Pertanyaan
Ustadz sy sdh baca maqolah antum tentang makna rahmatan lil alamin menurut ulama
mu'tabar. apa benar kesimpulan saya : dengan kaidah حيثما يكون الشرع
dan seterusnya bahwa setiap hukum Islam atau secara totaltas membawa
rahmat bagi manusia. siapa yang ngerjakan sholat berarti dia dapat rahmat dai
syari'at sholat (tentu sesuai tuntunan Islam), siapa yang shaum maka dia
mendapatkan rahmat dari syari'at shaum itu dst.
Lalu pertanyaan saya adalah bagaimana dengan umat
saat ini yang mereka menerapkan sebagian hukum Islam dalam bidang ibadah
mahdhoh, akhlaq, malbusat, mathumat sementara mereka tidak berhukum dengan
Islam dalam persoalan muamalah dan uqubah, apakah mereka masih mendapatkan
rahmat dengan keadaan spt ini?
Sdr. Irwan
Jawaban
Mengenai soal makna kata rahmat dalam QS.
Al-Anbiya' [21]: 107 dan kaidah tersebut. Dan tentang apakah penerapan sebagian
syari'at merupakan rahmat pula, maka bi tawfiqillah, yang ana pahami
sebagai berikut:
Pertama, Yang
perlu ditekankan ketika berbicara mengenai penerapan syari'at bahwa hal itu
merupakan upaya menunaikan segala kewajiban dari Allah 'Azza wa Jalla demi
mengharapkan keridhaan-Nya dan bukan mengharapkan materi duniawi semata. Dan
menerapkan syari'ah merupakan konsekuensi tauhid, akidah dimana dalil-dalil
syara' menunjukkannya:
Misalnya dalil QS. Al-Baqarah [2]: 208:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ}
“Wahai
orang-orang yang beriman masuklah ke dalam Islam keseluruhannya, dan janganlah
mengikuti langkah-langkah syaithan, karena ia adalah musuh yang nyata bagi
kalian.” (QS. Al-Baqarah [2]: 208)
Dalam ayat ini, khithâb
(seruan) dari Allah, menyeru orang-orang yang beriman, memerintahkan mereka
untuk menegakkan Islam totalitas, karena sebagaimana penafsiran para ulama,
kata al-silm (السلم)
dalam ayat tersebut meskipun ia termasuk lafazh musytarak (lafazh yang
berserikat di dalamnya lebih dari satu makna), namun yang ditarjih bermakna
al-Islam. Dan kata (كافة)
bermakna (مانع لأجزائه من التفرق)
yakni sesuatu yang menghalangi untuk dipecah-pecah ke dalam pecahan.
Dan isyarat
dalam QS. Al-Nisâ’ [4]: 65:
{فَلَا
وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا
يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا}
“Maka demi
Rabb-mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan engkau
(Muhammad) hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka
tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu
berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. Al-Nisâ’ [4]: 65)
Dalam ayat di
atas, terdapat petunjuk bahwa keimanan berkaitan dengan keridhaan menegakkan
hukum syari'at. Dimana ayat di atas diawali dengan qassam (sumpah) yang dalam
ulasan ilmu balaghah, ia berfaidah menegaskan (tawkid) dan mengandung penekanan
atas perkara yang muqsam 'alayh (yang menjadi maksud dari qassam
tersebut), bahwa mereka tidak beriman hingga menjadikan Rasulullah -shallallahu
'alayhi wa sallam- sebagai hakim atas perkara yang diperselisihkan. Dan
menjadikan Rasulullah -shallallahu 'alayhi wa sallam- sebagai hakim
maknanya adalah berhukum dengan wahyu, al-Qur'an dan al-Sunnah, menegakkan
keduanya dalam kehidupan.
