Oleh:
Irfan Abu Naveed, M.Pd.I
(Penulis
Buku Menyingkap Jin & Dukun Hitam Putih Indonesia)
إِنَّ الْحَمْدَ للَّهِ نَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ
شُرُورِ أَنْفُسِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلا
هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ
وَرَسُولُهُ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلى رَسُوْلِ اللهِ، وَعَلى آلِهِ وَصَحْبِهِ
وَمَنْ وَالاه، وَبَعْد
Alhamdulillah, salah
satu buletin dakwah yang patut untuk diapresiasi, didukung dan disebarkan
adalah buletin dakwah Al-Islam yang diterbitkan oleh Hizbut Tahrir Indonesia, yang merupakan bagian dari
Hizbut Tahrir secara internasional. Hizbut Tahrir sendiri memiliki tujuan agung
dalam perjuangannya, sebagaimana disebutkan dalam kitab Ta’rif Hizb al-Tahrîr:
غاية حزب التحرير هي استئناف الحياة
الإسلامية، وحمل الدعوة الإسلامية إلى العالم. وهذه الغاية تعني إعادة المسلمين
إلى العيش عيشًا إسلاميًا في دار الإسلام، وفي مجتمع إسلامي، بحيث تكون جميع شؤون
الحياة فيه مسيرة وفق الأحكام الشرعية
”Tujuan Hizbut Tahrir adalah melanjutkan kehidupan Islam, dan mengemban
dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Dan tujuan ini yakni (terwujud) dengan
mengembalikan kaum muslimin kepada kehidupan islami dalam naungan Dâr al-Islâm,
dalam masyarakat islami, dimana seluruh urusan kehidupan di dalamnya sejalan
dengan hukum-hukum syar’iyyah.”[1]
Salah satu media dakwah yang digunakan HTI adalah media
berupa buletin dakwah, yakni buletin Dakwah al-Islam yang sejauh ini semakin
berkembang, menyebar ke pelosok-pelosok daerah di banyak wilayah di Indonesia, bi
fadhlillâhi Ta’âlâ-, seiring sejalan dengan perkembangan dakwah HTI itu
sendiri dan meluasnya penerimaan dan dukungan masyarakat dari berbagai level
dan status sosial.
Dan berangkat dari interaksi saya dengan buletin Dakwah
Al-Islam, ada sejumlah kesaksian yang bisa saya sampaikan secara umum atas
buletin dakwah ini, sekaligus mengingatkan –jika ada- orang yang ragu menerima
buletin dakwah ini dengan beragam motifnya.
A. Mengenal Buletin Dakwah Al-Islam Hizbut Tahrir
Sebenar-Benarnya
Ketika tahun 2000-an, saya termasuk
orang yang tertarik melihat buletin dakwah al-Islam pada pandangan pertama, meski
sebenarnya ketika pertama kali melihatnya di Masjid Agung Cianjur –jika tidak
keliru ketika ba’da shalat Jum’at- saya belum bergabung bersama barisan Hizbut
Tahrir, namun ketertarikan itu muncul secara alami bagian dari kecintaan
terhadap Islam itu sendiri, bagaimana mungkin tidak tertarik? Padahal inilah
yang saya temukan:
Pertama, Logo
yang secara tegas menyi’arkan panji dengan tulisan kalimat tauhid, syahâdatayn,
dan jika kita buka kitab para ulama, maka akan kita temukan bahwa ia adalah
panji Rasulullah SAW, panji yang seakan dilupakan digantikan dengan
bendera-bendera Nation State.
Dan ia merupakan salah satu bentuk
syi’ar Islam, dimana umat ini kini terpecah belah dalam sekat Negara Bangsa (nation
state) warisan penjajah, jauh dari persatuan, dan tidak lagi mengenal
bentuk negara dan bendera yang diajarkan Rasulullah SAW, hal ini sebagaimana
disebutkan dalam banyak riwayat, salah satunya hadits dari Ibnu ‘Abbas r.a.:
كَانَ لِوَاءُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبْيَضَ ، وَرَايَتُهُ سَوْدَاءَ.
