
Oleh: Irfan Abu Naveed
Soal:
Berkaitan dengan hadits:
“Barangsiapa melakukan hubungan suami istri di malam Jumat (kamis
malam) maka pahalanya sama dengan membunuh 100 Yahudi.”
Dalam hadits yang lain ada disebutkan sama dengan membunuh 1000, ada
juga yang menyebut 7000 Yahudi.
Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Ya’qub dikatakan: “Hadits di atas tidak akan
ditemukan dalam kitab manapun, baik kumpulan hadits dhaif (lemah rujukan
kebenarannya) apalagi shahih (kuat rujukan kebenarannya). Kalimat tersebut
tidak mempunyai sanad / bersambung ke sahabat, apalagi ke Rasulullah sallallahu
‘alaihi wa sallam. Yang akhirnya pada satu kesimpulan bahwa hadits “Sunnah
Rasul” di atas adalah sama sekali bukan hadits, itu hadits PALSU yang telah
dikarang oleh orang iseng, orang tidak jelas, dan tidak bertanggung-jawab yang
mengatasnamakan Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Sebagaimana disebutkan dalam website ini: Kabar Muslimah
Catatan Saya:
Pertama, Mengenai “Sunnah Malam Jum’at” jika
didasarkan pada dalil hadits tersebut maka memang tidak tepat, dalam konteks
menjadikan hadits palsu tersebut sebagai dalil. karena hadits tsb sebagaimana
disebutkan di atas termasuk hadits palsu (mawdhû’), tidak ditemukan
asal-usulnya.
Apa pengertian hadits palsu? Hadits palsu adalah hadits yang sengaja diciptakan dan dibuat-buat (al-mukhtalaq al-mashnû’) yang dinisbatkan kepada Rasulullah –shallallâhu ‘alayhi wa sallam-. (Dr. Mahmud Thahhan, Taysîr Musthalah al-Hadîts, Riyadh: Maktabat al-Ma’ârif, hlm 89)
Artinya, pembuat hadits maudhu` sengaja membuat dan mengadakan-adakan hadits yang sebenarnya tidak ada.
Bagaimana hukum berdalil dengan hadits palsu? Kita tidak boleh menisbatkan hadits yang dibuat-buat (palsu) kepada Rasulullah –shallallâhu ‘alayhi wa sallam- berdasarkan dalil hadits shahih:
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ
مُتَعَمِّدًا، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa berdusta atas namaku secara sengaja, maka siap-siaplah
menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Al-Bukhari & Muslim).
Menjelaskan hadits ini, Al-Hafizh al-Nawawi (w. 676 H) menegaskan:
يَحْرُمُ
رِوَايَةُ الْحَدِيثِ الْمَوْضُوعِ عَلَى مَنْ عَرَفَ كَوْنَهُ مَوْضُوعًا أَوْ غَلَبَ
عَلَى ظَنِّهِ وَضْعُهُ فَمَنْ رَوَى حَدِيثًا عَلِمَ أَوْ ظَنَّ وَضْعَهُ وَلَمْ يُبَيِّنْ
حَالَ رِوَايَتِهِ وَضْعَهُ فَهُوَ دَاخِلٌ فِي هَذَا الْوَعِيدِ مُنْدَرِجٌ فِي جُمْلَةِ
الْكَاذِبِينَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Haram hukumnya meriwayatkan
hadits palsu bagi siapa saja yang mengetahui kepalsuannya atau menduga kuat
atas kepalsuannya, maka siapa saja yang meriwayatkan suatu hadits dan ia telah
mengetahui atau menduga kuat kepalsuannya namun ia tidak menjelaskan status
kepalsuannya tersebut maka ia termasuk ke dalam kecaman termasuk golongan orang
yang berdusta atas Rasulullah –shallallâhu
‘alayhi wa sallam-.” (Abu Zakariya Yahya bin Syarf al-Nawawi, Al-Minhâj
Syarh Shahîh Muslim, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabi, cet. II, 1392,
juz I, hlm. 71)
Ini pula yang ditegaskan oleh Al-Qadhi al-‘Allamah Taqiyuddin al-Nabhani –rahimahullâh-, dalam penjelasannya:
الحديث
الموضوع هو المختلق المصنوع. والحديث المصنوع هو شر الأحاديث الضعيفة. ولا تحل روايته
لأحد علم حاله في أي معنى كان، إلا مقرونًا ببيان وضعه.
“Hadits mawdhu’ adalah hadits yang diciptakan dibuat-buat. Dan
hadits palsu adalah seburuk-buruknya hadits lemah. Maka tidak halal
meriwayatkannya bagi siapa saja yang mengetahui status kepalsuannya dalam
bentuk apapun, kecuali jika disertai penjelasan atas kepalsuannya.” (Al-Qadhi
Taqiyuddin al-Nabhani, Al-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, Beirut: Dâr
al-Ummah, cet. VI, 1424 H, juz I, hlm. 340)
Dan hadits ini, sebagaimana disebutkan Dr. Mahmud Thahhan, menjadi dalil
ijma’ (kesepakatan) para ulama bahwa siapapun yang mengetahui kepalsuannya
tidak boleh meriwayatkan hadits palsu kecuali untuk menjelaskan kepalsuannya.
