Oleh: Al-Faqîr ilâ Rabbihi Irfan Abu Naveed[1]
Dipresentasikan dalam Kajian Tafsir Bulanan di KPP Cianjur
Dipresentasikan dalam Kajian Tafsir Bulanan di KPP Cianjur
L
|
GBT, akronim dari lesbian, gay,
biseksual dan transgender (termasuk interseks dan queer[2] (LGBTIQ)), kembali
hangat diperbincangkan di berbagai media, terutama pasca legalisasi pernikahan
sejenis oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat 26 Juni 2015 lalu mencakup 50
negara bagian AS[3], hal ini membuka kembali
sejarah kelam peradaban umat manusia pada titik nadir, dimana ketuk palu
Mahkamah AS yang menandai legalnya pernikahan sejenis pun menjadi lonceng kematian bagi peradaban Barat yang diwakili Amerika
Serikat. Legalisasi pernikahan sejenis ini pun dianggap sebagai langkah penting
dalam hal pengakuan terhadap LGBT.
Namun jika
ditelusuri lebih jauh, legalisasi pernikahan sejenis yang pada akhirnya mengakomodasi kaum gay
mengumbar hawa nafsunya melakukan perbuatan homoseksual, jelas meniti sejarah
kelam Kaum Luth. Yakni suatu kaum dimana Nabi Luth a.s. diutus kepada mereka
yang menempati kota Sodom di area Timur Jordania, mereka saling menzhalimi di
tengah-tengah masyarakat mereka, serta mengamalkan berbagai kemungkaran
lainnya.[4] Namun di atas semua
kerusakan itu mereka pun melakukan kemungkaran baru di muka bumi yang tak
pernah dilakukan oleh seorang pun sebelumnya[5], yakni mendatangi kaum
lelaki dari duburnya menuruti syahwatnya dan meninggalkan para istrinya,
menyelisihi tabiat manusia.[6]
A.
Al-Qur’an:
Perbuatan Homoseksual Merupakan Perbuatan Keji, Melampaui Batas
Perbuatan kaum gay yang melakukan perbuatan homoseksual
lelaki mendatangi lelaki lainnya melalui duburnya, dalam istilah syari’ah,
tercakup dalam istilah liwâth. Pengertian liwâth, dijelaskan
dalam kamus bahasa ahli fikih, Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji (w. 1435 H):
اللواط: عمِل
عَمَل قوم لوط . وطء الذكر في دبره (homosexuality)
“Al-Liwâth: adalah perbuatan siapa saja yang mengamalkan perbuatan
kaum Luth. Yakni memasukkan dzakar ke dubur laki-laki lainnya (homoseksual).”[7]
Jika kita telusuri, perbuatan homoseksual lelaki
mendatangi lelaki dari duburnya, pertama kali dilakukan oleh Kaum Luth, hal itu
sebagaimana difirmankan Allah ’Azza wa Jalla dalam ayat-ayat-Nya berikut
penilaian Allah Yang Maha Benar berupa celaan dan kecaman keras terhadapnya.
a.