“Bendera (liwâ’)
Rasulullah SAW berwarna putih, dan panjinya (râyah) berwarna hitam.” (HR. Al-Hakim dalam al-Mustadrak[2])
Dan mengagungkan dan menjunjung tinggi syi’ar ini bagian
dari apa yang Allah firmankan:
{ذلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى
الْقُلُوبِ}
”Demikianlah (perintah Allah) dan siapa saja yang
mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan
qalbu.” (QS.
Al-Hajj [22]: 32)
Yakni sikap yang lahir dari ketakwaan kepada Allah,
Syaikh Muhammad Nawawi bin ’Umar al-Syafi’i (w. 1316 H) pun menjelaskan di
antara sifat terpuji (الصفات
المحمودية) yang tentunya
melekat pada orang yang bertakwa adalah mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah (تعظيم شعائر الله) yakni
syi’ar-syi’ar Din-Nya, dan yang dimaksud dengan al-sya’âir adalah
konteks tempat dimana Din ini ditegakkan.[3] Dalam ulasan lainnya
Syaikh Nawawi mencontohkan misalnya Masjid, Shafa - Marwah,’Arafah dan yang
semisalnya.[4]
Namun panji, bendera seperti ini pun bagian dari syi’ar Islam.
Kedua, Buletin ini pun jelas merupakan buletin dakwah, dakwah menyeru kepada
penegakkan syari’ah, menyeru umat ini melanjutkan kehidupan Islam totalitas (kâffah).
Hal itu sejalan dengan ayat al-Qur’an yang menjadi syi’ar utama buletin ini:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ
وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ}
“Hai orang-orang
yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru
kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu.” (QS. Al-Anfâl [8]:
24)
Menurut al-Hafizh Ibnu Jarir
al-Thabari (w. 310 H), para ulama berselisih pendapat dalam menakwilkan kalimat
(إذا دعاكم لما يحييكم), al-Saddiy menyebutkan yakni kepada al-Islam, Imam Mujahid
menyebutkan yakni kepada kebenaran, ada pula yang menakwilkan yakni kepada al-Qur’an,
sebagaimana perkataan Imam Qatadah yang mengungkapkan:
هو هذا القرآن، فيه الحياة والثقة
والنجاة والعصمة في الدنيا والآخرة
“Yakni al-Qur’an ini,
di dalamnya terdapat kehidupan, keyakinan, keberhasilan dan keterjagaan di dunia dan
akhirat.”[5]
Bukankah isi buletin ini menyeru umat kepada al-Islam (akidah dan syari’ah)?
Kebenaran? Keimanan dan Al-Qur’an? Ya, dan hal itu perkara yang tidak samar
bagi mereka yang jujur. Jika di dalamnya ada kritik yang disampaikan,
sesungguhnya ia bagian dari upaya menegakkan perbuatan melarang dari
kemungkaran, menyelamatkan umat dari keburukan baik berupa syubhat dan makar
kaum kuffar dan kaum munafik, lalu jika di dalamnya terdapat koreksi kepada
penguasa, sesungguhnya ia bagian dari aktivitas muhâsabah li al-hukkâm.[6]
Sesungguhnya Hizbut Tahrir, bergerak di tengah-tengah
umat, mengharapkan kebaikan bagi mereka karena Allah, menunaikan firman-Nya:
{وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ
بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ}
”Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang
menyeru kepada al-khayr (al-Islam), menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang
dari yang mungkar, dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Âli Imrân [3]: 104)
Dimana ulama nusantara yang mendunia, guru dari para
masyayikh pesantren di Indonesia, Al-’Allamah Al-Syaikh Nawawi al-Bantani al-Syafi’i
–dan para ulama lainnya- menjadikan ayat ini sebagai dalil wajibnya menegakkan al-amr
bi al-ma’rûf wa al-nahy ’an al-munkar, dan meninggalkan perbuatan melarang
dari kemungkaran termasuk kemaksiatan lisan.[7]
Lalu timbul pertanyaan kepada oknum yang tidak mau
menerima buletin dakwah ini, mengapa ”takut” buletin dakwah al-Islam dengan
menolaknya?! Apakah anda memiliki hujjah kelak di hadapan Allah dengan menjegal
masuknya buletin dakwah ini yang artinya menjegal dakwah?!