(Dr. Mahmud Thahhan, Taysîr Musthalah al-Hadîts, hlm. 90)
Karena hadits ini jelas mengandung indikasi yang tegas (qarînah jâzimah) kecaman perbuatan berdusta atas nama Rasulullah –shallallâhu ‘alayhi wa sallam- dengan kecaman yang keras, sehingga jelas keharamannya.
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits lainnya, dalam riwayat Imam
al-Tirmidzi dalam Sunan-nya, dari Ibnu ‘Abbas r.a., Rasulullah –shallallâhu ‘alayhi wa sallam-
bersabda:
«اتَّقُوا الْحَدِيثَ عَنِّي إِلَّا
مَا عَلِمْتُمْ. فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ
النَّارِ»
“Perhatikanlah hadits dariku
kecuali apa yang kalian ketahui, barangsiapa yang berdusta atas namaku secara
sengaja maka siap-siaplah mengambil tempatnya di neraka.” (HR. Al-Tirmidzi dalam Sunan-nya no. 2951, ia berkata: ”Ini hadits
hasan”)
Makna hadits ini, menurut Al-Mulla ‘Ali al-Qari (w. 1041 H):
(اتَّقُوا الْحَدِيثَ) أَيِ: احْذَرُوا
رِوَايَتَهُ (عَنِّي) : وَالْمَعْنَى: لَا تُحَدِّثُوا عَنِّي (إِلَّا مَا عَلِمْتُمْ)
أَنَّهُ مِنْ حَدِيثِي
“(Perhatikanlah hadits)
yakni perhatikan periwayatannya (dariku) maknanya: janganlah kalian berkata-kata
tentang hadits dariku (kecuali apa-apa yang kalian ketahui) bahwa ia merupakan
haditsku.” (Al-Mulla ‘Ali al-Qari, Mirqât al-Mafâtîh,
Beirut: Dâr al-Fikr,
cet. I, 1422 H, juz I, hlm. 308)
Dikatakan bahwa hadits ini mengandung peringatan dan ancaman keras (al-Mulla ‘Ali al-Qari, Mirqât al-Mafâtîh, juz I, hlm. 309).
Kedua, Jika sudah jelas bahwa hadits tersebut hadits mawdhû’ (palsu) maka kita tidak boleh menjadikannya sebagai dalil hukum syara’, termasuk menjadikannya sebagai dalil anjuran kekhususan berhubungan suami istri di malam Jum’at.
Ketiga, Namun berkenaan dengan berhubungan suami istri pada malam Jum’at, maka ia termasuk dalam keumuman pahala berhubungan suami istri di malam-malam manapun yang dikehendaki selama tidak ada halangan syar’i atasnya (misalnya tidak sedang haidh atau nifas), tidak ditemukan dalil khusus keutamaan di malam Jum’at. Misalnya dalil umum sebagai berikut:
عَنْ أَبِى ذَرٍّ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ -صلى الله
عليه وسلم- قَالُوا لِلنَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- يَا رَسُولَ اللَّهِ ذَهَبَ
أَهْلُ الدُّثُورِ بِالأُجُورِ يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّى وَيَصُومُونَ كَمَا
نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ. قَالَ « أَوَلَيْسَ قَدْ
جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُونَ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً
وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ
صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْىٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ وَفِى
بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ ». قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأْتِى أَحَدُنَا
شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ « أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِى
حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِى
الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ
Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Sesungguhnya sebagian dari para sahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya lebih banyak mendapat
pahala, mereka mengerjakan shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa
sebagaimana kami berpuasa, dan mereka bershodaqoh dengan kelebihan harta
mereka”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukankah Allah telah
menjadikan bagi kamu sesuatu untuk bershodaqaoh? Sesungguhnya tiap-tiap tasbih
adalah shodaqoh, tiap-tiap tahmid adalah shodaqoh, tiap-tiap tahlil adalah
shodaqoh, menyuruh kepada kebaikan adalah shodaqoh, mencegah kemungkaran adalah
shodaqoh dan persetubuhan salah seorang di antara kamu (dengan istrinya) adalah
shodaqoh“. Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah (jika) salah seorang di
antara kami memenuhi syahwatnya, ia mendapat pahala?” Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab, “Tahukah engkau jika seseorang memenuhi syahwatnya
pada yang haram, dia berdosa. Demikian pula jika ia memenuhi syahwatnya itu
pada yang halal, ia mendapat pahala”. (HR. Muslim)
Namun ada hadits lainnya yang ditafsirkan sebagian ulama mendekati masalah ini, yakni menggauli istri pada hari Jum’at meski penafsiran seperti ini sebenarnya masih diperselisihkan, dari Aus bin Aus, bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
«مَنْ
غَسَّلَ وَاغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَبَكَّرَ وَابْتَكَرَ وَمَشَى وَلَمْ يَرْكَبْ
فَدَنَا مِنَ الإِمَامِ وَاسْتَمَعَ وَلَمْ يَلْغُ كَانَ لَهُ بِكُلِّ خَطْوَةٍ أَجْرُ
سَنَةٍ صِيَامِهَا وَقِيَامِهَ»
“Barangsiapa yang menyucikan dan mandi pada hari Jum’at, lalu ia
pergi di awal waktu, pergi berjalan kaki tidak berkendara, lalu ia mendekat
pada imam, menyimak khutbah dan tidak berbuat sia-sia, maka setiap langkah
kakinya terhitung seperti puasa dan shalat setahun.” (HR. Ahmad,
Syu’aib al-Arna’uth mengomentari: “Haditsnya shahih, para perawinya tsiqah”).