Perbuatan Keji (Al-Fâhisyah)
Yakni penyifatan atasnya sebagai perbuatan al-fâhisyah (keji) jahat dan
melampaui batas:
{وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ إِنَّكُمْ
لَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ}
“Dan (ingatlah) ketika Luth berkata pepada kaumnya:
"Sesungguhnya kamu benar-benar mengerjakan perbuatan yang amat keji yang
belum pernah dikerjakan oleh seorangpun dari umat-umat sebelum kamu.” (QS. Al-’Ankabût [29]: 28)
Ada banyak pelajaran yang terkandung dalam ayat di atas:
Pertama, Kalimat (إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ
الْفَاحِشَةَ) menunjukkan
bahwa ayat ini menyifati perbuatan liwâth (homoseksual) sebagai
perbuatan keji (al-fâhisyah). Imam Abu al-Qasim al-Zamakhsyari (w. 538
H) menjelaskan bahwa perbuatan al-fâhisyah bermakna perbuatan yang
sangat tercela.[8]
Imam Fakhruddin al-Razi (w. 606 H) menjelaskan yakni perbuatan buruk yang nyata
keburukannya, jika perbuatan zina adalah perbuatan keji dengan kondisi bahwa
perbuatan tersebut bisa berkonsekuensi lahirnya anak (masih menjamin
keberlangsungan generasi-pen.) meski tidak berlangsung terus menerus
(sementara), adapun perbuatan homoseksual jelas tidak mungkin berkonsekuensi
lahirnya anak (artinya tidak menjamin keberlangsungan generasi-pen.) sehingga
perbuatan homoseksual jelas lebih keji (daripada perbuatan zina yang juga
keji-pen.).[9]
Celaan dalam ayat di atas
pun diawali dengan dua penegasan (tawkîd) berupa kata inna dan lâm
taukid[10] yang
berfaidah menafikan adanya keraguan dan pengingkaran atas celaan terhadapnya,
sebagaimana ditegaskan dalam bahasan ilmu balaghah.[11] Ini sekaligus membantah
penyesatan kaum liberal yang menjustifikasi perbuatan homoseksual dengan
beragam alasan ngawur dan tidak ilmiah.
Kedua, Kalimat (مَا سَبَقَكُمْ بِهَا
مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ) menunjukkan
bahwa tidak pernah ada seseorang pun di alam semesta ini yang melakukan
perbuatan homoseksual sebelum kaum Luth, ini merupakan penafsiran Ibnu ’Abbas
r.a.[12], dan Amru bin Dinar[13]. Sebagaimana ditegaskan pula menurut penafsiran para
ulama, di antaranya: Imam Abu al-Muzhaffar al-Sam’ani (489 H)[14], Al-Hafizh Ibnu Katsir
(w. 774 H)[15], Imam
al-Zamakhsyari (w. 538 H)[16], dan lainnya.
Kata mâ dalam kalimat (مَا سَبَقَكُمْ بِهَا) merupakan bentuk penafian, dan kata min dalam frase min
ahad[in] merupakan bentuk tambahan atas penegasan penafian[17] adanya orang lain sebelum
kaum Luth, dimana dalam ayat ini tidak diungkapkan kata min qawm[in]
yakni suatu kaum, namun dalam ruang lingkup yang lebih kecil yakni tidak
seorang pun. Artinya tidak ada seseorang pun sebelum kaum Luth yang melakukan
perbuatan keji tersebut, dan mereka yang melakukan perbuatan homoseksual jelas
meniti jalan kaum terlaknat ini.
Ketiga, Ayat ini mengandung kewajiban sanksi had atas perbuatan liwâth, sebagaimana
ditegaskan oleh Fakhruddin al-Razi.[18]
Kalimat hampir senada disebutkan dalam QS. Al-A’râf [7]: 80
b.
Perbuatan Melampaui Batas (Al-Isrâf)
Dalam ayat lainnya, kaum Luth pun divonis sebagai kaum
yang melampaui batas:
إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ
الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ ۚ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ {٨١}
“Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melampiaskan nafsumu
(kepada mereka), bukan kepada perempuan, bahkan kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.” (QS. Al-A’râf [7]: 81)
Kalimat (بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ) menunjukkan celaan atas perbuatan homoseksual, yakni perbuatan
melampaui batas atau dengan kata lain perbuatan zhalim yang menyalahi
fitrahnya. Hingga dikabarkan bahwa Nabi Luth a.s. pun memohon pertolongan
kepada Allah dari kerusakan kaumnya ini, dalam ayat: (قَالَ رَبِّ انْصُرْنِي عَلَى الْقَوْمِ الْمُفْسِدِينَ),
dan ini pula yang mesti kita lakukan. Allah pun berfirman dalam ayat lainnya: QS. Al-Anbiyâ’ [21]: 74.
