddin al-Suyuthi, Haqîqat al-Sunnah wa
al-Bid’ah: al-Amr bi al-Ittibâ’ wa al-Nahy ’an al-Ibtidâ’, Mathâbi’
al-Rasyîd, 1409 H, hlm. 125.
[13] ‘Atha’
bin Khalil Abu al-Rasytah, Al-Taysîr fî Ushûl Al-Tafsîr (Sûrah Al-Baqarah),
Beirut: Dar al-Ummah, cet. II, 1427 H, hlm. 70.
[14] Muhammad
bin Jarir Abu Ja’far al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, Beirut:
Mu’assasat al-Risâlah, cet. I, 1420 H, juz XIII, hlm. 463-464.
[15] Eamonn Butler, Classical Liberalism: A
Primer, London: The Institute of Economic Affairs, 2015 (xiii).
[16] Hamid Fahmy Zarkasyi,
“Liberalisasi Pemikiran Islam: Gerakan Bersama Missionari, Orientalis, dan
Kolonialis”, Jurnal Tsaqafah, Vol. V (No. 1), Jumadal Ula 1430 H, hlm.
10.
[17] Muhammad Maghfur W, Koreksi
atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam, Bangil: Al-Izzah, cet.
I, 2002, hlm. 2.
Comments
Post a Comment