B.
Hati-Hati Was Was Syaithan Yang Membuat Ragu Menerima
Buletin Dakwah Al-Islam?
Mengapa “takut” dengan buletin dakwah al-Islam yang
diterbitkan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)? Hati-hati dengan was was
syaithan yang membuat ragu untuk menerima buletin dakwah Al-Islam ini. Keraguan
dan penolakan seperti ini bisa muncul dari motif-motif sebagai berikut:
Pertama, Ketidakpahaman terhadap isi buletin dakwah ini, namun mengedepankan prasangka
buruk.
Kedua, Kesalahpahaman terhadap isi buletin
dakwah ini, dan ini bisa terjadi karena salah info dan tidak mau ber-tabayyun.
Ketiga, Kebencian terhadap buletin dakwah ini, dan ini bisa terjadi pada dua
golongan:
·
Golongan kaum muslimin yang fanatisme buta pada golongan
atau madzhabnya (ta’ashshub atau ‘ashabiyyah hizbiyyah) dan
menyesatkan kaum muslimin lain di luar madzhab atau kelompoknya sehingga
menolak setiap media dakwah dari pihak lain.
·
Golongan kaum munafikin yang benci pada dakwah Islam, ini
ragam jenisnya, namun sama motifnya.
Pertama, Ketidakpahaman Terhadap Isi Buletin Dakwah Al-Islam Mengedepankan
Prasangka Buruk
Penolakan terhadap buletin
dakwah al-Islam bisa terjadi karena ketidakpahaman terhadap isi buletin dakwah
al-Islam, namun mengedepankan kecurigaan dan prasangka buruk, ini tergambar
dalam ungkapan Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H):
النَّاس أَعدَاء مَا جهلوا
Hal ini tercela, karena penolakan yang didasari oleh
ketidaktahuan pasti dilatarbelakangi oleh prasangka buruk, dan prasangka buruk,
sebagaimana firman-Nya:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا
كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ}
“Wahai orang-orang yang beriman jauhilah oleh kalian sebagian besar dari
prasangka, karena sebagian darinya merupakan perbuatan dosa.” (QS.
Al-Hujurât [49]: 12)
Ayat ini menyeru orang-orang yang beriman, dengan
perintah menggunakan kata ijtanib yang lebih mendalam dan kuat maknanya
daripada kata utruk, yang maknanya adalah “jauhilah”, artinya
ayat yang agung ini mengandung larangan atas prasangka buruk. Dan kalimat (إِنَّ
بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ) yang
menyifati prasangka buruk sebagai perbuatan dosa, menjadi indikasi tegas atas
larangan dalam ayat ini, sehingga larangan dalam ayat ini merupakan tuntutan
tegas untuk meninggalkan prasangka buruk, yang menunjukkan bahwa hukumnya
haram.
Imam al-Raghib al-Ashfahani (w. 502 H) ketika menjelaskan
kata ijtanibuu menegaskan bahwa ia merupakan ungkapan tentang perkara
yang harus mereka tinggalkan, dan maknanya lebih kuat (ablagh) daripada
kata utruk (tinggalkanlah) (وذلك
أبلغ من قولهم: اتركوه).[9] Karena kata ijtnib tak sekedar perintah untuk
meninggalkan melainkan perintah untuk menjauhinya (meninggalkan sejauh-jauhnya).
Dan Allah ‘Azza wa Jalla menggunakan kata ijtanib dalam ayat yang agung
di atas untuk melarang prasangka buruk. Maka sudah semestinya kita menjauhinya.