Dan vonis sebagai kaum yang melampaui batas pun
disebutkan dalam ayat:
أَتَأْتُونَ الذُّكْرَانَ
مِنَ الْعَالَمِينَ {١٦٥} وَتَذَرُونَ مَا خَلَقَ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ
ۚ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ
عَادُونَ {١٦٦}
“Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia,
dan kamu tinggalkan istri-istri yang dijadikan oleh Rabb-mu untukmu, bahkan
kamu adalah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Syu’arâ [26]: 165-166)
Yakni melampaui batas yang halal melakukan keharaman.
c.
Perbuatan Tidak Berakal
Bahkan perbuatan tersebut disifati sebagai perbuatan
orang yang tidak berakal, berdasarkan mafhûm dari ayat:
{قَالَ يَا قَوْمِ هَٰؤُلَاءِ بَنَاتِي
هُنَّ أَطْهَرُ لَكُمْ ۖ فَاتَّقُوا اللَّهَ وَلَا تُخْزُونِ فِي ضَيْفِي ۖ أَلَيْسَ مِنْكُمْ رَجُلٌ رَشِيدٌ}
“Luth berkata: “Hai kaumku, Inilah puteri-puteriku, mereka lebih suci
bagimu, Maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan (nama)ku
terhadap tamuku ini, tidak adakah di antaramu seorang yang berakal?” (QS. Hûd [11]: 78)
Kalimat (أَلَيْسَ مِنْكُمْ رَجُلٌ رَشِيدٌ) yang berbentuk istifhâm inkariy (kalimat tanya
yang maksudnya pengingkaran keras) menunjukkan bahwa Nabi Luth a.s. mengkritik perbuatan
kaumnya yang homoseksual sebagai perbuatan tidak berakal.
Maka kian terang benderang bahwa seluruh standarisasi
penilaian yang Allah tunjukkan dalam ayat-ayat-Nya di atas, menunjukkan bahwa
disorientasi seksual kaum homo bukanlah faktor genetik melainkan suatu
penyimpangan dari syari’at, fitrah dan tabi’at manusia yang lurus, yang mesti
diobati dengan solusi Islam sehingga kembali kepada fitrahnya.
B.
Al-Qur’an:
Azab-Azab Allah Bagi Kaum Luth
Mengenai kaum Luth yang terlaknat ini pun, Allah
mengisahkannya di banyak tempat (dalam al-Qur’an) bahwa Dia telah menurunkan
azab bagi mereka karena perbuatan keji tersebut:
a.
Allah Butakan Pandangan Mata Mereka
Allah ’Azza wa Jalla berfirman:
{وَلَقَدْ رَاوَدُوهُ
عَنْ ضَيْفِهِ فَطَمَسْنَا أَعْيُنَهُمْ فَذُوقُوا عَذَابِي وَنُذُرِ}
“Dan sesungguhnya mereka telah membujuknya (agar
menyerahkan) tamunya (kepada mereka), lalu Kami butakan mata mereka, maka
rasakanlah azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku.” (QS. Al-Qamar [54]: 37)
Dimana pada ayat ke-33,
disebutkan bahwa mereka telah mendustakan ancaman-ancaman peringatan dari Nabi
Luth a.s. (lihat QS. Al-Qamar [54]: 33).
b.
Allah Kirimkan Suara yang Sangat Keras
Allah ’Azza wa
Jalla berfirman:
{فَأَخَذَتْهُمُ
الصَّيْحَةُ مُشْرِقِينَ}
“Maka mereka dibinasakan oleh suara keras yang mengguntur,
ketika matahari akan terbit.” (QS. Al-Hijr [15]: 73)
c.
Bumi yang Mereka Tempati
Diangkat dan Dibalikkan
Allah ’Azza wa
Jalla berfirman:
{فَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا جَعَلْنَا
عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً مِنْ سِجِّيلٍ مَنْضُودٍ}
“Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum
Luth itu yang di atas ke bawah (kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan
batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi.” (QS. Hûd [11]: 82)
Allah pun menyebut mereka dengan al-Muktafikah,
terbalik kepala dan kakinya. Lalu dilempar kembali ke tanah. Allah berfirman:
{وَالْمُؤْتَفِكَةَ أَهْوَىٰ}
“Dan negeri-negeri kaum Luth yang telah dihancurkan
Allah.” (QS. Al-Najm
[53]: 53)
d.