Imam Ibn Qayyim al-Jawziyyah
menjelaskan (w. 751 H):
وَقَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: غَسَّلَ، بِالتَّشْدِيدِ: جَامَعَ
أَهْلَهُ، وَكَذَلِكَ فَسَّرَهُ وَكِيعٌ
“Imam Ahmad berkata: gassala, dengan
ditasydid, yakni menjima’ istrinya, dan ini pula yang menjadi penafsiran Imam
Waki” (Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Zâd al-Ma’âd, Beirut: Mu’assasat al-Risâlah,
cet. Ke-27, 1415 H, juz I, hlm. 373).
Dan dalam hadits
riwayat Abu Dawud dari Abu Hurairah r.a. disebutkan:
«مَنِ
اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ الْجَنَابَةِ ، ثُمَّ رَاحَ ، فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ
بَدَنَةً ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ ، فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً
، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ ، فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ
، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ ، فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً ، وَمَنْ
رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ ، فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً ، فَإِذَا خَرَجَ
الإِمَامُ حَضَرَتِ الْمَلاَئِكَةُ يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ»
“Barangsiapa yang mandi pada hari Jum’at dengan
mandi junub kemudian dia pergi ke masjid pada awal waktu, maka dia mendapat
ganjaran seperti pahala berkurban satu ekor unta. Barangsiapa berangkat ke
masjid pada saat yang kedua, maka dia mendapat ganjaran seperti pahala
berkurban seekor sapi. Barangsiapa yang berangkat masjid pada saat yang ketiga,
maka dia mendapat ganjaran seperti pahala berkurban seekor kambing jantan.
Barangsiapa yang berangkat ke masjid pada saat yang keempat, maka dia mendapat
ganjaran seperti pahala berkurban seekor ayam. Dan barangsiapa yang berangkat
ke masjid pada saat yang kelima, maka dia mendapat ganjaran seperti berkurban
sebutir telur. Apabila imam telah datang (untuk menyampaikan khuthah) maka para
malaikat juga turut hadir untuk mendengarkan khutbah.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan
lainnya)
Penjelasan hadits di atas bisa dilihat
dalam kitab ’Awn al-Ma’bûd Syarh Sunan Abî Dâwud (juz II, hlm. 11):
وَاخْتَلَفُوا فِي مَعْنَى غُسْلِ الْجَنَابَةِ فَقَالَ قَوْمٌ
إِنَّهُ حَقِيقَةٌ حَتَّى يُسْتَحَبَّ أَنْ يُوَاقِعَ زَوْجَتَهُ لِيَكُونَ أَغَضَّ
لِبَصَرِهِ وَأَسْكَنَ لِنَفْسِهِ وَلْيَغْتَسِلْ فِيهِ مِنَ الْجَنَابَةِ… وقد حكاه
بن قُدَامَةَ عَنِ الْإِمَامِ أَحْمَدَ وَثَبَتَ أَيْضًا عَنْ جَمَاعَةٍ مِنَ التَّابِعِينَ
وَقَالَ الْقُرْطُبِيُّ إِنَّهُ أَنْسَبُ الْأَقْوَالِ
”Dan mereka (para ‘ulama) berbeda pendapat
tentang makna mandi junub (dalam hadits ini), maka satu golongan berpendapat bahwa
ia bermakna haqiqi, sehingga dianjurkan untuk menggauli istrinya (pada hari
Jum’at) agar menjadikan dirinya lebih mampu menjaga pandangan dan lebih
menentramkan hati (yakni saat berjalan ke masjid dan saat beribadah) dan kemudian
ia mandi junub karenanya… dan sesungguhnya Ibnu Qudamah menceritakan yang
demikian ini dari Imam Ahmad dan ditetapkan pula dari sekelompok tabi’in, Imam
al-Qurthubi pun mengomentari, “Sesungguhnya ini adalah perkataan yang lebih
tepat.”
Maka jelas bahwa persoalan di atas perlu
perincian terkait, yang juga urgen untuk diteliti adalah sebab-sebab
tersebarnya hadits-hadits palsu ke tengah-tengah kaum muslimin, hal ini pun tak
bisa dilepaskan dari permasalahan sistemik kemunduran dunia Islam, dimana
permasalahan ini berkaitan dengan pendidikan, dan pendidikan di antara tanggung
jawab penguasa yang sangat urgen.
Wallâhu a’lam bi al-shawâb. []
Comments
Post a Comment