![]() |
Sumber gambar: |
بسم
الله الرحمن الرحيم
Rangkaian
Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir
atas Pertanyaan di akun Facebook Beliau
Jawaban
pertanyaan: Realitas Vaksinasi dan Hukumnya
Pertanyaan:
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Saudari
Anda seakidah dari kota La Neueve. Saya sampaikan kepada al-‘alim al-jalil
Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah, amir Hizbut Tahrir hafizhahullah, sebagai
berikut:
Saya
seorang perempuan Chechnya yang tinggal di Belgia sejak 14 tahun lalu, di mana
banyak masyarakat Chechnya di sana. Baru-baru ini banyak pembicaraan dan
pertanyaan tentang vaksinasi anak-anak dalam pandangan Islam, yakni vaksinasi
campak, polio, hepatitis, gondok, TBC dan vaksinasi jenis lainnya. Terlihat ada
orientasi besar menentang vaksinasi dan imunisasi, dengan alasan adanya
komplikasi yang terjadi akibat vaksinasi yang makin meningkat kasusnya. Juga
bahwa vaksinasi ini adalahdharar dan
tidak boleh dikenakan kepada anak-anak kita yang sehat. Lagi pula, berobat itu
bukan fardhu, maka tak diragukan lagi imunisasi lebih-lebih
lagi tidak fardhu. Mereka menyatakan bahwa
vaksinasi berarti memindahkan mikroba ke tubuh anak dan ini adalah haram.
Bahkan kadang vaksinasi itu diambil dari hewan-hewan seperti monyet, misalnya.
Begitulah alasan mereka.
Pertanyaannya:
apa realitas vaksinasi dan apa hukum syara’ tentangnya? Apakah dalam Daulah
al-Khilafah akan ada vaksinasi dengan berbagai jenisnya? Perlu diketahui bahwa
separo masyarakat Muslim di kami tidak memvaksinasi anak-anak mereka dan jumlah
mereka terus meningkat. Akhirnya hukum syara’ yang jelas dan kuat sangat
dinanti. Mohon ada penjelasan dan uraian tentang itu, sesuai yang bisa Anda
berikan. Semoga Allah memberikan balasan yang lebih baik kepada Anda dan kaum
Muslimin.
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Jawab:
وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته
Vaksinasi adalah pengobatan.
Berobat adalah mandub, bukan wajib. Dalilnya adalah sebagai berikut:
1. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari jalur Abu
Hurairah, ia menuturkan: Rasulullah saw bersabda:
«مَا أَنْزَلَ اللَّهُ دَاءً إِلَّا أَنْزَلَ
لَهُ شِفَاءً»
Tidaklah
Allah menurunkan penyakit kecuali Allah turunkan obat untuknya
Imam
Muslim telah meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah dari Nabi saw, beliau
bersabda:
«لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ، فَإِذَا أُصِيبَ
دَوَاءُ الدَّاءِ بَرَأَ بِإِذْنِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ»
Untuk setiap peyakit ada obatnya, dan jika obat itu mengenai
penyakit, maka sembuh dengan izin Allah azza wa jalla
Imam Ahmad telah
meriwayatkan di dalam Musnadnya dari
Abdullah bin Mas’ud:
«مَا أَنْزَلَ اللَّهُ دَاءً، إِلَّا قَدْ
أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً، عَلِمَهُ مَنْ عَلِمَهُ، وَجَهِلَهُ مَنْ جَهِلَهُ»
Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Allah turunkan obat
untuknya, itu diketahui oleh orang yang berilmu dan tidak diketahui oleh orang
yang tidak punya ilmunya
Hadits-hadits ini di
dalamnya ada petunjuk bahwa setiap penyakit ada obat yang menyembuhkannya. Hal itu agar menjadi dorongan untuk berusaha berobat yang mengantarkan
kepada sembuhnya penyakit itu dengan izin Allah. Ini adalah anjuran dan bukan
wajib.