Dihujani dengan Batu dari
Tanah yang Keras dan Terbakar Secara Bertubi-Tubi
Allah ’Azza wa
Jalla berfirman:
{وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً
مِنْ سِجِّيلٍ مَنْضُودٍ}
“Dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang
terbakar dengan bertubi-tubi.” (QS. Hûd [11]: 82)
Allah kabarkan pula dalam
QS. Al-Hijr [15]: 74 dan QS. Al-Qamar [54]: 34.
C.
Penegasan Kecaman Al-Sunnah Terhadap Perbuatan
Homoseksual
Itu semua merupakan celaan bagi Kaum Luth dan mereka yang
meniti jalanya, maka kaum muslimin (para ulama) pun bersepakat bahwa perbuatan
kaum ini yakni homoseksual lelaki mendatang lelaki (liwâth) merupakan dosa besar yang jelas-jelas diharamkan Allah,
sebagaimana disebutkan Al-Hafizh al-Dzahabi (w. 748 H).[19] Hal itu tidak
mengherankan karena dalil-dalil al-Qur’an dan al-Sunnah secara tegas (qath’iy)
mengharamkannya. Imam Muhammad bin al-Husain al-Ajurri al-Baghdadi (w. 360
H) bahkan menulis satu kitab khusus berjudul Dzamm al-Liwâth (tercelanya perbuatan liwâth). Para ulama pun menukil dalil-dalil dari
al-Sunnah, berupa hadits-hadits Rasulullah –shallallâhu ’alayh wa
sallam- yang mengecam perbuatan liwâth:
«إِنَّ أَخْوَفَ
مَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي عَمَلُ قَوْمِ لُوطٍ»
“Sesungguhnya
yang paling aku takutkan atas umatku adalah perbuatan kaum Luth.” (HR.
Ahmad & al-Tirmidzi) [20]
Kekhawatiran
Nabi –shallallâhu ’alayh wa
sallam- dalam hadits di atas, cukup menunjukkan
bahwa perbuatan homo merupakan penyimpangan, bukan sesuatu yang sejalan dengan
fitrah manusia sehingga diklaim karena faktor genetik. Dipertegas oleh dalil
dalam hadits lainnya, dari Ibnu ’Abbas r.a., berkata: “Rasulullah –shallallâhu ’alayh wa
sallam- bersabda:
«لا يَنْظُرُ
اللهُ إِلَى رَجُلٍ أَتَى رَجُلًا أَوِ امْرَأَةً فِي دُبُرِهَا»
“Allah
tidak akan memandangi seorang laki-laki yang mendatangi laki-laki lainnya atau
mendatangi perempuan pada duburnya.” (HR.
Ibnu Hibban, al-Tirmidzi dll)[21]
Imam al-Mulla’ ’Ali al-Qari’ (w. 1041 H)
menjelaskan bahwa pandangan tersebut adalah pandangan rahmat dan pemeliharaan.