Kedua, Kesalahpahaman Terhadap Isi Buletin Dakwah Al-Islam Karena Enggan
Bertabayyun
Kesalahpahaman terhadap
buletin dakwah al-Islam bisa juga muncul karena salah info dan tidak mau ber-tabayyun
(cek ulang, mengkaji faktanya), enggan mengkonfirmasi kepada pihak Hizbut
Tahrir. Maka dalam kasus ini, saya ingatkan dengan firman Allah ’Azza wa Jalla:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ
فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ
مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ}
”Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kamu
seseorang yang fasik membawa berita maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak
menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang
menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurât [49]: 6)
Ayat ini menyeru orang-orang beriman untuk melakukan
konfirmasi terhadap kebenaran suatu berita jika datang padanya berita buruk
mengenai saudaranya dari orang yang fasik, yang tidak bisa dipercaya. Karena
makna tabayyun itu mendekati makna tatsabbut (mencari kebenaran),
yakni tidak tergesa-gesa hingga benar-benar mengetahui, sebagaimana disebutkan
oleh Imam al-Farra (w. 207 H)[10], atau dalam penjelasan al-Hafizh Ibnu Jarir al-Thabari (w. 310 H) yakni tidak
tergesa-gesa hingga mengetahui kebenarannya dan tidak tergesa-gesa menerima
berita tersebut.[11]
Atau sebagaimana disebutkan Imam Abu al-Muzhaffar al-Sam’ani
(w. 489 H) yakni meninggalkan ketergesa-gesaan, merenungkan dan menyikapinya
dengan hati-hati dalam urusan tersebut.[12] Karena ketergesaan bisa
jadi timbul dari kebodohan dan kebingungan, dari Ibnu Wahb, ia mengatakan telah
mendengar Imam Malik berkata:
الْعَجَلَةُ فِي الْفَتْوَى نَوْعٌ مِنَ
الْجَهْلِ وَالْخُرْقِ
”Ketergesa-gesaan dalam berfatwa merupakan jenis kebodohan dan keraguan.”[13]
Hal itu tergambar dari sikap sebagian oknum yang menolak
buletin dakwah karena ketidakpahaman terhadap isi buletin namun bersegera
memfatwakan tidak boleh disebarkan dan lain sebagainya.
Sesungguhnya Hizbut Tahrir terbuka untuk dikonfirmasi
mengenai jati dirinya dan pemikirannya sebagaimana diungkapkan oleh Amir Hizbut
Tahrir, al-’Alim al-Syaikh ’Atha bin Khalil Abu al-Rasytah –hafizhahullâh-,
dalam tanya jawab mengenai pemikiran HT:
إننا نرحب بأي نقاش هادف على أن يكون مبنياً على ما ورد في كتبنا
من أفكار وأحكام… وليس ما قيل عنا في كتب أخرى من افتراءات… أي أننا نقبل أن تقول:
جاء في كتابنا كذا…، وبعد ذلك قل ما شئت من سؤال عليه أو انتقاد له، ونحن نجيبك بإذن
الله، لكن لا نقبل إضاعة الوقت في نقل ما افتراه علينا بعض الحاقدين على الإسلام، فتسألنا
عنه كأن تقول: جاء في كتاب فلان أنكم كذا وكذا… فهذا ما لا نحب أن نضيع الوقت فيه،
بل نكل أمر المفترين إلى العزيز القهار.