Syaikh Nawawi
bin Umar al-Bantani al-Syafi'i, yang merupakan ulama nusantara yang mendunia,
dimana kitab-kitabnya merupakan salah satu rujukan di dunia pesantren menegaskan
wajibnya menegakan dinul Islam, akidah syari'ah, dan berpegang teguh padanya
hingga maut menjemput, dan konsisten menegakkan konsekuensi akidah (keimanan)
yakni menegakkan hukum-hukum syari'ah Islam, dimana beliau menjelaskannya dalam
salah satu kitabnya, Mirqât Shu'ûd al-Tashdîq fi Syarh Sullam al-Tawfîq
menjelaskan:
(يجب) وجوبًا محتمًا (على كافة المكلفين) أي جميعهم (الدخول في دين
الإسلام)... (والتزم) أي قبول (ما) أي شيء (لزم) أي ثبت (عليه) أي كافة المكلفين (من
الأحكام) وهي ما بينه الله تعالى لنا على لسان نبيه مما يتعلق بأفعال المكلفين، وهو
الواجب والسنة والمباح والمكروه والحرام
”(Wajib) dengan kewajiban yang pasti (atas seluruh
orang yang mukallaf (dikenal taklif kewajiban) yakni seluruhnya (masuk ke dalam
Dinul Islam)... dan (berpegang teguh) yakni menerima (apa-apa) yakni hal
(lazim) yakni yang ditetapkan (atasnya) yakni atas seluruh orang yang mukallaf
(berupa hukum-hukum) yakni apa-apa yang Allah jelaskan kepada kita melalui
lisan Nabi-Nya berupa hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan orang
yang telah ditaklif, berupa hukum wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram.”
(Nawawi bin Umar al-Syafi’i, Mirqât Shu'ûd al-Tashdîq fi Syarh Sullam
al-Tawfîq, hlm. 8)
Kedua, Mengenai makna kata rahmat, maka bagi para pembaca,
silahkan tela'ah makna lengkapnya di sini: Link
Bahwa ia satu kata yang berserikat di dalamnya
lebih dari satu makna. Dan makna yang dimaksud dalam QS. Al-Anbiya' [21]: 107,
mesti ditarjih dengan indikasi dari dalil-dalil lainnya.
Kata al-rahmah adalah mashdar (derivat) dari
kata kerja rahima, dan ia berkedudukan sebagai tujuan pengutusannya (maf’ûl
li ajlihi) atau sebagai keterangan (hâl) bahwa Muhammad -shallaLlâhu
'alayhi wa sallam- adalah al-rahmah yang menguatkan kedudukan beliau
-shallaLlâhu 'alayhi wa sallam- (mubâlaghah), dan dalam konteks penggunaan
istilah ini Imam Al-Raghib al-Ashfahani menguraikan bahwa ia terkadang
berkonotasi al-riqqah (kelembutan) atau berkonotasi al-ihsân
(kebajikan). Atau al-khayr (kebaikan) dan al-ni’mah (kenikmatan).
Maka ia termasuk satu lafazh yang berserikat di dalamnya lebih dari satu makna
(lafzh musytarak) yang pemaknaannya ditentukan indikasi lainnya.
Memahami makna ayat di atas, diperjelas
firman-Nya:
{وَمَا
كُنْتَ تَرْجُو أَنْ يُلْقَىٰ إِلَيْكَ الْكِتَابُ إِلَّا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ}
”Dan tidaklah engkau mengharap Al-Qur’an
diturunkan kepadamu, melainkan sebagai rahmat dari Tuhanmu.” (QS. Al-Qashash [28]: 86)
Lihat pula QS. Al-’Ankabût [29]: 51, dimana
keduanya memperjelas tidaklah Allah mengutus Muhammad -shallaLlâhu 'alayhi
wa sallam- kecuali sebagai rahmat bagi ciptaan-Nya dengan apa-apa yang
terkandung dalam al-Qur’an al-Karim ini. Yakni kebaikan yang terkandung
dalam ajaran-ajaran-Nya. Para ulama mu’tabar pun menjelaskan rahmat dalam ayat
tersebut berkaitan dengan penerapan syari’at Islam kâffah dalam kehidupan
sebagai tuntutan akidah Islam yang diemban Rasulullah -shallaLlâhu 'alayhi
wa sallam-. Di antaranya ulama nusantara yang mendunia, Syaikh Nawawi
al-Bantani (w. 1316 H):
وما أرسلناك يا أشرف الخلق بالشرائع، إلّا رحمة للعالمين أي
إلّا لأجل رحمتنا للعالمين قاطبة في الدين والدنيا
”Dan tidaklah Kami mengutus engkau wahai
sebaik-baiknya makhluk dengan membawa ajaran-ajaran syari’at-Nya, kecuali
sebagai rahmat bagi semesta alam, yakni untuk menjadi rahmat Kami bagi alam
semesta seluruhnya bagi agama ini dan kehidupan dunia.”