Dan yang dimaksud mendatangi laki-laki yakni pada duburnya.[22] Imam
al-Shan’ani (w. 1182 H) pun menegaskan bahwa dalam masalah ini tidak ada ruang
ijtihad di dalamnya terlebih penyebutan ancaman dalam hadits ini tidak perlu
diketahui dengan ijtihad[23], karena
sesungguhnya masalah ini hukumnya jelas. Rasulullah –shallallâhu ’alayh wa sallam- bersabda:
«لَعَنَ اللهُ
مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ، لَعَنَ اللهُ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ،
لَعَنَ اللهُ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ»
“Allah melaknat siapa saja yang mengamalkan
perbuatan kaum Luth, Allah melaknat siapa saja yang mengamalkan perbuatan kaum
Luth, Allah melaknat siapa saja yang mengamalkan perbuatan kaum Luth.” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban dll) [24]
Dalam hadits di
atas, kecaman Rasulullah –shallallâhu ’alayh wa sallam- diulang sebanyak tiga kali yang
merupakan penekanan (tawkîd) atas kecaman tersebut, dan faidahnya
menafikan keraguan atas kebenaran informasi adanya kecaman tersebut.[25]
Dan kata la’ana mashdarnya adalah al-la’nu yakni al-ta’dzîb (siksaan)[26],
Imam al-Azhari (w. 370 H) memaknai (لعنه الله) yakni Allah menjauhkannya.[27]
Al-Hafizh Ibn al-Atsir (w. 606 H) menjelaskan:
وَأَصْلُ
اللَّعْن: الطَّرْد والإبْعاد مِنَ اللهِ، وَمِنَ الخَلْق السَّبُّ والدُّعاء
“Asal kata
al-la’nu: terhempas dan terjauhkan[28] dari Allah, dan
dari makhluk-Nya berupa celaan dan do’a keburukan.”[29]
Dan makna yang
lebih rinci, sebagaimana dijelaskan Imam al-Raghib al-Ashfahani bahwa orang
yang terlaknat itu terhempas dan terjauhkan masuk ke dalam jalan kemurkaan, dan
laknat dari Allah berupa siksa di akhirat, dan di dunia terputus dari rahmat
dan taufik-Nya.[30] Adanya ancaman keras
berupa kata laknat jelas mengandung pesan tercelanya perbuatan tersebut, ia
termasuk tarhîb dari Allah atas pelakunya, dalam ilmu ushul fikih kata
ini pun menjadi indikasi keharaman perbuatan tersebut. Bahkan indikasi bahwa ia
termasuk dosa besar. Al-Qadhi ’Iyadh (w. 544 H) menjelaskan:
وقد استدلوا لما
جاءت به اللعنة أنه من الكبائر
“Dan sungguh para
ulama telah berdalil bahwa hal-hal dimana kata laknat menyertainya maka ia
termasuk dosa besar.”[31]
Hingga pelaku
homoseksual baik subjek dan objeknya pun wajib dikenakan sanksi hukuman di
dunia yang wajib ditegakkan dan menjadi kewenangan al-Imam (Khalifah), berdasarkan
dalil:
«مَنْ
وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوا الْفَاِعَلَ
وَالْمَفْعُولَ بِهِ»
“Siapa
saja di antara kalian menemukan seseorang yang melakukan perbuatan kaum Luth,
maka hukum mati lah (oleh Imam atau yang mewakilinya-pen.) subjek dan
objeknya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud & al-Hakim)[32]
Nash-nash
al-Qur’an dan al-Sunnah di atas jelas mengandung celaan yang menjadi qarînah
(indikasi) keharamannya[33],
maka tidak mengherankan jika para ulama pun merinci keharaman liwâth
secara pasti dan mutlak, tidak ada ruang ijtihad di dalamnya. Lalu apakah masih samar hakikatnya? Allâh al-Musta’ân.
{وَذَكِّرْ
فَإِنَّ الذِّكْرَىٰ تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ} سورة الذاريات: ٥٥
[1] Staf Kulliyyat
al-Syari’ah wa al-Dirasah al-Islamiyyah STIBA Ar-Raayah Sukabumi.
[2] Homoseksual
[3] Barrack Obama, Presiden Amerika Serikat, sebenarnya sudah lama mendukung
eksistensi LGBT, hal itu ditandai dengan penentangannya terhadap sikap
Pemerintah Uganda yang anti gay, lesbian.
[4] Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi, Al-Kabâ’ir, Al-Manshurah:
Dâr al-Khulafâ’, Cet. I, 1416 H, hlm. 57.
[5] Lihat QS. Al-’Ankabût [29]: 28 dan QS. Al-A’râf [7]: 80.