2. Imam Ahmad telah meriwayatkan
dari Anas, ia berkata: Rasulullah saw bersabda:
«إِنَّ اللَّهَ حَيْثُ خَلَقَ الدَّاءَ،
خَلَقَ الدَّوَاءَ، فَتَدَاوَوْا»
Sesungguhnya
Allah ketika menciptakan penyakit, Allah ciptakan obatnya, maka berobatlah
Abu
Dawud telah meriwayatkan dari Usamah bin Syarik, ia berkata, “Aku datang kepada
Rasulullah saw dan para sahabat beliau seolah-olah kepala mereka seperti
burung. Lalu aku ucapkan salam lalu aku duduk. Lalu seorang Arab Baduwi datang
dari sini dan situ. Mereka berkata, “Ya Rasulullah apakah kita berobat?”” Rasul bersabda:
تَدَاوَوْا فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا
وَضَعَ لَهُ دَوَاءً، غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ الْهَرَمُ»
Berobatlah kalian, karena sesungguhnya Allah azza wa jalla tidak
menempatkan penyakit kecuali juga Allah tempatkan obat untuknya, kecuali satu
penyakit al-harmu
Yakni
kematian.
Di
dalam hadits pertama, Rasul memerintahkan berobat. Dan di dalam hadits kedua,
Beliau saw menjawab kepada seorang Arab Baduwi dengan jawaban berobat. Dan
seruan kepada para hamba agar berobat, karena Allah tidaklah menempatkan
penyakit kecuali Allah tempatkan obat untuknya. Seruan di dalam kedua hadits
itu disampaikan dalam redaksi perintah. Perintah memberi pengertian tuntutan
dan tidak memberi pengertian wajib kecuali jika perintah yang tegas. Ketegasan
itu memerlukan indikasi yang menunjukkannya, sementara tidak ada indikasi itu
di dalam kedua hadits tersebut yang menunjukkan wajib. Ditambah bahwa
dinyatakan hadits-hadits yang menyatakan bolehnya tidak berobat, yang menafikan
pengertian wajib dari kedua hadits tersebut. Imam Muslim telah meriwayatkan dari Imran bin Hushain
bahwa Nabi saw bersabda:
«يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مِنْ أُمَّتِي
سَبْعُونَ أَلْفًا بِغَيْرِ حِسَابٍ»، قَالُوا: وَمَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللهِ؟
قَالَ: «هُمُ الَّذِينَ لَا يَكْتَوُونَ وَلَا يَسْتَرْقُونَ، وَعَلَى رَبِّهِمْ
يَتَوَكَّلُونَ»
“Ada 70
ribu orang dari umatkku masuk surga tanpa hisab.” Mereka (para sahabat)
bertanya, “Siapakah mereka Ya Rasulullah?” Rasul menjawab, “Mereka adalah
orang-orang yang tidak melakukan kay dan tidak meminta minta diruqyah
(dijampi-jampi).”
Kay dan
ruqyah termasuk pengobatan. Imam al-Bukhari juga meriwayatkan dari Ibn Abbas:
ia berkata …. (yaitu) perempuan hitam ini, ia datang kepada Nabi saw lalu berkata:
إِنِّي أُصْرَعُ، وَإِنِّي أَتَكَشَّفُ، فَادْعُ اللَّهَ لِي، قَالَ:
«إِنْ شِئْتِ صَبَرْتِ وَلَكِ الجَنَّةُ، وَإِنْ شِئْتِ دَعَوْتُ اللَّهَ أَنْ
يُعَافِيَكِ» فَقَالَتْ: أَصْبِرُ، فَقَالَتْ: إِنِّي أَتَكَشَّفُ، فَادْعُ
اللَّهَ لِي أَنْ لاَ أَتَكَشَّفَ، «فَدَعَا لَهَا…»
“Aku sakit
ayan dan aku tersingkap (auratku jika kambuh) maka berdoalah kepada Allah
untukku.” Rasul bersabda: “jika engkau mau engaku bersabar dan untukmu surga,
dan jika engkau mau aku berdoa kepada Allah agar menyembuhkanmu.” Maka perempuan
itu menjawab: “saya bersabar saja”. Lalu ia melanjutkan: “saya tersingkap
(auratku ketika aku kambuh) maka berdoalah kepada Allah untukku agar aku tidak
tersingkap.” Maka Rasul berdoa untuknya.”