Dan kita temukan bahwa ia berkaitan dengan
kedudukan Rasulullah -shallallahu 'alayhi wa sallam- sebagai pengemban
risalah Islam, akidah dan syari'ah. Artinya rahmat dalam ayat di atas
mengandung konotasi al-khayr (kebaikan) dengan ditegakkannya ajaran Islam. Atau dalam penjelasan Al-'Allamah Taqiyuddin al-Nabhani yakni dar'u al-mafâsid wa jalb al-mashâlih (menolak kerusakan-kerusakan dan mewujudkan kemaslahatan-kemaslahatan).
Ketiga, Lalu apakah penerapan sebagian syari'at merupakan
rahmat itu sendiri. Penerapan setiap hukum syari'at merupakan kebaikan, di
balik syari'at shalat maka mengandung kebaikan bagi ahlinya, begitu pula
dibalik syari'at shaum. Dan bentuk kebaikan yang disebutkan dalam nash
al-Qur'an atau al-Sunnah, itulah yang disebut oleh Al-'Allamah Taqiyuddin
al-Nabhani sebagai hikmah, misalnya hikmah dibalik penegakkan syari'at shalat
disebutkan dalam QS. Al-'Ankabut [29]: 45:
{إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ}
”Sesungguhnya shalat itu mencegah
(pelakunya) dari perbuatan keji dan mungkar.” (QS. Al-'Ankabut [29]: 45)
Bahwa shalat yang ditegakkan, mengandung hikmah
membuahkan sikap jauh dari perbuatan fahisyah (keji) dan mungkar. Begitu pula
dengan kebaikan di balik syari'at jihad, sebagaimana diisyaratkan dalam QS.
Al-Baqarah [2]: 216:
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا
شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ
لَا تَعْلَمُونَ
”Diwajibkan atas kamu berperang, padahal
berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu,
padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu,
padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 206)
Namun kembali kepada poin pertama dan kedua bahwa
walau bagaimanapun setiap muslim dituntut untuk menegakkan syari'at Islam kâffah, totalitas dalam kehidupannya dengan segenap kemampuannya. Dimana sempurnanya kebaikan
lahir dari sempurnanya penerapan Islam, dan penerapan Islam sempurna dengan
tegaknya al-Khilafah al-Islamiyyah, dimana tidak sedikit syari'at Islam yang
berkaitan dengan keberadaan negara, sebagaimana penjelasan para a'immah umat
ini.
Tak samar kewajiban menegakkan syari’at Islam
kâffah (totalitas) dalam QS. 2: 208. Maka Islam adalah rahmat bagi semesta alam
dengan ajaran-ajarannya, Islam adalah rahmat dengan syari’at shaum (QS. 2: 183)
sebagaimana ia pun rahmat (kebaikan hakiki) dengan keseluruhan syari’atnya;
syari’at qishash (QS. 2: 178) dan syari’at jihad dalam QS. 2: 216 dimana ayat
ini dan QS. 21: 107 pun menjadi dalil kaidah syar’iyyah:
حيثما يكون الشرع تكون المصلحة
”Dimana tegak syari’at maka akan ada
kemaslahatan.”
Dimana kata al-syar'u dalam kaidah di atas
pun disebutkan dalam bentuk tunggal (mufrad).
والله أعلم بالصواب
Comments
Post a Comment