[6] Dr. Samih ‘Athif al-Zayn, Majma’ al-Bayân al-Hadîts wa Qashash
al-Anbiyâ’ fî al-Qur’ân al-Karîm, Kairo: Dâr al-Kitâb al-Mishri, Cet. VII,
1426 H/2005, hlm. 305.
[7] Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji, dkk, Mu’jam Lughat Fuqahâ’,
Beirut: Dâr al-Nafâ’is, Cet. II, 1408 H, juz I, hlm. 394.
[8] Abu al-Qasim Mahmud bin ‘Amru al-Zamakhsyari, Al-Kasyâf
‘an Haqâ’iq Ghawâmidh al-Tanziil, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabi,
cet. III, 1407 H, juz III, hlm. 451.
[9] Abu ‘Abdullah Muhammad bin ‘Umar al-Razi, Mafâtiih al-Ghayb, Beirut:
Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabi, cet. III, 1420 H, juz XXV, hlm. 49.
[10] Ayyub bin Musa al-Husaini Abu al-Baqa’ al-Hanafi, Al-Kulliyyât Mu’jam
fii Mushthalahât wa al-Furûq al-Lughawiyyah, Beirut: Mu’assasat al-Risâlah,
hlm. 269; Abu Muhammad Badruddin Hasan bin Qasim al-Maradiy al-Malikiy, Al-Junnâ
al-Dâniy fî Hurûf al-Ma’âniy, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I,
1413 H, hlm. 124.
[11] Dalam ilmu balaghah disebut dengan istilah al-khabar
al-inkâriy karena keberadaan penegasan lebih dari satu. Lihat: Tim Pakar, Al-Balâghah
wa al-Naqd, Riyâdh: Jâmi’atul Imâm Muhammad bin Su’ud al-Islâmiyyah, Cet.
II, 1425 H, hlm. 38-39; Muhammad ’Ali al-Sarraj, Al-Lubâb fî Qawâ’id
al-Lughah al-’Arabiyyah wa Âlât al-Adab al-Nahw wa al-Sharf wa al-Balâghah wa
al-‘Arûdh wa al-Lughah
wa al-Mitsl, Damaskus: Dâr al-Fikr, cet. I, 1403 H/1983, hlm. 161.
[12] Abu al-Muzhaffar Manshur al-Sam’aniy, Tafsîr al-Qur’ân,
Riyadh: Dâr al-Wathan, cet. I, 1418 H, juz II, hlm. 195-196.
[13] Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim al-Tsa’labi, Al-Kasyf wa al-Bayân ‘an
Tafsîr al-Qur’ân, Beirut: Dâr Ihyâ’ at-Turâts al-‘Arabi, Cet. I, 1422 H,
juz IV, hlm. 258.
[14] Abu al-Muzhaffar Manshur al-Sam’aniy, Tafsîr al-Qur’ân, juz IV,
hlm. 177.
[15] Abu al-Fida’ Isma’il bin Umar bin Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhiim, Dâr
Thayyibah, cet. II, 1420 H, juz VI, hlm. 276.
[16] Abu al-Qasim al-Zamakhsyari, Al-Kasyâf ‘an Haqâ’iq Ghawâmidh
al-Tanzîl, juz III, hlm. 451.
[17] Ibid, juz II, hlm. 125.
[18] Abu ‘Abdullah Muhammad bin ‘Umar al-Razi, Mafâtiih al-Ghayb, juz
XXV, hlm. 49.
[19] Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi, Al-Kabâ’ir, hlm. 57.
[20] Hadits shahih, Ahmad (III/382), al-Tirmidzi (IV/1457), Ibnu Majah
(II/2563), dishahihkan Al-Hakim (IV/397). Abu Isa mengatakan: “Hadits ini
hasan gharib dari jalur ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Uqail bin Abi Thalib dari
Jabir bin ‘Abdillah r.a.”