Kedua
hadits ini menunjukkan bolehnya tidak berobat.
Semua
itu menunjukkan bahwa perintah yang dinyatakan “fatadâwû”, “tadâwû” bukan untuk
wajib. Dengan
begitu perintah di sini bisa mubah atau bisa juga mandub, sementara kuatnya
dorongan dari Rasul saw untuk berobat, maka jadilah perintah berobat yang dinyatakan
di dalam hadits-hadits itu adalah untuk mandub.
Atas
dasar itu, maka vaksinasi hukumnya mandub. Sebab vaksinasi adalah obat dan
berobat adalah mandub. Namun jika terbukti jenis terntentu dari vaksinasi itu
membahayakan, seperti bahannya rusak atau membahayakan karena suatu sebab
tertentu … maka vaksinasi dalam kondisi seperti ini menjadi haram, sesuai
kaedah dharar yang diambil dari hadits Rasulullah saw
yang telah dikeluarkan oleh imam Ahmad id Musnad-nya dari Ibn Abbas, ia
berkata: Rasulullah saw bersabda:
«لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ»
Tidak boleh membahayakan orang lain dan diri sendiri
Hanya
saja kondisi ini sangat sedikit …
Adapun
dalam Daulah al-Khilafah, maka akan ada vaksinasi untuk berbagai penyakit yang
mengharuskan hal itu, seperti penyakit menular dan sejenisnya. Obat yang
digunkan adalah yang bersih dari segala kotoran. Sementara Allah SWT, Zat yang
menyembuhkan.
﴿وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ﴾
dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku (QS asy-Syu’ara’ [26]: 80)
Sudah makruf secara syar’iy
bahwa pemeliharaan kesehatan adalah bagian dari kewajiban khalifah termasuk ri’ayah asy-syu’un sebagai praktek sabda Rasul
saw:
«الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ وَمَسْؤُولٌ عَنْ
رَعِيَّتِهِ»
Imam adalah pemelihara dan dia bertanggungjawab atas
pemeliharaannya (HR al-Bukhari dari Abdullah bin Umar)
Ini adalah nas yang bersifat
umum tentang tanggungjawab negara atas kesehatan dan pengobatan, karena
merupakan bagian dari pemeliharaan yang wajib bagi negara.
Ada
dalil khusus atas kesehatan dan pengobatan. Imam Muslim telah mengeluarkan dari
jalur Jabir ia, berkata:
«بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم
إِلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ طَبِيبًا فَقَطَعَ مِنْهُ عِرْقًا ثُمَّ كَوَاهُ
عَلَيْهِ»
Rasulullah saw mengutus kepada Ubay bin Ka’ab seorang tabib, lalu
tabib itu memotong nadinya dan dipanasi dengan benda yang dipanaskan (kay)
Al-Hakim
telah mengeluarkan di Mustadrak dari Zaid bin Aslam dari bapaknya yang berkata:
«مَرِضْتُ فِي زَمَانِ عُمَرَ بِنَ
الْخَطَّابِ مَرَضاً شَدِيداً فَدَعَا لِي عُمَرُ طَبِيباً فَحَمَانِي حَتَّى
كُنْتُ أَمُصُّ النَّوَاةَ مِنْ شِدَّةِ الْحِمْيَةِ»
Aku sakit
keras pada masa Umar bin al-Khaththab, lalu Umar memanggil seorang tabib. Tabib
itu memberi pantangan makannan kepadaku hingga aku menghisap biji karena
kerasnya pantangan
Rasul
saw dalam kapasitas beliau sebagai seorang penguasa mengutus seorang tabib
kepada Ubay bin Ka’ab. Umar ra sebagai khalifah Rasyid kedua memanggil seorang
tabib untuk untuk mengobati Aslam. Keduanya merupakan dalil bahwa pemeliharaan
kesehatan dan pengobatan termasuk bagian dari kebutuhan dasar rakyat yang wajib
disediakan oleh negara secara gratis kepada orang diantara rakyat yang
memerlukannya.
Saudaramu
Atha’
bin Khalil Abu ar-Rasytah
15 Muharram 1435
18 November 2013
Comments
Post a Comment