“Kami menyambut baik diskusi apapun yang berarti dan
berguna dengan dasar dibangun di atas apa yang dinyatakan di buku-buku kami,
baik pemikiran maupun hukum … dan bukan yang dikatakan tentang kami di
buku-buku lain di antara hal-hal yang dibuat-buat … Artinya kami menerima
dikatakan: di buku kami dikatakan demikian … Dan setelah itu, silahkan Anda
katakan apa yang Anda inginkan, baik pertanyaan terhadapnya atau kritik
atasnya, dan kami akan menjawabnya, dengan izin Allah. Akan tetapi kami tidak
menerima untuk menyia-nyiakan waktu dalam mengutip apa yang dituduhkan terhadap
kami oleh sebagian orang yang dengki terhadap Islam, lalu Anda tanyakan
tentangnya kepada kami seperti Anda katakan: di buku Fulan dikatakan bahwa Anda
begini dan begitu… Ini sesuatu yang tidak kami sukai untuk menyia-nyiakan waktu
membahasnya, sebaliknya kami serahkan urusan orang-orang yang membuat-buat
kebohongan itu kepada Zat yang Maha Perkasa dan Maha Mengalahkan.” [14]
Lalu beliau pun menegaskan
di akhir jawabannya:
إننا يا أخي لم نضع في كتبنا كلمة إلا بعد دراسة مستوفاة بالأدلة
وبوجه الاستدلال… لهذا فنحن على استعداد للمناقشة فيها والجواب على أي استفسار حولها.
“Kami ya Akhi, tidak menempatkan di buku kami kecuali
setelah dikaji secara cukup dengan dalil-dalil dan arah istidlalnya … Untuk itu
kami siap berdiskusi tentangnya dan menjawab atas permintaan penjelasan apapun
seputarnya.”[15]
Ketiga, Kebencian Terhadap Buletin Dakwah Al-Islam Karena Fanatisme Buta
Terhadap Golongannya
Allah ’Azza wa Jalla memperingatkan:
{يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ
لِلَّهِ شُهَداءَ بِالْقِسْطِ وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلى أَلاَّ تَعْدِلُوا
اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِما
تَعْمَلُونَ}
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang
selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk
berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.
Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (QS. Al-Mâ’idah [5]: 8)
Ayat ini seruan bagi orang-orang beriman, dimana Allah
’Azza wa Jalla memerintahkan mereka untuk bersikap adil baik dalam perbuatan
maupun ucapan, sebagaimana ditegaskan oleh Muhyis-Sunnah al-Imam al-Baghawi
al-Syafi’i (w. 510 H):
أَمَرَهُمْ بِالْعَدْلِ
وَالصِّدْقِ فِي أَفْعَالِهِمْ وَأَقْوَالِهِمْ
“Allah memerintahkan mereka bersikap adil dan jujur baik dalam
perbuatan-perbuatan mereka maupun perkataan-perkataannya.”[16]
Dan makna (عَلى
أَلَّا تَعْدِلُوا) yakni
meninggalkan berbuat adil terhadap mereka dikarenakan permusuhan terhadap
mereka.[17] Allah ‘Azza wa Jalla pun dalam ayat ini menurut
al-Baghawi, memerintahkan berbuat adil baik terhadap kawan maupun lawan[18], dan hal tersebut merupakan ketakwaan.[19]
Bukankah menuduh tanpa bukti merupakan fitnah? Dan fitnah
itu sendiri merupakan kemaksiatan lisan, yang menunjukkan ucapan yang tidak
adil atau zhalim. Ayat ini pun, mengandung isyarat bahwa kebencian bisa menjadi
sebab seseorang berlaku tidak adil. Adil merupakan kebalikan dari zhalim.
Zhalim itu sendiri merupakan perbuatan menempatkan sesuatu tidak pada
tempatnya. Dan kita sudah selayaknya berlindung kepada Allah dari sikap tercela
ini.
C.
Khatimah
Diakui atau tidak, disadari
atau tidak, perbuatan gegabah menolak buletin dakwah jelas merupakan perbuatan
menghambat dakwah yang diharamkan oleh syari’ah, kelak orang semacam ini mesti
mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah. Terlebih jika materi dakwah yang
disampaikan dalam buletin tersebut diperlukan oleh umat dimana pihak penolak
buletin dakwah ini pada saat yang sama tidak mampu memahamkan umat terhadap
permasalahan serupa yang terkandung dalam materi buletin dakwah.