[21] HR. Ibnu Hibban menshahihkannya dalam Shahih-nya (X/267, hadits
4418) Syu’aib al-Arna’uth mengatakan: “Hadits sanadnya kuat memenuhi syarat
Muslim”; Al-Tirmidzi dalam Sunan-nya (III/461, hadits 1165) ia
mengatakan: “Hadits ini hasan gharib”; Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya
(IV/251), Al-Bazzar dalam Musnad-nya (XI/380, hadits 5212); Al-Nasa’i
dalam Al-Sunan al-Kubrâ’ (VIII/197, hadits 8952) Imam Ibn Daqiq al-‘Iid
dalam Al-Ilmâm (II/660, hadits 1290) menyebutkan bahwa para perawinya
tsiqah/shahih; Abu Ya’la dalam Musnad-nya (IV/266, hadits 2378) Husain
Salim: “Hadits hasan”; Al-Baihaqi dalam Al-Sunan al-Shaghiir (III/54,
hadits 2482).
[22] Abu al-Hasan al-Mala’ al-Qari, Mirqât al-Mafâtîh Syarh Misykât
al-Mashâbîh, Beirut: Dâr al-Fikr, Cet. I, 1422 H, juz VI, hlm. 2351.
[23] Muhammad bin Isma’il al-Amir al-Shan’ani, Subul al-Salâm, Maktabah
Mushthafa al-Bâbi al-Halabi, Cet. IV, 1379 H/1960, juz III, hlm. 138.
[24] Hadits shahih, Ahmad dalam Musnad-nya (I/127), Ibnu Hibban dalam Shahîh-nya
(53), al-Thabrani (11546), dishahihkan al-Hakim (IV/356), namun dihasankan oleh
Syu’aib al-Arna’uth.
[25] Tim Pakar, Al-Balâghah wa al-Naqd, hlm. 39.
[26] Abu ‘Abdurrahman al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi al-Bashri, Kitâb Al-‘Ayn,
Ed: Dr. Mahdi al-Makhzhumi, Dâr wa Maktabah al-Hilâl, juz II, hlm. 141.
[27] Muhammad bin Ahmad al-Azhari al-Haruri, Al-Zâhir fî Gharîb Alfâzh
al-Syâfi’i, Ed: Dr. Muhammad Jabr, Kuwait: Wizârah al-Awqâf wa al-Syu’ûn
al-Islâmiyyah, Cet. I, 1399 H, juz I, hlm. 335.
[28] Lihat pula: Abu al-Qasim Mahmud bin ’Amru al-Zamakhsyari, Asâs
al-Balâghah, Ed: Muhammad Basil, Beirut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyyah, Cet. I,
1419 H, juz II, hlm. 171.
[29] Majduddin Abu al-Sa’adat al-Mubarak bin Muhammad (Ibn al-Atsir),
Al-Nihâyah fî Gharîb al-Hadîts wa al-Atsar, Ed: Thahir Ahmad al-Zawi,
Beirut: al-Maktabah al-’Ilmiyyah, 1399 H, juz IV, hlm. 255.
[30] Abu al-Qâsim al-Husain bin Muhammad al-Râghib al-Ashfahani, Al-Mufradât
fî Gharîb al-Qur’ân, Maktabah Nazâr Mushthafâ al-Bâz, suku kata (لعن),
jilid II, hlm. 581.
[31] ‘Iyadh bin Musa Abu al-Fadhl al-Sabati, Syarh Shahîh Muslim (Ikmâl
al-Mu’lim bi Fawâ’id Muslim), Mesir: Dâr al-Wafâ’, cet. I, 1419 H, juz IV,
hlm. 486.
[32] Hadits shahih, Ahmad (I/300), al-Tirmidzi (IV/1456), al-Hakim (IV/355),
Abu Dawud (IV/4462), Ibnu Majah (II/2561), al-Daruquthni (III/124), al-Bayhaqi
(VIII/232)
[33] ‘Atha bin Khalil Abu al-Rasytah, Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl, Beirut:
Dâr al-Ummah, Cet. III, 1421 H, hlm. 20.
Comments
Post a Comment