
Oleh: Irfan Abu Naveed
Join telegram
Arsip Kajian Tsaqafah: https://telegram.me/arsipkajiantsaqafah
Channel Syi'ar
Tsaqafah Islamiyyah: https://telegram.me/tsaqafah_islamiyyah
Ikhwah
fillah dalam acara Mu'tamar Tokoh Umat di Bogor, ada pertanyaan menarik untuk
didiskusikan terkait opini "Islam Wasathiyyah" yang artinya
tengah-tengah, sekuler tidak dan ekstrim juga tidak.
Sekilas tambahan
penjelasan:
Kata
wasathiyyah jika dinisbatkan kepada dalil al-Qur’an dan al-Sunnah, jelas
mesti terikat dengan pemaknaan dari al-Qur’an dan al-Sunnah itu sendiri, karena
istilah yang mengandung makna syar'i, tidak boleh ditafsirkan serampangan, sebagaimana
disebutkan oleh Dr. Muhammad Ahmad Abdul Ghani bahwa istilah-istilah syar’iyyah
(al-alfâzh al-syar’iyyah):
فاللفظة
حين تكون منتمية إلى الإسلام فإنها تكتسب المعنى الشَّرْعي الذي يجب الالتزام به اعتقاداً
وعملاً
”Lafazh yang termasuk istilah Islam, maka ia
memiliki makna syar’i dimana Islam mewajibkan kita terikat dengan makna ini
baik dari sisi i’tikad maupun pengamalan.” (Dr. Muhammad Ahmad Abdul Ghani, Al-’Adâlah
al-Ijtimâ’iyyah fii Dhaw’i al-Fikr al-Islâmiy al-Mu’âshir, 1424 H, hlm.
22)
Dan al-Qur'an menggunakan istilah ini dalam
istilah wasath dan sudah tentu menetapkan maknanya dalam ayat:
{وَكَذَلِكَ
جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ
عَلَيْكُمْ شَهِيدًا وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا
لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَإِنْ
كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ
إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ}
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan
kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas
(perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan)
kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang)
melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan
siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat,
kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak
akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang kepada manusia.” (QS. Al-Baqarah [2]: 143)
Dan maknanya telah dijelaskan dalam hadits riwayat Abu Sa'id al-Khudriy, ia berkata bahwa Rasulullah -shallallahu 'alayhi wa sallam- bersabda:
"يُدْعَى نُوحٌ عَلَيْهِ السَّلَامُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ، فَيُقَالُ لَهُ: هَلْ بَلَّغْتَ، فَيَقُولُ: نَعَمْ، فَيُدْعَى قَوْمُهُ،
فَيُقَالُ لَهُمْ: هَلْ بَلَّغَكُمْ؟ فَيَقُولُونَ: مَا أَتَانَا مِنْ نَذِيرٍ - أَوْ
مَا أَتَانَا مِنْ أَحَدٍ - قَالَ: فَيُقَالُ لِنُوحٍ: مَنْ يَشْهَدُ لَكَ؟ فَيَقُولُ:
مُحَمَّدٌ وَأُمَّتُهُ، قَالَ: فَذَلِكَ قَوْلُهُ: {وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً
وَسَطًا} [البقرة: 143] ، قَالَ: الْوَسَطُ الْعَدْلُ، قَالَ: فَيُدْعَوْنَ فَيَشْهَدُونَ
لَهُ بِالْبَلَاغِ، قَالَ: ثُمَّ أَشْهَدُ عَلَيْكُمْ "
”Nuh as. dipanggil pada Hari Kiamat,
kepadanya dikatakan: “Apakah engkau telah menyampaikan?” Ia menjawab, “Benar.”
Lalu kaumnya dipanggil dan dikatakan kepada mereka, “Apakah Nuh menyampaikan
(risalah) kepada kalian?” Mereka menjawab, “Tidak ada pemberi peringatan yang
datang kepada kami,” atau “Tidak seorang pun datang kepada kami.” Rasulullah
bersabda, “Lalu dikatakan kepada Nuh, “Siapa yang bersaksi untukmu?” Nuh
menjawab, “Muhammad dan umatnya.” Rasul bersabda, “Itulah firman Allah “wa
kadzâlika ja’alnâkum ummat[an] wasath[an].” Rasul bersabda: al-wasath adalah
al-‘adlu (adil). Rasul bersada: “Lalu kalian dipanggil dan kalian bersaksi
untuknya bahwa dia telah menyampaikan kemudian aku bersaksi atas kalian.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya)
Hadits ini menurut Syu'aib al-Arna'uth: ”Hadits
ini shahih menurut syarat Syaikhayn (al-Bukhari dan Muslim).”
Sehingga riwayat di atas
menjadi tafsir (tafsîr bi al-ma’tsûr) atas QS. Al-Baqarah [2]: 143 di atas,
dimana kata wasath dalam ayat dimaknai adil. Dan adil dalam Islam mengandung
konotasi lawan dari zhalim, dimana perbuatan zhalim adalah perbuatan melanggar
batas syari’at Allah. Sehingga kata wasath, adil mengandung konotasi sikap yang
sejalan dengan syari’at Allah. Maka jika umat[an] wasath[an] ditafsirkan dalam
konotasi umat yang mengabaikan syari’at Allah, kompromi terhadap kemungkaran,
kesesatan dan pengabaian syari’at Allah maka jelas pemaknaan ini termasuk
penafsiran yang tidak benar dan tidak bisa dibenarkan, serta sesat menyesatkan, Allah al-Musta'an. []
Comments
Post a Comment