Maka, saya mengajak para
pembaca untuk menerima buletin Dakwah Al-Islam ini tanpa ada keraguan, syubhat
dan prasangka. Silahkan baca dengan penuh keikhlasan, jauh dari prasangka
buruk, niscaya para pembaca akan menemukan bahwa buletin ini tidaklah berbicara
kecuali untuk meninggikan kalimat Allah hingga setinggi-tingginya,
memperjuangkan Al-Islam demi mengharapkan keridhaan-Nya, sesungguhnya ia yâ
ikhwah fillâh, menunaikan seruan firman Allah ’Azza wa Jalla:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي
السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ
إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ}
”Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke
dalam Islam keseluruhannya dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah
syaihan, sesungguhnya ia adalah musuh yang nyata bagi kalian.” (QS.
Al-Baqarah [2]: 208)
[1]
Hizbut Tahrir, Hizbut Tahrîr, Beirut: Dâr al-Ummah, cet. II, 1431 H,
hlm. 23.
[2] HR. Al-Hakim dalam al-Mustadrak
‘alâ al-Shahîhayn (II/105, hadits no. 2506)
[3] Muhammad
Nawawi bin Umar, Mirqât Shu’ûd al-Tashdîq fî Syarh Sullam al-Tawfîq, Jakarta:
Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, cet. I, 1431 H, hlm. 103
[4] Ibid,
hlm. 125.
[5] Muhammad bin Jarir Abu Ja’far al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl
al-Qur’ân, Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, cet. I, 1420 H, juz XIII, hlm.
463-464.
[6] Lalu jika
ada yang mengklaim bahwa pihak yang menerbitkan buletin ini adalah golongan
sesat, maka tuduhan itu kembali kepada penuduh sendiri yang wajib menyodorkan
bukti-buktinya. Jika tidak maka ia kelak menanggung dosa memfitnah
saudara muslim lainnya.
[7] Ibid,
hlm. 125.
[8] Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Qawâ’id al-‘Aqâ’id, Lebanon: ‘Âlam
al-Kutub, cet. II, 1405 H, hlm. 101.
[9] Abu
al-Qasim al-Husain bin Muhammad (Al-Raghib al-Ashfahani), Al-Mufradât fî
Gharîb al-Qur’ân, Damaskus: Dâr al-Qalam, cet. I, 1412 H, juz I, hlm. 206.
[10] Abu
Zakariya Yahya bin Ziyad al-Daylami al-Farra’, Ma’âniy al-Qur’ân, Mesir:
Dâr al-Mishriyyah, cet. I, t.t., juz III, hlm. 31.
[11] Muhammad
bin Jarîr bin Yazîd bin Katsîr Abu Ja’far al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî
Ta’wîl al-Qur’ân, Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, cet. I, 1420 H, juz ke-22,
hlm. 286.
[12] Abu
al-Muzhaffar Manshur bin Muhammad al-Sam’ani, Tafsîr al-Qur’ân, Riyadh:
Dâr al-Wathan, cet. I, 1418 H, juz V, hlm. 217.
[13] Ahmad bin al-Husain Abu Bakr al-Bayhaqi, Al-Madkhal ilâ al-Sunan
al-Kubrâ’, Kuwait: Dâr al-Khulafâ’, hlm. 437, atsar no. 817; Abu Muhammad
al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Syarh al-Sunnah, Damaskus: al-Maktab al-Islâmiy,
cet. II, 1403 H, juz I, hlm. 306.
[14] Dalam Jawab
Soal Seputar Penolakan Hizbut Tahrir dan Amirnya atas Berbagai Kritik dan
Koreksi, 14 Rajab 1434/ 24 Mei 2013.
[15] Ibid.
[16] Abu
Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi al-Syafi’i, Ma’âlim al-Tanzîl fî
Tafsîr al-Qur’ân, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabiy, cet. I, 1420 H,
juz II, hlm. 28.
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19] Ibid.
Comments
Post a Comment